Sejak ayah dan ibunya meninggal Alisya sering merasa sendiri tapi sekarang dia tidak merasa begitu lagi terutama setelah bertemu wanita paruh baya baik hati yang sekarang sedang menatapnya dengan mata berkaca-kaca. "Oalah, Nduk. Kamu baik-baik saja kan?" Bulek Par langsung memeluk Alisya dengan erat wanita itu bahkan membolak-balik tubuh Alisya untuk memastikan wanita muda di depannya ini baik-baik saja. Alisya tersenyum, hatinya menjadi gerimis bukan karena peristiwa yang baru saja menimpanya tapi karena wanita paruh baya di depannya ini yang begitu tulus mengkawatirkannya seperti seorang ibu.Sejak ibunya meninggal Alisya pikir dia tidak akan lagi mendapatkan pelukan sehangat ini lagi, tanpa sadar air matanya menggenang, dia bahkan tak peduli, suami, anak juga para pegawai di rumah ini melihat semuanya, dia hanya ingin menikmati sekali lagi pelukan hangat seorang ibu yang begitu sangat dia rindukan.
Sesiang ini Alisya masih santai nonton televisi di kamarnya dan Pandu. "Kamu nggak kerja?" tanya Pandu yang baru saja keluar dari kamar mandi. Laki-laki itu menatap jam di dinding lalu pada sang istri lagi yang masih sibuk memencet-mencet remote televisi dengan gemas. "Sayang," panggil Pandu lagi mungkin saja kan istrinya itu tidak mendengar pertanyaannya tadi karena sibuk dengan televisinya. "Mas kok ngusir sih," jawab Alisya menbuat laki-laki itu sedikit terkejut, padahal sebelum dia masuk kamar mandi istrinya masih baik-baik saja, tapi sekarang berubah seperti singa."Kok ngusir sih. Kan mas tanya," jawab Pandu lembut. Pandu sudah pernah bersama Sekar selama hampir sepuluh tahun, dia tahu kalau Sekar bukan orang yang mudah berkompromi meski dengan dirinya yang saat itu berstatus pacarnya. Sekar egois dan mau menang sendiri membuat Pandu harus banyak mengalah karena dia sangat berharap kalau Sekar adalah satu-satunya wanita dalam hidupnya sampai maut memisahkan mereka. Saat it
“Kenapa sih mas tantemu itu suka sekali bikin gara-gara dengan kita,” keluh Alisya tak habis pikir. Untuk mewujudkan sebuah keinginan kita memang harus bekerja dengan keras. Alisya sangat paham akan hal itu karena selama hidupnya dia berusaha keras untuk mencapai apa yang dia inginkan. Meski Alisya juga diajarkan untuk berusaha dengan jalan yang baik dalam artian tidak merugikan orang lain di sekitarnya, dan juga harus siap untuk menerima jika usaha keras kita mungkin saja gagal dan tak sesuai harapan. Sekarang saat dihadapkan pada kenyataan kalau ada orang yang melakukan apa saja supaya mendapat bantuan dari orang lain, bahkan tak peduli jika orang yang dia mintai bantuan akan hancur tentu membuatnya sangat geram. Apalagi sang tante yang mengaku berhak atas harta keluarganya karena merasa dialah anak pertama. “Mau bagaimana lagi, jelek-jelek begitu dia juga bagian dari keluarga kita,” kata Pandu dengan wajah kesal. “Kok dia kepikiran sih membuat isu seperti itu atau..” “Jang
