"Kalian berdua ngapain di sini?" Gadis berambut pendek dengan poni yang jatuh tepat di atas kedua alis cokelat tua yang indah melengkung bak bulan sabit di tengah langit malam itu kini menyela. Tatapannya menelisik. Tajam mengarah pada jari jemari panjang milik Malik yang kini mulai perlahan melepas genggamannya dari ujung rok pendek yang dikenakan oleh Xena.
"Tangan itu ...." Nea ragu menunjuk pergerakan kecil yang dilakukan oleh Malik. Membuat Xena ikut menoleh dan menundukkan pandangannya. Ia terlalu terkejut dengan kedatangan Xena yang tiba-tiba saja menyela dan meneriakkan nama Malik dengan lantang bersama sisipan emosi yang sedikit menggebu hingga Xena lupa untuk membuat jari tangan Malik lepas dari ujung rok pendek miliknya.
"Lo mau mesum ke sahabat gue?!" pekik Nea sigap menarik tubuh Xena untuk berdiri di belakangnya. Menjauhkan di sahabat baik agar tak berjarak dekat dengan Abian Malik Guinandra.
Remaja jangkung itu berdiri. Yang tadinya ia butuh untuk me
Xena menatap remaja jangkung yang ada di depannya. Tak acuh pada Nea, si teman sebangku yang masih sibuk memainkan pena hitam di dalam genggamannya. Gadis itu bimbang. Apa yang dikatakan Nea sebelum mereka datang dan masuk kembali ke dalam kelas untuk mengikuti pembelajaran yang berlangsung. Apa yang dikatakan oleh Nea sukses menjadi beban pikiran untuk Xena. Mengetahui fakta bahwa sang saudara tiri begitu memperdulikannya tentu menjadi tamparan tersendiri untuk seorang gadis cantik bermata mirip indahnya kacang almond itu. Dalam peringai yang ditunjukkan oleh Malik untuknya, remaja itu tergolong remaja yang tak acuh. Tak banyak memperhatikan Xena kalau sudah masuk ke dalam lingkungan sekolah. Bukan sebab Malik yang menginginkannya, akan tetapi ia hanya mengikuti perjanjian yang disepakati remaja itu bersama sang saudara tiri, Xena Ayudi Bridella."Menurut lo Daffa beneran bohong sama gue?" Nea menyela. Memecah fokus gadis yang ada di sisinya untuk menoleh dan menanggapi kalim
Langkahnya gontai menyapu jalan setapak yang menjadi alas pijakannya saat ini. Kelas telah usai, perjalan pulang pun sudah ditempuh gadis itu tanpa ada keraguan sedikitpun, kini saatnya ia menyambangi rumah tercinta. Dalam harap yang akan menyambutnya kali ini adalah sang mama atau kalau tak beruntung, boleh lah sang papa yang tersenyum membukakan pintunya. Mengingat ini adalah hari terakhir sebelum akhir pekan datang menyapa. Memungkaskan segala aktivitas dan lelah yang menjadi rutinitas warga Kota Jakarta dalam menjemput kehidupan dan mengikuti alur garis kehidupan.Xena melepas sepatunya. Melemparnya asal tak tentu arah dan tempatnya, yang terpenting untuk Xena sepatu lusuh itu pergi dari hadapannya sekarang. Masa bodoh dengan kemana perginya sepatu itu selepas ia melemparnya."Lo baru balik?" Seseorang menyela. Selepas pintu gerbang ditutup rapat kembali, perawakan tubuh jangkung berseragam cokelat muda identik dengan yang digunakan oleh Xena tertangkap jelas oleh se
Suara dentingan sendok dan garpu yang saling beradu di atas permukaan piring kini mulai samar terdengar. Suasana sepi mulai surut, selepas Arjuna --sapaan nama untuk papa tiri dari Xena-- memecah keheningan. Selepas menyeka bibirnya dengan tisu, ia memanggil lirih nama kedua anaknya. Menarik fokus Xena yang baru saja ingin mengambil buah untuk mencuci mulutnya juga membuat Malik, remaja yang duduk di depan Xena ikut menoleh.Keduanya saling tatapan dalam sepersekian detik. Entah mengapa suasana terasa sedikit tegang selepas suara berat sang papa menginterupsi. Wajah sang mama tak lain tak bukan terlihat begitu berat. Tatapannya menghindari dari sang putri juga sang putra yang duduk di sisinya. Ada hal yang penting, itulah yang terbesit di dalam benak Xena juga Malik malam ini."Ada apa, Pa?" Malik mencoba untuk menyela. Tak sabar sebab papanya terlalu banyak mengulur waktu"Jadi begini," tutur Arjun menjeda dengan helaan napas besar. Menggulung tisu yang ada
