Mereka berdua akhirnya hanya mengemas beberapa baju Mayang dan segera menyusul pemilik indekos ini menuju ke rumah sakit. Tadi belum sempat membawa apa pun. Hanya baju yang melekat di tubuh Mayang. Entah, baju sejak kapan yang dipakai gadis cantik itu.Dokter yang memeriksa Mayang menyebutkan jika gadis itu demam tinggi juga dehidrasi. Penyakit asam lambungnya juga kambuh. Mayang memang mempunyai penyakit asam lambung sejak SMA dulu. Pola makan tidak teratur membuatnya terkena penyakit asam lambung. Dokter segera memberikan perawatan yang tepat untuk Mayang.Tiga hari Mayang tergolek lemas. Tubuhnya seolah menolak semua perawatan. Akan tetapi, dokter berusaha memberikan perawatan yang terbaik dan membuat gadis itu membuka matanya kembali. Semua teman sangat bahagia, tetapi satu hal yang terjadi, tatapan Mayang sangat kosong. Sama sekali tidak merespons apa pun yang dikatakan oleh orang yang ada di sekitarnya. Sementara itu, dalam satu Minggu ini, Revan seperti orang yang tidak mempun
'Mas Panji, anak kita sedang bersedih. Maafkan aku yang tidak bisa membuatnya tersenyum bahagia dengan wanita pilihannya. Dia tidak sama denganmu yang mau memperjuangkanku dulu. Revan memilih perusahaan demi ribuan karyawan. Apakah aku salah?' tanya Murni di dalam hatinya sambil terus menatap ke arah pigura foto mendiang suaminya. Murni sangat merasa bersalah pada sepasang kekasih. Revan adalah anaknya dan Mayang adalah gadis yang disukai Revan sejak mereka masih remaja dulu. Keberuntungan sama sekali tidak berpihak pada mereka berdua. Adhyatsa sama sekali tidak bisa dibantah. Sementara itu, Mayang sudah diizinkan untuk pulang setelah dirawat beberapa hari di rumah sakit. Ia kini menjadi sosok yang murung. Sama sekali tidak ada gairah untuk menjalani hidup. Tugas akhirnya ditinggalkan begitu saja dan malas untuk ke kampus.Mayang juga jarang keluar kamar jika tidak perlu. Semua teman indekosnya sangat prihatin dengan keadaan Mayang. Tidak ada yang berani mendekat atau pun bertanya p
"Aku siap menikah kapan saja. Hanya saja, aku ingin setelah aku dan Ara menikah, kita berdua tidak tinggal di rumah ini. Aku ingin mandiri dan menjalani rumah tangga hanya berdua dengan calon istriku. Untuk Bunda, setelah aku menikah, beliau akan tinggal di desa tempatnya berasal dari salah satu daerah di Jawa Tengah. Jika Kakek dan Tuan Haris juga Nyonya Haris setuju maka aku pun akan menyegerakan pernikahan ini." Revan mengucapkannya dengan nada dingin saat ini.Ara sangat bahagia saat Revan mengatakan hal itu. Ia akan menjadi prioritas dari calon suaminya. Pipi gadis tinggi semampai itu memerah ketika mengingat Revan menyebut dirinya sebagai calon istri. Luar biasa sekali!"Saya juga sependapat dengan Nak Revan. Kebetulan saya ada satu unit perumahan di daerah dekat dengan kantor Revan. Kalian nanti bisa tinggal di sana. Toh, Ara juga bekerja tak jauh dari kantor Revan," jawab Haris sambil tersenyum penuh haru karena syarat yang ditawarkan oleh calon menantunya.Haris berpikir jika
