Raka masih terpaku di sofa hitam mengkilat itu. Ada banyak fakta yang terhubung di otaknya saat ini. Ada rasa yang tak bisa ia mengerti. Hasutan buruk! Sialnya muncul di pikiran Raka.
Apa harus kawin lari saja?? Tapi Raka langsung menggeleng dengan sangat keras, menolak ide yang bahkan muncul dari otaknya sendiri.
Raka sungguh sungguh mencintai Mika. Tak perlu di ragukan lagi. Perempuan itu adalah cara Tuhan menundukannya dengan rasa takut kalau Tuhan bisa mencabut nyawa orang yang paling ia cintai dari dunia ini.
Raka tau kondisi Mika, sejauh mana Mika bisa bertahan.... dan sejauh mana Raka ketakutan. Itu cara Tuhan menundukan Raka kalau ia harus patuh terhadap Tuhany
Raka masih duduk mematung di apartemenya. Ia masih tak bisa berpikir dengan tenang di balkon malam ini walaupun angin malam sudah mendinginkan otaknya. Tapi.... nyatanya, otaknya masih kosong. Dan deringan ponsel yang tiada henti itu... membuat Raka menyadari, kalau ia bukan orang yang bisa mengabaikan panggilan. Karena.... itu bisa saja sebuah panggilan yang penting. Dan nyatanya, Raka tak bisa menyangkal. Kalau panggilan ini dari Mayang. “Hallo dokter Raka???” sapaan Mayang yang terburu buru membuat Raka mengesampingkan kemelut di hati dan otaknya itu. “Mba Mika di ruangan operasi sekarang, Dokter Brian yang menangani. Mba Mika... kritis!!”&nb
Keyza meneguk ludahnya dengan sangat kaku. Ia tak bisa mengkontrol diri saat Marcell mulai berjalan mendekatinya, entah untuk tujuan apa. Tapi jantung Keyza menjadi gugup dan berdetak dua kali lipat. Tidak...!! aku istri Morgan. Bukan lagi kekasih Marcell. Sadar Keyza!! Jangan terperangkap dalam genangan masa lalu itu. sadar!!!! Dan entah harus merasa kecewa atau lega. Karena sekarang Marcell malah duduk di sofa sebrang sana. Sangat jauh dari Keyzza dan Mika. Tapi tatapan Marcell lain dari biasanya. Keyza takut. Bukan karena ketakutan degan sikap Marcell. Tapi takut kalau.... “Marcell...?!” tanya Morgan dengan alis berkerut karena mendap
Baik Marcell ataupun Keyza, sedang sama sama mengingat kenangan masa lalu itu. keyza yang terang terangan mengejar Marcell, dan Marcell yang terang terangan tak menggubris Keyza, juga Morgan yang diam diam menyukai Keyza. Entah rasa cinta karena simpati, atau memang karena jatuh cinta pada pandangan pertama. Tapi satu hal yang membuat Morgan tak suka adalah. Marcell yang memperlakukan Keyza dengan sangat tidak berperasaan. Tak bisa menghargai perasaan wanita selembut Keyza. Keesokan harinya, setelah insiden mengantarkan kue itu. Morgan mendapati kalau kotak kue itu teronggok di tempat sampah. Tentu bukan Morgan yang membuangnya. Marcell sendiri lah yang membuangnya tanpa menyentuh isi di dalamnya. Selalu saja seperti itu hingga bertahun tahun... Keyza dengan kesabarannya menghadapi tingkah
Brian terdiam. Ada hal yang aneh yang terlihat dari ekspresi Mika yang hanya diam dan tak bergeming, malahan memanggil nama Kakaknya ketimbang menanyakan hal yang seharusnya menggaljal di hatinya. “Kak Morgan....” panggil Mika lagi saat Morgan sudah berjalan lumayang dekat dengannya, hanya berjarak beberapa langkah. Ada sedikit genangan air mata di pelupuk Morgan. Entah untuk apa? Apa karena ia sudah tersadar? Tentu.... Mika tak tau. “Kamu baik baik saja kan?” tanya Morgan dengan hati hati, Mika sedikit meringis, kembali rulang rusuknya baru saja di buka untuk membuat organ bernama jantung di dalam tubuhnya berdetak. Rasanya... saat terbangun dan mendapati kalau Brian yang sedang memeriksanya, alih alih Raka. Mika mulai tersadar... kalau pen
