"Kamu selalu cantik, Gi."
Gombalan itu mendapat cubitan di lengan Jacky. Entah mengapa, Giandra punya kebiasaan mencubit kepada siapapun jika dirinya merasa malu. Pun menganggap pujian Jacky barusan adalah hal yang biasa. Dia kerap mendengar pria itu mengucapkan kata 'cantik' kepada setiap wanita yang ditemui. Giandra tahu kalau Jacky memang selalu ramah dan baik kepada semua orang.Acara ulang tahun cukup meriah dibawakan Giandra dan Jacky sebagai MC-nya. Mereka adalah kolaborasi yang sangat serasi. Giandra yang ramah dan pintar sedangkan Jacky yang kocak dan supel. Banyak di antara klien sering menjodohkan mereka. Namun, kedua insan itu menanggapinya dengan tawaan dan guyonan."Iya, aku sudah melamar Gian. Kalian tunggu saja undangannya, ya.""Jangan lupa hadiah pernikahan kami berupa tiket pesawat dan hotel di pantai Maldives, ya." Giandra pun ikut menimpali dengan lirikan mata manja.Setelah kliennya pamit dan berlalu, Jacky maupun Gi"Gi, kamu dari mana, sih? Dari tadi aku hubungi tapi tidak kamu balas. Sibuk seharian?" Emma yang terlebih dahulu menoleh pun menghampirinya."Iya, maaf, aku belum sempat. Tadi, tuh, aku ...."Giandra tidak mau menjelaskan ke mana dirinya pergi. Bukankah di surat perjanjian itu tertulis untuk tidak mengusiknya di hari pekan? Hanya di hari itu, dia bebas melakukan apa pun terutama saat dia bekerja paruh waktu sebagai pembawa acara, model atau SPG."Tadi itu siapa? Teman? Teman baik? Sepertinya aku sering lihat dia menemui kamu. Apa dia pacar kamu?""Bu-bukan. Dia pemilik EO, eh, rekan kerja. Iya, dia teman. Iya, teman." Saking gugup, Giandra berbicara tak beraturan tatkala melirik ke arah Darren yang dari kejauhan seolah sedang menengok ke arahnya. Posisi itu masih duduk di sofa sana dengan gawai berada dalam genggamannya."Oh, gitu."Emma tampak tak begitu peduli status pria tadi, pun mengapit lengan Gian, lalu membawan
Sampai di apartemen, Giandra menemani Emma yang mengambil jus kemasan dari kulkas untuk suaminya. Sementara Darren duduk di ruang tengah, menatap benda canggih yang ada dalam genggamannya. Sedikit curiga dengan raut wajah Emma yang sepertinya merencanakan sesuatu tetapi Gian tidak sempat bertanya. Diri itu merasa terusir saat dia diminta untuk mandi dan bersiap-siap. "Beres." Senyuman Emma merekah seketika setelah meletakan beberapa butir es batu ke dalam gelas tersebut."Kamu siap-siap, ya."Emma mengedipkan mata setelah berucap dan meninggalkannya sendiri di dapur. Meski rasa penasaran menggulung di dalam rongga dada, Gian pun mencoba masa bodo. "Mas, ini diminum dulu." Gelas berisi cairan merah muda pun terulur dan tangan kekar Darren mengambil."Makasih," ucapnya sembari memberi senyuman tipis, lalu meneguk sedikit demi sedikit hingga hampir habis.Emma menarik salah satu sudut bibir dan puas ketika melihat suaminya menghab
Awalnya, perempuan 165 centimeter itu melakukan penolakan, tetapi tenaga Darren lebih besar hingga pria itu dengan mudah menindihnya. Akal sehat Darren menurun detik berikutnya. Dia menyambar bibir dan leher Giandra, yang terpaksa harus menerima luapan si suami yang siap meledak. Kata maaf yang terucapkan oleh lidah Darren, sanggup menambah kepasrahan dan menghentikan penolakan Gian."Maaf, maafkan aku!" Terdengar lirih tapi tulus.Tidak ada kenikmatan seperti yang dirasakan pasangan suami istri yang baru pertama kali melakukan hubungan bercinta. Lantaran gelora yang dipengaruhi obat membuat sikap Darren sedikit kasar. Yang dirasakan Gian hanyalah nyeri karena organ itu terkoyak paksa. Cepat, cepat sekali kejadian itu. Peristiwa yang seharusnya terjadi di malam pertama pun terjadi juga. Selesai mengeluarkannya, Darren langsung tertidur tanpa bertanya keadaan dan perasaan istri kedua. Lelah, itu yang dirasakannya sehingga si wanita penyuka permen lollipop