"Aku tidak tahu bagaimana ke depannya nanti," kata Revan dengan nada dingin.Dada Revan sangat sesak ketika harus membahas rencana perjodohan itu. Dua hati sama-sama patah hati; sakit tak berdarah. Setelah memberikan nasihat pada Revan, Murni memutuskan untuk pamit dan menuju ke kamarnya. Ia ingin memberikan ruang pada Revan. Hari ini adalah Sabtu, jam di dinding sudah menunjukkan waktu yang semakin larut. Mata elang milik Revan seolah enggan terpejam. Bayangan wajah Mayang yang berderai air mata membuatnya tidak bisa memejamkan mata. Kesakitan itu tampak jelas di mata Mayang--wanita yang menjadi cinta pertamanya.Revan mengambil ponsel di atas nakas tempat tidurnya. Ia membuka blokir mantan kekasih yang namanya masih ada di dalam hatinya itu. Revan ingin melihat kabar gadis yang selalu sabar menghadapinya itu. Nihil nama itu tidak ada sama sekali. Revan pun segera mencari di kolom pencarian dan hasilnya juga sama. Tidak ada nama Mayang Mandasari di berbagai media sosial milik gadis
"Selamat pagi, Pak Revan." Seluruh karyawan menyapa Revan yang saat ini hendak menuju ke kantin perusahaan. "Pagi ... selamat bekerja." Revan membalas ucapan mereka dengan nada dingin.Pemecatan besar-besaran kemarin membuat banyak karyawan dan karyawati berpikir dua kali ketika hendak berbuat curang. Revan sengaja mengambil sikap tegas agar tidak ada lagi hal seperti itu terjadi. Kerugian yang ditanggung oleh perusahaan ini luar biasa besar.Memang tidak wajar ketika memecat karyawan pada hari Minggu. Akan tetapi, itulah Revan dan keputusannya yang tidak bisa diganggu gugat oleh siapa pun. Hari ini mereka yang telah dipecat akan tetap datang dan mengambil barang-barangnya. Tentu saja dengan banyak kompensasi yang harus dipertanggungjawabkan."Pak Revan, Bapak mau kemana?" tanya Hardi yang pagi ini berpapasan di depan lobby kantor ini."Aku mau cari kopi dan sarapan. Kamu ke atas dulu. Jika ada tamu minta mereka menunggu sebentar karena aku keluar. Kantin belum banyak yang buka jadi
"Saya ... kena marah Tuan Adhyatsa kemarin malam," adu Hardi dengan wajah ketakutan."Abaikan dia. Manusia tidak berguna sama sekali. Bila perlu laporkan pada pihak berwajib. Dia sama sekali tidak punya kekuasaan di kantor ini. Jadi jangan takut," kata Revan sambil berjalan menuju ke ruang rapat.Banyak karyawan dan karyawati yang harap-harap cemas saat ini. Berita kebangkrutan perusahaan ini mengancam mereka semua. Banyak pasang mata menatap ke arah Revan yang pagi ini penampilannya sangat buruk. Laki-laki yang biasanya tampil maskulin dan cool itu tampak seperti zombie pagi ini. Baju yang dipakainya juga tampak sangat kusut."Silakan, Pak," kata Hardi mempersilakan atasannya duduk di kursi utama. Lima belas menit menunggu, akhirnya tim audit datang. Mereka segera duduk dan bekerja dengan cepat. Apa yang mereka kerjakan segera diserahkan pada Revan. Tentu Revan sudah mempunyai catatan tersendiri."Pak, mohon dicek dahulu," kata Pak Andre sebagai ketua tim audit perusahaan ini."Baik
"Ya, lumayan, tapi sudah saya selesaikan satu per satu, Pak. Eh, maksud saya, Papa." Revan tampak sangat tidak nyaman dengan kedatangan Haris kali ini."Hmm ... baguslah. Saya mendengar banyak tentang apa yang kamu lakukan untuk perusahaan ini. Saya salut dengan semangat dan daya juang kamu sebagai pengusaha muda. Sama persis dengan mendiang ayahmu. Kinerja kamu sama sekali tidak diragukan. Saya akan memberikan dana untuk perusahaan ini. Delapan puluh persen saham akan saya bantu, tapi hanya untuk kerja sama saja. Agar tidak collabs dan perusahaan ini pasti akan berkembang." Haris tidak berbasa-basi saat ini.Revan mencerna setiap kata yang keluar dari mulut haris. Besarnya bantuan itu sangat luar biasa. Nominalnya bisa untuk membuat anak cabang perusahaan. Revan ingin menolak, tetapi saat ini perusahaan butuh dana cepat. Revan pun bimbang saat ini."Bagaimana?" tanya Haris dengan nada tegas."Baiklah, Pa. Saya setuju. Semoga setelah ini semua karyawan akan amanah dan tidak ada lagi t