Laki-laki di depannya memang bukan yang terbaik yang bisa membantunya, tapi setidaknya dia yang terbaik yang bisa temui untuk saat ini, tapi dia tidak suka mata sehitam jelaga itu menatapnya dengan penuh misteri.Entah mengapa firasatnya menjadi buruk, terutama karena ada orang lain dipertemuan kecil itu.Kasus yang membelitnya lumayan menjengkelkan.Dia tidak bersalah tentu saja dan semua orang juga tahu akan hal itu, tapi apalah arti segenggam kebenaran jika dihadapan orang yang berkuasa, apalagi Panji sialan itu sama sekali tidak sudi memberi uang pelicin untuknya bisa bebas dari jerat setan itu, padahal sebagai anak sulung dia berhak menggunakan uang itu.“Asisten saya sudah memesankan ayam tim dan juga salad buah, ibu tidak perlu repot memesan lagi,” kata sang petinggi dengan tenang begitu Nyonya Agnes ingin meraih buku menu untuk memesan.Perasaan nyonya Agnes makin tak enak, tidak semua orang tahu makanan kesukaannya itu, saat makan siang bersama orang lain seperti ini dia cend
Meski sedapat mungkin dicegah berita itu bocor juga. “Kurasa memang mengadakan resepsi dan memperkenalkanmu secara resmi di depan semua orang adalah cara yang paling baik, semua orang harus tahu siapa istri Pandu,” kata Sasti suatu siang saat mereka makan siang bersama di salah satu restoran yang menyediakan berbagai jenis sambal yang menggugah selera. Sejak tadi saja Dara dan Rani yang memilih meja terpisah dengan Alisya dan Sasti wajahnya sudah memerah menahan pedas, tapi dua gadis itu begitu bebal dan mencoba sambal yang lain. “Aku rasa juga begitu,” kata Alisya tak bersemangat. “Lalu apa masalahnya kalau kamu sudah setuju?” Sebenarnya disamping sikap judes dan sengaknya, Sasti itu pemerhati detail, hal yang biasanya selalu luput dari perhatian beberapa orang. “Aku tidak tahu pesta pernikahan apa yang aku inginkan,” jawab Alisya jujur. Hanya pada Sasti dia bisa terbuka bicara seperti ini, karena wanita ini tida
Untuk orang seperti Alisya yang hidup sebatang kara di dunia ini, mempunyai keluarga besar adalah impiannya. Dia bahkan tak tahu wajah kakek dan neneknya dari pihak ayah dan ibu, hanya paman dari pihak yang dia kenal, itupun tidak dekat karena sang paman sangat memusuhi ayahnya, tentu saja alasannya karena harta warisan berupa rumah peninggalan orang tua mereka yang sekarang dibeli Alisya kembali. Akan tetapi keinginan itu perlahan pudar saat melihat ruwetnya hubungan keluarga sang suami yang bukannya saling membantu malah saling sikut satu sama lain. Dia bersyukur paling tidak dia terlatih untuk tidak tergantung pada orang lain. Penjara. Itu tempat yang mengerikan untuk Alisya, apalagi untuk wanita seperti tante Agnes yang seumur hidup dilayani dari ujung rambut sampai ujung kaki. Memang sih itu tempat yang pantas untuk kejahatan yang dia lakukan, bahkan dia salah satu orang membuat psikologi Pandu luka parah dan sulit untuk sembuh lagi. Kehidupan orang kaya yang penuh harta
“Ngomong-ngomong bulek Par sudah diberitahu bukan kalau beliau akan mendampingi kamu di pelaminan, kalau bisa beliau membawa saudara atau siapa yang akan menemaninya,” kata Pandu begitu mereka dalam perjalanan pulang ke rumah. Tentu saja Alisya belum berpikir ke sana, acara ini kesannya memang mendadak jadi dia belum sempat mengatakan pada bulek Par yang kemarin baru saja kembali ke desa setelah mengunjunginya. Memang sih pada dekorasi yang dia pilih tadi ada tempat untuk orang tua kedua belah pihak, tapi karena dia yatim piatu dan mirisnya lagi sebatang kara tanpa sanak saudara jadi dia tidak tahu harus memajang siapa di sampingnya, memang ada bulek Par yang sudah dia anggap sebagai pengganti ibunya sendiri, tapi acara itu pasti lama dan melelahkan, dia tidak mau bulek jatuh sakit. “Apa menurut, mas, tidak akan merepotkan bulek, acara itu pasti sangat melelahkan.” “Bulek pasti seneng, mbak kalau bisa dampingi mbak Alisya, dulu saat nikahan a
