Detak jam di dinding membuat dada Diana berdebar keras. Sejak tadi, tak henti-hentinya dia memperhatikan jarumnya yang bergerak pelan bagai siput di pinggir kanal. Waktu seakan merangkak, menyiksanya dalam penantian. Dia menajamkan pendengaran, berharap suara langkah kaki melewati kamarnya hingga dia merasa yakin pria itu kembali dari kantornya.
Sudah pukul sembilan malam lewat tujuh, namun tidak juga ada tanda bahwa pria itu telah pulang ke rumah. Diana menunggu dengan tidak sabar di kamarnya sendiri, karena mereka masih menempati kamar masing-masing. Tampaknya, Mike sengaja membuat pengaturan tak tertulis, bahwa dia tidak ingin berada satu kamar denga
Jika ada yang bilang, bidadari hanya ada di surga, maka Mike bisa pastikan bahwa orang itu salah. Karena pada kenyataannya ada satu bidadari yang kini terlelap dalam dekapannya. Dia bahkan tidak tahu lagi harus bagaimana menghadapi bidadarinya, karena sejak sejam yang lalu Mike tetap mempertahankan posisi dengan tubuh menyamping, melilitkan tangan di sekitar tubuh Diana, menjaganya agar tidak terbangun sembari memandangi wajah cantik yang mampu menundukkan pandangannya untuk selalu menatap wajah itu. Mike beregerak sehalus mungkin untuk bisa menyentuh wajah Diana, menjalankan jari-jemarinya di sepanjang pipi, menyelipkan anak rambut yang menghalangi kecantikan istrinya.
Dua minggu setelah pernikahan, rasanya semua berlalu biasa saja tanpa ada perubahan. Mike masih sama dinginnya, dan dia tidak pernah diizinkan masuk ke kamar pria itu lagi setelah hari itu, dan di sinilah akhirnya Diana terdampar. Di antara tumpukan buku dalam perpustakaan pribadi pria itu. Reina yang sejak tadi serius menekuni satu bacaan akhirnya mendongak, tatkala mendengar suara helaan napas Diana.“Apakah Anda lapar Nyonya?” tanyanya, meletakkan kembali buku dalam genggaman. Diana menggeleng pelan.
Diana berdiri di depan kamar Mike sejak lima menit yang lalu. Pria itu bahkan tidak membukakan pintu untuknya, membuat Diana merasa teramat sedih. Berkali-kali dia mengetuk pintu, tetapi sebanyak itu pula lelaki itu mengabaikannya dan memilih diam serta mengurung diri di dalam kamar tanpa mau menyahut panggilannya.“Mike .... ““ .... ““Mike, kumohon buka pintunya.”“ .... ““Tak bi
Diana memakai gaun putih panjang selutut dan stiletto krem bersanding dengan clutch bag berwarna senada. Wajahnya telah dirias dengan polesan make up sederhana yang tampak natural. Dia bahkan terlihat sangat cantik dengan penampilannya itu. Begitu membuka pintu, Diana hanya bisa mematung, mendapati Mike yang berdiri di hadapannya. Mata mereka bertemu pandang. Sekian detik lamanya, Diana menahan napas, merasakan getaran aneh yang menjalar di sepanjang tubuhnya, bagai sengatan listrik.“Ada apa dengan pakaianmu?” tanya Mike heran melihat penampilan Diana.Diana hanya diam dan membuang wajah dari Mike, berlalu begitu saja meninggalkan pria itu. Melihat sikap Diana baru
“Kau tidak mengerti Alain! Pernikahan ini membuatku tersiksa. Berkali-kali aku mencoba untuk mencintaimu, tetapi ternyata aku tidak bisa ... aku masih sangat mencintainya!” Mére membentak Pére di hadapanku. Wajah putihnya kini memerah.Aku tidak tahu apa yang terjadi, tetapi mereka sering bertengkar seperti ini.“Kumohon Lyly, jangan tinggalkan aku, aku masih sangat mencintaimu.”
