Kiyada merutuki dirinya sebab tak bisa mengendalikan perasaan di depan Farhan. Harusnya sejak memilih untuk menerima tawaran menjadi istri ke dua ia sadar jika semua tak lagi sama. Farhan tentu berhak mendapat wanita yang jauh lebih baik. Dan Jihan adalah pilihan yang tepat.Kiyada memejamkan mata beberapa detik. Ia berusaha keras agar tangisnya tak semakin pecah. Jihan, adik dari kakak madunya adalah gadis yang cantik. Tak kalah cantik dengan Ustazah Shofia. Tentu mereka akan menjadi pasangan yang sangat serasi.“Kiyada ....”“Selamat, Kak,” tukas Kiyada cepat, tetapi ia tak kunjung berbalik badan. Gemuruh di dadanya begitu sulit untuk dikendalikan.Mengapa harus dengan Jihan, tak adakah gadis lain? Nyatanya sosok Farhan belum sepenuhnya bisa ia lupakan begitu saja. Di sudut hati Kiyada nama itu masih enggan enyah. Jika Farhan menikah dengan Jihan, artinya mereka akan sering bertemu. Kiyada tak ingin itu terjadi.Bagaimanapun Kiyada tengah berusaha menjadi istri yang berbakti pada s
Selepas kepergian Farhan, Kiyada termenung mencerna kejadian beberapa jam yang lalu. Saat laki-laki yang pernah mengisi harinya itu mengungkapkan bahwa ia akan segera menikah. Kiyada merasa seolah ada yang hilang dari dirinya. Padahal di antara mereka sudah tak ada apa-apa lagi.Farhan adalah bagian dari masa lalu Kiyada. Sekian lama tak saling berkabar, kemudian kembali bertemu saat Kiyada telah menjadi Istri Ustaz Subhan. Bahkan, Kiyada berharap jika ia tak akan pernah bersua Farhan lagi. Sebab akan kembali membuka kisah manis yang pernah mereka lalui bersama.Ruangan dengan nuansa serba putih ini terasa semakin sunyi. Saat keadaan ibu semakin menurun, juga kabar pernikahan Farhan yang membuat Kiyada seolah ingin menyerah. Pesan yang ia kirim pada sang suami pun sama sekali belum terbalas hingga kini.Malam ini Kiyada berniat untuk tidur lebih awal, jiwanya begitu lelah. Apalagi keadaan ibu tak ada perkembangan berarti. Ia harus mempersiapkan mental juga fisiknya menghadapi hal-hal
Pagi ini Shofia merasa lebih baik dari hari-hari sebelumnya. Ia yang biasanya malas untuk minum obat jika tak diingatkan, kini menjadi bersemangat. Setidaknya Shofia ingin menikmati sisa usia yang diberikan Allah untuknya.Shofia baru menyadari jika semenjak kembalinya Bu Aminah ke Indonesia ia belum menghubungi beliau sama sekali. Bahkan, Shofia juga tak sempat memberitahu Bu Aminah tentang pernikahan Kiyada dengan sang suami. Bagaimanapun pasti beliau tak akan rela sang putri tiba-tiba menikah dan menjadi istri ke dua.“Mas.” Shofia memanggil Ustaz Subhan yang tengah mengecek dan merapikan isi koper.“Iya, Sayang.” Ustaz Subhan menghentikan sejenak kegiatannya.Sebelumnya rutinitas mengecek barang bawaan ketika akan bepergian adalah tugas Shofia. Namun, kini semua tugas itu telah diambil alih oleh sang suami. Ustaz Subhan bersikeras melarang Shofia untuk melakukan banyak kegiatan yang menguras tenaga.Dari gerakannya tampak jelas jika Ustaz Subhan cukup kebingunan dengan hal itu. Me