“Urusi saja urusanmu jangan suka mencampuri urusan orang lain,” geram Pandu. Di ruang rapat dengan meja yang cukup menampung sepulu orang ini mereka duduk berhadapan, meski meja yang membatasi keduanya cukup lebar tapi Pandu tetap bisa mengamati wajah laki-laki di depannya ini dengan seksama, tidak ada nada bercanda dalam suara Pram kendati kalimatnya barusan diucapkan dengan santai. “Alisya bukan orang lain bagiku,” jawab Pram dengan pandangan langsung menusuk bola mata Pandu. Amarah Pandu langsung naik, meski begitu sebagai orang yang sejak kecil dididik untuk memiliki pengendalian diri, Pandu tentu tidak langsung gegabah dengan memukul wajah laki-laki di depannya ini. Sebagai gantinya Pandu menggenggam tangannya dengan erat, sampai terasa perih di sana. “Kamu mencintai istriku?” tanya Pandu dengan suara mendesis.Dia tahu apapun jawaban Pram pasti berpotensi untuk membangkitkan amarahnya, dia tidak buta untuk melihat kasih sayang
“Kamu yakin akan ikut? Apa tidak sebaiknya kamu di rumah saja aku khawatir,” kata Pram untuk kesekian kalinya. Sejak tahu sang istri hamil Pram jadi overprotektif padahal sejak dua minggu yang lalu dokter sudah mengatakan kalau Laras dan bayi dalam kandungannya baik-baik saja, tapi tetap saja tak membuat kekhawatiran Pram surut. “Aku ingin melihat perempuan jahat itu dihukum.” Hari ini memang akan dilakukan sidang kasus pembunuhan ayah Pram yang dilakukan oleh istrinya. Sedangkan untuk Arvin kekasih gelap Clara sudah dijatuhi hukuman seumur dua puluh tahun penjara dengan berbagai tuduhan yang memberatkannya, Pram memang tidak main-main untuk mencari sekecil apapun kesalahan laki-laki itu, apalagi jika ingat hampir saja dia kehilangan istri dan anaknya. Sedangkan keluarga Clara juga tidak luput dari hukuman, meski tak ikut merencanakan tapi mereka tahu dan mendukung rencana Clara melenyapkan suaminya. “Dia tak pantas mendapat perhatianmu sebesar itu, bahkan kalau kita datan
“Jangan bangun dulu.” Laras mengerjapkan matanya, bau desifektan langsung memenuhi penciumannya. “Aku dimana?” tanyanya lemah. “Ini di rumah sakit, kamu mau sesuatu biar aku ambilkan?” Laras menoleh dan menatap laki-laki yang sejak tadi menggenggam erat tangannya, keningnya mengernyit saat melihat sang suami tak seperti biasanya. Wajahnya yang biasanya penuh senyum kini berubah mendung, matanya memerah dan rambut serta bajunya acak-acakan. “Apa yang terjadi?” tanyanya pelan. “Arvin dan Clara sudah ditangkap, dan bukti-bukti sudah diamankan polisi,” kata Pram sambil menunduk dalam membuat Laras salah paham. “Kamu menyesal Clara pelakunya?” Pram langsung mengangkat wajahnya dan menatap Laras dengan pandangan tak terima. “Mana mungkin aku berpikir begitu, aku sudah berusaha keras membongkar kejahatannya sampai...”“Sampai?” “Sampai aku harus membuatmu dan dia dalam bahaya, aku sangat menyesal. Maafkan aku.” Pram menunduk mencium tangan Laras dengan penuh kasih, sampai Laras meny