Diana meringkuk di atas tempat tidur. Dia menahan suaranya agar tidak terisak, namun ternyata sulit karena pada akhirnya dia tetap menangis dan isakan kecil mengisi kamarnya yang temaram. Ini malam kelima sejak dia dan Mike tidak lagi berbicara. Diana tidak tahu harus bagaimana, semakin hari hubungannya dengan Mike semakin buruk. Pria itu bahkan tidak menganggapnya ada, membuatnya semakin merasa asing dan terabaikan.Suara sepatu pantofel yang menapaki lantai menghenti-kan tangisnya, sekuat mungkin Diana menahan isakan. Dia menunggu langkah kaki itu melewati kamarnya, namun Diana heran saat suara sepatu itu berhenti tepat di depan kamarnya, dan gemerincing kunci yang saling beradu semakin menambah keheranannya. Dia menunggu dengan waswas. Dan ketika pintu kamarnya terbuka, Diana men
DIANASetelah mengantar Mike pergi kerja, Diana kembali dengan rutinitasnya menjelajahi rumah, seperti biasa. Dia menuju paviliun dan saat itulah Diana melihat lorong kecil menuju sisi lain rumah ini. Beberapa kali dia ingin menuju ke sana, tetapi dia merasa takut karena tidak pernah ada pembantu ataupun penjaga yang pernah menuju ke tempat itu. Rasa penasaran mengalahkan keraguannya. Kaki Diana bergerak perlahan menuju lorong gelap, kecil dan sedikit menyeramkan karena tidak ada tanda-tanda manusia yang pernah mengunjungi tempat itu.Diana berhenti tepat di tengah lorong, terpaku beberapa saat di ujung langkahnya, pada sebuah pintu yang menjadi jalan buntu, mengantarkannya pada akhir lorong ters
Sudah beberapa hari Mike sibuk dengan pekerjaannya. Ia bahkan lupa jika Diana ada dalam hidupnya, karena terlalu tenggelam dalam bisnis yang saat ini sedang dijalankan. Mike hanya pulang sebentar ke rumah untuk mengecek Diana, setelah itu dia akan kembali lagi ke kantor hingga esok pagi. Diana mencoba untuk mengerti kesibukan suaminya, tapi sikap manjanya membuat ia tidak bisa bersabar. Perkelahian kecil kerap kali terjadi di antara mereka, meskipun yang paling bersikeras di antara keduanya adalah Diana sendiri.“Kau bahkan tidak ada waktu untukku.” Diana merengut pada Mike yang baru saja pulang.Terlihat wajah Mike begitu lelah, bahkan pria itu tidak sempat mengurus dirinya. Kemejanya sudah dua hari
“DisneyLand”Jake tidak ikut ke mansionku, dia memilih langsung pulang ke rumahnya. Calon istrinya sedang menunggu di sana. Sayang sekali, padahal aku ingin mengajaknya untuk bertemu Jasmin dan Blair karena sudah lama dia tidak bertemu dengan keluarga kecilku, terutama Blair yang belum pernah dia temui.
“Paris, four Years Latter”Suara gaduh yang kurindukan, tawa dan keributan kecil dari putera-puteriku selalu menyambut pagi setiap kali kuterjaga. Tanganku meraba sisi di sebelahku berbaring yang kini telah kosong, terasa dingin seakan sudah lama ditinggalkan.Penciumanku disapa oleh nikmatnya aroma mentega dan manisnya madu bersama roti bakar, kurasa dia sudah memulai aktivitasnya di dapur. Aku bergegas bangun dan bersiap memulai kesibukan hari ini.
