Tok, tok, tok!
Kami semua memandang ke pintu. Aku langsung berdiri untuk membuka pintu. Seorang lelaki dengan pakaian kemeja menyerahkan sebuah bingkisan cokelat padaku, setelah itu pergi begitu saja. Aku langsung masuk menemui mereka seraya berkata, "Ada paket atas nama Ferdila."
"Paket?"
"Iya, paket. Gak ada nama pengirimnya." Aku menyerahkan pada lelaki yang sedang kebingungan itu.
"Buka aja, Sayang!" titahku sambil menjatuhkan bobot di sampingnya seperti tadi.
Ferdila menurut, dia langsung membuka tanpa bertanya lagi. Aku bahagia dalam hati sambil melihat kotak itu. Perlahan selesai dan menampilkan kejutan paling indah yang tidak akan pernah dilupakan.
Dengan tangan gemetar, Ferdila meraih gambar itu sambil menatap pada Vidia. "Seharusnya sadar diri. Sudah punya suami, tapi masih main dengan laki-laki lain." Vidia terperanjat mendengar kalimat lelaki itu barusan. "Seharusnya kata-kata itu paling cocok ditujukan untukmu, Vidia
POV VIDIAAku Vidia Maida. Selama ini hidupku sudah terlalu tenang sehingga harus mencari masalah untuk menemukan warna lain kehidupan.Namun, Ardina sungguh mengganggu pikiran. Dia hadir dengan tampilan sangat berbeda dan lihat saja aku pasti bisa mengungkap rahasia perempuan itu.Teringat saat Ferila menyusul masuk kamar untuk meminta penjelasan tadi. Aku marah karena tidak ingin ditanya, tetapi lelaki itu hendak melayangkan tangan."Ini semua salah perempuan itu!" teriakku."Apa salah Ardina? Selama ini kamu memang benar merusak keharmonisan rumah tangga kami." Ferdila ikut teriak.Aku sedikit menyesal melepas pelet itu. Jika saja masih terpakai, pasti Ferdila masih dibutakan oleh cinta. Namun, ini resiko lelaki di hadapanku tidak benar jatuh cinta."Kau tahu, Fer? Perempuan yang sejak tadi duduk di sampingmu itu bukan Ardina!""Ngomong apa kamu, Vid? Jangan mencoba lari dari masalahmu sendiri."Aku tertawa kecil kemu
POV AUTHOR *** "Fer, hari ini aku izin keluar, ya! Mau ketemu sama Mita," tutur Ardina sedikit datar. Ferdila menoleh, dia memandang perempuan di hadapannya dari bawah ke atas sambil memikirkan kata-kata Vidia. Dia mengakui memang banyak perubahan yang ada pada istrinya. Namun, bukankah zaman sudah semakin modern hingga dalam sekejap saja sudah bisa terlihat berbeda? Pikirnya. "Oke, boleh. Jam berapa dan di mana?" "Belum dikabari sama Mita lagi. Kenapa?" "Gak apa-apa. Kalau ke luar harus hati-hati!" "Iya, Sayang. Diantar Naren, kok." Ferdila mengambil tas siap untuk berangkat kerja. Sekilas dia melirik ke kamar utama berharap istri keduanya muncul, tetapi nihil. Mobil sudah meninggalkan halaman, dengan gerak cepat Ardina merogoh kantong celana dan menelepon seseorang via aplikasi berwarna hijau. "Jangan datang, lebih baik utus Mita!" titahnya dengan suara sangat pelan. "Oke."
