Tak mudah jalan bersama dua orang laki-laki dewasa yang siap saling tonjok satu sama lain setiap saat.
“Ayo Al, sudah mulai panas,” kata Pandu sedikit kesal melihat interaksi Alisya dan Pram.Suasana alun-alun kota memang mulai ramai, banyak orang yang berdatangan dan menikmati kebersamaan dengan keluarga mereka, para pedagang kaki lima di pinggir alun-alun juga tak mau ketinggalan.Secara umum suasananya memang menyenangkan tapi tentu saja tidak untuk Pandu yang lebih memilih berhenti dan menunggu Alisya.“Kamu bawa tikar?” tanya Pram pada Alisya saat mereka memutuskan untuk memilih satu sudut yang lapang untuk duduk.“Ada dalam tas.”Pram membuka tas bekal yang dibawa Alisya dan mendapati tikar kecil di dalamnya.Duduk di atas tikar yang barusan dia gelar lalu tanpa permisi membuka tas bekal Alisya dan mencomot satu roti isi yang ada di sana.“Astaga Pram kamu bahkan tidak cuci tangan,” omel Alisya yaAlisya menatap tak percaya setelah membaca dokumen yang diberikan Pandu padanya, dia sampai butuh membaca beberapa kali untuk meyakinkan dirinya. “Mas sudah memverifikasi laporan ini?” tanya Alisya pada Pandu. Setelah mereka piknik di alun-alun kota, Pram harus pulang terlebih dahulu karena ada panggilan dari ayahnya, dia hanya bilang pada Alisya kalau nanti malam akan menghubungi lagi, dan itu dikatakan tanpa sepengetahuan Pandu, artinya akan ada hal serius yang ingin dibicarakan laki-laki itu. “Aku tidak akan memberikan padamu kalau belum membuktikannya sendiri.” “Kenapa mas mencari tahu tentang hal ini? apa karena kerja sama dengan galeri mas waktu itu?” tanya Alisya yang masih belum percaya kalau Pandu memiliki minat pada barang-barang seni. Selama mereka hidup bersama hal itu tidak terlihat sama sekali, rumah tempat mereka tinggal dulu Alisyalah yang menatanya dan laki-laki itu sama sekali tidak protes. “Salah satunya.”
“Ma...ma,” rengek Bisma minta digendong saat Alisya sudah rapi. Rencana mengajukan cuti hari ini batal sudah saat telepon dari Dara membuatnya mau tak mau harus datang ke kantor. “Sayang, Bisma sama mbak Rani dan nenek dulu ya, Nak,” kata Alisya sambil memeluk anaknya yang gembul itu. Bahkan untuk menggendong Bisma pun Alisya tak punya tenaga, kepalanya begitu pusing dan wajahnya pucat, efek dari tidak tidur semalam. Tapi mau tak mau dia harus tetap ke kantor, tidak mungkin dia lepas tangan begitu saja karena sejak awal dia yang bertanggung jawab untuk hal itu. “Kamu yakin mau pergi ke kantor, Lis. Dengan wajah seperti itu, apa tidak bisa ijin saja,” tanya bulek dia terlihat sangat khawatir pada Alisya. “Ada sedikit masalah di kantor, saya harus ke sana.” “Oalah, Lis, memangnya tak ada orang lain yang bisa gantikan?” “Ini masalah tanggung jawab saya bulek jadi tak bisa diwakilkan,” kata Alisya berusaha m
“Apa aku bisa mempercayai ucapanmu sekarang?” tanya Sasti dengan penuh intimidasi. Alisya yang ada di ruangan yang sama langsung membeku mendengar ledakan kemarahan Sasti, dia tahu Sasti wanita yang dingin dan bertangan besi, tapi tidak pernah melihat wanita itu semarah sekarang ini. “Aku awalnya juga tidak percaya tapi semakin aku menyangkalnya semakin banyak bukti yang menunjukkan keterlibatan beliau,” kata Fahri dengan frustasi. Sasti terduduk di kursinya dia sama sekali tak menyangka hal ini akan terjadi. “Kenapa?” tanyanya dengan kekecewaan yang tidak dia tutup-tutupi. “Karena beliau merasa dialah yang pantas ada di posisi puncak.” “Lalu kenapa dia tidak mengambilnya, merebutnya dan bersaing sehat jika dia merasa punya kemampuan.” Fahri hanya menunduk diam tak sanggup menjawab cercaan Sasti karena dia sendiri memang tidak tahu alasannya. “Bagaimana dengan kamu sendiri? Apa kamu juga berpikir hal yang sama?” tanya Sasti tajam. Fahri langsung mengangkat wajahnya dan menatap