Xena membuka matanya perlahan. Fajar kembali menyapa sesaat setelah senja lelah dengan tugasnya. Malam gelap pergi, rembulan tidur, dan mentari tersenyum untuk menggantikannya. Gadis bertubuh standar itu menggeliat ringan. Mendesah kasar kala tubuhnya bebas berguling di atas ranjang pribadinya. Ia melirik jam kecil di atas meja kayu di sisi ranjang empuk milik tempatnya meleburkan segala lelah kalau larut malam datang. Sudah siang. Tentu, kalau libur di hari Sabtu dan Minggu gadis bernama lengkap Xena Ayudi Bridella itu selalu sengaja untuk bangun lebih siang. Mengapa? Akan dijelaskan oleh Xena setelah ini.Perlahan tubuh lemah itu bangkit dari tidurnya. Jari jemarinya dengan kuku runcing bercat merah gelap itu mengucek-ngucek kasar kedua matanya yang m
"Malik, Xena." Suara berat menyela di tengah keheningan yang membentang. Dua remaja yang awalnya saling tatap itu kini menoleh bergantian. Tatapan mereka mengarah tepat pada paras tua seorang laki-laki yang duduk di ujung meja makan. Seakan rapat penting akan segera dilaksanakan sekarang ini."Ada acara hari ini?" lanjut Arjun kala dua anaknya sudah memberi fokus untuknya.Xena terdiam sejenak, ditatapnya remaja jangkung yang duduk tepat di sisi Xena. Untuk Xena tentunya ia tak ada janji temu juga acara yang mengharuskan dirinya keluar dari rumah, namun entah untuk saudara tirinya yang kembali menyendok nasi goreng dan terkesan tak acuh dengan kalimat tanya yang dilontarkan ol
Mobil silver itu kembali melaju di jalanan. Kali ini dengan kecepatan yang sedikit bertambah setiap menitnya. Xena melirik sekilas saudara tirinya yang berkelakuan aneh secara tiba-tiba. Seakan-akan mendapat firasat buruk terhadap keberadaan temannya itu. Xena bahkan tak tahu mengapa dirinya harus berada di tempat ini sekarang. Malik menyeretnya masuk untuk ikut serta ke dalam dunia anehnya tanpa memberi penjelasan dan pengarahan pada Xena. Jikalau benar tak bisa, setidaknya Malik cukup memberi interuksi pada Xena perihal apa-apa yang harus dilakukan oleh Xena sekarang ini.Jujur saja, Xena panik! Sangat panik! Hatinya panas sekarang ini. Melihat Malik melajukan mobil dengan kecepatan yang tak bisa dibilang pelan dan santai dengan ekspresi wajah mengerikan seperti itu. Selama hidup menjadi saudara tiri Malik, Xena tak pernah sekalipun melihat Malik semarah ini."Ga usah ngebut." Xena menyela di tengah keheningan sejenak menoleh pada Malik yang masih kokoh dalam dia
Xena membuka matanya perlahan. Ia menatap jauh punggung Malik yang berjalan tanpa ragu untuk menghampiri temannya. Gadis itu kini menggeleng cepat. Tidak! Dirinya tak bisa menjadi penoton dalam adegan ini. Ia tak mungkin membiarkan Malik meregang nyawa sia-sia untuk orang asing yang tak pernah Xena tahu ada di dalam kehidupan seorang Abian Malik Guinandra.Remaja itu banyak menyimpan rahasia dari Xena. Terdengar curang memang. Sebab apapun yang dialami, dirasakan, bahkan yang dilakukan Xena selalu diketahui oleh Malik. Katakan saja seperti secuil fakta tak berguna dari seorang Xena Ayudi Bridella saja Malik mengetahui itu. Namun, apa ini? Merasa dikhianati oleh saudara tirinya sendiri memang ada dan terbesit di dalam benak Xena. Akan tetapi bukan sekarang saatnya untuk menghakimi saudaranya itu. Malik sedang berjuang untuk menyelamatkan dirinya dan teman baiknya.Xena melepas sabuk pengamannya. Dengan ragu tangannya membuka pintu mobil.Haruskah ia melakukan
