Shofia tertunduk dalam. Ia malu dengan penampilan seperti ini di hadapan sang suami. Tubuhnya tak lagi semenarik dulu. Rambut legam bergelombang yang selalu dibelai lembut oleh Ustaz Subhan kini tak ada lagi. Bahkan bobot tubuhnya juga menurun drastis.Sungguh jika dibandingkan dengan Kiyada yang masih muda dan segar, Shofia kini merasa tidak ada apa-apanya. Apalagi Jihan juga sempat mengabarinya jika Kiyada tengah hamil muda. Jika boleh jujur Shofia merasa iri dengan Kiyada.Belum genap satu tahun menikah, Allah telah mempercayakan hadirnya keturunan dari rahim Kiyada. Sementara Shofia yang selama delapan tahun menanti, mencoba berbagai ikhtiar yang telah disarankan para Kyai juga teman-temannya, tetap saja tak membuahkan hasil.“Astahgfirullahal’adzim,” gumam Shofia pada dirinya sendiri.Baru saja Shofia menggugat takdir yang telah digariskan Allah untuknya. Ia yang dari kecil menerima didikan ilmu agama cukup baik, seharusnya tak boleh memiliki pemikiran seperti itu. Bukankah semua
Shofia memegangi kepalanya yang tiba-tiba kembali merasakan sakit luar biasa. Belum sempat ia mendapat jawaban dari pertanyaannya, nyeri itu kembali menyerang. Berulang kalia Shofia mengucapkan istighfar, seraya berharap sakit itu sedikit berkurang.“Shofia! Kamu kenapa, sayang?” Ustaz Subhan berseru panik. Dokter yang tadi sempat menangani Shofia telah pergi. Melihat sang istri yang mengerang kesakitan, membuat hati Ustaz Subhan bagai ditusuk sembilu. Ia tak bisa membayangkan jika Shofia mungkin kerap merasakan kesakitan seperti saat ini, dan tak ada seorang pun yang menemani.“Kita ke rumah sakit, ya?” lirih Ustaz Subhan dengan suara bergetar.Shofia tak merespon. Tubuhnya terasa lemah tak bertenaga. Walau sakit di kepalanya sudah sedikit mereda, tetapi nyeri di sekujur tubuh masih ia rasakan. Apalagi jika mengingat Kiyada yang telah hamil.Harus diakui bahwa Shofia hanyalah wanita biasa. Ia memiliki rasa cemburu juga kecewa. Tak pernah menyangka jika kehamilan Kiyada bisa secepat
“Angkat saja, Mas. Siapa tahu penting,” tukas Shofia yang melihat raut bimbang di wajah Ustaz Subhan.Ustaz Subhan mengembuskan napas pasrah. Ia memutuskan untuk keluar dari ruangan demi menjaga perasaan Shofia. Dering ke dua kembali berbunyi saat dirinya sampai di depan kamar Shofia.“Assalamualaikum,” ucap Ustaz Subhan begitu telephon tersambung.“Waalaikumsalam.” Terdengar suara serak di sana.Jika tak salah mengira tampaknya Kiyada tengah berusaha menahan isakan. Namun, Ustaz Subhan masih terdiam. Ia kesulitan menemukan kalimat untuk menanyakan apa yang sedang terjadi di sana. Fakta tentang penyakit yang diderita Shofia yang baru ia ketahui hari ini saja sudah cukup menguras emosi.“Ibu drop lagi, Mas," tutur Kiyada dengan suara tercekat.Butuh waktu beberapa detik bagi Ustaz Subhan untuk mencerna kalimat singkat yang diucapkan Kiyada. Sebelum akhirnya terucap sebuah kalimat yang meluncur begitu saja dari bibirnya.“Kamu tenang, Ya. Saya di sini juga sedang menemani Shofia yang ke
