DIANA
Setelah mengantar Mike pergi kerja, Diana kembali dengan rutinitasnya menjelajahi rumah, seperti biasa. Dia menuju paviliun dan saat itulah Diana melihat lorong kecil menuju sisi lain rumah ini. Beberapa kali dia ingin menuju ke sana, tetapi dia merasa takut karena tidak pernah ada pembantu ataupun penjaga yang pernah menuju ke tempat itu. Rasa penasaran mengalahkan keraguannya. Kaki Diana bergerak perlahan menuju lorong gelap, kecil dan sedikit menyeramkan karena tidak ada tanda-tanda manusia yang pernah mengunjungi tempat itu.
Diana berhenti tepat di tengah lorong, terpaku beberapa saat di ujung langkahnya, pada sebuah pintu yang menjadi jalan buntu, mengantarkannya pada akhir lorong ters
Sudah beberapa hari Mike sibuk dengan pekerjaannya. Ia bahkan lupa jika Diana ada dalam hidupnya, karena terlalu tenggelam dalam bisnis yang saat ini sedang dijalankan. Mike hanya pulang sebentar ke rumah untuk mengecek Diana, setelah itu dia akan kembali lagi ke kantor hingga esok pagi. Diana mencoba untuk mengerti kesibukan suaminya, tapi sikap manjanya membuat ia tidak bisa bersabar. Perkelahian kecil kerap kali terjadi di antara mereka, meskipun yang paling bersikeras di antara keduanya adalah Diana sendiri.“Kau bahkan tidak ada waktu untukku.” Diana merengut pada Mike yang baru saja pulang.Terlihat wajah Mike begitu lelah, bahkan pria itu tidak sempat mengurus dirinya. Kemejanya sudah dua hari
Julian baru saja keluar dari mobil setelah memarkirnya di garasi saat tiba-tiba dia mendengar suara langkah kaki setengah berlari mengahampiri. Waspada, bersikap siaga Julian pun berbalik dan melihat Diana berlari ke arahnya dengan pandangan menghunus tajam. Dahinya mengerut melihat ekspresi Diana yang jelas menunjukkan kemarahan entah pada siapa."Menyingkir!" bentak Diana dengan suara melengking tinggi. J
Nia membukakan pintu dan terkejut saat mendapati Diana mematung di hadapannya dengan wajah sembab dan mata bengkak. Lama dia termangu menyaksikan sahabatnya yang menatap kosong padanya, seolah jiwanya berkelana jauh dan tidak kembali ke raga.“Diana?” panggil Nia lembut sembari menyentuh lengan Diana, membawa wanita itu ke dalam kontrakannya yang kecil.Diana hanya diam mengikuti, seperti robot, patuh. Setelah mendudukkan Diana di sofa, Nia mengambil handuk dan membasahinya. Dia tidak tahu apa yang terjadi, namun melihat reaksi serta ekspersi Diana barusan sudah menggambarkan padanya dengan jelas bahwa sesuatu yang buruk sedang terjadi, sama seperti ketika Diana kehilangan ayahnya. Reaksi yang d
Diana mendorong tubuh Mike yang memeluknya. Satu tamparan mendarat mulus di wajah murung penuh rasa bersalah itu. Mike menatap Diana dengan pandangan sedih bergelayut penyesalan, tidak ada kemarahan di sana. Mereka diam cukup lama sebelum akhirnya Mike menghela napas dan bermaksud menarik Diana dalam dekapannya kembali, menunjukkan bahwa dia takut kehilangan wanita itu, namun Mike hanya menyentuh kekosongan saat Diana bergerak mundur dari posisi duduk mereka hingga wanita itu terkurung antara tembok dan dirinya.“Pergi!” jerit Diana setengah mendesis.Mike terenyuh, mendapati tatapan Diana yang ingin mencabik dan penuh kebencian. Bibir pria itu menipis semakin muram, gejolak hatinya tampak jelas di wa