"Bu ... Mayang saat ini depresi. Kami tidak tahu apa penyebabnya. Bisakah Ibu datang ke tempat kos ini? Mungkin dengan kedatangan Ibu bisa membuat Mayang mau bercerita tentang apa yang membuatnya depresi.""Baiklah. Besok pagi saya akan ke Bandung." Darsih memutus sepihak panggilan dari Yani. Hatinya mendadak hancur saat mendengar kabar putrinya itu. Beliau langsung menghubungi Revan saat ini. Siapa tahu bisa membantunya. Hanya terdengar dering saja dan tidak tersambung sama sekali. Anak yang dulu diasuhnya juga sudah sangat lama tidak menghubunginya. Darsih hanya berharap, hubungan mereka baik-baik saja saat ini. Darsih mulai mengemas baju dan hendak pergi ke Bandung besok pagi.Sebuah fakta menunjukkan jika tidak ada yang benar-benar baik-baik saja dengan keputusan yang dibuat oleh seseorang demi menyelamatkan banyak orang. Akan ada korban di dalamnya yang harus merelakan hatinya tersakiti. Satu per satu dipaksa untuk melepaskan dan saling melupakan. Dua hal yang sama sekali tidak
Tidak butuh waktu lama, Angga segera menemui kedua orang tua Ara. Angga sama sekali tidak mau membuang waktu percuma. Ia benar-benar mencintai sosok Anggara Manggala. Angga tidak peduli dengan status janda yang melekat pada Ara.Keluarga besar Angga juga menerima siapa pun calon menantu mereka. Hal terpenting adalah, mereka bisa saling mencintai dan kelak hidup dengan bahagia. Calon mertua Angga adalah orang biasa. Mereka pernah dibantu oleh Haris Manggala secara finansial."Terima kasih Pak Haris menerima lamaran dari putra kami," kata Suminto yang merasa sangat bersyukur setelah lamaran mereka diterima baik oleh keluarga besar Haris Manggala. "Sama-sama. Saya tidak mungkin menolak lamaran Angga. Saya tahu bagaimana karakter Angga. Angga sosok pekerja keras dan satu, dia setia." Haris memuji sosok calon menantunya. "Ara pernah gagal dalam rumah tangga. Semoga Angga adalah jodoh terbaik untuk anak saya," kata Haris penuh harapan."Saya juga berharap seperti itu. Nak Ara orang yang ba
Revan menatap tajam Mayang. Ia menduga jika ibunya Kala mengatakan hal buruk pada Ara. Mayang tidak bisa ditebak isi pikiran dan hatinya. Revan merasa telah menikahi orang yang berbeda."Aku permisi," kata Ara tidak mau ikut campur masalah rumah tangga mereka.Ara melirik sekilas ke arah anak laki-laki kecil itu. Hatinya sangat sedih karena anak Revan berkebutuhan khusus. Anak itu tidak terawat dengan baik karena faktor ekonomi. Akan tetapi, Ara tidak bisa berbuat banyak untuk mereka."Ra, maukah kamu menikah kembali dengan Mas Revan?" Pertanyaan Mayang sukses membuat langkah Ara terhenti seketika. "Aku akan mundur dan tidak lagi mengganggu kalian nantinya. Aku sadar, aku banyak salah dan sudah sangat jahat padamu," lanjut Mayang yang saat ini meneteskan air mata.Tubuh Ara mendadak kaku dan tidak mau menoleh lagi. Ia merasa sakit ketika mendengar permintaan Mayang. Rasa cinta yang dipendam untuk Revan mendadak hilang begitu saja. Entahlah, hanya Ara dan Tuhan saja yang tahu."Ra, aku
