Ini benar Mas Deni kah? Kenapa dia bisa di sini?Aku harus bagaimana? Ya Allah, tolong hamba"Dek, Mas boleh masuk?" pintanya dengan sorot mata yang sulit diartikan. "Di teras saja,Mas.""Ya sudah, tapi mas haus dek, boleh minta minum?""Tunggu sebentar,mas, aku ambilkan." Kutinggalkan dia di teras. Tak butuh lama, teh hangat kesukaannya telah siap. "Dek, Mas rindu."Pyaarr... Satu cangkir teh hangat terlepas dari genggaman. Berserakan menjadi serpihan kecil.Kuputar badan.Ya Allah ... Ya Robb.... Mas Deni tepat di hadapanku, ingin berlari tapi justru Mas Deni memelukku dengan erat. Aku mencium bau alkohol dari mulutnya.Apakah dia mabuk?"Dek, Mas cinta, cinta banget sama kamu. Jangan pernah tinggalin Mas,ya?" bisiknya di telingaku,dengan satu tangan mengunci tubuhku dan tangan kirinya melepas hijabku. Dibuangnya hijabku ke sembarang tempat. Kini aku tau apa yang dia mau sekarang.Aku harus bagaimana Ya Allah?"Mau kamu apa Mas? Tidak cukup kamu Menyakitiku!" ucapku lantang"Sssttt
"Anita ayo makan!" Mas Romi menaruh makanan pesanannya di atas meja. "Aku gak lapar,Mas," tolakku halus, entah kenapa melihat makanan justru membuatku mual. "Tunggu sebentar," ucapnya sambil meninggalkanku entah kemana.Kenapa kepala ini masih seperti gangsing, berputar-putar. Mata ini juga menjadi berat. Lalu perlahan semua menjadi gelap. Aku pingsan lagi. Kubuka mataku perlahan, terasa ada yang berbeda dan asing bagiku. Ya, ini bukan kamarku. Lantas aku di mana? Lho... lho kok ada selang infuse tertancap di tangan kiriku? Fix, ini rumah sakit.Tapi kenapa aku ada di sini?"Anita, kamu sudah sadar?" Rona bahagia terpancar di raut wajah Mas Romi. "Alhamdulillah seperti yang Mas Romi lihat." Kuberi seulas senyum. "Ya Allah Nit, jangan bikin Mas panik seperti ini. " ada rasa khawatir terpancar dibola matanya.Tunggu-tunggu... Mas? Sejak kapan Mas Romi memanggil dirinya Mas? Bukankah dia selalu bilang aku dan bukan Mas, aneh. Mungkin akibat pingsan pendengaranku jadi konslet begini.
Alhamdulillah, akhirnya aku boleh pulang setelah dua hari dua malam di rumah sakit. Rasanya sudah sangat rindu suasana rumah. Rindu bergulat dengan plester dan baju-baju.Mas Romi sudah mengangkat barang-barangku ke dalam mobilnya. Aku lebih memilih pulang dengan mobil Indah. Tidak enak kalau harus semobil berdua dengan Mas Romi. Walau sedari tadi dia membujukku pulang dengannya. Mas Romi membuka pintu, memasukkan barang-barangku ke dalam rumah. Sementara aku dan Indah naik ke lantai atas menuju kamar. "Bener-bener suami idaman. Sayang Mas Romi nya gak suka sama aku. Sukanya sama ini nih."ucap Indah sambil menyenggol tanganku. "Apaan sih Ndah, dia cuman teman kok." Kututupi mukaku yang terasa memanas menahan malu. "Tenang udah aku acc kalau kamu sama dia," godanya"Ha ha ha ... lucu kamu,Ndah," ucapku sambil menjatuhkan bobotku diatas ranjang. "Ih, kok seneng banget ada apa nih?" sahut Mas Romi yang tiba-tiba muncul. "Ini, katanya Nita, Mas itu suami idaman." Refleks kubungkam m