"Kevin, Bu. Masa lupa padahal sudah janjian buat ngabisin harta Pak Ferdila," jawab Kevin di balik telepon."Kamu salah orang deh kayaknya. Datang ke sini, buruan!""Gak, sebelum aku dibayar!""Aku lapor polisi tau rasa kamu!" ancam Vidia lagi.Akan tetapi, Kevin tertawa di balik telepon. "Kalau mau lapor polisi silakan saja. Toh, Anda sendiri yang nyuruh.""Anj*ng!" teriak Vidia.Pintu rumah terbuka lebar, semua yang hadir menoleh dan mendapati seorang lelaki berkemeja biru datang sambil tertawa angkuh. "Gak usah pusing, ini sudah di depanmu."Dua detik kemudian menyusul empat laki-laki yang bertubuh tinggi lagi kekar. Salah satu dari mereka berwajah sangat sangar. Siapa lagi kalau bukan Mario si botak tadi."Katakan, siapa yang menyuruh kita mencuri?" tanya Kevin pada anak buahnya."Ibu Vidia Maida," jawab Mario.Salah satu dari mereka mengeluarkan foto Ardina, kemudian ikut membuka suara. "Kami juga disur
Ferdila melangkah mendekati Naren, sementara Ardina kembali meneruskan aktivitasnya.Sebuah paket berwarna cokelat itu dibuka perlahan dan sangat mengejutkan, di dalamnya ada foto Vidia dengan Falen ketika mengunjungi hotel. Ada keterangan foto itu diambil sepuluh bulan yang lalu.Diam-diam luka mulai menyelinap masuk ke dalam sudut hati terdalam lelaki itu. Naren hanya bisa diam sambil menarik sudut bibir ke atas. Baginya, pekerjaan untuk memojokkan Vidia itu sangat mudah karena semua bisa dilakukan dengan uang."Perempuan itu!" geram Ferdila. Naren pamit ke kamar dengan alasan ada urusan sebentar padahal menyusun rencana baru."Vidia!" teriak Ferdila sambil menendang pintu kamar yang tadinya tertutup rapat. Istri keduanya tengah memakai pakaian seksi dengan belahan dada terbuka sambil menghadapkan ponsel ke wajahnya. "Sedang apa kamu?""Foto-foto." Vidia menjawab santai.Ferdila semakin geram, dia hendak meraih ponsel itu, tetapi kalah cep
POV FERDILA.Hingga sabtu ini aku belum bisa tahu siapa Naren sebenarnya dan mengapa Ardina sering berubah dalam waktu singkat. Sifat lugu dan mudah mengalah terkadang hilang begitu saja.Ini membuat kepala sedikit sakit karena memikirkannya. Sekarang pun dia cuek saja ketika aku ingin memeluknya. Padahal kerap kali kami melakukan itu ketika waktu luang."Fer, aku ke luar sebentar.""Ke mana, Vid?""Ke rumah ibu." Perempuan kedua itu menjawab singkat. Aku hanya mengangguk membiarkannya pergi diantar Naren.Sudah beberapa hari ini rasaku berangsur hilang untuk perempuan berambut pirang tadi. Padahal sebelumnya seakan tidak ada perempuan lain yang bisa dilihat oleh mata sekalipun itu Ardina.Aku selalu bingung dengan kenyataan yang mungkin bisa dibilang terkesan konyol. Ardina masih sibuk di dalam kamar dengan dalih membersihkan diri. Dia selalu mengunci pintu seakan aku ini bukan suaminya.Pintu kamar terbuka lebar
Ardina beranjak membuatku harus mencekal tangannya dengan gerak cepat. Dia menoleh dengan tatapan sinis seakan ingin menghindar. Begitu lama kami di posisi ini hingga dia kembali menjatuhkan bobot di kursi."Kenapa, Ardina?""Ada sesuatu yang tidak bisa aku katakan padamu dan tidak ingin aku katakan. Jadi, tolong jangan tanya apa pun kali ini." Dia menjawab dengan suara pelan, tetapi penuh penekanan."Kamu Ardina, 'kan?""Tentu saja aku Ardina. Kenapa, Fer, apa sekarang sudah tidak bisa mengenali wajah istri sendiri?""Sesuatu apa yang kamu maksud, Din? Apa aku tidak penting bagimu? Suami istri itu harus saling terbuka agar hubungan itu bertahan lama. Kalau kamu sedang menyimpan kebohongan, mungkin sekarang masih bisa ditutupi, tetapi nanti akan terungkap."Istriku berdiri sambil menggenggam erat tanganku. Kami melangkah masuk, tentu karena aku diseret. Di dalam kamar kami saling beradu pandang. Mungkin ini cara agar tetangga tidak tahu masa