Penundaan jadwal reuni kampus Ara membuat Revan frustasi. Ia harus semakin lama menunggu bertemu dengan mantan istri pertamanya itu. Padahal, Revan sudah mempersiapkan semua hal dengan baik. Kini terpaksa harus menyimpan semua itu.Sementara itu, Ara memutuskan untuk membuka hati untuk Angga. Ia menyadari satu hal, tidak semua laki-laki sama di dunia ini. Angga tampak sangat baik dan sopan. Sosok Dokter itu juga sangat menghormati wanita."Sudah lama di sini?" tanya Ara saat baru saja keluar dari dapur dan melihat Angga duduk seorang diri di ruang tamu.Angga terjengit kaget karena sedang sibuk melamun saat ini. Ia pun segera beranjak dari duduknya. Ara tersenyum melihat tingkah Angga. Ia menatap ke arah Dokter muda itu."Maaf, aku nggak bermaksud mengejutkan," kata Ara dengan tulus."Oh, tidak. Aku hanya ...." Angga tidak melanjutkan ucapannya."Ada apa? Ada yang ingin dibicarakan dengan Bu Salamah?" tanya Ara sambil menatap Angga yang tampak cemas.Biasanya Angga akan berbicara deng
Sejak kejadian itu, Angga dan Ara dekat. Hanya saja, Ara membatasi kedekatan itu dan hanya sebagai teman. Angga hingga saat ini tidak tahu siapa Ara. Andai ia tahu, maka akan sangat terkejut. Angga mengenal siapa sosok Haris Manggala.Ara sama sekali tidak pernah menyebutkan siapa kedua orang tuanya. Hanya sesekali saja ia menemui kedua orang tuanya. Padahal, sudah hampir tiga tahun bercerai dengan Revan. Ara masih ingin mengobati hatinya."Aku boleh datang ke rumah orang tua kamu?" tanya Angga saat berada di panti asuhan ini."Untuk apa?" tanya Ara sambil tersenyum ramah seperti biasa.Bukan tidak paham arah pembicaraan Angga, hanya saja, Ara tidak mau gegabah dalam banyak hal. Ia masih menutup hati untuk banyak orang. Entah akan sampai kapan, tidak ada yang tahu. Ara juga menolak mentah-mentah cinta Angga dan hanya ingin menjalin hubungan pertemanan saja."Aku ingin melamar kamu pada kedua orang tuamu. Kamu tidak mau pacaran bukan?" tanya Angga sambil menatap intens ke arah mata Ara
Revan akhirnya menjelaskan pada Mayang jika mengalami kelumpuhan akibat terjatuh tadi pagi. Tentu saja, Mayang sangat syok. Ia tidak bisa menerima keadaan dirinya saat ini. Menyakitkan karma yang harus diterimanya. Revan terpaksa membawa Mayang pulang karena biaya rumah sakit pasti akan membengkak jika Mayang lama dirawat."May, rumah itu mending dijual aja. Toh, itu semua aku yang beli." Revan memaksa Mayang untuk menjual rumah yang telah diubah menjadi kafe."Mas, itu satu-satunya aset kita, kalo kita jual, kita nggak akan punya apa-apa lagi," kata Mayang menolak menjual rumah pemberian Revan."Ck! Kamu tahu nggak? Kebutuhan semakin banyak dan aku banyak nganggur! Jual aja," kata Revan yang tidak sabar dengan sang istri.Mayang mengembuskan napas kasar saat ini. Ia hanya bisa duduk di kursi roda saja sekarang. Darsih tidak pernah datang lagi sejak kejadian beberapa waktu yang lalu. Mayang kali ini merasa sangat membutuhkan sosok sang ibu."Mas, kalo dijual dan kita nggak punya usaha
Masa lalu menyakitkan tidak akan membuat seseorang dengan mudahnya memaafkan. Rahman--saksi kunci yang dulu hampir dibunuh oleh Murni ternyata berhasil selamat. Kedatangan sosok laki-laki yang usianya hampir sama dengan Murni itu sontak mengejutkan banyak orang, terutama Murni dan Adhyatsa. Revan jelas tidak mengenal sosok yang kini berdiri dengan angkuh di depan mereka semua."Ka-kamu masih hidup?" tanya Murni yang saat ini wajahnya tampak sangat pias."Ya! Setelah kamu berusaha meleyapkan nyawaku, kini aku masih berada di sini. Tuhan masih berbaik hati denganku. Murni, bersiaplah menerima hukuman." Rahman mengatakan dengan nada dingin saat ini.Semua terdiam, suasana pun mendadak hening. Rahman dengan amarah dan dendamnya pada Murni. Akan tetapi, tak lama polisi datang untuk menangkap Murni. Revan tidak bisa berbuat banyak saat ini.Semua sudah jelas, Revan bukan anak kandung Panji Adhyatsa. Ia merasa sangat sakit saat ini. Revan salah satu korban dari keserakahan Murni. Tidak ada
