“Sebenarnya kondisi Shofia belum benar-benar stabil,” ungkap Erlana sendu. “Tapi dia ngotot ingin secepatnya kembali ke Indonesia,” tambahnya.Kalimat yang diucapkan Erlana membuat optimisme dalam diri Ustaz Subhan seolah terjun bebas begitu saja. Meski tak diungkapkan secara gamblang, tetapi ia tahu ada makna tersembunyi dari kalimat Erlana. Dan itu bukanlah kabar yang membahagiakan.“Apakah masih aman untuk Shofia menempuh perjalanan jauh dengan pesawat?” tanya Ustaz Subhan dengan jantung berdebar.Sebenarnya Ustaz Subhan ingin berbicara langsung dengan dokter yang menangani Shofia. Namun, lagi-lagi beliau harus ada tugas darurat selama beberapa hari kedepan. Sehingga tugasnya diwakilkan pada sang asisten.Erlana memang bukan spesialis kanker darah, tetapi setidaknya ia juga paham seluk beluk penyakit cukup ganas ini. Untuk saat ini Ustaz Subhan berpikir jika lebih baik berdiskusi dengan Erlana. “Aku tidak bisa menjamin seratus persen, tapi aku akan berusaha agar Shofia mendapat pe
Beberapa detik berlalu tanpa ada sepatah katapun yang terucap dari keduanya. Ustaz Subhan sengaja membiarkan Kiyada menumpahkan segala kegundahannya. Meski itu hanya melalui air mata, dan ia tak bisa menghapusnya.Andaikan saat ini mereka berada di satu tempat yang sama, pastilah Ustaz Subhan akan merengkuh Kiyada dalam dekapannya. Berusaha memberi kekuatan pada sang istri bahwa semua akan baik-baik saja.Namun, saat ini pun kondisi mereka sedang tak jauh berbeda. Sama-sama khawatir akan kehilangan sosok penting dalam hidup. Seorang yang begitu berarti di dunia ini, juga menorehkan cinta yang luar biasa.“Dokter mengatakan jika aku harus siap dengan segala kemungkinan terburuk,” ungkap Kiyada dengan suara bergetar yang lirih. Mendengar kalimat Kiyada, kening Ustaz Subhan terasa semakin berdenyut nyeri. Berada di posisi Kiyada bukanlah hal yang mudah. Dan istri ke duanya tersebut sama sekali tak pernah menuntut perhatian berlebih. Padahal wanita itu juga tengah hamil muda.“Bagaimana
Kiyada berusaha meredam segala kecamuk di hatinya yang tiba-tiba datang tanpa diundang. Bodohnya ia, mengapa juga tak segera mematikan sambungan telephon. Dengan seksama Kiyada justru membiarkan telinganya menyimak obrolan Ustaz Subhan dan Shofia.Padahal hatinya tadi seketika berbunga saat mendapat panggilan telephon dari sang suami. Namun, baru beberapa menit mereka berbincang, suara Shofia justru menghentikan semuanya. Banyak hal yang ingin dibagi Kiyada bersama Ustaz Subhan. Terutama tentang perkembangan janin dalam rahimnya.Bagaimanapun Kiyada sadar diri, lagipula Shofia juga tengah sakit keras. Tentu berhak mendapatkan perhatian lebih. Meski tanpa sakit pun, cinta Ustaz Subhan pada sang istri pertama memanglah begitu dalam. Dan Kiyada tak pernah berani berkhayal bisa mendapatkan porsi yang sama di hati Ustaz Subhan.Kiyada menatap nanar tubuh renta di atas ranjang itu. Mata ibu masih tertutup rapat. Berbagai peralatan medis seolah memenjarakan raganya. Jika semua alat tersebut