Wajah Raka nampak terlihat kebingungan, di tengah tengah keputus asaanya karena Mika sudah tak ada di ruangannya. Sekarang, Mika malah mengatkaan selamat atas pertunangan sialannya dengan Pevita seperti sedang mengucapkan perpiasahan. “Mikaila Abraham....” geram Raka dengan sangat marah dan membanting pintu ruangan Mika, Mika bisa mendengarnya dengan sangat keras kalau Raka sedang marah besar. Tentu saja. Kalau saja Mika melihat kondisi Raka saat ini. Dari pada mengucapkan selamat atas pertuangnannya dengan Pevita, lebih baik memeluk Raka dan menanyakan kondisinya. Yah... kondisi Raka benar benar kacau. Babak belur?? Sudah pasti. Berantakan!? Sangat...!!! Apa lagi?? “Raka....” Mika memanggil nama itu dengan sangat nelangsa. Ia pernah membayangkan mati, Mika sering se
Seluruh kamar terlihat berantakan, bahkan lantai yang di penuhi dengan pecahan vas adalah pemandangan yang paling menyita perhatian. Di tengah keremang – remangan kamarnya, Pevita mencengkeram buku jemarinya. Ia marah, kesal, tapi juga sedih secara bersamaan. Raka pergi meninggalkannya, di pertunangan mereka. Bahkan setelah babak belur pun, Raka tetap nekat untuk pergi. Pevita mendengar pintu di ketuk. Lebih tepatnya di gedor. Itu pastilah ayah atau ibunya yang khawatir terhadap kondisi puterinya. “Pevita... sayang.... “ rayu suara yang lemah lembut itu, “Kamu bisa keluar sebentar? Mommy sangat khawatir,” bujuk wanita bersanggul rapi yang memasang tampang khawatir.
Sementara di sisi lain, Ibu tiri Mika baru saja selesai mengeluarkan amarahnya. Hampir semua barang pecah belah di ruangan itu. Suara gaduh barang – barang yang di banting terdengar sampai ke beberapa ruangan. Namun para pelayan tidak ada yang berani untuk mendekati majikannya itu, bahkan setelah amarahnya reda. Mereka tidak berani untuk mendekat, sebelum mereka mendapatkan perintah langsung. “Mama..... “ Marcell berlari cepat menghampiri ibunya yang terengah setelah membanting puluhan vas. Marcell melihat darah segar mengalih dari telapak tangan ibunya, tapi ibunya tidak memperhatikan luka di tanganya, Marcell yang panik langsung mempercepat langkahnya dan saat ia hendak mera
“Aku tidak apa – apa.” ucap Mika. Mika berusaha semaksimal mungkin untuk membuat Raka yakin bahwa kejadian kemarin tidaklah mengganggunya. Tapi Raka masih menatapnya sangsi. “Sungguh,” lanjut Mika, karena sepertinya, aktingnya kurang meyakinkan Raka. Kemarin Morgan datang dan menanyakan hal yang sama pada Mika. Tentu saja kejadian kemarin membuat hatinya sakit, tapi apa boleh buat? Mika tidak bisa berbuat apa – apa. “Aku lapar.... “ Mika merengek seperti anak kecil yang kelaparan, ia mengusap perutnya yang tidak di isi makanan semalaman. “
Raka menggengam sekaleng minuman soda yang baru saja ia beli dari minimarket, sembari berjalan melipis, Raka memutuskan untuk duduk sementara di kursi yang di sediakan untuk konsumen. Tangan Raka dengan cekatan membuka tutup kaleng dan suara minuman soda yang terbuka terdengar, dengan busa busa yang mencuat dari dalam kaleng.Raka mulai minum, sensasi soda yang sudah tak asing di lidahnya, serta tenggorokannya mampu menghilangkan rasa dahaganya, sedikit demi sedikit.Meski begitu, Raka nampaknya tidak terlalu menikmati minumannya. Dahinya berkerut, nampak tengah berpikir keras. Tentu saja ini berkaitan dengan MIkaila, siapa lagi perempuan yang wara - wiri memenuhi pikiran Raka kalau bukan MIkaila Abraham.Dengan dahi yang masih mengkerut, Raka kembali mengangkat kaleng soda, meminumnya dengan rakus seperti tak ada hari esok lagi.Tepat saat minuman Raka habis, ponsel pria itu berdering pelan. Tanda khusus kalau ia menerima telephone. Kali ini Raka tidak mengabaikan telephone, meski