Aku duduk menunggu giliran sidang kedua. Setengah jam lagi aku harus ada di ruang sidang. Namun hingga detik ini Mas Deni belum datang. Aku sangat berharap Mas Deni tak usah hadir dalam sidang kali ini dan seterusnya agar hakim segera mengetuk palu, dan aku terbebas dari Mas Deni. Panjang umur benar, baru juga kupikirkan,Mas Deni dan Rani sudah nampak berjalan ke arahku. "Sendirian nih,Mbak?" ejek Rani padaku. "Kalau sendirian memangnya kenapa?""Kasian kamu mbak," ucap Rani sinis. "Aku akan tetap ajukan pembagian harta gono gini ke pengadilan,salah sendiri kamu maruk!" lantang Mas Deni bicara. "Hahahaha ... mimpi kamu Mas!Harta tak punya minta pembagian harta gono gini. Mbok, ya, ngaca!" ejekku. "Kita lihat saja, berapa banyak harta yang akan menjadi milikku," ucapnya sombong. "Oke,kalau Mas nekat minta harta gono gini. Siap-siap saja, Ibu dan Rani mendekam di penjara!" gertakku. "Halu kamu, Mbak!" sinis Rani. "Kamu lupa, aku punya punya bukti uang-uang mbak yang kamu pinja
Kunyalakan mesin, perlahan meninggalkan rumah mewah kediaman Pak Yusuf. Sepanjang perjalanan tak hentinya kumemikirkan Nadia,gadis cantik yang telah mencuri hatiku. Kian hari online shop milikku kian rame. Mungkin ini yang namanya hasil tidak mengkhianati usaha. Alhamdulillah, kupanjatkan puji syukur atas nikmat yang Allah berikan kepadaku.Drrrttt.... Ponselku bergetar, ku ambil benda pipih yang ada di atas meja.[Anita,apa kabar?] Satu pesan masuk dari Mas Romi. [Alhamdulillah baik mas,mas sendiri bagaimana?] [Alhamdulillah Nit. O, ya, Mas ada lowongan pekerjaan untuk kamu,jadi manager keuangan. Apa kamu mau Nit?]Tawaran yang bagus dari Mas Romi, aku berkarir seperti dulu. Tapi, bagaimana dengan bisnis online shop yang mulai berkembang ini?Jadi galau gini ya.[Aku pikir-pikir dulu ya mas,kebetulan online shop yang kurintis mulai berkembang.][Oke, aku tunggu jawabanmu ya, Nit.]Kupikirkan baik-baik tawaran Mas Romi. Masih ada keraguan di hati,lanjut berkarir atau mengelola o
Pov DeniSudah jatuh tertimpa tangga pula. Mungkin pepatah itu cocok dengan diriku, bagaimana tidak, sudah digugat cerai Nita, kini aku dipecat dari kantor secara tidak hormat. Apa mungkin ini karma?Ah, mana mungkin ada karma! Aku tak percaya karma. Mungkin aku apes, atau memang Mila itu pembawa sial. Ini berbanding terbalik dengan,apa yang aku harapkan. Dulu, kukira aku lelaki paling beruntung dan bahagia di dunia ini. Bisa memiliki dua istri sekaligus.Aku dan Mila berjalan keluar, banyak mata memandang kami sinis. "Biar tau rasa tukang zina!""Emang enak dipecat, salah sendiri main gila kok di kantor!""Sukurin...!"Banyak sindiran silir berganti mengiringi kepergian kami. "Ini semua gara-gara kamu, Mas!" omel Mila sepanjang jalan. "Kamu yang ngerayu aku, kenapa aku yang disalahkan?" Kunaikkan nada bicara. Kesel, marah. Dasar Mila, maunya menang sendiri! Menyesal aku menikahinya, kalau saja dia tak sedang hamil, pasti sudah kutalak dia.Kunyalakan motor, meninggalkan halaman
Pov RaniAku duduk di teras, menunggu Mas Deni yang tak kunjung pulang. Mila pun tak ada, ke mana mereka pergi? Aku senakin tak tenang setelah mendengar Mas Deni dipecat dari kantornya. Sekarang hilang sudah tambang emasku. Walau aku sudah bersuami, Mas Deni selalu memberikan apa yang kuminta. Tetapi jika dia tak bekerja, mana bisa membelikan apa yang aku inginkan.Satu jam berlalu, akhirnya nampak juga batang hidungnya."Dari mana aja sih,Mas?" tanyaku saat Mas Deni sampai di halaman. Mas Deni tak menjawab, dia berjalan melewatiku begitu saja. Aku menggelengkan kepala melihat pakaiannya yang acak-acakan, berantakan. Apa yang sebenarnya terjadi? Kalimat itu yang memenuhi isi kepalaku. Aku ikut masuk ke dalam kamarnya. Kulihat dia memasukkan baju-baju Mila ke dalam koperLho-lho, ada apa lagi ini?"Mas, kenapa baju Mila kamu masukkan ke dalam koper?" "Aku sudah gak sudi hidup bersama wanita jal*ng seperti Mila!" Terlihat Mas Deni menahan amarah."Maksud, Mas?" Aku bingung, tak menge