POV ARDINA"Setiap perbuatan akan ada balasannya cepat atau lambat. Aku menantikan masa itu ketika semua yang pernah melukai harus menitikkan air mata penyesalan."–Seseorang Yang Merasakan Luka.~~"Sesuatu apa yang ingin kamu tahu, Din?" tanya Ferdila. Aku tersenyum manis. "Jawab aku!" desaknya kemudian.Aku tidak langsung menjawab, melainkan mengatur napas agar tidak tersulut emosi. Sementara Ferdila, dia menatapku tajam penuh tanda tanya. Kasihan juga melihatnya seperti itu."Apa benar kamu mencintaiku atau ini hanya pura-pura saja agar ada rasa kasihan untuk Vidia?" tanyaku sambil memicingkan mata mencari kebenaran."A-aku ... aku mencintaimu, Din. Apa maksudmu dengan pura-pura dan kasihan itu?"Ferdila memang sedikit gugup, tetapi entah kenapa aku merasa yakin pada cintanya. "Baiklah kalau begitu." Aku mengakhiri obrolan begitu melihat mobil masuk pekarangan. Itu Naren yang baru saja sampai setelah mengantar Vidia.D
POV AUTHOR"Kenapa sore baru pulang?" tanya Ferdila setelah keduanya sampai."Capek banget, Fer. Aku mau mandi dulu." Ardina berlalu begitu saja, sementara itu suaminya melangkah ke luar menemui Naren yang sedang duduk di teras.Ferdila berdehem, kemudian ikut duduk di kursi kosong. Tanpa basa-basi dia langsung menanyai Naren habis ke mana saja. Lelaki yang sudah menyiapkan jawaban sejak tadi itu menjawab cepat penuh keyakinan. "Kami dari rumah Mita, Pak. Abis itu ke cafe–""Ngapain ke cafe?" kejar Ferdila."Sebenarnya ...." Naren pura-pura takut menjawab. "Tadi di jalan ketemu sama perempuan yang dipanggil Shella sama ibu tadi, Pak. Kami ke cafe dan mereka mengobrol berdua, aku gak tahu mereka bahas apa.""Shella?" Ferdila memicingkan mata, tetapi Naren gegas mengangguk.Ponsel Ferdila berdering, ada telepon dari seorang teman yang ingin menemuinya sekarang karena sudah harus balik ke Inggris malam nanti. Dia pun gegas melangka
POV AUTHOR 💚 "Jangan pergi atau akan semakin menyakitimu." "Tapi, Ferdila–" "Dia khawatir bukan karena cinta, melainkan rasa bersalah karena telah merobek mulut Vidia. Kamu di sini, tunggu kabar di telepon saja," potong Arnila. Dia tidak ingin adik kembarnya khawatir. Masalah Ferdila salah peluk kemarin biar menjadi rahasiaku sendiri selama Naren tidak tahu juga Vidia maka akan baik-baik saja. Adikku harus bahagia, batin Arnila sedih. Ponsel berdering, ada pesan masuk ke aplikasi hijau. Perempuan tempramental itu mengurangi cahaya layar agar tidak ketahuan kalau ada pesan masuk apalagi jika kabar buruk. Benar saja, Naren mengabari bahwa Vidia meninggal. "Mereka kok lama ya? Gak ada kabar lagi," keluh Ardina. Dia memikirkan suaminya. "Gini, Din ...." Arnila menggigit bibirnya, dia menunduk dalam. Sementara di rumah sakit sedang gaduh. Naren mengurus banyak hal termasuk meminta mereka semua tutup mulut. Pasalnya
POV ARDINA💚Selesai makan malam, terdengar deru mobil dari luar. Aku dan Arnila saling berpandangan. Jantung berdegup cepat tak ubahnya pacuan kuda. Beberapa kali aku menarik napas panjang dan mengembuskan perlahan."Tenang, Ardina. Tidak akan terjadi apa-apa. Aku yang akan menjelaskan semua ini. Kamu diam dan hanya menyahut ketika kutanya. Oke?"Enak sekali menjadi Arnila karena dia terlihat seperti tidak memiliki beban hidup. Lagi pula jika ada yang mengusik tentu kalah dengan satu pukulan telak. Aku memaksa senyum.Pintu rumah terbuka lebar. Naren dan Ferdila melangkah beriringan. Begitu sampai di hadapan kami, keduanya bungkam. Aku bisa menangkap raut wajah suamiku menyiratkan kebingungan."Ardina yang mana?" tanyanya setelah hening beberapa saat."Fer, biar aku jelaskan semuanya. Aku Arnila saudari kembar istrimu. Kita berpisah sudah lama bahkan ketika kamu menikah, tidak sempat hadir." Arnila menjeda kalimatnya.D