Akibat MIka yang kehilangan kesadaran beberapa waktu yang lalu, proses perawatan Mika jadi sedikit tertunda. Akibatnya, jadwal operasi selanjutnya di pukul mundur oleh Raka. Kondisi yang menurun secara tiba - tiba meski selalu di dalam pantauan, membuat Raka khawatir. Kawatir akan ada sesuatu yang terjadi di luar kendalinya.Oleh sebab itu, Raka memutuskan untuk menunda operasi dan hanya melakukan perawatan dan pemeriksaan rutin. Saja. Ssetelah menilik lagi ke belakang, Raka tau alasan Mika akhirnya ta ksadarkan diri secara tiba - tiba. Mika sudah melewati banyak hal berat, bahkan akhir - akhir ini, Mika sudah melalui banyak hal dengan susah payah. Ia butuh istirahat, istirahat dari semua hal yang membuatnya stress.“Kamu senang hari ini?” tanya Raka.Ia tengah duduk di kursi taman, dengan Mika yang ada di sebelahnya. Rambut gadis itu terurai dengan bebas. Seeskali hembusan angin memainkan anak rambut MIka yang mulai memanjang. Tapi gadis itu tidak peduli, ia tengah sibuk menebar biji
Raka menggengam sekaleng minuman soda yang baru saja ia beli dari minimarket, sembari berjalan melipis, Raka memutuskan untuk duduk sementara di kursi yang di sediakan untuk konsumen. Tangan Raka dengan cekatan membuka tutup kaleng dan suara minuman soda yang terbuka terdengar, dengan busa busa yang mencuat dari dalam kaleng.Raka mulai minum, sensasi soda yang sudah tak asing di lidahnya, serta tenggorokannya mampu menghilangkan rasa dahaganya, sedikit demi sedikit.Meski begitu, Raka nampaknya tidak terlalu menikmati minumannya. Dahinya berkerut, nampak tengah berpikir keras. Tentu saja ini berkaitan dengan MIkaila, siapa lagi perempuan yang wara - wiri memenuhi pikiran Raka kalau bukan MIkaila Abraham.Dengan dahi yang masih mengkerut, Raka kembali mengangkat kaleng soda, meminumnya dengan rakus seperti tak ada hari esok lagi.Tepat saat minuman Raka habis, ponsel pria itu berdering pelan. Tanda khusus kalau ia menerima telephone. Kali ini Raka tidak mengabaikan telephone, meski
Pagi harinya, Mika tak melihat Raka. Ia sudah pergi sebelum Mika membuka mata. Raka hanya meninggalkan notes dengan pesan yang tertulis bahwa Raka sudah mempersiapkan sarapan dan ia pergi buru – buru karena ada masalah yang sangat penting. Dan di sinilah Mika sekarang, di meja makan dengan sepiring sandwich yang baru saja ia hangatkan. Raka hanya menumpuk sayuran, beberapa lapis keju, bahkan karena terlalu sehat. Mika sampai tak bisa merasakan rasa daging ham, rasa sayur lebih dominan karena hampir tiga perempat isi sandwich di menangkan oleh sayuran. Mentimun, selada segar, tomat. Mika menikmati pagi dengan tenang, dan damai. Tak banyak yang Mika pikirkan akhir – akhir ini. Selang beberapa menit, Mika kedatangan tamu. Keyza. Ia datang untuk melihat kondisi Mika. “Aku masih hidup,” canda Mika dengan mimik wajah datar, ia kembali melahap sandwich yang belum habis setengahnya. Raka membuatkannya sandwich porsi besar. “kalia