Beruntung semua berjalan cukup lancar. Tak ada kendala berarti saat melakukan berbagai pemeriksaan di bandara internasional Singapura. Selama penerbangan pun Shofia juga tidak mengalami keluhan apapun. Di dalam pesawat ia tertidur pulas selama kurang lebih dua jam.Kekhawatiran Ustaz Subhan perihal kondisi fisik Shofia yang masih rentan, nyatanya tak terbukti. Sang istri masih sanggup melakukan perjalanan berjam-jam meski dalam keadaan cukup lemah. Shofia memang sosok wanita yang begitu tangguh, ia jarang sekali mengeluh meski sakit yang diderita tak bisa dikatakan ringan.“Kalau kamu lelah, nanti kita cari hotel dulu buat istirahat.”Shofia menggeleng pelan. “Kita langsung ke rumah saja, Mas.”Saat ini keduanya telah keluar dari terminal bandara. Sengaja Shofia tak memberitahu abah ataupun Jihan jika mereka pulang hari ini. Sebab ia ingin memberikan sedikit kejutan bagi keluarga yang teramat dicintainya itu. Shofia juga ingin memulihkan kondisi sejenak, agar ia terlihat baik-baik saj
Kejadian seperti ini sama sekali tak pernah terbayangkan dalam benak Ustaz Subhan. Bagaimana mungkin ia melupakan Bu Aminah yang kini tengah dirawat di tempat yang sama? Ia juga belum sempat memberitahu Kiyada jika akan pulang tepat hari ini.Setelah sekian lama tak bersua, kini kedua istrinya kembali berada dalam satu tempat yang sama. Ustaz Subhan dapat melihat dengan jelas ada raut kesenduan dari mata Shofia. Namun, sang istri pertama tersebut dapat menutupi dengan sangat rapi. Selang beberapa detik ketiganya saling terdiam, Shofia tersenyum hangat seraya menyapa Kiyada.“Assalamualaikum, Ki. Akhirnya kita bisa bertemu lagi.” Tanpa ragu Shofia menjabat tangan Kiyada dan memluknya sekilas.“Waalaikumsalam, Ustazah.” Kiyada tersenyum ragu. Ia sempat melirik Ustaz Subhan beberapa detik. “Bagaimana keadaan, Ustazah Shofia? Sehat ‘kan? imbuhnya berbasa-basi. “Alhamdulillah.” Hanya itu jawaban yang diberikan Shofia.Posisi Ustaz Subhan benar-benar merasa serba salah kali ini. Kiyada tam
Kiyada berdiri mematung di depan sebuah kedai. Peristiwa beberapa menit yang lalu masih membuatnya sedikt shock hingga saat ini. Ustaz Subhan memang memberi kabar jika akan segera pulang kampung. Namun, beliau sama sekali tak pernah mengatakan dengan jelas kapan waktunya.Hati Kiyada tiba-tiba terasa nyeri melihat kemesraan Shofia dan Ustaz Subhan. Laki-laki itu bahkan seolah bersikap tak acuh. Kiyada hanya berani melirik beberapa detik, ia tak memiliki cukup keberanian untuk menyapa terlebih dahulu. Meski tak dipungkiri jika rasa rindu itu ingin diluapkan.Namun, berkali-kali Kiyada memberi peringatan pada dirinya sendiri. Bahwa ia tak boleh mengharapkan lebih dari pernikahan ini. Sebab dari awal memang tak ada secuil pun cinta Ustaz Subhan untuk dirinya. “Kamu harus kuat berjuang bersama Ibu, Nak.” Kiyada bermonolog seraya mengelus lembut perutnya yang mulai sedikit membuncit.Beruntung ia hanya merasakan morning sickness pada bulan pertama saja. Selama merawat ibu di rumah sakit
Rasa bersalah itu semakin kuat saat Ustaz Subhan melihat perjuangan Kiyada. Wanita itu sangat layak untuk dabahagiakan dan diratukan. Namun, sebagai suami ia belum bisa memberikan hak keadilan secara penuh pada Kiyada. Perjuangannya tentu tak mudah. Ia harus menjaga dan merawat san ibu seorang diri, dengan kondisi tengah berbadan dua.Bukankah kehadiran seorang anak menjadi dambaannya selama ini? Namun, saat Allah memberinya titipan, Ustaz Subhan justru kerap mengabaikan sang istri. Ia merasa gagal menjadi suami yang adil. Disadari atau tidak, nyatanya Shofia selalu menjadi prioritas.Ustaz Subhan menyempatkan diri menemui Kiyada saat Shofia –sang istri pertama- tengah berbincang dengan teman lamanya semasa di pesantren. Walau kondisi Shofia belum terlalu baik, tetapi melihat pncaran kebahagiaan di wajah wanita itu Ustaz Subhan memberi sedikit kebebasan pada Shofia.Hasil pemeriksaan menunjukkan tak ada yang terlalu perlu untuk dikhawatirkan. Shofia hanya butuh waktu istirahat lebih l