"Tapi, Pak. Aku sudah berusaha agar cepat sampai di sini. Tadi ojek yang aku pesan ...." Gian berupaya memberi alasan yang masuk akal. Ia tak rela gajinya dipangkas karena bukan kesalahan yang disengaja. Wanita itu meminta keadilan tetapi sepertinya Darren tidak tertarik dengan penjelasannya."Tidak ada pengecualian siapapun dia dan apa pun alasannya. Manajer keuangan, tolong diperhatikan lebih detail untuk hal-hal seperti itu.""Tapi, Pak. Apa Bapak lupa kalau semalaman aku tidak ti-"Ah, wanita itu. Mengapa harus membahas hal yang terjadi tadi malam? Sengaja memang, ia mencoba mengembalikan ingatan peristiwa tadi malam yang menyebabkan dirinya terjaga."Bicara itu ada seninya. Jangan mengatakan apa yang seharusnya tidak kamu katakan di sini. Alasannya terkesan dibuat-buat, seperti anak SMA saja. Emma, itulah sebabnya aku tidak mengizinkan yang bukan lulusan jurusan strata satu untuk posisi itu. Ini, kan, hasilnya? Pembelaan apa yang ak
"Ada proyek baru yang sangat menjanjikan, menurut kalian apa perusahaan akan menolaknya? Satu hal, jika kalian berhasil menyelesaikan tugas ini sesuai deadline, kalian akan diberi bonus dan liburan."Penuturan Fito mengakhiri rapat siang itu. Sebagian terlihat bersemangat dan ada juga yang masih keberatan atas keputusan perusahaan."Menurutmu, apa kita bisa menyelesaikan desain itu sesuai deadline, Gi?" Karina yang sudah duduk di tempat kerjanya, tampak ragu."Kita coba aja dulu. Percuma ngedumel kayak yang lain. Habisin tenaga!" Wanita berambut tipis itu mulai membuka laptop dan sedikit melirik ke arah Darren dan Emma yang berjalan melewati di depan meja. Hanya Emma yang menengoknya sekilas lalu melangkah lebih cepat agar dapat mensejajarkan langkah suaminya."Biasanya dikasih waktu sebulan loh, Gi. Aku nggak gitu yakin bisa selesai sesuai keinginan Pak Darren dan Pak Fito. Ekspetasi Pak Darren terlalu tinggi." Karina masih me
"Lain kali jangan melupakan sesuatu yang penting dalam hidup kita, Gi.""Aku ingat banget kalau aku tidak memindahkannya dari tas. Dan aku seyakin-yakinnya karena aku pun tak ganti tas sejak Minggu kemarin. Jadi ...."Jacky hanya memberi senyuman sambil melipat kedua tangan di depan dada. Dia tahu betul salah satu kelemahan wanita yang sedang berceloteh ala anak remaja itu, yaitu ceroboh dan pelupa. Melihat senyum di wajah tampan yang terkesan tak percaya padanya, Gian pun mengajurkan napas pelan."Kamu tak percaya denganku? Kali ini aku sudah meyakinkan ketelitianku, nggak teledor seperti dulu-dulu. Hei, orang pasti bisa berubah, kan?"Mengangguk dengan senyuman yang semakin melebar, Jacky geli sendiri melihat mimik wajah Gian mengutarakan isi hatinya. Lalu, tangan kanan itu merapikan anak rambut yang jatuh di sisi kepala. Meski terlihat sedikit acak, tetapi perempuan yang penyuka mie Aceh itu tetap manis di matanya."Iya, iya, aku perca