*** Raka tidak bisa mengundurkan diri dengan mudah, ia tidak bisa lolos dengan mudah seperti belut yang akan terus lolos karena kulitnya yang licin. Raka tidak bisa lolos begitu saja seperti belut, Raka harus mengurus beberapa berkas yang tidak bisa di wakilkan. Dan setelah keluar dari ruangan Tata Usaha rumah sakit, Raka menurunkan topinya, menutupi sebagian wajahnya dan berjalan menuju parkiran. Beberapa perawat yang memang menganali Raka perawakannya yang tak asing, menyapa Raka. Raka membalas sapaan dengan sopan dan singkat. Beberapa perawat bahkan masih membicarakannya meski Raka sudah berjalan cukup jauh. Beberapa ada yang menyayangkan keputusan Raka. Beberapa ada yang menyalahkan keadaan. Dan masih ada banyak hal yang bisa di gosipkan dari keputusan resign Raka yang mendadak ini. Tapi Raka tak ambil pusing, hari ini ia akan menemui ayahnya. Bukan untuk berdamai, tapi untuk mengajukan tawaran. Raka m
Flashback. Mika menutup telfonya dengan Morgan, tak lama, Keyza mengirim pesan singkat yang isinya meminta Mika untuk mengirimkan lokasinya agar Keyza bisa segera datang. Setelah Keyza tau lokasi Mika. Mika menutup ponselnya, ia berpura – pura mengelilingi mini market, seolah mencari barang tersembunyi yang sulit di temukan. Saat Mika tengah menjauhi kerumunan orang yang berbelanja, namun belum sempat Mika melancarkan aktingnya, seseorang menepuk bahunya. “Bisa minta waktunya sebentar?”&nbs
Mika masuk ke dalam apartment lamanya. Rasanya seperti kembali ke rumah. Mika mengelilingi ruang TV. Tempat yang paling sering ia guakan untuk menghabiskan waktu untuk bermalas – malasan. Mika melirik ke arah pintu kamarnya yang tertutup rapat. Kemudian ke arah dapur, area yang paling jarang terjamah olehnya. Semua barang – barang masih berada di tempatnya semula. Saat di perjalanan, Keyza menceritakan kalau Morgan bersikeras untuk membiarkan apartment ini tetap terawat sampai Mika keluar dari rumah sakit. Dan nyatanya, dengan sifat keras kepala Morgan, ia berhasil merebut key card. Menjaga apartment ini untuknya. “Kamu lelah?” tanya Keyza tiba – tiba, Keyza masuk dan langsung ke arah dapur, ia membawa banyak sekali tas belanjaan tanpa memperbolehkan Mika
“Aku tidak apa – apa.” ucap Mika. Mika berusaha semaksimal mungkin untuk membuat Raka yakin bahwa kejadian kemarin tidaklah mengganggunya. Tapi Raka masih menatapnya sangsi. “Sungguh,” lanjut Mika, karena sepertinya, aktingnya kurang meyakinkan Raka. Kemarin Morgan datang dan menanyakan hal yang sama pada Mika. Tentu saja kejadian kemarin membuat hatinya sakit, tapi apa boleh buat? Mika tidak bisa berbuat apa – apa. “Aku lapar.... “ Mika merengek seperti anak kecil yang kelaparan, ia mengusap perutnya yang tidak di isi makanan semalaman. “
Sementara di sisi lain, Ibu tiri Mika baru saja selesai mengeluarkan amarahnya. Hampir semua barang pecah belah di ruangan itu. Suara gaduh barang – barang yang di banting terdengar sampai ke beberapa ruangan. Namun para pelayan tidak ada yang berani untuk mendekati majikannya itu, bahkan setelah amarahnya reda. Mereka tidak berani untuk mendekat, sebelum mereka mendapatkan perintah langsung. “Mama..... “ Marcell berlari cepat menghampiri ibunya yang terengah setelah membanting puluhan vas. Marcell melihat darah segar mengalih dari telapak tangan ibunya, tapi ibunya tidak memperhatikan luka di tanganya, Marcell yang panik langsung mempercepat langkahnya dan saat ia hendak mera