Shofia tak pernah melarang Ustaz Subhan untuk menemui istri keduanya. Sebab ia paham bahwa Kiyada juga memiliki hak yang sama. Meski rasa cemburu tak dapat dengan mudah diredam begitu saja, tetapi Shofia tetap akan berusaha untuk tak menampakkannya pada siapapun.Setelah pertemuan tak sengaja di depan lift rumah sakit, ada sesak dalam dada Shofia. Ketika wanita yang baru beberapa bulan menjadi istri ke dua sang suami, kini telah mengandung buah cinta keduanya. Tak lama lagi Kiyada akan resmi menyandang status sebagai seorang ibu.Saat mengetahui sang suami diam-diam menemui istri ke duanya, ternyata rasa nyeri itu masih tertancap kuat dalam diri Shofia. Ada rasa khawatir yang menyelinap ke lubuk hatinya. Bagaimana nanti jika Ustaz Subhan semakin jatuh cinta pada Kiyada? Wanita yang dapat memberikan segalanya pada Ustaz Subhan.Sementara Shofia sendiri kini semakin lemah. Tak bisa melayani sang suami seperti dulu lagi. Kiyada lebih muda dan tentunya mampu melayani sang suami dengan san
Memasuki halaman rumah sakit, ingatan Kiyada kembali pada sang ibu. Saat pertama kali menginjakkan kaki di sini, hingga Allah memanggil ibu untuk pulang. Namun, Kiyada tahu, ia tidak boleh terlalu lama larut dalam kesedihan. Demi bayi yang ada dalam rahimnya, ia harus bisa mengendalikan suasana hati. Meski untuk saat ini itu bukanlah hal yang mudah.“Apakah saya nanti boleh masuk ke dalam menemui Ustazah Shofia?” tanya Kiyada saat ia dan Ustaz Subhan baru saja memasuki lift.“Nanti kita konsultasikan dulu sama dokter.”Kiyada hanya bisa menarik napas panjang seraya mengangguk pasrah. Ia tak bisa memaksa kali ini. Meski dirinya sangat ingin melihat secara langsung kondisi Ustazah Shofia.“Keadaan Shofia dua hari terakhir benar-benar menurun. Tidak sembarang orang bisa masuk ke ruangannya,” ucap Ustaz Subhan memberi penjelasan.Kiyada tahu pasti bagaimana prosedur orang-orang dengan penyakit kronis seperti Ustazah Shofia. Barangkali Ustaz Subhan lupa bahwa Kiyada telah merawat ibu seora
Kiyada sangat menikmati makan malamnya. Meski hanya di warung sederhana dan menu seadanya. Namun, kebersamaan dengan sang suami yang membuat suasana terasa istimewa. Semenjak menikah, sepertinya bisa dihitung dengan jari berapa kali Kiyada dan Ustaz Subhan makan berdua saja.Keduanya makan dalam hening. Kiyada diam-diam memperhatikan laki-laki di seberang tempat duduknya yang makan dengan tampak lahap. Entah karena terburu ingin segera kembali ke rumah sakit tempat Ustazah Shofia dirawat, atau memang perutnya merasa sangat lapar.Meski cahaya di tempat itu tidak terlalu terang, tapi Kiyada masih bisa melihat dengan jelas gurat kelelahan di wajah Ustaz Subhan. Ia tahu berada di posisi sang suami saat ini pasti tidak mudah. Memiliki dua istri yang sama-sama membutuhkan kehadirannya.“Kalau boleh saya bisa kok menggantikan menjaga Ustazah Shofia,” ucap Kiyada setelah ia menyantap setengah porsi soto pesanannya. Rasa lapar yang tadi sempat melanda mendadak lenyap melihat keadaan Ustaz Sub