Saat pikiran Ustaz Subhan sedikit lebih tenang, ia kembali ke kamar Shofia. Di sana tampak sang istri telah tertidur. Mungkin karena efek obat yang tadi diberikan oleh dokter. Ia menarik kursi ke samping ranjang tempat Shofia terbaring. Mengamati lebih dekat wajah yang tak lagi seperti dulu.Namun, tak sedikit pun rasa untuk Shofia berkurang. Ustaz Subhan mencintai Shofia bukan karena fisik semata. Walau tak dipungkiri jika sang istri memiliki kecantikan alami meski tanpa polesan make up.“Kamu harus sembuh, Shofia,” lirih Ustaz Subhan. Ia mengecup lembut tangan kanan Shofia yang bebas.Telephon dari Kiyada juga kian membebani pikiran Ustaz Subhan. Wanita itu pasti cukup kerepotan mengurus semua sendiri. Apalagi dalam keadaan tengah hamil muda. Kiyada juga tak memiliki kerabat yang bisa dimintai bantuan.Pikirannya benar-benar bercabang. Di satu sisi Ustaz Subhan tak mungkin meninggalkan Shofia dalam keadaan seperti ini. Namun, di sisi lain ia juga kepikiran dengan Kiyada. Kedua istr
“Ibu ....” Kiyada tergugu di samping wanita yang telah melahirkannya.Kejadian semalam tak akan pernah terlupakan dalam hidup Kiyada. Meski berulang kali ibu keluar masuk rumah sakit, tetapi tak pernah separah ini. Jika bisa, Kiyada ingin berbagi sakit dengan ibu. Atau bahkan bertukar posisi.“Sel kanker yang dialami Ibu Anda telah menyebar ke bagian tubuh yang lain,” ucap dokter yang menangani Ibu.“Tapi bukannya Ibu telah berobat sampai Singapura?” gumam Kiyada yang masih bisa didengar oleh dokter laki-laki di depannya.“Pengobatan sampai mancanegara sekalipun, tak menjamin sel itu akan hilang secara total. Apalagi jika sudah memasuki stadium lanjut.”Dunia Kiyada serasa runtuh. Kalimat dokter seolah menegaskan jika kondisi sang ibu tak dalam keadaan baik-baik saja. Bahkan, Kiyada baru tahu jika pengobatan di Singapura tak membawa hasil seperti yang ia harapkan.Ibu juga tak pernah bercerita secara gamblang saat ia bertanya hasil pengobatan selama di Singapura. Beliau selalu berkata
Entah seperti apa wajah Kiyada saat ini. Mata bengkak dengan hijab yang cukup berantakan, cukup menegaskan bahwa jiwanya terguncang. Farhan ternyata tak datang sendiri. Ia bersama Kyai Zuhair dan Jihan.Kehadiran mereka bertiga cukup menghibur Kiyada. Setidaknya masih ada orang-orang yang peduli padanya dan ibu. Walau wajah Jihan masih datar seperti biasa, tetapi ia juga dengan khusuk mengaminkan tiap doa yang dilantunkan Kyai Zuhair di samping ibu. Entah siapa yang memberitahu keluarga Ustazah Shofia tentang kabar sakitnya ibu.“Sejak kapan ibu kamu drop lagi?” tanya Kyai Zuhair yang kini telah duduk di kursi sedikit menjauh dari ranjang ibu.“Sejak semalam. Dokter bilang kanker yang diderita ibu telah menyebar,” jawab Kiyada dengan suara tercekat. Air mata Kiyada kembali menetes. Saat mengingat kejadian itu, dadanya terasa begitu sesak. Perhatian kecil yang diberikan Kyai Zuhair menghangatkan hati Kiyada. Doa-doa tulus yang beliau lantunkan menjadi angin segar baginya. Berharap den
Saat mata itu masih saja terpejam, Kiyada tetap berharap akan ada kabar baik dari Ibu hari ini. Tadi dokter sempat berpesan jika seorang pasien koma masih bisa merasakan atau mendengar saat diajak berkomunikasi. Hal itu menjadi penyemangat bagi Kiyada, artinya masih ada harapan untuk ibu bisa sembuh.Walau harapan untuk sembuh sangat tipis, tetapi jika Tuhan sudah berkehendak tak ada yang tak mungkin. Kali ini Kiyada hanya mengandalkan keajaiban. Jika memang sang ibu tak bisa sembuh dari penyakitnya, paling tidak beliau mampu bertahan sedikit lebih lama lagi.Tak ada yang menggantikan Kiyada menjaga ibu. Semua ia lakukan sendiri. Sebelum ini ia memang sudah beberapa kali menjaga ibu di rumah sakit. Namun, kini keadaannya berbeda. Kiyada yang tengah hamil muda, membuat tubuhnya lebih cepat lelah.“Kalau capek, kamu minta bantuan orang buat jaga ibu. Nanti biar aku yang bayar,” ucap Ustaz Subhan melalui sambungan telephon tadi malam.“Tidak perlu, Mas. Aku masih sanggup buat jaga Ibu. T