Mobil yang dikendarai oleh Malik menepi. Menunggu seorang gadis untuk datang selepas pergi berpamit membelikan obat untuk luka Zain. Malik sudah melarangnya. Dengan tegas memberi perintah pada Xena untuk tetap diam dan mengikuti interuksi dari Malik selanjutnya. Namun, Xena terlanjur merajuk. Bukan hanya pasal remaja sialan itu sudah membuatnya berdusta pada kedua orang tua Xena, namun juga pasal Zain dan segala kegilaan yang terjadi beberapa waktu lalu. Xena membenci Malik, saudara tirinya. Mendengarkan dan menuruti perintah Abian Malik Guinandra adalah hal mustahil untuknya selepas amarah membakar seluruh jiwa baik yang ada di dalam dirinya.Pintu mobil diketuk. Sepersekian detik kemudian seseorang menariknya dari luar. Bukan masuk menjadi pendamping Malik yang duduk di kursi depan, namun masuk memilih duduk di kursi belakang tetap sejajar dengan Zain yang masih menyandarkan kepalanya lemas.Xena melirik saudara tirinya. Jelas terekam di dalam lensa pekat milik Malik,
Ini bukan pertemuan mereka yang terakhir, itulah yang ingin Xena katakan lewat kehadiran dan tatapan matanya untuk Bara. Ia meminta polisi untuk menemui teman juga mantan kekasihnya itu. Perpisahan dan akhir sidang harus dirasakan dengan perasaan yang ikhlas dan lapang dada, Xena ingin memberikan kesan itu pada remaja yang baru saja meletakkan pantatnya di atas kursi. Bara tak berucap apapun. Ia terus memandang Xena. Wajahnya tak sesayu dan tatapannya tak senanar sebelumnya. Gadis itu lebih terlihat 'hidup' dengan polesan make up yang khas seorang Xena Ayudi Bridella. Suasana yang ia dapatkan dari Xena mulai kembali lagi."Kenapa lo menemui gue lagi?"Xena tersenyum manis. Ia meraih ujung jari Bara dengan perlahan-lahan. Remaja yang ada di depannya mulai menatap dengan aneh. Ia tak bergerak, terus mengikuti apa yang dilakukan Xena padanya sekarang. Gadis itu mulai menggenggam ujung jari-jari miliknya lalu menatap Bara dengan penuh kehangatan
"Pengadilan menyatakan terdakwa atas nama Haidar Bara Ivander terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana pembunuhan, penculikan dan penyekapan kelas ringan, serta penganiayaan kelas ringan. Untuk itu pengadilan menjatuhkan pidana terhadap terdakwa dengan pidana penjara 10 tahun ditambah dengan pidana penjara 2 tahun dan ditambah dengan pidana penjara 6 bulan. Menetapkan lamanya terdakwa di tahan dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan selama 2 tahun mengingat usia terdakwa yang masih remaja. Pengadilan memerintahkan agar terdakwa tetap ditahan dengan denda sekurang-kurangnya adalah 20 juta rupiah. Demikian putusan pengadilan ditetapkan."Ketokan palu terdengar begitu tegas menggema di ruangan. Remaja jangkung dengan pakaian khas seorang tahanan kota itu hanya bisa mengangguk. Tak ada yang disanggah. Pengacaranya pun nampak diam dan mulai pasrah. Tak perlu waktu yang lama, tak perlu drama ini itu untuk mengurung si iblis