"Nita, tolong berikan laporan pengeluaran bulan lalu ke ruangan saya" perintah Mas Romi lewat telepon."Baik Pak." Sambungan telepon pun dimatikan sepihak olehnya. Kuambil berkas laporan keuangan bulan lalu. Segera berjalan menuju ruang direktur utama. Tok... Tok... Tok.... Pintu kuketuk perlahan. "Masuk!" Suara Mas Romi dari dalam. Kubuka pintu perlahan, berjalan mendekati Mas Romi. "Ini,Pak laporannya." Kuberikan laporan keuangan bulan lalu di atas meja. "Duduk,Nit!" ucapnya sambil memeriksa laporan yang kuberikan. Tak berapa lama, laporan selesai diperiksa mas Romi. "Nanti makan siang bersama,ya,Nit. Aku tunggu di lobi.""Ta...tapi Pak."Aku bingung kenapa Mas Romi mengajakku makan bersama. Ingin menolak tapi tak enak melawan bos. "Pokoknya aku tunggu di lobi. Mas gak akan makan kalau kamu tidak mau diajak makan!" ancamnya. "Baik,Pak, saya permisi.""Iya," jawabnya sambil terus tersenyum kepadaku. Sebenarnya tak enak makan berdua dengan Mas Romi. Takut terjadi fitnah. T
"Ayo naik, ada yang ingin saya bicarakan." Aldi segera masuk ke mobil. Dengan berat hati Indah pun masuk ke mobil Aldi. "Dasar manusia kutub egois!" umpat Indah dalam hati. Kendaraan roda empat milik Aldi berjalan meninggalkan kantor. Hening, tak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulut kedua orang itu. "Kamu sudah sholat?" tanya Aldi memecah keheningan. "Baru tanggal merah, Pak." Aldi tersenyum mendengar jawaban Indah. Bukan, bukan karena tanggal merah. Namun rencananya akan berjalan lancar tanpa kendala. Mobil melaju dengan kecepatan tinggi. Aldi ingin segera sampai tempat tujuan. Karena jarak kantor dan pantai yang ia tujuh hampir dua jam. "Pak, ini bukan jalan menuju rumah saya!" protes Indah karena arah jalan menuju pinggiran kota. Bukan menuju tempat tinggal gadis berambut panjang itu. "Jangan protes!" jawab Aldi dengan mata fokus melihat depat. Tak ia hiraukan wajah Indah yang menjadi masam. "Nanti orang tua saya khawatir, Pak. Putar balik, Pak. Saya ingin pulang!""
Kini usia kandungan Intan sudah memasuki lima bulan. Selama itu pula Romi dan Intan tidur terpisah. Intan tidur di kamar tamu sedang Romi berada di lantai atas. Mereka berdua hanya bertegur sapa menggunakan ponsel. Pernah suatu ketika Romi sangat merindukan Intan. Ingin mencium istri dan bayi kembar yang ada di dalam kandungan. Namun saat bertemu Intan bukan kemesraan ya ia terima. Melainkan istrinya yang lemas karena muntah. Hampir lima bulan Intan dan Romi bagai orang asing. Romi selalu menyingkir saat bertemu Intan, begitu pula sebaliknya. [Sayang, Mas kangen. Pengen peluk.]Satu pesan masuk dari Romi, Intan tersenyum kala membaca pesan sang suami. Namun kemudian ia meneteskan air mata. Intan merasa belum bisa menjadi istri yang baik. Belum bisa melayani suami. Dalam hati wanita berhijab menjuntai itu sangat merindukan pelukan Romi. Namun lagi-lagi terhalang dengan rasa mual yang mendera. Hingga sebuah ide muncul dalam kepala Intan. Ia berharap ide ini berhasil. Dan menepis jar