Kiyada dan Ustaz Subhan duduk di serambi masjid. Keduanya sama-sama terdiam seraya mengamati lalu lalang para jamaah. Kiyada tak memiliki keberanian untuk memulai pembicaraan. Ia takut salah bicara. Apalagi melihat tampang Ustaz Subhan yang begitu kelelahan. Lingkaran di sekitar matanya amat kentara.“Belum ada perkembangan sama sekali dengan kondisi Shofia.” Ustaz Subhan mulai angkat bicara. Ia menoleh sekilas ke arah Kiyada. “Sepertinya dokter juga sudah pasrah. Tidak banyak hal yang bisa dilakukan.”Selama mengenal sosok Ustaz Subhan, rasanya baru kali ini Kiyada menyaksikan laki-laki itu begitu rapuh. Bahkan Ustaz Subhan tampak berusaha keras untuk menahan air matanya.“Mas, sudah makan?” Tak ingin sang suami terlalu larut dalam kesedihan, Kiyada memilih untuk mengalihkan topik pembicaraan.Ustaz Subhan menggeleng. “Terakhir makan tadi pagi.”“Bagaimana kalau kita cari makan dulu? Kebetulan saya juga belum makan.”“Ya sudah kita cari tempat makan di dekat sini.”Mendapat sambutan
24 jam sudah berlalu, tapi tak ada perkembangan sama sekali terhadap kondisi Shofia. Ustaz Subhan juga hampir tak beranjak dari sisi sang istri, kecuali hanya keluar untuk makan dan salat. Entah mengapa Ustaz Subhan merasa Shofia kian jauh.“Bagaimana perkembangan istri saya, Dokter?” tanya Ustaz Subhan pada dokter yang baru saja memeriksa keadaan Shofia.Dokter laki-laki paruh baya itu terdiam beberapa saat. Tak ada harapan sama sekali dari raut wajah yang mulai keriput tersebut.“Doakan saja yang terbaik, Pak.”Ucapan dokter itu memang terdengar ringan, tetapi Ustaz Paham apa maksud yang tersirat dari kalimatnya. Sepertinya ia sudah harus siap dengan segala kemungkinan yang akan terjadi. Dan ia tetap berharap keajaiban itu masih bisa terjadi.“Baik, Dok. Terima kasih.”Sudah hampir 2 hari Shofia tidak membuka mata sama sekali. Tubuhnya dipenuhi berbagai macam peralatan medis. Bahkan jika alat-alat penunjang itu dilepas, Ustaz Subhan tidak terlalu yakin jika sang istri masih bisa h
Ustaz Subhan sempat tertegun beberapa saat mendapati Kiyada memutus sambungan telepon secara sepihak. Bahkan tanpa ucapan salam sama sekali. Tak biasanya wanita itu bersikap seperti ini. Apakah sikapnya melarang Kiyada datang ke sini sudah keterlaluan?Meski telah bertahun-tahun hidup dengan Shofia, dan beberapa bulan menjadi suami Kiyada, Ustaz Subhan masih belum bisa memahami keduanya dengan baik. Ia tak memiliki ide apapun untuk membujuk Kiyada, atau sekadar menanyakan sikapnya tadi.Namun, untuk sekarang, tentu kondisi Shofia lebih penting dari apapun. Laki-laki itu melangkah tergesa menuju ruang perawatan Shofia. Berharap setelah ini akan ada kabar baik terkait perkembangan sang istri.Di depan ruangan yang dijaga cukup ketat itu, Jihan duduk termenung. Wajahnya muram, hingga tak menyadari kedatangan Ustaz Subhan.“Kamu sudah makan, Jihan?” Ustaz Subhan mencoba berbasi-basi. Berharap bisa sedikit mengurai aura kebencian dari wanita itu yang timbul semenjak ia menikah lagi.Jihan
Keadaan Kiyada yang masih terasa lemah setelah kehilangan sang ibu, kini harus kembali menerima kabar kurang baik dari sang suami. Meski kerap merasa cemburu dengan kasih sayang Ustaz Subhan pada Shofia, tetapi Kiyada sungguh tak ingin terjadi sesuatu yang buruk pada wanita itu.Walau bagaimanapun, tanpa perantara Shofia, pernikahan ini tak akan pernah terjadi. Dan Kiyada harus berjuang sendiri memikirkan biaya pengobatan sang ibu yang cukup menguras dompet. Apalagi mengingat di kampung ini ia hanya memiliki ibu.“Mas, saya ingin melihat kondisi Ustazah Shofia,” pinta Kiyada pada Ustaz Subhan.“Besok kalau keadaannya sudah membaik, kamu saya ajak ke sini, ya.”Kiyada tertunduk lesu. Meski tidak melarang secara langsung, ia paham jika kalimat itu adalah sebuah larangan secara halus. Padahal berada di rumah seorang diri juga membosankan baginya. Kiyada jadi lebih sering teringat ibu dan itu membuatnya terus-terusan bersedih.“Tapi saya bosan di rumah sendirian. Siapa tahu di sana bisa m