Pandu sudah mendengar kasus itu tapi tentu saja dia sama sekali tidak bisa membantu sama sekali. Kekhawatiran menguasai hatinya sejak mendengar kasus itu, meski sekretarisnya bilang semuanya bisa teratasi dengan baik tapi tetap saja dia sangat khawatir pada ibu dari anaknya itu. Entah apa yang dilakukan Alisya, sehingga wanita itu terus saja bercokol dalam benak Pandu, sehari saja tak bertemu membuat lagi-lagi itu dilanda kegelisahan. Apa ini normal? Ayahnya bahkan mengatakan dia seperti ABG yang sedang jatuh cinta. Mungkin memang benar, saat ini dia bisa merasakan jantungnya berdebar saat berhadapan dengan Alisya bahkan ikut tersenyum saat wanita itu tersenyum. Dengan menenggelamkan diri pada pekerjaan sedikit mengalihkan pikiran Pandu dari keinginan untuk menemui Alisya juga putranya. “Pak ada telepon dari ibu Sasti, apa bapak mau menerimanya?” Suara sang sekretaris terdengar dari interkom di depannya
"Mas pulang saja, di sini pasi tidak nyaman," kata Alisya yang melihat Pandu masih duduk dengan tablet di tanganya, laki-laki itu memang tak banyak bicara setelah bulek Par meninggalkan mereka tadi. Pandu meletakkan tabletnya dan mendekati Alisya, dia lalu mengambil botol air mineral dan memberikannya pada Alisya. "Aku tidak ingin minum," kata wanita itu dengan nada protes. "Kata dokter kamu harus banyak minum kalau mau cepat sembuh." "Susah kalau bolak balik ke kamar mandi," bantah wanita itu. "Aku akan menggendongmu ke kamar mandi tenang saja," Alisya menghela napas lalu menerima air itu dan meminumnya sedikit. "Aku serius, mas. Aku tidak masalh di sini sendiri ada suster yang bisa aku panggil kalau butuh bantuan, lagi pula aku takut Bisma nangis dan kasihan papa dan mama." Pandu malah menarik kursi di samping ranjang Alisya dan duduk di sana. "Kenapa kamu hobi sekali mengusirku, ini bukan di rumahmu tidak akan ada tetangga yang usil, lagi pula seperti kata bulek aku akan be
"Ups maaf, sepertinya papa menganggu."Alisya buru-buru menyelesaikan kunyahannya. Astaga. Seharusnya tadi dia menolak keras Pandu yang ingin menyuapinya, dia sudah sembuh hanya tinggal sedikit pusing dan lemas. "Ma...ma!" jerit Bisma tak terima saat sang kakek ingin membawa anak itu keluar. "Biar Bisma sama saya, Pa," kata Alisya meminta putranya."Asip yang kamu berikan habis jadi papa bawa dia kemari."Alisya mengangguk dia bisa menduganya."Terima kasih, Pa. Sudah menjaga Bisma.""Sama-sama, Nak. Papa dan mama senang bisa menjaga Bisma."Rengekan Bisma yang terlihat sangat kehausan membuat laki-laki paruh baya itu tersenyum dan berpamitan menunggu di luar.Alisya menatap Pandu yang masih anteng duduk di tempatnya. "Apa mas sudah tanya pada dokter aku boleh menyusui Bisma apa tidak?" tanyanya. "Oh iya, aku lupa bilang, kamu boleh menyusui Bisma, obat yang kamu minum tidak berpengaruh padanya." Alisya mengangguk, menunggu sampai Pandu berdiri dan keluar api sepertinya laki-lak