Bijaklah dalam membaca, yang dibawah umur di skip saja. Pov RomiAku berjalan menuju kamar. Jantung rasanya ingin lepas dari sarangnya, dag ... dig... dug,berdetak lebih kencang. Seperti inikah malam pertama dengan wanita yang ku cinta? Rumah sudah sepi. Mama dan papa sudah tidur di kamar. Ibu Halimah sendiri memilih pulang diantar Pak Yadi. Dan Nadia merengek minta diantar ke rumah sakit. Ku buka pintu perlahan. Intan tak ada di ranjang, pasti sedang di kamar mandi. Ku jatuhkan bobot di atas kasur. Mencoba menetralisir degup jantung ini yang tak menentu. Kreeek... Pintu kamar mandi di buka dari dalam. Mataku melotot melihat seorang wanita yang keluar. Intan memakai setelan celana dan baju lengan panjang. Rambut hitam panjangnya dibiarkan terurai begitu saja. Ia berjalan ke arahku sambil menundukkan kepala. Membuatku semakin gemas melihatnya. Perlahan Intan menjatuhkan bobot di kasur sebelahku. Wajahnya masih menunduk. Apakah ia malu dan deg-degan, seperti yang ku rasakan saat i
Pov Romi"Ngelamun saja Rom!" Satu tepukan dipundak meyentakku dari lamunan. "Gangguin orang sedang berkhayal saja bro!" Yusuf hanya tersenyum melihat ekspresi kesal yang nampak di wajahku. "Sabar, besok juga sudah halal. Aku salut dengan kejujuranmu." Ku naikkan ujung alis ke atas. Tak mengerti dengan ucapan Yusuf barusan. Kejujuran, kejujuran apa maksudnnya?"Maksudnya apaan?""Ya, kejujuran tentang perasaan kamu sama bini aku tempo hari. Gak nyangka ternyata selama ini kamu memendam rasa pada Anita. Tunggu, apa jangan-jangan bunga waktu itu bukan untuk hadiah kehamilan melainkan untuk istriku." Kutelan saliva dengan susah payah. Ya Tuhan, kenapa Romi bisa tahu. Padahal waktu itu dia tak ada di rumah. Apa jangan-jangan Anita cerita pada Yusuf. Tapi kok rasanya tak mungkin. Anita bukan wanita yang suka mengadu atau membuka aib orang lain. "Bingung kan kenapa aku tahu semuanya padahal aku tak di rumah?" Yusuf seperti bisa membaca isi pikiranku. Apa yang harus ku jawab. Hanya satu
Pov Intan"Intan, disaksikan kedua sahabatmu." Mas Romi menghembuskan nafas perlahan "maukah kamu menjadi ibu dari anak-anakku?"Mataku melotot mendengar perkataan Mas Romi. Mas Romi sadar kan? Dia sedang tidak membayangkan Mbak Anita kan?Aku masih diam, mulutku enggan menjawab perkataan Mas Romi. Entah mengapa aku belum percaya yang ia ucapkan. Semudah itukah dia melupakan pesona Mbak Anita? Walau tak bisa ku pungkiri, ada rasa bahagia mendengar setiap kata yang keluar dari mulutnya. "Bagaimana Intan? Maukah kamu menjadi istriku?"Jantungku dipacu lebih cepat. Dag dig dug. Jawaban apa yang harus ku katakan? "Bilang iya, Tan! Tak usah kamu merasa tak enak padaku. Aku sadar perkara hati tak bisa dipaksakan. Aku ikhlas jika kamu bersama Romi. Aku yakin suatu saat Allah akan mengirimkan seorang imam padaku." Senyum tergambar di wajah Mbak Indah. Bulir bening nan hangat mengalir tanpa dikomando. Mendengar ucapan Mbak Indah membuat suasana terasa semakin haru. Bukan hanya aku saja yang
Aku melangkah ke rumah Yusuf dengan perasaan tak menentu. Mobil Indah dan sepeda Intan sudah terparkir rapi di carport. Apakah aku bisa menyelesaikan masalah ini dengan baik? Setelah semua jelas, akankah Intan mau menerima perjodohan kami? Bagaimana jika akhirnya kedua wanita itu justru membenciku? Berbagai prasangaka memenuhi pikiranku. Ya Allah bantu aku. Ting ... Tong .... Suara bel setelah ku tekan. Aku berdiri di depan pintu sambil meremas kedua tangan. Rasa gugup dan takut bercampur menjadi satu. Pintu di buka dari dalam. Jantung di pacu lebih cepat saat menanti siapakah orang yang membuka pintu. Semoga saja bukan Intan atau Indah. Seorang wanita paruh baya tersenyum kala menyambutku. Berjalan berjajar lalu masuk ke rumah bernuansa modern ini. "Apakah ada masalah, Rom?" tanya tante Ningrum. "Sedikit tan, hanya kesalahan pahaman saja. Ini mau diselesaikan."Ternyata masalah ini sudah sampai ke telinga tante Ningrum. Aku menjadi tak enak hati karena ketidak tegasanku yan