Otak Laras langsung berputar dengan cepat. Apa laki-laki ini tahu semuanya sejak awal atau baru saja? Tapi tentu saja hal itu tak ada bedanya untuk saat ini, dia tidak sudi tubuhnya disentuh laki-laki menjijikan ini. Sekuat tenaga Laras memberontak tanganya menggapai apa saja yang bisa dia jadikan untuk pertahanan, tapi sialnya ranjang ini hanya diisi bantal dan guling. "Aku makin suka kalau aku agresif seperti ini," kata laki-laki itu terkekeh memuakkan. Laras makin panik, berteriak minta tolong pun tak akan ada gunanya, dia hanya berharap Pram cepat datang sebelum semuanya terlambat. "Aghh!" Laras berhasil menggigit tangan laki-laki itu, mulutnya bahkan bisa merasakan amis darah tapi Laras tak peduli. "Perempuan sialan!" Jambakan dan di rambutnya dan juga tamparan keras itu membuat Laras merasa kepalanya hampir copot tapi dia sama sekali tidak melepas gigitannya, saat itulah kakinya bergerak cepat menendang di antar kedua laki-laki itu dengan keras. Raungan dan m
“Memangnya kamu tidak punya rumah atau apartemen?” tanya Laras memancing Arvin saat mereka makan di restoran hotel. “Tentu saja punya, tapi bukankah lebih baik kita ke hotel.” “Aku tidak terlalu suka di hotel, menurutku banyak mata yang akan melihat kita. Apartemen atau rumah lebih privat menurutku.” “Apa suamimu memberikan apartemen untukmu?” Laras tersenyum dalam hati mendengar pertanyaan laki-laki itu. “Tentu saja,” kata Laras lalu dia berbisik penuh konspirasi. “Mertuaku memberikan rumah dan villa atas namaku tapi aku enggan untuk menerimanya.” Mata laki-laki itu langsung terbelalak. “Kenapa? Apa kurang banyak?” “Bukan tapi aku tidak membutuhkannya, aku lebih suka hidup tenang dengan orang yang benar-benar tulus padaku, dari pada bergelimang harta tapi tukang selingkuh.” Laki-laki itu menggeleng. “Kamu hanya belum beruntung menemukan laki-laki yang cocok untukmu.” “Mungkin saja, aku setelah ini aku akan lebih berhati-hati dalam memilih laki-laki,” kata Laras sam
"Hah kenapa kamu bilang begini?" tanya Laras terkejut menatap chat yang dilakukan Pram dan kekasih Clara. Dalam hal rayu merayu Pram memang jagonya, dia bahkan bisa menyesuaikan diri dan dari chat yang terkirim seperti dari Laras sendiri. Laras yang sebelum ini bahkan menyatakan dirinya tak ingin jatuh cinta tentu saja menjadi bingung saat dia harus berpura-pura menerima pendekatan kekasih Clara. "Aku juga mual jawabnya," jawab Pram kesal. Laras menatap chat di ponselnya lalu menatap Pram lagi. "Kamu nggak belok kan gara-gara kecewa pada Clara?" tanyanya asal bunyi. Pram berdecak kesal tapi dia tak menjawab, dia malah berdiri dan berjalan mendekati istrinya dan mencium wanita itu kuat-kuat. Hubungan mereka memang sudah lebih hangat setelah Pram mengatakan semua rencananya dan tentu saja karena mereka jauh dari Clara jadi mereka tak perlu pura-pura. "Pram kamu merasa nggak sih kalau bukan aku yang deketin dia tapi dia memang sengaja dekati aku?" tanya Laras setelah deng
"Tuan saya berhasil menemukan jejak racun yang sana seperti yang ditemukan dalam tubuh ayah anda." Pram menggenggam erat ponselnya hingga buku-buku jari tangannya memutih, hampir saja dia tak sanggup mengendalikan dirinya andai tidak melihat kalau sekarang ada di keramaian. Rasa bersalah seolah mencekiknya, hampir saja dia tidak bisa bernapas karena rasa itu. Seharusnya dia yang mati, seharusnya dia yang menerima hukuman ini, mungkin ini karma karena banyak mempermainkan gadis-gadis di luar sana, hingga dia buta menganggap mereka semua gadis sebodoh dan senaif mantannya, hingga tak sadar kalau ada ular yang bersiap menggigitnya. Ayahnyalah yang menyelamatkannya, ayahnya yang dia benci selama ini karena lebih memilih kesenangan sendiri dari pada keluarganya, dari pada dia putra satu-satunya. Pram terjebak dalam permainan yang dibuatnya sendiri hingga dia harus kehilangan satu-satunya orang tua yang dia miliki. Saat bertemu dengan Clara untuk pertama kalinya Pram langsung ter