Kemarin, di sisi lain yang terjadi. Setelah melihat Giandra keluar dari perusahaan, Darren yang baru sampai di parkiran pun mengurungkan niat masuk ke kantor. Dia memang baru mengantar Emma pulang sore itu setelah bertemu klien jam tiga tadi.Darren melihat Gian berjalan tergesa-gesa sambil memainkan ponsel, memantik rasa penasaran apa yang terjadi. Apalagi pria dewasa itu dapat menangkap raut wajah Gian yang tidak bersemangat seperti biasanya. Dari situlah, dia berniat mengekorinya dari jauh. Langkah kaki si atasan dipercepat ketika melihat Gian melakukan hal yang sama. Sampai dia memergoki seorang pria memang sengaja menubruk tubuh wanita itu saat Gian menunduk dan fokus pada ponselnya.Ah, sungguh sembrono perempuan itu. Dia tak tahu jika aksi yang dilakukan pria itu sangat merugikannya. Jelas di mata Darren terlihat kecepatan tangan si pria berjaket hitam itu mengambil sesuatu yang ada di dalam tas Gian di mana resleting itu sedang terbuka.Menggeleng,
"Ganti! Ini sama sekali tidak sesuai dengan kriteria perusahaan."Sebuah map berisi desain sofa yang dibuat Gian, dilempar asal. Darren menatapnya dengan sorot remeh. Jantung si wanita nyaris berhenti berdetak tatkala mendapat tindakan dadakan yang kesannya sedikit kasar. Mengatur irama napas, Gian pun mencoba menarik udara dalam-dalam."Tapi menurut saya ....""Klien kita kali ini bukan diperuntukkan warung kaki lima, kamu paham itu? Hotel kelas berbintang lima. Dan barusan yang aku lihat hasil yang kamu buat sama sekali tidak bergengsi. Kamu bisa kerja apa nggak?"Wajah Darren sedikit memerah kala Giandra masih berani menyahutinya. Sang atasan belum pernah menemukan sikap yang sama dari karyawan lain. Rata-rata semua bawahannya akan menunduk dan mangut jika dia sedang merevisi atau mengomel.Merasakan aura otoriter Darren, wanita itu memilih membuang pandang ke arah jendela kaca di mana langsung menampilkan gedung Jakarta yang lebih mir
Gian menghentakkan tangan Darren yang menggenggam tangannya saat mereka sudah menginjak lantai kantor."Kenapa?" Tanpa melepasnya, dia menoleh ke arah Gian sambil terus berjalan menuju lift."Nggak enak dilihat anak-anak. Aku jadi grogi."Tersenyum lebar, Darren malah mengganti posisi tangan, merangkul bahu wanita yang jalan bersisian dengannya."Mas!" Mata Gian semakin melotot."Kamu istri sah sekarang. Kenapa malu? Ini kamu lihat apa yang aku bawa?"Gian menggeserkan bola mata menuju ke arah tangan yang memegang setumpuk kartu undangan. Dia mengerutkan kening lalu mendongak kepala mencari jawaban."Karyawan di sini harus kenal dengan nyonya Lesmana yang baru dan aku akan mengundang mereka semua.""What?"Tanpa memberi kesempatan Gian melayangkan protes, Darren membawanya masuk ke dalam lift bersama karyawan lain yang menyembunyikan rasa ingin tahu. Darren tampak tak peduli sedangkan Gian ber
Pria itu Agung Wirawan yang kebetulan bertemu dengan Lidya di London dan berkenalan. Sudah lama dia tak pulang ke Indonesia sampai akhirnya dia menemukan flash disk rekaman CCTV. Entah siapa yang memindahkan rekaman itu ke dalam flash disk yang tak sengaja dia temukan di meja kerja sang papa.Di sana terlihat jelas Puspa memasukkan sesuatu ke dalam minuman si suami di dapur. Lalu, tak lama pria itu mendatangi meja makan dan meminumnya setelah disuguhkan Puspa. Hanya butuh sepuluh detik, papa Agung kejang dan mengeluarkan buih dari mulutnya. Sementara Puspa melipat tangan ke depan dada dan tak terlihat panik sama sekali. Sampai akhirnya, tubuh suaminya lemas dan melosot ke lantai."Mama membunuh papa?"Setelah menyaksikan sepotong cuplikan di layar laptop, mulut Emma membeo dengan pelan."Jangan panggil dia Mama. Dia bukan mama kita. Mama kita sudah tenang di surga. Wanita keji itu tak lain adalah seekor binatang yang kejam. Demi menguasai semua ha