Saat ini tepat di hari ke tiga ibu tak sadarkan diri. Selama itu pula jam tidur Kiyada berantakan. Malam ia hanya tidur beberapa jam. Dan siang ia merawat dan menjaga ibu. Memastikan jika detak jantung wanita yang teramat dicintainya itu masih ada.Semalam Ustaz Subhan mengabarkan jika minggu depan beliau akan terbang ke Indonesia bersama Shofia. Bohong jika Kiyada berkata tak merindukan suaminya tersebut. Bahkan ia menggunakan salah satu foto Ustaz Subhan sebagai pengantar tidur. Dan ajaibnya, itu meruapakan cara yang cukup ampuh untuk mengusir insomnia.“Bagaimana perkembangan Ibu, Dok?” tanya Kiyada begitu seorang dokter selesai mengecek kondisi ibu.Dokter paruh baya yang tampak berkarisma tersebut tersenyum lebar. Kiyada tak berani menebak arti dari ekspresi yang diberikan sang dokter. Dadanya masih saja berdebar menunggu jawaban yang akan diberikan. Padahal sebelumnya Kiyada sudah menyiapkan diri dengan segala kemungkinan yang akan terjadi.“Maaf ya, Ki. Dengan berat hati saya k
Kiyada memilih mundur beberapa langkah, memberi kesempatan pada Farhan untuk lebih mendekat pada ibu. Laki-laki itu kerap hadir saat Kiyada berada di tengah ketidakberdayaan. Farhan seolah dikirim Tuhan untuk menjadi pelipur lara. Menyadarkan Kiyada jika masih ada orang yang menyayanginya dengan setulus itu.Kehadiran Farhan diakui atau tidak nyatanya mampu membuat hati Kiyada menghangat. Apalagi ketika laki-laki itu sempat menatapnya dalam meski hanya sepersekian detik. Rasanya untuk kali ini Kiyada ingin berlama-lama dalam telaga itu. Sejenak melepas beban yang menghimpit dada.Namun, akal sehat Kiyada segera memberi alarm. Mengingatkannya bahwa perasaan pada Farhan harus segara dikubur dalam-dalam. Mungkin ini adalah ujian untuknya. Bagaimanapun statusnya kini adalah istri orang lain. Ia harus menjaga maruah sebagai muslimah, juga menjaga nama baik sang suami.“Sudah berapa hari Bu Aminah tak sadarkan diri?” tanya Farhan dengan suara lirih, tetapi masih terdengar jelas di telinga
Kilasan kenangan bersama Farhan kembali memenuhi kepala Kiyada. Perihal pertemuan pertama mereka, hingga akhirnya menjalin kedekatan. Farhan yang selalu memenuhi dahaga Kiyada akan ilmu pengetahuan, tempat bertanya tentang berbagai hal.“Sebenarnya tak etis membahas ini sekarang,” ujar Farhan lagi.Kiyada sama sekali tak mengubah posisi berdiri, ia tetap membelakangi Farhan. Meski tangannya tiba-tiba terasa kebas, bahkan apel dalam genggamannya sempat nyaris terjatuh. Kiyada menguatkan diri agar jangan sampai menoleh ke arah Farhan. Bisa jebol pertahanannya jika kembali bertatapan dengan laki-laki itu.“Tapi aku tak memiliki banyak waktu, karena setelah ini mungkin aku akan melanjutkan study ke timur tengah,” lanjut Farhan dengan suara lirih dan begitu tenang.Hening beberapa detik, hanya terdengar suara alat pendeteksi detak jantung ibu yang masih berbunyi teratur. Kalimat yang diucapkan Farhan entah mengapa membuat Kiyada merasa kehilangan. Padahal ia juga tak memiliki hak apapun at
Shofia tersenyum haru mendengar kabar yang ia dapatkan hari ini dari sang adik. Ia makin tak sabar menunggu penerbangannya ke tanah air yang tinggal menghitung hari. Setelah ini tak ada lagi yang perlu dikhawatirkan Shofia jika memang Allah akan memanggilnya.Jihan telah menemukan laki-laki terbaik yang akan menjadi imam kehidupannya. Begitupun sang suami-Ustaz Subhan-, Shofia telah mempersiapkan Kiyada untuk menggantikan perannya. Apalagi Kiyada sekarang tengah hamil, pasti kehidupan rumah tangga mereka akan jauh lebih bahagia kedepannya.“Betapa beruntungnya Kiyada, baru beberapa bulan menikah Allah telah mempercayakan titipan dalam rahimnya,” ratap Shofia di sela-sela kesedihannya.Namun, Shofia sadar jika ia tak boleh egois. Bagaimanapun kehidupan Kiyada jauh lebih sengsara darinya. Sedari kecil hanya berdua dengan sang ibu, juga ekonomi yang serba pas-pasan. Tentu Kiyada berhak mendapat kebahagiaan atas kesusahannya selama ini.Bukankah Allah itu Mahaadil? Dia dzat yang membagika