Ara mengembuskan napas perlahan. Wajah Revan kali ini penuh permohonan agar Ara mau berbicara. Haris yang menatap tajam tidak membuat Revan takut. Ada hal yang harus mereka bicarakan."Pa, Ma, aku akan bicara sebentar pada Mas Revan. Papa dan Mama bisa tinggalkan kami berdua?" tanya Ara kepada kedua orang tuanya.Inama mengangguk sebagai jawaban dan segera mengamit lengan sang suami. Ia memberikan waktu kepada sang putri untuk berbicara pada mantan menantu mereka. Anak muda itu, mereka membuat rumah tangga yang awalnya adem ayem sekarang justru sangat rumit. Haris kadang tidak habis pikir dengan cara sang putri."Kita bicara di sana saja," kata Ara sambil menunjuk satu pohon besar dengan kursi taman di bawahnya.Revan mengikuti Ara dari belakang. Ia masih beruntung karena mantan istrinya masih memberikan kesempatan untuk berbicara. Meski Revan sadar, Ara tidak akan mau kembali rujuk. Setidaknya itu yang tampak pada wajah Ara saat ini."Mas, apa yang mau kamu bicarakan sekarang?" tanya
Gita berdiri tepat di depan Revan dan Murni. Ia tampak membenci kedua orang itu. Murni hanya bisa menunduk saat ini. Gita bukan gadis sembarangan.Gita adalah adik kandung Naga Cakra Wibowo, pemilik perusahaan Cakra Buana. Gita tidak akan membuang kesempatan emas untuk membalas Murni saat ini. Beberapa waktu yang lalu, ia menemui Adhyatsa di rumah sakit dan berbicara tentang masa lalu. Tentu hal ini akan sangat mengejutkan untuk semua orang."Aku akan katakan satu hal padamu, Revan Adhyatsa. Kamu tidak pantas menyandang nama belakang Adhyatsa karena kamu bukan anak kandung Panji Adhyatsa. Wanita ini menjebak ayahku, Panji Adhyatsa agar bisa menikahi dengan dalih hamil. Bukankah itu luar biasa?" Gita tersenyum miring setelah mengatakan hal itu. "Mamaku, ada di rumah sakit jiwa juga karena ulahnya," lanjut Gita dengan wajah mengerikan.Revan mundur beberapa langkah karena terkejut mendengar ucapan Gita. Ada apa dengan hidupnya saat ini? Revan seperti orang linglung. Berbeda dengan Murni
Wajah Mayang saat ini langsung seputih kapas. Ia takut karena Revan mempunyai bukti tentang kejahatannya. Mayang yang meletakkan obat itu di laci meja rias Ara. Pantas saja, mereka semua langsung menemukan obat itu tanpa mengobrak-abrik kamar Ara."Bagaimana?" tanya Revan dengan nada dingin dan syarat amarah yang luar biasa."A-aku bisa jelaskan, Mas. Semua ini karena ...." Mayang tidak bisa melanjutkan ucapannya.Revan langsung beranjak dari duduknya dengan kasar. Ia meletakkan laptop di atas meja. Masih dengan tatapan penuh kebencian, ia kembali mendekati Mayang. Revan tidak habis pikir dengan cara kotor istri keduanya. Entah apa yang direncanakan oleh wanita yang baru saja melahirkan itu."Kenapa? Kamu harus ingat, kita bisa menikah karena kebesaran hati Ara. Jika bukan karena dia, kita tidak bisa menikah!" Suara Revan menggelegar memenuhi kamar mereka berdua. "Apa isi otak kamu itu? Tega-teganya kamu berbuat seperti ini?!" bentak Revan sambil melempar gelas bekas minum Mayang."Ma