Hari pertama setelah kejadian tersebut. Mike mencari tahu siapa dalang di balik semua ini. Dia akan menuntaskannya hingga ke akar. Tangannya meremas ponsel hendak menghancur-kan benda tipis itu. Jake yang sedari tadi diam akhirnya menghirup udara dan mulai bersuara.“Mereka pasti akan menemukannya, Mike.”Orang yang diajak bicara hanya menatap datar dengan senyum sinis. Dia terus meremas ponselnya yang andaikan bisa berbicara pasti benda mati itu berteriak meminta lepas dari cengkraman Mike yang tampak tidak sabar sembari menahan amarah.“Aku akan me
Tatapan Diana jatuh pada Mike yang masuk begitu saja dari pintu depan. Wanita itu menegang di tempat hendak memarahinya, namun Mike tak peduli dan terus menerjang Diana, menarik wanita itu dalam pelukannya. Dia mencium puncak kepala Diana dan membuat wanita itu menjeritkan penolakan.“Kumohon, jangan menolakku kali ini. Biarkan aku memelukmu sebentar, beri aku waktu lima menit setelahnya aku akan pergi seperti yang kau inginkan,” bisik Mike tepat di telinga Diana. Wanita itu terisak dan menghentikan rontanya, dia membiarkan Mike mengelus lembut puncak kepala serta punggungnya.“Biarkan aku mewujudkan impianmu dan impian ayahmu, jadikan aku pria beruntung yang memilikimu.”
Diana merentangkan tangan, menarik napas menghirup udara musim semi kota Paris. Sekarang sudah jam satu siang, mereka baru saja tiba dan sedang berdiri di luar pintu kedatang-an Bandara Charles de Gaulle. Empat belas jam di dalam pesawat membuatnya bosan. Berkali-kali dia mengganggu Mike yang tidur dalam pesawat hanya untuk mendengarkannya bercerita tentang rencana bulan madu yang telah ia persiapkan.“Apa kau lelah?” tanya Mike yang berjalan di belakang. Diana mengangguk dan menoleh pada Mike.“Kau tidak lelah?” Diana melihat Mike yang masih seg
Cuaca kota Paris pagi itu sangat cerah. Diana bersemangat dan menarik tangan Mike untuk bergegas jalan-jalan keluar.“Ke mana kita akan pergi pagi ini?” tanya Mike yang sama antusiasnya.Diana mengeluarkan senjata andalan, sebuah peta kota Paris dari tas tangan. Mike mengernyit menatap peta yang Diana pegang.“Diana, kenapa kau membawa benda itu?” tanya Mike tak suka.“Tentu saja untuk keliling Paris agar tidak tersesat,” sungutnya pada Mike.
“DisneyLand”Jake tidak ikut ke mansionku, dia memilih langsung pulang ke rumahnya. Calon istrinya sedang menunggu di sana. Sayang sekali, padahal aku ingin mengajaknya untuk bertemu Jasmin dan Blair karena sudah lama dia tidak bertemu dengan keluarga kecilku, terutama Blair yang belum pernah dia temui.
“Paris, four Years Latter”Suara gaduh yang kurindukan, tawa dan keributan kecil dari putera-puteriku selalu menyambut pagi setiap kali kuterjaga. Tanganku meraba sisi di sebelahku berbaring yang kini telah kosong, terasa dingin seakan sudah lama ditinggalkan.Penciumanku disapa oleh nikmatnya aroma mentega dan manisnya madu bersama roti bakar, kurasa dia sudah memulai aktivitasnya di dapur. Aku bergegas bangun dan bersiap memulai kesibukan hari ini.