Farhan memanglah laki-laki yang baik. Dia juga sangat piawai bila harus berbicara di depan khalayak. Tak heran jika dulu semasa di pesantren cukup banyak santri putri yang mengagumi akan sosoknya.Shofia beberapa kali menceritakan bisik-bisik santri putri membicarakan perihal Farhan. Saat itu tak pernah terbesit dalam benak Ustaz Subhan bahwa abah akan menjodohkan pemuda itu dengan Jihan. Mengingat Jihan sendiri adalah tipikal yang tak suka diatur. Sangat berbanding terbalik dengan Shofia yang lebih penurut.Mendengar Farhan akan menikah dengan Jihan, seolah ada yang mengganjal dalam benak Ustaz Subhan. Hubungan masa lalu Farhan dan Kiyada tak bisa diabaikan begitu saja. Bahkan sorot mata Farhan pada Kiyada cukup menjelaskan semuanya.“Mas, kok malah melamun sih? Kamu nggak seneng adik aku mau menikah?” Shofia memukul palan lengan Ustaz Subhan.“Senang lah. Farhan sangat pantas bersanding dengan Jihan,” tutur Ustaz Subhan dengan senyum mengembang.“Semoga Farhan bisa membuat Jihan men
Memasuki halaman rumah sakit, ingatan Kiyada kembali pada sang ibu. Saat pertama kali menginjakkan kaki di sini, hingga Allah memanggil ibu untuk pulang. Namun, Kiyada tahu, ia tidak boleh terlalu lama larut dalam kesedihan. Demi bayi yang ada dalam rahimnya, ia harus bisa mengendalikan suasana hati. Meski untuk saat ini itu bukanlah hal yang mudah.“Apakah saya nanti boleh masuk ke dalam menemui Ustazah Shofia?” tanya Kiyada saat ia dan Ustaz Subhan baru saja memasuki lift.“Nanti kita konsultasikan dulu sama dokter.”Kiyada hanya bisa menarik napas panjang seraya mengangguk pasrah. Ia tak bisa memaksa kali ini. Meski dirinya sangat ingin melihat secara langsung kondisi Ustazah Shofia.“Keadaan Shofia dua hari terakhir benar-benar menurun. Tidak sembarang orang bisa masuk ke ruangannya,” ucap Ustaz Subhan memberi penjelasan.Kiyada tahu pasti bagaimana prosedur orang-orang dengan penyakit kronis seperti Ustazah Shofia. Barangkali Ustaz Subhan lupa bahwa Kiyada telah merawat ibu seora
Kiyada sangat menikmati makan malamnya. Meski hanya di warung sederhana dan menu seadanya. Namun, kebersamaan dengan sang suami yang membuat suasana terasa istimewa. Semenjak menikah, sepertinya bisa dihitung dengan jari berapa kali Kiyada dan Ustaz Subhan makan berdua saja.Keduanya makan dalam hening. Kiyada diam-diam memperhatikan laki-laki di seberang tempat duduknya yang makan dengan tampak lahap. Entah karena terburu ingin segera kembali ke rumah sakit tempat Ustazah Shofia dirawat, atau memang perutnya merasa sangat lapar.Meski cahaya di tempat itu tidak terlalu terang, tapi Kiyada masih bisa melihat dengan jelas gurat kelelahan di wajah Ustaz Subhan. Ia tahu berada di posisi sang suami saat ini pasti tidak mudah. Memiliki dua istri yang sama-sama membutuhkan kehadirannya.“Kalau boleh saya bisa kok menggantikan menjaga Ustazah Shofia,” ucap Kiyada setelah ia menyantap setengah porsi soto pesanannya. Rasa lapar yang tadi sempat melanda mendadak lenyap melihat keadaan Ustaz Sub