"Aku tahu aku tidak berhak mengatakan ini tapi aku tahu kamu bukan orang yang ceroboh."Suara Pandu membuat Alisya menoleh, laki-laki itu juga sedang menatapnya dengan tatapan yang dalam yang mampu membuat dada Alisya berdebar kencang. "Mas terlihat tidak suka jika aku menerima jabatan baru itu?" Alisya berusaha bersikap tenang yang tentu saja sangat sulit dia dapatkan di bawah tatapan Pandu.Seperti yang dia katakan, Pandu sama sekali tak berhak untuk berkomentar, tapi tentu saja, laki-laki itu tak mungkin berkomentar sembarangan tanpa alasan."Bukan tak suka." Pandu menghentikan ucapannya dan menatap Alisya dengan khawatir."Aku hanya tidak ingin kamu mengabaikan Bisma, aku tahu kamu pasti akan menolak jika aku memberikan uang meski dengan alasan untuk Bisma. Lagi pula apa kamu tidak merasa ini terlalu cepat, Fahri dan ayahnya mungkin saja menerima di depan pak Amin tapi dunia bisnis sangat penuh dengan tipu muslihat, aku tak mau kamu menjadi korbannya." Lahir dan besar di keluar
Setelah lima hari di rawat di rumah sakit akhirnya Alisya diperbolehkan pulang juga. Ruangan di rumah sakit yang dia tempati memang presindent suit, dan fasilitas yang dia berikan bahkan lebih baik dari hotel tempat di bekerja, tapi tetap saja dia merindukan kamarnya yang sempit dan hanya menggunakan kasur busa. Sebenarnya Alisya sudah boleh pulang sejak dua hari yang lalu tapi karena dia masih terlihat lemas dan pucat, Pandu yang entah bagaimana ceritanya menjadi walinya menolak saat dokter memperbolehkannya pulang. Konyol memang di saat banyak orang yang ingin cepat keluar dari rumah sakit karena biayanya yang selangit, juga karena tidak nyaman di sana. "Sudah semua tidak ada yang tertinggalkan?" tanya Pandu."Sudah semua dari tadi," kata wanita itu, sambil menepuk-nepuk punggung Bisma yang terlihat sekali tak ingin jauh darinya. Kasihan sekali putranya itu harus terpisah darinya selama dia dirawat di sini. Kadang memang papa atau mama mertuanya membawa Bisma padanya untuk ASI
Alisya berdiri melongo di depan rumahnya. "Lis, kok berdiri bengong saja di situ," tegur Bulek Par, padahal Bisma sudah dibawa masuk oleh Rani, Alisya malah masih bengong di samping mobil yang tadi dikirim oleh Pandu untuk menjemputnya. "Eh iya bulek, memang barangnya harus sebanyak ini ya?" tanya Alisya bego. Tadi setelah bulek Par menghubunginya, Alisya langsung menghubungi ayah mertuanya untuk bertanya kiriman apa yang diberikan, tapi sayang sekali sudah beberapa kali dia melakukan panggilan tapi tidak diangkat membuat Alisya langsung menghubungi Pandu yang langsung dijawab pada deringan pertama. Kiriman barang-barang pribadi laki-laki di rumah orang tuanya, katanya. Akan tetapi Alisya sama sekali tidak memprediksi kalau barang-barang pribadi si tuan muda ternyata sebanyak ini. Tiga koper besar yang Alisya tebak berisi pakaian dan perlengkapan lainnya milik Pandu, ditambah lagi meja lengkap dengan kursi kerjanya juga buku-buku dan baru saja datang lagi seperangkat meja
"Aku sedang meeting dengan klien dari Jepang lanjut makan siang nanti. Kamu dan Bisma akan makan siang di mana? Atau aku kirim saja makan siang dari restoran favoritku?" Pesan itu sudah diterima sekitar pukul sepuluh tadi tapi karena ada banyak pekerjaan yang harus dia selesaikan Alisya baru bisa membukanya pada pukul sebelas, satu jam sebelum makan siang dan beberapa kali Pandu juga sudah menghubunginya/ Wanita itu tertegun menatap ponselnya, bukan karena berpikir ingin memesan menu apa melalui Pandu tapi karena hal ini adalah sesuatu yang asing untuknya. Selama hidupnya dia tidak pernah mendapat perhatian seperti ini dari laki-laki. Sejak muda dia sama sekali tidak punya waktu untuk mengenal istilah pacaran, hidupnya dulu dihabiskan dengan belajar giat supaya beasiswanya tidak lepas, pun setelah lulus kuliah dia konsentrasi untuk bekerja menggantikan ibunya, apalagi setelah itu sang ibu mulai sakit-sakitan. Laki-laki yang dekat dengannya hanya Pram, itupun tidak pernah melaku