POV AUTHOR💚Satu minggu pasca operasi, Vidia sudah merasa sehat sekalipun disibukkan dengan mengganti perban. Perawat menyarankan untuk tidak memakai cermin hingga masa penyembuhan selesai, tetapi dia bersikeras."Baiklah," jawab seorang perawat. Dia keluar mengambil cermin.Sementara Vidia dia begitu penasaran dengan bentuk wajahnya setelah digunting Ferdila. Rasa untuk balas dendam semakin membuncah. Dia merasa tidak bisa hidup tenang sampai Ardina merasakan luka yang sama atau bahkan lebih perih.Rambut indahnya pun sudah hilang. Dia memakai rambut palsu sejak kemarin. Tidak ada yang diizinkan masuk menjenguk walau orang itu mengaku sebagai sahabat dekatnya.Orangtua Vidia tidak tahu kabar ini karena Naren menutup mulut semua orang bahkan memalsukan data agar tidak ada yang bisa mengecek keberadaannya.Beberapa menit menunggu, seorang perawat datang dan menyerahkan sebuah cermin. Namun, sebelum itu dia berpesan agar V
"Gimana keadaan Vidia, Ren? Ada yang tahu perkara ini?" tanyaku khawatir.Kami sudah berada di rumah sakit sejak sepuluh menit lalu. Ferdila terus diam menangisi kebodohannya. Aku terus menghibur dengan dalih Vidia yang salah."Dia ditangani dokter. Tenang saja, aku bisa membungkam mulut mereka semua. Sekarang kamu fokus pada diri sendiri. Beruntung di outlet tadi lagi sepi," jelas Naren."Terimakasih, Ren. Kami berhutang budi padamu," ucapku tulus, lalu kembali duduk di samping Ferdila.Suamiku benar-benar menyesali perbuatannya. Sekali lagi aku menghibur dengan mengalihkan pikiran. Alhamdulillah, dia bisa tersenyum ketika kukatakan akan pergi dari sini jika terus murung.Tangan kekar itu sekarang mengelus perutku yang rata. Dia menasihati calon anak kami agar tidak pernah selingkuh jika sudah lahir. Ferdila sadar, yang mendua kelak akan diduakan dan rasanya seratus kali lipat lebih sakit."Anak kita harus jadi salihah, tidak boleh se
Dua hari sejak kejadian itu Vidia belum juga pulang. Mungkin dia tahu kalau Falen meninggal di hari yang sama jadi ada rasa galau. Entah, ini hanya praduga.Naren pun tidak pernah datang, hanya ada aku dan Ferdila di sini. Outlet warna merah muda sudah terpasang rapi di halaman rumah. Senin lalu mulai buka. Beruntung banyak pelanggan sampai Ferdila sedikit kewalahan."Jualan bakso?" tanya Vidia tiba-tiba ketika Naren sedang sibuk meladeni satu pelanggan terakhir. "Makanya aku malu balik ke sini karena gak mau punya suami tukang bakso. Mana jualnya di depan rumah, ogah banget!""Kalau begitu silakan pergi dari sini!" geram Ferdila."Iya, walau tidak kamu minta aku akan pergi! Dasar lelaki miskin!" makinya sambil melangkah masuk rumah.Dia memang tidak punya malu. Sudah mengatai suami sendiri, tapi dengan santainya melangkah masuk rumah. Aku sampai geleng-geleng kepala melihat kelakuan Vidia.Sebenarnya Ferdila ingin membahas masalah abo