Kiyada dan Ustaz Subhan duduk di serambi masjid. Keduanya sama-sama terdiam seraya mengamati lalu lalang para jamaah. Kiyada tak memiliki keberanian untuk memulai pembicaraan. Ia takut salah bicara. Apalagi melihat tampang Ustaz Subhan yang begitu kelelahan. Lingkaran di sekitar matanya amat kentara.“Belum ada perkembangan sama sekali dengan kondisi Shofia.” Ustaz Subhan mulai angkat bicara. Ia menoleh sekilas ke arah Kiyada. “Sepertinya dokter juga sudah pasrah. Tidak banyak hal yang bisa dilakukan.”Selama mengenal sosok Ustaz Subhan, rasanya baru kali ini Kiyada menyaksikan laki-laki itu begitu rapuh. Bahkan Ustaz Subhan tampak berusaha keras untuk menahan air matanya.“Mas, sudah makan?” Tak ingin sang suami terlalu larut dalam kesedihan, Kiyada memilih untuk mengalihkan topik pembicaraan.Ustaz Subhan menggeleng. “Terakhir makan tadi pagi.”“Bagaimana kalau kita cari makan dulu? Kebetulan saya juga belum makan.”“Ya sudah kita cari tempat makan di dekat sini.”Mendapat sambutan
24 jam sudah berlalu, tapi tak ada perkembangan sama sekali terhadap kondisi Shofia. Ustaz Subhan juga hampir tak beranjak dari sisi sang istri, kecuali hanya keluar untuk makan dan salat. Entah mengapa Ustaz Subhan merasa Shofia kian jauh.“Bagaimana perkembangan istri saya, Dokter?” tanya Ustaz Subhan pada dokter yang baru saja memeriksa keadaan Shofia.Dokter laki-laki paruh baya itu terdiam beberapa saat. Tak ada harapan sama sekali dari raut wajah yang mulai keriput tersebut.“Doakan saja yang terbaik, Pak.”Ucapan dokter itu memang terdengar ringan, tetapi Ustaz Paham apa maksud yang tersirat dari kalimatnya. Sepertinya ia sudah harus siap dengan segala kemungkinan yang akan terjadi. Dan ia tetap berharap keajaiban itu masih bisa terjadi.“Baik, Dok. Terima kasih.”Sudah hampir 2 hari Shofia tidak membuka mata sama sekali. Tubuhnya dipenuhi berbagai macam peralatan medis. Bahkan jika alat-alat penunjang itu dilepas, Ustaz Subhan tidak terlalu yakin jika sang istri masih bisa h
Ustaz Subhan sempat tertegun beberapa saat mendapati Kiyada memutus sambungan telepon secara sepihak. Bahkan tanpa ucapan salam sama sekali. Tak biasanya wanita itu bersikap seperti ini. Apakah sikapnya melarang Kiyada datang ke sini sudah keterlaluan?Meski telah bertahun-tahun hidup dengan Shofia, dan beberapa bulan menjadi suami Kiyada, Ustaz Subhan masih belum bisa memahami keduanya dengan baik. Ia tak memiliki ide apapun untuk membujuk Kiyada, atau sekadar menanyakan sikapnya tadi.Namun, untuk sekarang, tentu kondisi Shofia lebih penting dari apapun. Laki-laki itu melangkah tergesa menuju ruang perawatan Shofia. Berharap setelah ini akan ada kabar baik terkait perkembangan sang istri.Di depan ruangan yang dijaga cukup ketat itu, Jihan duduk termenung. Wajahnya muram, hingga tak menyadari kedatangan Ustaz Subhan.“Kamu sudah makan, Jihan?” Ustaz Subhan mencoba berbasi-basi. Berharap bisa sedikit mengurai aura kebencian dari wanita itu yang timbul semenjak ia menikah lagi.Jihan
Keadaan Kiyada yang masih terasa lemah setelah kehilangan sang ibu, kini harus kembali menerima kabar kurang baik dari sang suami. Meski kerap merasa cemburu dengan kasih sayang Ustaz Subhan pada Shofia, tetapi Kiyada sungguh tak ingin terjadi sesuatu yang buruk pada wanita itu.Walau bagaimanapun, tanpa perantara Shofia, pernikahan ini tak akan pernah terjadi. Dan Kiyada harus berjuang sendiri memikirkan biaya pengobatan sang ibu yang cukup menguras dompet. Apalagi mengingat di kampung ini ia hanya memiliki ibu.“Mas, saya ingin melihat kondisi Ustazah Shofia,” pinta Kiyada pada Ustaz Subhan.“Besok kalau keadaannya sudah membaik, kamu saya ajak ke sini, ya.”Kiyada tertunduk lesu. Meski tidak melarang secara langsung, ia paham jika kalimat itu adalah sebuah larangan secara halus. Padahal berada di rumah seorang diri juga membosankan baginya. Kiyada jadi lebih sering teringat ibu dan itu membuatnya terus-terusan bersedih.“Tapi saya bosan di rumah sendirian. Siapa tahu di sana bisa m