"Jangan bunuh anakku! Pergi kalian! Pergi!"Suara keras memenuhi ruangan 3x3 meter. Dengan tangan yang terikat, terselip di baju khusus rumah sakit jiwa, Puspa meronta. Terkadang dia tertawa tak jelas ketika melihat sesuatu yang lucu baginya."Apa lihat-lihat? Belum pernah lihat wanita kaya dan cantik seperti aku?" Tawa di akhir kalimat itu membuat bulu kuduk Gian dan Emma merinding. Mereka tak diperbolehkan masuk karena khawatir Puspa akan melukai dan bertindak kasar. Mereka berdiri di depan pintu dengan jendela kaca di tengahnya. Hanya dengan cara ini, mereka bisa melihat wanita yang sudah divonis menderita gangguan jiwa oleh dokter.Seminggu lalu, saat melihat darah mengalir keluar dari perut Irvan, Puspa merasa sangat menyesal. Tidak sengaja telah menghilangkan nyawa darah dagingnya sendiri. Tak lama kejadian itu, beberapa polisi serta Darren masuk ke dalam ruang yang beraroma amis dan tak menemukan Gian.Emma. Wanita itu duduk sambi
Mendengar kabar duka itu, Gian sangat terpukul. Dia tak menyangka bayi dalam perutnya tidak bisa bertahan sampai dia dilahirkan. Namun, dia tahu rasa nyeri di perut semalaman itu sudah memberi isyarat bahwa kondisi si janin sedang tidak baik-baik saja. Tidak ada yang bisa disesali, bukan kesalahan Darren karena terlambat datang menolongnya. Keesokkan harinya, Gian terpaksa menjalankan tindakan kuret yang ditemani Darren. Dokter mengizinkan lantaran wanita itu butuh pendamping yang menguatkannya. Dia bisa tiba-tiba menangis jika mengingat sesuatu hal sedih yang baru terjadi. Suasana hatinya tak menentu dan belum stabil.***"Bagaimana akhirnya Mas bisa menemukan aku di kota itu?"Setelah seminggu keadaannya sudah stabil, Gian memberanikan diri untuk bertanya hal yang ingin diketahui. Dia sudah bisa menerima apapun yang telah menimpa pada calon bayinya. Ikhlas dan pasrah."Selama ini diam-diam aku menautkan GPS di ponselmu dan aku bisa lel
Namun jika dipikir kembali, Gian bisa mengambil semua hikmah yang terjadi. Dengan semua rangkaian permasalahan yang rumit itu, dia bisa kembali ke kehidupan masa lalunya. Bertemu Darren dan menjadi istrinya yang memang tak disengaja. Benar kata orang, skenario Tuhan tidak ada yang tahu bagaimana ending-nya. Akan tetapi dia percaya, semua akan indah pada waktunya.Entah apa yang dijawab Hardi, Gian tak bisa mendengarkannya. Nyeri menjalar di seluruh kepala ketika dia berhasil mengingat kejadian demi kejadian. Menutup mata, dia larut dalam mimpi. Lelah hati dan fisik membuatnya hanya bisa pasrah apa yang akan terjadi selanjutnya. Haus, lapar, sakit di sekujur tubuhnya bergabung menjadi satu paket. Deru napasnya terlihat berirama dan kesadaran itu menghilang.***"Sayang, kamu bisa mendengarkan aku? Bagaimana kabarmu? Apakah kamu membaik?"Perlahan, orang yang dipanggil membuka mata dengan mengerjapkan berkali-kali. Aroma obat khas rumah sakit menero