Kiyada segera memanggil dokter untuk mengecek kondisi ibu. Berharap ada kabar baik yang ia dengar hari ini. Namun, setelah dokter melakukan serangkaian pemeriksaan, dan memanggil Kiyada ke ruangannya, hasilnya sungguh jauh dari harapan.“Ibu Aminah bisa sadar saja itu merupakan sebuah keajaiban dari Tuhan.” Manik hitam di balik kacamata itu menatap dengan pandangan sendu. “Kita tak bisa melawan sel yang telanjur berkembang, satu-satunya cara hanya bertahan. Jangan bebani beliau dengan terlalu banyak pikiran.”Dari penjelasan dokter, Kiyada tak tahu harus bahagia atau sedih. Dari awal memang para dokter sudah menegaskan jika sangat kecil kemungkinan untuk sembuh. Apalagi mengingat usia ibu yang telah melewati kepala lima.Dulu ibu menikah sedikit terlambat dari kawan sebayanya. Baru diberi anugrah keturunan saat usia 35 tahun. Itu pun beliau harus rela kehilangan sang suami saat Kiyada masih berada dalam kandungan.“Apakah kita tak ada keluarga yang bisa dikunjungi, Bu?” tanya Kiyada s
Memasuki halaman rumah sakit, ingatan Kiyada kembali pada sang ibu. Saat pertama kali menginjakkan kaki di sini, hingga Allah memanggil ibu untuk pulang. Namun, Kiyada tahu, ia tidak boleh terlalu lama larut dalam kesedihan. Demi bayi yang ada dalam rahimnya, ia harus bisa mengendalikan suasana hati. Meski untuk saat ini itu bukanlah hal yang mudah.“Apakah saya nanti boleh masuk ke dalam menemui Ustazah Shofia?” tanya Kiyada saat ia dan Ustaz Subhan baru saja memasuki lift.“Nanti kita konsultasikan dulu sama dokter.”Kiyada hanya bisa menarik napas panjang seraya mengangguk pasrah. Ia tak bisa memaksa kali ini. Meski dirinya sangat ingin melihat secara langsung kondisi Ustazah Shofia.“Keadaan Shofia dua hari terakhir benar-benar menurun. Tidak sembarang orang bisa masuk ke ruangannya,” ucap Ustaz Subhan memberi penjelasan.Kiyada tahu pasti bagaimana prosedur orang-orang dengan penyakit kronis seperti Ustazah Shofia. Barangkali Ustaz Subhan lupa bahwa Kiyada telah merawat ibu seora
Kiyada sangat menikmati makan malamnya. Meski hanya di warung sederhana dan menu seadanya. Namun, kebersamaan dengan sang suami yang membuat suasana terasa istimewa. Semenjak menikah, sepertinya bisa dihitung dengan jari berapa kali Kiyada dan Ustaz Subhan makan berdua saja.Keduanya makan dalam hening. Kiyada diam-diam memperhatikan laki-laki di seberang tempat duduknya yang makan dengan tampak lahap. Entah karena terburu ingin segera kembali ke rumah sakit tempat Ustazah Shofia dirawat, atau memang perutnya merasa sangat lapar.Meski cahaya di tempat itu tidak terlalu terang, tapi Kiyada masih bisa melihat dengan jelas gurat kelelahan di wajah Ustaz Subhan. Ia tahu berada di posisi sang suami saat ini pasti tidak mudah. Memiliki dua istri yang sama-sama membutuhkan kehadirannya.“Kalau boleh saya bisa kok menggantikan menjaga Ustazah Shofia,” ucap Kiyada setelah ia menyantap setengah porsi soto pesanannya. Rasa lapar yang tadi sempat melanda mendadak lenyap melihat keadaan Ustaz Sub