Salju di bulan Desember tampak menghiasi Avenue des Champs-Elysées, jalanan yang menghubungkan Concorde dan Arc de Triomphe, dijuluki sebagai belle avenue du monde—jalan terindah di dunia—kini ramai dikunjungi wisatawan, karena hari libur panjang untuk menyambut tahun baru.Seorang wanita dengan coat merah dan syal maroon tengah meniti langkah hati-hati di antara deretan lampu berpendar kuning keemasan dan jejeran pohon natal berhias lonceng, juga pita di setiap pertokoan sudut kota.Wanita itu tersenyum sumringah sembari mengelus perutnya yang tertutupi dengan baik melalui coat merahnya. Dia memasu
Diana memilih menghabiskan waktu siang itu dengan tiduran di atas kasur, dia sangat malu menunjukkan mukanya di depan anggota keluarga Hill yang lain. Mike bahkan kehabisan akal untuk membujuknya keluar.“Diana, apa kau di dalam?” Suara Savira membuat Diana terjaga.“Iya, ada apa?” tanyanya sembari berjalan membukakan pintu. Terlihat Savira sudah siap dengan kaus longgar selutut dan celana jeans pendek.“Ayo, aku ingin mengajakmu naik sepeda ke Place de la Concorde,” ajaknya.Diana mengerutkan
Cahaya matahari mengintip masuk ke kamar luas yang Diana tempati, membuat wanita itu menggeliat gelisah karena silau. Perlahan mata indah Diana terbuka, ia melihat jendela kamarnya yang sedikit terbuka dengan cahaya terang di tengah.Kepala Diana bergeser melirik ke sebelah, sisi kasur yang lain, tidak ada siapa-siapa di sana. Membuat Diana mengernyit heran. Dengan gerakan refleks Diana bangkit dari duduk dan mencari keberadaan suaminya di kamar luas tersebut, tapi tak ada tanda-tanda keberadaan Mike di sana.Diana bergegas turun dari kasur dan masuk ke kamar mandi, sekedar mencuci muka dan menggosok gigi sebelum turun ke bawah untuk bergabung bersama keluarga Hill lainnya. Di meja makan tampak Asley dan boneka b
Cuaca kota Paris pagi itu sangat cerah. Diana bersemangat dan menarik tangan Mike untuk bergegas jalan-jalan keluar.“Ke mana kita akan pergi pagi ini?” tanya Mike yang sama antusiasnya.Diana mengeluarkan senjata andalan, sebuah peta kota Paris dari tas tangan. Mike mengernyit menatap peta yang Diana pegang.“Diana, kenapa kau membawa benda itu?” tanya Mike tak suka.“Tentu saja untuk keliling Paris agar tidak tersesat,” sungutnya pada Mike.
Diana merentangkan tangan, menarik napas menghirup udara musim semi kota Paris. Sekarang sudah jam satu siang, mereka baru saja tiba dan sedang berdiri di luar pintu kedatang-an Bandara Charles de Gaulle. Empat belas jam di dalam pesawat membuatnya bosan. Berkali-kali dia mengganggu Mike yang tidur dalam pesawat hanya untuk mendengarkannya bercerita tentang rencana bulan madu yang telah ia persiapkan.“Apa kau lelah?” tanya Mike yang berjalan di belakang. Diana mengangguk dan menoleh pada Mike.“Kau tidak lelah?” Diana melihat Mike yang masih seg
Tatapan Diana jatuh pada Mike yang masuk begitu saja dari pintu depan. Wanita itu menegang di tempat hendak memarahinya, namun Mike tak peduli dan terus menerjang Diana, menarik wanita itu dalam pelukannya. Dia mencium puncak kepala Diana dan membuat wanita itu menjeritkan penolakan.“Kumohon, jangan menolakku kali ini. Biarkan aku memelukmu sebentar, beri aku waktu lima menit setelahnya aku akan pergi seperti yang kau inginkan,” bisik Mike tepat di telinga Diana. Wanita itu terisak dan menghentikan rontanya, dia membiarkan Mike mengelus lembut puncak kepala serta punggungnya.“Biarkan aku mewujudkan impianmu dan impian ayahmu, jadikan aku pria beruntung yang memilikimu.”
Hari pertama setelah kejadian tersebut. Mike mencari tahu siapa dalang di balik semua ini. Dia akan menuntaskannya hingga ke akar. Tangannya meremas ponsel hendak menghancur-kan benda tipis itu. Jake yang sedari tadi diam akhirnya menghirup udara dan mulai bersuara.“Mereka pasti akan menemukannya, Mike.”Orang yang diajak bicara hanya menatap datar dengan senyum sinis. Dia terus meremas ponselnya yang andaikan bisa berbicara pasti benda mati itu berteriak meminta lepas dari cengkraman Mike yang tampak tidak sabar sembari menahan amarah.“Aku akan me