Rumput hijau yang menyejukkan mata dan hati. Mendamaikan perasaan yang sedang riuh bergemuruh di dalam jiwa saat ini. Malik memutuskan untuk mengikuti setiap langkah yang diambil oleh Zain pagi ini. Ia ingin berbicara banyak dengan laki-laki yang sudah menjadi temannya itu. Ia tak benar-benar membenci Zain. Hanya saja, siapa dingin Zain padanya membuat Malik menjadi sedikit jauh dari temannya itu. Sebenarnya di dalam lubuk hati yang dalam, ia tak pernah menyimpan dendam untuk remaja berponi naik ini. Hanya saja, ia iba. Zain terlalu lama menyimpan rasa sakitnya sendirian. Selepas kematian Tara, remaja itu menjauhi Malik dan memutuskan untuk menghilang dari peredaran. Baru beberapa bulan yang lalu ia kembali datang dengan Aksa yang membawanya penuh luka dan darah segar yang mengalir dari beberapa bagian tubuhnya.Memang, permusuhan keduanya sedikit unik. Tak ada pertengkaran juga perkelahian. Malik selalu memaafkan bagaimana perilaku Zain padanya. Toh juga, ada a
Semilir hawa bayu mengiringi langkah keduanya membelah trotoar jalanan yang menjadi jalur utama untuk mereka saat ini. Jalanan Kota Jakarta yang ramai, padat, dan tak pernah sepi juga sela. Selepas keluar dari bangunan kantor polisi, keduanya kini memutuskan untuk berjalan-jalan sejenak dan mampir ke sebuah tempat untuk menikmati liburnya hari ini. Tanggal merah, hari penting untuk negara. Namun, surganya bagi para pelajar. Mereka diberi jeda satu untuk merilekskan otak dan hati mereka. Menikmati suasana kota di pagi hari sampai senja datang menutup kisah nanti sore. Malik dan Xena merasakan semua itu. Sedikit demi sedikit perasaan yang mengganggu di dalam hati mereka mulai hilang begitu saja. Semua masalah yang datang mulai surut bak gelombang air laut di malam hati. Rasanya sedikit tenang, mereka bisa menjalani hidup sesuai dengan apa yang mereka inginkan saat ini. Menjalin hubungan sederhana dan mulai merajut kasih juga cinta untuk melalui masa muda. Malik
Malik menatap wajah wanita tua yang ada di depannya saat ini. Pandangan matanya terus saja tertuju pada Sarah yang baru saja datang menghadang langkahnya. Sepasang mata dengan lensa pekat itu mulai menatap sayu dan nanar wajah mantan anak tirinya itu. Penuh luka, identik dengan apa yang terjadi pada sang putri kemarin malam. Kata Xena selepas ia sukses membuat mamanya menangis dengan keadaan wajah dan tubuhnya yang kacau, ia melegakan hati wanita tua itu dengan mengatakan bahwa untung saja Malik datang menyelematkan Xena dari Bara. Katanya, juga. Malik terluka sama dengan apa yang dialami oleh Xena. Gadis itu juga mengimbuhkan kalau yang menghantar dirinya sampai gerbang depan malam-malam begini adalah Abian Malik Guinandra, tetapi kala disuruh mampir untuk mengobati lukanya, Malik menolak. Alasannya hanya satu, ia tak mau membuat Sarah kembali kacau dengan dua luka di dalam hatinya selepas mendapatkan dua putra dan putrinya pulang dalam keadaan seperti itu. Toh juga ada papanya di
Bara mengetukkan ujung jari jemarinya di atas meja kayu yang ada di sisinya. Ia bersandar tepat di atas kursi sembari menyilangkan kaki dan menatap ke arah gadis yang masih tak sadarkan diri selepas ia menyiksanya habis-habisan. Bara memukul wajah Xena. Sisi bibir gadis itu tergores dengan darah yang mulai mengering. Ujung matanya lebam selepas Bara melayangkan tinju ringan kala sang gadis terus saja mengumpat padanya. Xena mengejutkan. Jujur saja, Bara tak tahu kalau gadis itu bisa setangguh ini dengan penampilan dan tatapan wajah dan polos. Kala dirinya mendorong Xena masuk ke dalam gudang sekolah dan menutup pintunya dengan rapat. Xena bahkan mulai bergeming di tempatnya dengan terus menatapnya menggunakan tatapan tajam penuh amarah. Bara menampar wajahnya lalu mendorong tubuh Xena hingga jatuh terantuk sisi meja rusak di belakang tubuh gadis itu. Darah mengalir dari sisi sikunya dan luka lecet datang selepas paku berkarat tak sengaja menyentuh permukaan lengannya.