"Kamu yakin mau kerja hari ini?" tanya Pandu entah untuk keberapa kalinya. "Iya aku sudah banyak absen, pekerjaanku pasti menumpuk, belum lagi mbak Sasti bilang Fahri mengundurkan diri," kata Alisya. Pandu yang sedang memangku Bisma sambil minum susu menatap Alisya dengan tatapan yang begitu dalam, yang sama sekali tidak diketahui artinya oleh wanita itu. Alisya menahan lidahnya untuk bertanya lebih jauh. Perkataan Pandu kalau perpisahannya dengan Sekar adalah sebuah kesalahan membuat hatinya terluka, tapi dia berusaha menekan egonya saat terdengar rengekan putra mereka dan bagaimana laki-laki yang sehari-hari itu dilayani oleh beberapa orang mau memandikan putra mereka dan memberi ASIP. Alisya tidak buta untuk bisa melihat kalau Pandu begitu menyayangi Bisma. Alisya pasti akan menyampaikan ganjalannya itu pada Pandu, sekaligus mencari tahu seberapa serius laki-laki itu dengan hubungan yang baru berjalan. "Tidak bisakah kamu resign saja aku bisa memenuhi kebutuhanmu dan Bisma, s
Alisya yang sekarang bukan Alisya yang dulu. Wanita itu tak hanya bisa menunduk dan melakukan yang dia katakan.Duduk dalam satu ruangan bersama wanita ini sebagai suami istri sudah menjadi angan dalam diri Pandu entah sejak kapan dan pelan-pelan menjadi obsesi untuknya sehingga dia menerima saja rencana sang ayah, akan tetapi dia boleh tersenyum senang sekarang rencana Tuhan ternyatag jauh lebih indah meski dia juga harus membereskan beberapa hal setelah ini. "Apa syarat yang ingin kamu ajukan katakanlah," kata Pandu dengan yakin. Mungkin sejak dia melihat sendiri kalau Alisya ternyata masih perawan, atau saat melihat wanita itu berusaha keras melawannya untuk menemui sang ibu yang sekarat atau mungkin saja saat Alisya memutuskan pergi dari rumah mereka, cinta itu hadir dalam hatinya. Dulu dia mengagumi gadis kecil yang dengan berani menolongnya dan menyatakan gadis itu sebagai cinta pertamanya, saat dia menemukan gadis itu Pandu berusaha keras untuk mencintainya meski logikanya
"Awalnya saja kamu sok jual mahal, ternyata malah membuat drama murahan seperti ini."Semua orang sudah pulang, bahkan bulek Par yang terlihat kelelahan juga sudah permisi pulang meninggalkan Pandu beserta kedua orang tuanya di sini. "Ma!" tegur dua orang laki-laki dewasa itu bersamaan. Alisya langsung menunduk, dia tahu cepat atau lambat ini akan terjadi, seharusnya dia lebih keras berusaha untuk menolak dan menjelaskan semuanya dengan lebih baik. Saat bekerja tidak jarang dia melakukan negosiasi dengan para klien tapi entah kenapa tadi dia sama sekali tidak bisa meng-argue para tetangga yang datang begitu juga dengan Pandu yang terlihat sama sekali tidak bisa berbuat banyak. "Maafkan saya." "Kamu tidak salah, Al. Pak RT hanya datang di saat yang tidak tepat saja, kamu tahu diantara kita berdua tidak ada yang salah, itu kecelakaan," kata Pandu sambil menggenggam tangan Alisya erat. "Papa senang kalian akhirnya kembali bersama," kata ayah Pandu yang langsung menghentikan perd