Kiyada dan Ustaz Subhan duduk di serambi masjid. Keduanya sama-sama terdiam seraya mengamati lalu lalang para jamaah. Kiyada tak memiliki keberanian untuk memulai pembicaraan. Ia takut salah bicara. Apalagi melihat tampang Ustaz Subhan yang begitu kelelahan. Lingkaran di sekitar matanya amat kentara.“Belum ada perkembangan sama sekali dengan kondisi Shofia.” Ustaz Subhan mulai angkat bicara. Ia menoleh sekilas ke arah Kiyada. “Sepertinya dokter juga sudah pasrah. Tidak banyak hal yang bisa dilakukan.”Selama mengenal sosok Ustaz Subhan, rasanya baru kali ini Kiyada menyaksikan laki-laki itu begitu rapuh. Bahkan Ustaz Subhan tampak berusaha keras untuk menahan air matanya.“Mas, sudah makan?” Tak ingin sang suami terlalu larut dalam kesedihan, Kiyada memilih untuk mengalihkan topik pembicaraan.Ustaz Subhan menggeleng. “Terakhir makan tadi pagi.”“Bagaimana kalau kita cari makan dulu? Kebetulan saya juga belum makan.”“Ya sudah kita cari tempat makan di dekat sini.”Mendapat sambutan
24 jam sudah berlalu, tapi tak ada perkembangan sama sekali terhadap kondisi Shofia. Ustaz Subhan juga hampir tak beranjak dari sisi sang istri, kecuali hanya keluar untuk makan dan salat. Entah mengapa Ustaz Subhan merasa Shofia kian jauh.“Bagaimana perkembangan istri saya, Dokter?” tanya Ustaz Subhan pada dokter yang baru saja memeriksa keadaan Shofia.Dokter laki-laki paruh baya itu terdiam beberapa saat. Tak ada harapan sama sekali dari raut wajah yang mulai keriput tersebut.“Doakan saja yang terbaik, Pak.”Ucapan dokter itu memang terdengar ringan, tetapi Ustaz Paham apa maksud yang tersirat dari kalimatnya. Sepertinya ia sudah harus siap dengan segala kemungkinan yang akan terjadi. Dan ia tetap berharap keajaiban itu masih bisa terjadi.“Baik, Dok. Terima kasih.”Sudah hampir 2 hari Shofia tidak membuka mata sama sekali. Tubuhnya dipenuhi berbagai macam peralatan medis. Bahkan jika alat-alat penunjang itu dilepas, Ustaz Subhan tidak terlalu yakin jika sang istri masih bisa h
Ustaz Subhan sempat tertegun beberapa saat mendapati Kiyada memutus sambungan telepon secara sepihak. Bahkan tanpa ucapan salam sama sekali. Tak biasanya wanita itu bersikap seperti ini. Apakah sikapnya melarang Kiyada datang ke sini sudah keterlaluan?Meski telah bertahun-tahun hidup dengan Shofia, dan beberapa bulan menjadi suami Kiyada, Ustaz Subhan masih belum bisa memahami keduanya dengan baik. Ia tak memiliki ide apapun untuk membujuk Kiyada, atau sekadar menanyakan sikapnya tadi.Namun, untuk sekarang, tentu kondisi Shofia lebih penting dari apapun. Laki-laki itu melangkah tergesa menuju ruang perawatan Shofia. Berharap setelah ini akan ada kabar baik terkait perkembangan sang istri.Di depan ruangan yang dijaga cukup ketat itu, Jihan duduk termenung. Wajahnya muram, hingga tak menyadari kedatangan Ustaz Subhan.“Kamu sudah makan, Jihan?” Ustaz Subhan mencoba berbasi-basi. Berharap bisa sedikit mengurai aura kebencian dari wanita itu yang timbul semenjak ia menikah lagi.Jihan
Keadaan Kiyada yang masih terasa lemah setelah kehilangan sang ibu, kini harus kembali menerima kabar kurang baik dari sang suami. Meski kerap merasa cemburu dengan kasih sayang Ustaz Subhan pada Shofia, tetapi Kiyada sungguh tak ingin terjadi sesuatu yang buruk pada wanita itu.Walau bagaimanapun, tanpa perantara Shofia, pernikahan ini tak akan pernah terjadi. Dan Kiyada harus berjuang sendiri memikirkan biaya pengobatan sang ibu yang cukup menguras dompet. Apalagi mengingat di kampung ini ia hanya memiliki ibu.“Mas, saya ingin melihat kondisi Ustazah Shofia,” pinta Kiyada pada Ustaz Subhan.“Besok kalau keadaannya sudah membaik, kamu saya ajak ke sini, ya.”Kiyada tertunduk lesu. Meski tidak melarang secara langsung, ia paham jika kalimat itu adalah sebuah larangan secara halus. Padahal berada di rumah seorang diri juga membosankan baginya. Kiyada jadi lebih sering teringat ibu dan itu membuatnya terus-terusan bersedih.“Tapi saya bosan di rumah sendirian. Siapa tahu di sana bisa m