Pov Romi"Jangan asal bicara, nanti akan menimbulkan fitnah," ucap papa. "Itu kenyataan, dan Romilah penyebab kematian Febi!"Ya Tuhan, ada apa lagi ini? Bisa-bisanya Om Damar memutar balikkan fakta. Orang tak tahu pasti akan percaya. Terlebih dia memiliki kekuasaan. "Ayo, Rom, ma, kita pulang saja," ucap papa melanjutkan langkah. Tak ia perdulikan tatapan penuh kemenangan di wajah Om Damar. "Dasar pengecut!"Kami tak membalas ucapan lelaki tua itu. Percuma meladeni orang seperti itu. Hanya akan menimbulkan rasa lelah saja. Biarpun kami tak bisa membalas cukup adukan pada Sang Pencipta. Aku yakin Allah akan menegurnya dengan cara-Nya sendiri. Kami melangkah meninggalkan kerumunan para pelayat.Tatapan sinis tergambar dari raut mereka. Sesuatu yang viral tempo hati seakan hilang dalam sekajap. Uang dan kuasa mampu membungkam hal seperti itu. "Mama sudah bilang, papa sih tidak percaya!" omel mama setelah kami masuk ke mobil. "Tidak apa-apa ma, yang penting kita sudah berusaha untuk
Duduk termenung di balkon. Menatap langit yang masih tertutup mendung meski air tak lagi berjatuhan. Namun bintang dan bulan masih enggan nampak.Semilir dinginnya angin malam tak mampu mengusik diriku dari sini. "Intan atau Indah yang kamu cintai?" Perkataan Anita tadi kembali mengusik pikiranku. Benarkah kedua wanita itu menyukaiku? Apakah Indah adalah alasan Intan menolak perjodohan kami? Cinta itu sebuah perjuangan. Tapi kenapa Intan memilih mengalah dibandingkan berjuang. Apa karena aku terlalu dingin dan terkesan mengabaikannya? Entahlah, aku sendiri bingung memikirkan itu. Intan dan Indah adalah dua pribadi yang berbeda. Intan dengan penampilan tertutupnya dan Indah wanita fashionable. Keduanya memang memiliki pribadi yang baik. Namun jika aku harus memilih, tentu Intan lah yang ingin ku jadikan pendamping hidup. Bukan, bukan hanya karena Intan sholehah tapi juga karena mama sudah cocok dengan wanita berhijab menjuntai itu. Bukankah hubungan menantu dan mertua sangat berpen
"Tan," panggilku sedikit keras. "I-iya Mas," jawabnya gugup. Aku yakin dia gugup mau menjawab apa. "Bagaimana jawaban kamu?" Intan menyatukan dua alis. Pandangan tajam ke arahku. Apa aku salah bicara? "Maaf Mas, Intan belum bisa."Hancur sudah harapanku. Harusnya aku tidak bilang saja. Sekarang hanya malu yang ku rasa. "Maaf ya Mas, Intan belum bisa mencicil biaya rumah sakit ibu. Intan belum punya uang." Aku bengong mendengar jawabannya. "Bukan yang itu, Tan. Yang tadi," ucapku berusaha mengingatkan Intan. "Dari tadi Mas Romi bilang tentang uang berobat kan?"Ya Allah, Ya Robb... Susah payah menenangkan hati agar bisa bicara pada Intan. Namun dia justru tak mendengar. Percuma menahan detak jantung. Anak ini memang keterlaluan. Harusnya aku diam saja tadi. "Lupakan saja, Tan. Untuk uang pengobatan tak usah dikembalikan. Aku ikhlas kok.""Tapi, Mas!""Kamu kan sudah jagain mama aku selama tiga hari. Anggap saja kita impas""Tidak bisa gitu dong, Mas. Saya ikhlas kok.""Sudah ah