Malam itu perasaan Kiyada sungguh bahagia. Sebab tak dapat dipungkiri bahwa dirinya juga teramat merindukan belaian sang suami. Meski tak banyak kalimat manis yang dilontarkan Ustaz Subhan, setidaknya senyuman dan satu kali panggilan-sayang- sudah lebih dari cukup bagi Kiyada.Namun, sepertinya harapan Kiyada terlampau tinggi. Nyatanya, saat terbangun menjelang waktu Subuh, Ustaz Subhan sudah tidak ada disisinya. Padahal tadi malam ia sempat berpesan untuk dibangunkan salat tahajud. “Mas?” Perlahan Kiyada bangkit dari tempat tidur. Mencari sosok Ustaz Subhan yang ternyata tidak ada di dalam kamar.Perut Kiyada yang semakin membesar membuat ia tak bisa bergerak selincah biasanya. Ia berjalan menuju kamar mandi, barangkali Ustaz Subhan tengah mandi atau mengambil wudhu. Lagi-lagi tak ada siapapun di sana. Suasana rumah terasa sepi dan sunyi. Hanya terdengar suara detak jarum jam juga sesekali suara kokok ayam jantan.Tidak biasanya Ustaz Subhan berangkat ke masjid sebelum Subuh seperti
Sepertinya Aldi masih belum cukup puas dengan jawaban yang diberikan Ustaz Subhan. Sementara suara qiraat penanda akan masuknya waktu Isya sudah berkumandang dari arah masjid. Obrolan keduanya pun mau tak mau harus berakhir.“Kalau kapan-kapan saya silaturahim ke rumah Ustaz, boleh?” tanya Aldi sebelum Ustaz Subhan beranjak.Meski sempat ragu, Ustaz Subhan akhirnya mengangguk seraya tersenyum simpul. Tidak mungkin ia menolak seseorang yang ingin datang untuk bertanya perihal agama. Namun, Ustaz Subhan masih belum tahu apakah Aldi sudah tahu statusnya sebagai suami yang memiliki dua istri.Hingga selesai jamaah Isya dan menempuh perjalanan menuju rumah Kiyada, percakapan singkat dengan Aldi masih terus saja menghantui hati dan pikiran Ustaz Subhan. Bagaimana jika Aldi belum tahu akan statusnya? Pikiran yang berkelana di sepanjang perjalanan, membuat Ustaz Subhan tak sadar jika ia telah sampai di halaman rumah Kiyada. Suasana rumah itu tak lagi sepi seperti sebelum ia berangkat ke masj
Sejujurnya beberapa menit yang lalu Ustaz Subhan telah berbohong pada Kiyada, dengan mengatakan bahwa ia ada urusan dengan remaja masjid setempat. Ia hanya ingin memberi waktu jeda pada hubungan mereka. Sebab sejak perbincangan tadi semua terasa semakin canggung. Entah lah apa penyebab pastinya.Lalu tanpa diduga pertemuannya dengan seorang remaja laki-laki yang mempertanyakan persoalan poligami membuat Ustaz Subhan merasa terusik. Sebenarnya apa yang ingin dipertanyakan, dan mengapa harus dirinya yang mendapat pertanyaan?Benar saja, setelah turun dari salat jamaah, remaja tersebut menunggu di dekat gapura masjid. Ini baru kali pertama Ustaz Subhan bertemu dengan laki-laki itu. Dilihat dari tampilannya, bisa ditebak jika ia bukan seperti penduduk setempat.“Assalamualaikum, Ustaz.” Dengan takzim ia mencium punggung tangan Ustaz Subhan.“Waalaikumsalam.” Ustaz Subhan memasang mimik setenang mungkin.“Sebelumnya maaf, apa saya mengganggu waktunya Ustaz?”Waktu menuju Isya’ masih cukup