Salju di bulan Desember tampak menghiasi Avenue des Champs-Elysées, jalanan yang menghubungkan Concorde dan Arc de Triomphe, dijuluki sebagai belle avenue du monde—jalan terindah di dunia—kini ramai dikunjungi wisatawan, karena hari libur panjang untuk menyambut tahun baru.Seorang wanita dengan coat merah dan syal maroon tengah meniti langkah hati-hati di antara deretan lampu berpendar kuning keemasan dan jejeran pohon natal berhias lonceng, juga pita di setiap pertokoan sudut kota.Wanita itu tersenyum sumringah sembari mengelus perutnya yang tertutupi dengan baik melalui coat merahnya. Dia memasu
Diana memilih menghabiskan waktu siang itu dengan tiduran di atas kasur, dia sangat malu menunjukkan mukanya di depan anggota keluarga Hill yang lain. Mike bahkan kehabisan akal untuk membujuknya keluar.“Diana, apa kau di dalam?” Suara Savira membuat Diana terjaga.“Iya, ada apa?” tanyanya sembari berjalan membukakan pintu. Terlihat Savira sudah siap dengan kaus longgar selutut dan celana jeans pendek.“Ayo, aku ingin mengajakmu naik sepeda ke Place de la Concorde,” ajaknya.Diana mengerutkan
Cahaya matahari mengintip masuk ke kamar luas yang Diana tempati, membuat wanita itu menggeliat gelisah karena silau. Perlahan mata indah Diana terbuka, ia melihat jendela kamarnya yang sedikit terbuka dengan cahaya terang di tengah.Kepala Diana bergeser melirik ke sebelah, sisi kasur yang lain, tidak ada siapa-siapa di sana. Membuat Diana mengernyit heran. Dengan gerakan refleks Diana bangkit dari duduk dan mencari keberadaan suaminya di kamar luas tersebut, tapi tak ada tanda-tanda keberadaan Mike di sana.Diana bergegas turun dari kasur dan masuk ke kamar mandi, sekedar mencuci muka dan menggosok gigi sebelum turun ke bawah untuk bergabung bersama keluarga Hill lainnya. Di meja makan tampak Asley dan boneka b
Cuaca kota Paris pagi itu sangat cerah. Diana bersemangat dan menarik tangan Mike untuk bergegas jalan-jalan keluar.“Ke mana kita akan pergi pagi ini?” tanya Mike yang sama antusiasnya.Diana mengeluarkan senjata andalan, sebuah peta kota Paris dari tas tangan. Mike mengernyit menatap peta yang Diana pegang.“Diana, kenapa kau membawa benda itu?” tanya Mike tak suka.“Tentu saja untuk keliling Paris agar tidak tersesat,” sungutnya pada Mike.
Diana merentangkan tangan, menarik napas menghirup udara musim semi kota Paris. Sekarang sudah jam satu siang, mereka baru saja tiba dan sedang berdiri di luar pintu kedatang-an Bandara Charles de Gaulle. Empat belas jam di dalam pesawat membuatnya bosan. Berkali-kali dia mengganggu Mike yang tidur dalam pesawat hanya untuk mendengarkannya bercerita tentang rencana bulan madu yang telah ia persiapkan.“Apa kau lelah?” tanya Mike yang berjalan di belakang. Diana mengangguk dan menoleh pada Mike.“Kau tidak lelah?” Diana melihat Mike yang masih seg
Tatapan Diana jatuh pada Mike yang masuk begitu saja dari pintu depan. Wanita itu menegang di tempat hendak memarahinya, namun Mike tak peduli dan terus menerjang Diana, menarik wanita itu dalam pelukannya. Dia mencium puncak kepala Diana dan membuat wanita itu menjeritkan penolakan.“Kumohon, jangan menolakku kali ini. Biarkan aku memelukmu sebentar, beri aku waktu lima menit setelahnya aku akan pergi seperti yang kau inginkan,” bisik Mike tepat di telinga Diana. Wanita itu terisak dan menghentikan rontanya, dia membiarkan Mike mengelus lembut puncak kepala serta punggungnya.“Biarkan aku mewujudkan impianmu dan impian ayahmu, jadikan aku pria beruntung yang memilikimu.”
Hari pertama setelah kejadian tersebut. Mike mencari tahu siapa dalang di balik semua ini. Dia akan menuntaskannya hingga ke akar. Tangannya meremas ponsel hendak menghancur-kan benda tipis itu. Jake yang sedari tadi diam akhirnya menghirup udara dan mulai bersuara.“Mereka pasti akan menemukannya, Mike.”Orang yang diajak bicara hanya menatap datar dengan senyum sinis. Dia terus meremas ponselnya yang andaikan bisa berbicara pasti benda mati itu berteriak meminta lepas dari cengkraman Mike yang tampak tidak sabar sembari menahan amarah.“Aku akan me