Alisya sudah siap jika Pram akan mencercanya dengan semua stock kata-kata kasar yang laki-laki itu miliki saat mereka duduk bersama seperti ini. "Untung aku tidak terkena serangan jantung saat kamu menghubungiku tadi," kata Pram tenang, terlalu tenang membuat Alisya malah menatap sengit teman baiknya itu. "Jangan lebai deh Pram, kamu nggak punya bakat jantungan aku tahu itu," kaa Alisya dengan tidak suka. "Jantungan itu biasanya karena kaget bukan karena bakat, kamu tuh kalau soal duit aja pinter tapi kok bisa jatuh di lubang yang sama dua kali," omel laki-laki itu yang membuat Alisya menarik napas dengan lega. "Syukurlah kamu sudah normal, hampir saja aku tadi suruh pak ustad untuk sekalian rukiyah kamu." Pram langsung melotot tak terima dan menggeplak kepala Alisya galak, dia bahkan tak peduli saat wanita itu mengaduh berlebihan. "Aku baru keluar dari rumah sakit tahu," omelnya kesal. "Terus kamu mau ngadu sama suamimu gitu," ejek Pram. Alisya terdiam dan kali ini wajahnya be
Tidak pernah ada dalam bayangannya sekalipun hal ini akan terjadi padanya. Dia sangat malu tentu saja.Apalagi salah satu dari mereka bilang. " Kasihan ayah dan ibunya dulu mereka orang yang sangat taat, kenapa anaknya jadi seperti itu." Alisya sudah berusaha menjelaskan bahkan sampai berderai air mata, tapi mereka sama sekali tak percaya sedangkan Pandu yang juga mencoba menjelaskan semua juga bernasib sama.Alisya tahu ini memang kecelakaan yang tak disengaja, tapi tetap saja dia kesal pad Pandu. Andai laki-laki itu mau menuruti perkataannya dan pulang lebih awal tentu hal ini tak perlu terjadi. "Ma..ma!""Maaf mbak, ini Bisma nangis terus manggil mamanya," kata Rani yang terlihat sekali lebih suka disuruh gendong si gembul Bisma seharian dari pada masuk ke kamar Alisya. Wanita yang sejak tadi hanya duduk melamun di atas ranjangnya itu langsung menoleh dan menatap penuh rasa bersalah pada putranya. "Sini Bisma Ran, tolong bantu bulek di dapur," kata Alisya dengan pelan."Baik,
"Jadi itu mantan suamimu, Lis. Kok masih nempel padahal kalian sudah bercerai." Mulut orang kalau sudah nyinyir memang menyebalkan sekali. Alisya memang sangat menyukai suasana di desa ini, pemandangannya yang indah, suasananya yang sejuk dan nyaman juga kekeluargaan yang masih terikat erat, tapi juga tak bisa menampik hal yang mengikuti itu semua yaitu para tetangga yang suka nyinyir dan ikut campur meski dengan dalih peduli sesama.Seperti kali ini, para tetangga langsung datang berbondong- bondong menjenguk begitu tahu Alisya sudah keluar dari rumah sakit, tapi tentu saja pertanyaan demi pertanyaan yang mereka lontarkan membuat Dia jengah."Ada beberapa hal yang membuat kami berpisah," kata Alisya berusaha bersikap seramah mungkin."Oalah anak jaman sekarang ya gitu, nikah ada masalah dikit langsung cerai sukanya malah pacaran yang nggak jelas begitu, ingat Lis itu dosa, lebih baik kalian rujuk. Rumah tangga itu tidak selamanya indah dengan siapapun itu." Alisya hanya meringis da
Setelah lima hari di rawat di rumah sakit akhirnya Alisya diperbolehkan pulang juga. Ruangan di rumah sakit yang dia tempati memang presindent suit, dan fasilitas yang dia berikan bahkan lebih baik dari hotel tempat di bekerja, tapi tetap saja dia merindukan kamarnya yang sempit dan hanya menggunakan kasur busa. Sebenarnya Alisya sudah boleh pulang sejak dua hari yang lalu tapi karena dia masih terlihat lemas dan pucat, Pandu yang entah bagaimana ceritanya menjadi walinya menolak saat dokter memperbolehkannya pulang. Konyol memang di saat banyak orang yang ingin cepat keluar dari rumah sakit karena biayanya yang selangit, juga karena tidak nyaman di sana. "Sudah semua tidak ada yang tertinggalkan?" tanya Pandu."Sudah semua dari tadi," kata wanita itu, sambil menepuk-nepuk punggung Bisma yang terlihat sekali tak ingin jauh darinya. Kasihan sekali putranya itu harus terpisah darinya selama dia dirawat di sini. Kadang memang papa atau mama mertuanya membawa Bisma padanya untuk ASI