"Sepertinya rencana kita harus dipercepat," kata Pram melalui sambungan telepon."Baik tuan kami akan mencari kesempatan malam ini." "Bagus, lakukan sebaik mungkin." "Baik, Tuan. Kami juga punya laporan yang sudah kami kirimkan ke email tuan." "Baik, terima kasih aku tunggu laporan kalian." Pram menutup ponselnya dan kembali bergabung dengan para karyawannya yang sedang makan malam merayakan keberhasilan presentasi yang mereka lakukan tadi. "Mau makan yang lain?" tanya Pram sambil mengelus belakang kepala Laras. "Idih pak Pram bikin kita-kita iri saja," kata salah satu karyawan Pram sambil tertawa. "Kalian bisa saja, kalian juga boleh tambah kalau ingin makan yang lain," katanya ramah. "Beneran, Pak?" "Benar, asal jangan ganggu aku dan istri kami mau jalan-jalan di sini." Pram mengedip pada sang istri yang langsung disambut sorakan para karyawannya, tapi Pram sama sekali tak peduli dengan sengaja dia mengajak Laras berdiri dan mencari tempat duduk di luar cafe dengan pemandan
"Awh panas! apa yang kau lakukan!" Pram melemparkan sendok yang tadinya dia gunakan untuk mencicipi soup buatan Clara. Laki-laki itu berusaha menyeka soup panas yang mengenai kakinya. "Maaf...maafkan aku Pram aku tidak sengaja, itu soup untuk Laras. biar aku bantu untuk-" "Lupakan, lanjutkan saja masakmu," kata Pram yang langsung berlari ke kamarnya, dia menatap sejenak Laras yang berdiri diam dia pintu ruang makan. "Pram, maafkan aku. Aku benar-benar tak sengaja," kata wanita itu mengejar Pram ke kamarnya. "Tante lanjutin masaknya biar aku yang urus Pram," kata Laras mencegah wanita itu masuk ke dalam kamarnya menyusul Pram. Wanita itu menatap Laras tak terima, tapi Laras langsung menutup pintu kamar di depan hidung sang ibu tiri. "Kamu baik-baik saja?" tanya Laras yang bukannya membantu Pram malah duduk di tepi ranjang menikmati kesibukan suaminya. "Malah nonton, ambilin baju ganti kek," kata Laras kesal. "Kenapa marah padaku bukan aku yang menumpahkan soup itu," kata La
Pram terbangun dari tidurnya yang tak nyenyak. Berbagai rencana memenuhi pikirannya, dia menatap Laras yang sudah tidur pulas di sampingnya. Semenjak peristiwa di villa waktu itu Pram memang memaksa sang istri untuk tidur satu ranjang dengannya, awalnya memang Laras menolak tapi Pram memang ahli dalam menundukkan wanita berbagai cara dia lakukan dan Laras yang lelah dengan semua perdebatan konyol itu akhirnya menyerah. Kantuk tak lagi menghampirinya, Pram berjalan ke arah balkon kamarnya dan menatap cahaya bulan di atas sana yang bersinar cerah. “Sebenarnya apa yang terjadi, Pa. kenapa semuanya jadi serumit ini?” tanya Pram seolah sang ayah ada di depannya tapi tentu saja hanya desiran angin yang berembus menjawab tanyanya. Pikirannya buntu, dia sudah tahu siapa pelaku pembunuhan ayahnya tapi tentu saja dia tidak bisa gegabah begitu saja, mereka bukan orang-orang kemarin sore yang bisa dia hadapi hanya dengan modal nekad saja.