Fajar menyingsing dari ufuk timur. Sinarnya tegas menghantam permukaan bumi dan mencoba menghangatkan komponen yang ada di bawahnya saat ini. Gadis yang sudah berdiri di depan papan pengumuman besar di sekolahnya itu tak pernah menyangka dan mengira-ngira sebelumnya. Ia mendapatkan sebuah undangan kematian yang datang dari teman dekatnya. Seisi sekolah mulai membicarakan kematian Nara yang terkesan mendadak. Bukan hanya Xena yang terkejut. Akan tetapi, hampir seluruh penghuni sekolah. Bahkan guru-guru juga mulai memberitakan kabar ini dengan bumbu yang membuat suasana sedikit tegang. Kisahnya hari ini mungkin tak akan berakhir baik. Setiap sudut sekolah yang punya Mading besar seperti ini, akan menampilkan wajah Nara dengan pita kuning di atasnya. Ucapan bela sungkawa datang kemudian. Mereka meninggal 'note' yang mereka tempelkan di sisi undangan untuk mengirim doa pada teman mereka yang sudah berpulang ke pangkuan yang maha kuasa. "Bagaimana ini ... gue bahkan berbicara den
Sirine mobil polisi meraung-raung di udara. Membawa sebuah duka di setiap lajunya beberapa saat yang lalu. Ambulan mengikuti, mayat gadis malang turun dari sana dengan keadaan sudah terbungkus oleh kain putih. Seorang remaja jangkung mengiringi masuk ke dalam bangunan kepolisian. Mayat itu akan disimpan di dalam ruangan mayat tempat beberapa korban pembunuhan lainnya berada hingga polisi menyelesaikan penyelidikannya besok pagi. Suasana sudah kacau dengan Aksa yang tak lagi kuasa untuk mengiringi kepergian gadis yang ia cintai. Nara adalah cinta pertama yang ada di dalam hatinya. Gadis itu adalah satu-satunya gadis yang bisa menyentuh lubuk hatinya paling dalam. Belum juga menyatakan perasaannya dengan resmi, ajal sudah menjemputnya dengan tragis. Aksa tak bisa berkata apapun lagi. Semua yang ada di depan matanya bak sebuah mimpi buruk yang harus ia lalui seorang diri.--ia membenci kisah malam ini!"Aksa ... kita cari tempat duduk
Langkah kakinya tegas membelah rerumputan hijau yang ada di bawah pijakan kaki remaja jangkung itu sekarang ini. Gelap terasa, sedikit sunyi sebab tak ada yang datang untuk bertamu dan menyambangi rumah tua itu sekarang. Semua benar-benar terasa sepi bak rumah hantu yang sengaja dijauhi oleh para masyarakat dan warga setempat. Bukan, bukannya di sisihkan dari kota. Bukan juga dijauhi orang-orang, beginilah suasana rumah Nara kalau malam tiba dengan kerikan jangkrik yang khas menghiasi suasana malam. Tak ada hujan, tak mendung dengan langit berbintang di atas sana. Kiranya, sambutan yang baik selepas Aksa memutuskan untuk memungkaskan perkejaan paruh waktu yang ia lakukan dan mulai menatap langit di atasnya.Ada satu alasan yang membuat dirinya datang ke tempat ini lagi. Tak penting jika ia menceritakan alasannya datang kemari pada orang-orang yang tak mengenal Nara dengan baik. Namun, baginya ini sangat penting. Kala keluar dari minimarket tempatnya bekerj