Malam itu perasaan Kiyada sungguh bahagia. Sebab tak dapat dipungkiri bahwa dirinya juga teramat merindukan belaian sang suami. Meski tak banyak kalimat manis yang dilontarkan Ustaz Subhan, setidaknya senyuman dan satu kali panggilan-sayang- sudah lebih dari cukup bagi Kiyada.Namun, sepertinya harapan Kiyada terlampau tinggi. Nyatanya, saat terbangun menjelang waktu Subuh, Ustaz Subhan sudah tidak ada disisinya. Padahal tadi malam ia sempat berpesan untuk dibangunkan salat tahajud. “Mas?” Perlahan Kiyada bangkit dari tempat tidur. Mencari sosok Ustaz Subhan yang ternyata tidak ada di dalam kamar.Perut Kiyada yang semakin membesar membuat ia tak bisa bergerak selincah biasanya. Ia berjalan menuju kamar mandi, barangkali Ustaz Subhan tengah mandi atau mengambil wudhu. Lagi-lagi tak ada siapapun di sana. Suasana rumah terasa sepi dan sunyi. Hanya terdengar suara detak jarum jam juga sesekali suara kokok ayam jantan.Tidak biasanya Ustaz Subhan berangkat ke masjid sebelum Subuh seperti
Sepertinya Aldi masih belum cukup puas dengan jawaban yang diberikan Ustaz Subhan. Sementara suara qiraat penanda akan masuknya waktu Isya sudah berkumandang dari arah masjid. Obrolan keduanya pun mau tak mau harus berakhir.“Kalau kapan-kapan saya silaturahim ke rumah Ustaz, boleh?” tanya Aldi sebelum Ustaz Subhan beranjak.Meski sempat ragu, Ustaz Subhan akhirnya mengangguk seraya tersenyum simpul. Tidak mungkin ia menolak seseorang yang ingin datang untuk bertanya perihal agama. Namun, Ustaz Subhan masih belum tahu apakah Aldi sudah tahu statusnya sebagai suami yang memiliki dua istri.Hingga selesai jamaah Isya dan menempuh perjalanan menuju rumah Kiyada, percakapan singkat dengan Aldi masih terus saja menghantui hati dan pikiran Ustaz Subhan. Bagaimana jika Aldi belum tahu akan statusnya? Pikiran yang berkelana di sepanjang perjalanan, membuat Ustaz Subhan tak sadar jika ia telah sampai di halaman rumah Kiyada. Suasana rumah itu tak lagi sepi seperti sebelum ia berangkat ke masj
Sejujurnya beberapa menit yang lalu Ustaz Subhan telah berbohong pada Kiyada, dengan mengatakan bahwa ia ada urusan dengan remaja masjid setempat. Ia hanya ingin memberi waktu jeda pada hubungan mereka. Sebab sejak perbincangan tadi semua terasa semakin canggung. Entah lah apa penyebab pastinya.Lalu tanpa diduga pertemuannya dengan seorang remaja laki-laki yang mempertanyakan persoalan poligami membuat Ustaz Subhan merasa terusik. Sebenarnya apa yang ingin dipertanyakan, dan mengapa harus dirinya yang mendapat pertanyaan?Benar saja, setelah turun dari salat jamaah, remaja tersebut menunggu di dekat gapura masjid. Ini baru kali pertama Ustaz Subhan bertemu dengan laki-laki itu. Dilihat dari tampilannya, bisa ditebak jika ia bukan seperti penduduk setempat.“Assalamualaikum, Ustaz.” Dengan takzim ia mencium punggung tangan Ustaz Subhan.“Waalaikumsalam.” Ustaz Subhan memasang mimik setenang mungkin.“Sebelumnya maaf, apa saya mengganggu waktunya Ustaz?”Waktu menuju Isya’ masih cukup