"Kamu menang kali ini, Din!" gumam Vidia, tetapi aku masih mampu mendengarnya.Dia berdiri, memungut ponsel itu dan melangkah masuk kamar. Pintu dibanting kasar. Aku sampai mengelus dada berulang kali sambil membaca istigfar. Semoga saja janin dalam kandungan ini kuat dan dilindungi sama Allah.Naren meminta kami istirahat saja dulu kbawatir pikiran semakin kacau. Ferdila setuju, lalu menuntunku masuk kamar. Sabtu besok dia harus ke tukang kayu untuk mengambil outlet karena memang tidak melakukan pengiriman khusus weekend."Besok, kamu jangan keluar kamar. Nanti bisa dikerjain Vidia. Kalau bisa pas lagi makan aja. Oke?" Ferdila mengingatkan."Iya, Sayang."Aku menatap langit-langit kamar. Entah kenapa ada firasat hal buruk akan terjadi. Namun, suamiku selalu mengingatkan bahwa kita harus berprasangka baik agar jika ada petaka, dia akan pergi.***Pagi menyapa, dua jam lalu Ferdila pergi bersama Naren. Jarak rumah tukang kayu itu lumay
Malam menyapa ketika kami bertiga sedang kumpul di depan televisi. Vidia datang dengan senyum merekah dan duduk di dekat kami. Tangannya mengeluarkan ponsel dari saku.Aku cuek saja, lalu meraih gelas dan meneguk isinya. Malam ini tidak boleh stres karena bisa berakibat parah pada janin yang baru saja hadir dalam rahimku."Fer, tidakkah kamu berpikir Ardina mempermainkanmu?" Vidia membuka percakapan. Aku menoleh padanya begitupun Naren, tidak dengan Ferdila."Maksud kamu mempermainkan apa, Vid?" Aku bertanya.Ferdila menatapku dalam. Dia memberi isyarat untuk tidak merespon Vidia. Memang magrib tadi aku juga diperingatkan untuk mendiami perempuan berambut pirang itu agar tidak semakin menjadi atau berbuat sesuka hati.Aku memang setuju, tetapi mendengar kalimat itu membuat darah seketika nendidih dalam hitungan detik. Ingin sekali tangan ini menjambak rambut dan merobek mulutnya. Huh, hidup bersama Vidia memang tidak pernah membawa ketena
POV ARDINA💚Aku baru selesai mandi ketika mendengar suara tawa perempuan di luar rumah. Namun, samar terdengar karena gemericik air mengganggu pendengaran. Setelah mengenakan pakaian rumah serta mengeringkan rambut, aku melangkah ke luar kamar dan menoleh ke kiri. Rupanya ada tamu Vidia."Sini, Din!" panggil Vidia. Aku mendekat karena menghormati tamu dan duduk di samping adik madu.Perempuan ini cantik sekali. Wajah dan postur tubuhnya terpahat sempurna. Kulit putih bersih bahkan mengalahkan Vidia. Aku kagum, entah darimana asalnya. Akan tetapi, semoga hati perempuan itu tidak seburuk Vidia.Aku tersenyum ketika dia memperkenalkan nama. Dia Venny dan aku–"Dia ini kakak maduku, Ven. Namanya Ardina." Vidia mendahuluiku memperkenalkan diri. Sudahlah, tidak mengapa selagi masih wajar.Perempuan itu tersenyum ramah. Hingga detik ini aku merasa masih aman-aman saja. Vidia menjelaskan kalau temannya itu baru tiba dari Jepang. Aku m
POV VIDIA MAIDA💚Mereka terlalu bahagia di dalam sana sehingga membuat muak untuk melihat terlalu lama. Aneh sekali kenapa Ardina bisa hamil. Apakah ini yang dinamakan keajaiban?Huh, aku mengembus napas kasar begitu ingat tentang Ferdila yang tidak lagi bekerja di kantor. Untuk apa bertahan? Pertanyaan itu sesuatu yang konyol, tentu saja ingin mengais harta lelaki itu. Aku sangat yakin dia memiliki tabungan di bank."Sial!" umpatku ketia Ferdila menoleh dan langsung melangkah ke dekat televisi.Ada ide lain, aku harus melakukan sesuatu yang tidak disukai perempuan itu bahkan kalau bisa menyebar fitnah agar dicerai dalam keadaan hamil. Pasti ada cara yang paling jitu.Mudah! Aku akan melakukan satu rencana yang sangat besar. Bahkan sudah ada dalam pikiran. Naren pasti akan sering ke sini karena Ferdila tidak lagi sibuk di kantor. Kelihatannya bakal ada usaha baru yang akan dikerjakan."Vidia?" Suara Ferdila mengagetkanku yang