Malam itu perasaan Kiyada sungguh bahagia. Sebab tak dapat dipungkiri bahwa dirinya juga teramat merindukan belaian sang suami. Meski tak banyak kalimat manis yang dilontarkan Ustaz Subhan, setidaknya senyuman dan satu kali panggilan-sayang- sudah lebih dari cukup bagi Kiyada.Namun, sepertinya harapan Kiyada terlampau tinggi. Nyatanya, saat terbangun menjelang waktu Subuh, Ustaz Subhan sudah tidak ada disisinya. Padahal tadi malam ia sempat berpesan untuk dibangunkan salat tahajud. “Mas?” Perlahan Kiyada bangkit dari tempat tidur. Mencari sosok Ustaz Subhan yang ternyata tidak ada di dalam kamar.Perut Kiyada yang semakin membesar membuat ia tak bisa bergerak selincah biasanya. Ia berjalan menuju kamar mandi, barangkali Ustaz Subhan tengah mandi atau mengambil wudhu. Lagi-lagi tak ada siapapun di sana. Suasana rumah terasa sepi dan sunyi. Hanya terdengar suara detak jarum jam juga sesekali suara kokok ayam jantan.Tidak biasanya Ustaz Subhan berangkat ke masjid sebelum Subuh seperti
Sepertinya Aldi masih belum cukup puas dengan jawaban yang diberikan Ustaz Subhan. Sementara suara qiraat penanda akan masuknya waktu Isya sudah berkumandang dari arah masjid. Obrolan keduanya pun mau tak mau harus berakhir.“Kalau kapan-kapan saya silaturahim ke rumah Ustaz, boleh?” tanya Aldi sebelum Ustaz Subhan beranjak.Meski sempat ragu, Ustaz Subhan akhirnya mengangguk seraya tersenyum simpul. Tidak mungkin ia menolak seseorang yang ingin datang untuk bertanya perihal agama. Namun, Ustaz Subhan masih belum tahu apakah Aldi sudah tahu statusnya sebagai suami yang memiliki dua istri.Hingga selesai jamaah Isya dan menempuh perjalanan menuju rumah Kiyada, percakapan singkat dengan Aldi masih terus saja menghantui hati dan pikiran Ustaz Subhan. Bagaimana jika Aldi belum tahu akan statusnya? Pikiran yang berkelana di sepanjang perjalanan, membuat Ustaz Subhan tak sadar jika ia telah sampai di halaman rumah Kiyada. Suasana rumah itu tak lagi sepi seperti sebelum ia berangkat ke masj
Sejujurnya beberapa menit yang lalu Ustaz Subhan telah berbohong pada Kiyada, dengan mengatakan bahwa ia ada urusan dengan remaja masjid setempat. Ia hanya ingin memberi waktu jeda pada hubungan mereka. Sebab sejak perbincangan tadi semua terasa semakin canggung. Entah lah apa penyebab pastinya.Lalu tanpa diduga pertemuannya dengan seorang remaja laki-laki yang mempertanyakan persoalan poligami membuat Ustaz Subhan merasa terusik. Sebenarnya apa yang ingin dipertanyakan, dan mengapa harus dirinya yang mendapat pertanyaan?Benar saja, setelah turun dari salat jamaah, remaja tersebut menunggu di dekat gapura masjid. Ini baru kali pertama Ustaz Subhan bertemu dengan laki-laki itu. Dilihat dari tampilannya, bisa ditebak jika ia bukan seperti penduduk setempat.“Assalamualaikum, Ustaz.” Dengan takzim ia mencium punggung tangan Ustaz Subhan.“Waalaikumsalam.” Ustaz Subhan memasang mimik setenang mungkin.“Sebelumnya maaf, apa saya mengganggu waktunya Ustaz?”Waktu menuju Isya’ masih cukup