Kebetulan tadi di jam saat Puspa, Irvan dan Emma mau mengunjungi Gian, Hardi dan Jaka yang bertugas. Di dalam sana, dia melihat Gian terikat tali dan berniat melepaskannya jika ada kesempatan yang tepat. Tak lama, dia merasa alam telah merestui hajatnya. Aksi rebutan senjata tadi benar-benar memuluskan niatnya."Gian, ayo turun!"Pandangan Gian mengedar sekeliling dan tak tahu ada di mana. Tadi sepanjang perjalanan, dia menumpang tidur di punggung pria yang sudah lama dia cari. Akhirnya ketemu di tempat dan waktu yang sangat menegangkan. Hardi kembali menuntunnya masuk ke sebuah rumah kosong. Entah rumah siapa, dia tak tahu. Sedikit kotor dan gelap."Aku haus, Bang. Aku mau minum."Hardi meneliti wajah Gian yang semakin pucat, lalu mengedar sekililing ruangan."Abang nggak punya makanan dan minuman, Gi. Kamu sabar, ya. Setidaknya kamu di sini sudah aman. Kita tunggu sampe subuh. Kalau memungkinkan, Abang akan cari warung terdek
"Irvan! Anakku!"Jeritan itu terdengar keras lalu tak lama suara tangisan menggelegar. Haru dan sungguh kasihan melihat kedua insan tersebut. Ibu dan anak yang saling merebut senjata yang berakhir dengan tembakan di salah satu dari mereka.Membiarkan aksi itu, Hardi, si sosok serba hitam itu terus melangkahkan kaki sambil terus membantu Gian untuk bisa keluar dari ruangan yang mencekam. Dia tak peduli kalau dirinya akan diancam Puspa atau bertemu dengan polisi yang selama ini paling ditakutkan. Ingat, dia masuk dalam daftar pencarian orang."Kumohon, Jaka. Lepaskan wanita ini. Dia ... Dia adalah adik angkatku yang tengah hamil muda. Bukankah kau memiliki istri yang sedang hamil juga? Jadi, aku mohon belas kasihanmu. Pikirkan jika istrimu berada di posisi wanita ini. Tolong, Jaka. Aku mohon!"Dengan sedikit susah payah, Hardi terus berusaha keras agar bisa meluluhkan hati rekan kerjanya. Jaka yang masuk ke dalam ruangan, hendak mencegat Hardi ketik
Suara Puspa keras tetapi bergetar. Kebencian yang mengakar kuat di hati menguar kala wajah mertua kejam itu terbesit dalam pelupuk matanya. Dendam harus segera dia tuntaskan detik itu juga. Saat lengah, dia tak tahu ternyata diam-diam kaki Irvan terus mendekat dengan pelan. Dengan cepat, tangan Irvan menangkap tangan si mama setelah jarak hanya terbentang satu langkah.Lantaran panik dan refleks aksi itu, Puspa tak sengaja menekan pelatuk pistol sehingga menghasilkan suara tembakan yang keras. Peluru itu melesat entah ke mana. Aksi rebut merebut pun terjadi lagi antara Puspa dan Irvan detik berikutnya.Emma yang berdiri di sana, menyaksikan dengan ketakutan yang dia ciptakan sendiri. Hatinya ngilu selepas mendapatkan pengakuan barusan dari Puspa yang belum pernah dia tahu sebelumnya. Dia? Siapa dirinya? Dari mana asalnya? Siapa orangtuanya? Dia belum tahu siapa dirinya sehingga dia bisa tinggal dan dirawat olehnya.Tiba-tiba suara tembakan kedua terdengar lagi yang membuat kaki Emma ki
Kepingan ingatan saat si mertua mengusir lalu membuangnya ke hutan bersama Irvan kecil dan janin di perut. Sayangnya, calon bayi itu harus meninggal di perut karena guncangan demi guncangan saat dia terjatuh. Diri itu diperlakukan kasar oleh kedua bodyguard berjas hitam tersebut.Siapa yang menolongnya saat itu? Siapa yang merasa iba kepadanya? Tidak ada. Dia harus berjuang sendiri menjadi pengemis dan pemulung. Sampai akhirnya, dia terpaksa menjadi pelayan di salah satu bar. Di situlah dia bertemu seorang duda, tengah mencari kehangatan di malam yang dingin. Duda kaya yang mempunyai banyak anak. Jumlahnya berapa, si wanita tak pernah tahu. Memang, Puspa bisa seberuntung itu.Menikah dengan berganti nama dari Merlin menjadi Puspa, si duda menyanggupinya. Setelah menikah, Puspa merengek ingin merombak hidung dan bibirnya di negara ginseng dengan alasan untuk mempercantik diri.Bukan, bukan itu alasan sebenarnya. Dia sudah merencanakan jauh hari untuk membalaskan dendam. Dan, hari itu te