Embun pagi baru menampakkan diri pada kelam dini hari dalam bentuk bayang-bayang tipis. Bagai kelambu raksasa, alurnya menyusup diantara beton-beton gedung dalam waktu tersunyi ibukota untuk kemudian hinggap sisi-sisi dinding kaca rayban pencakar langit Menara Gigapolitan. Titik-titik air yang sebelumnya membentuk embun, kini memecah dan kembali menjadi titik air membentuk butiran yang makin lama makin besar menyerupai bentuk pulau. Dibawahnya, di jalur arus lalu lintas, dua-tiga kendaraan sesekali melintas. Meninggalkan gaung demi gaung yang seolah berlomba menggapai puncak gedung.
Dimana kini ada sesosok bayang hitam berkelebat disana.
Sosok hitam tadi bergayut seolah mengapung di sisi utara bangunan termewah dalam distrik segitiga emas megapolitan Jakarta. Tali ekstra kuat berwarna hitam yang terkait antara sabuk yang dikenakan dengan sebuah tiang antena komunikasi ukurannya begitu tipis. Ini menjadikannya sempurna tersamar oleh gelapnya malam dan pakaian serba hitam yang dikenakannya. Sosok tadi bergayut vertikal sesaat untuk kemudian turun dengan posisi kepala dibawah menuju tiga lantai dibawahnya. Kelincahannya dalam bergerak begitu terlatih dan mengagumkan dan sehingga sekilas nampak seperti tengah menari. Dalam menit-menit berikut setelah mencongkel jendela dengan alat khusus ia sudah tiba dan masuk di lantai yang dituju. Sebuah ruangan kerja pemilik perusahaan.
Nampak jelas bahwa ia menguasai ruangan yang secara rahasia dimasukinya itu. Ia tahu persis dimana letak kursi, desktop komputer, lemari arsip, server. Semuanya. Ia berjalan setengah berjinjit sebelum kemudian duduk di kursi ergonomis yang biasa diduduki petinggi perusahaan itu. Melalui slot USB ia memasang sejenis alat elektronik anti alarm dan pelacak di badan komputer, untuk kemudian menyalakannya. Sambil menunggu komputer beroperasi penuh ia kembali mencek keadaan sekitar. Agak aneh nampaknya karena seolah ia memastikan bahwa segala benda dalam ruangan berada pada posisi yang ia kehendaki.
Udara yang tidak lagi sejuk karena dimatikannya AC oleh pemilik gedung sejak beberapa jam lalu membuat dirinya gerah. Kendati tidak melepas ransel yang dikenakan, ia lalu menyibak penutup kepala. Geraian rambutnya yang panjang hingga kebahu segera terurai. Suasana gelap ruang kantor yang hanya diterangi oleh layar monitor komputer tidak mampu menyembunyikan keistimewaan fisik yang sosok tadi miliki.
Sosok itu ternyata seorang wanita. Umurnya mungkin mendekati tiga puluh dengan wajah oval. Bentuk mata, alis, hidung, pipi serta potongan rambut yang dimiliki nampak begitu istimewa hingga bisa menjadikannya pantas menjadi seorang gadis model papan atas. Sangat cantik.
Saat suara ‘biiip’ terdengar, ia kembali berkonsentrasi didepan layar monitor. Jemarinya segera bergerak lincah menekan satu-dua kali mouse komputer dan diikuti dengan pengetikan tombol-tombol keyboard. Sistim komputer kemudian memintanya untuk mengisi sebuah kata kunci. Wanita itu menggerakkan mouse dan segera memasukkan data yang diminta sampai kemudian muncul pernyataan bahwa ia telah memasuki sistim on-line komputer perusahaan. Ia tersenyum. Puas karena berhasil memasuki sistim jaringan yang selama ini hanya satu orang yang dapat mengaksesnya, Nikolai Krysztof.
“Maaf boss,” ia bergumam “mulai besok aku bukan lagi sekretarismu.”
Suatu tampilan misterius muncul di layar komputer. Dengan beberapa hentakan tombol keyboard, tidak lama kemudian tampilan di sudut kanan menampilkan angka hitung mundur.
Sementara hitung mundur berlangsung, ia menggerakkan mouse untuk meng-klik beberapa icon. Aplikasi-aplikasi baru kemudian terbuka. Tampilan layar monitor berkali-kali berganti menampilkan berbagai macam hal lain yang bersifat finansial. Laporan Keuangan ganda, Rekening rahasia Cayman Island, Letter of Credit fiktif, transaksi derivatif ilegal, insider trading, over dan under Invoicing, proyek-proyek penggelembungan dana di beberapa propinsi, hingga artikel pencemaran lingkungan dalam lingkup perusahaan.
Wow. Ia menggeleng-geleng.
“Maling negara, kolega para koruptor, pengusaha tanpa nurani, hhh ... ” desisnya. “Apa lagi selain ini?”
Wanita itu terkesiap ketika mengklak-klik mouse berikutnya layar komputer menampilkan foto-foto mengerikan. Orang-orang dari berbagai latar usia tampil dalam gambar dengan ketajaman resolusi skala definisi tinggi. Sangat tajam untuk menampilkan tiap detil yang nyaris membuatnya mual.
Korban bisnis yang dilakukan Nikolai.
Ia menyisip sejenis kartu elektrik berukuran ekstra kecil pada card reader, alat yang tadi dipasang, untuk kemudian kembali mengetuk-ngetuk tombol keyboard. Dalam hitungan detik data-data tadi segera direkam dalam kartu elektrik – mikro SD sebetulnya – yang ia bawa tadi.
Layar monitor menunjukkan pernyataan bahwa proses perekaman data siap dikerjakan. Ia baru mau meng-klik tombol Enter ketika tiba-tiba sebuah suara pelahan yang sangat dikenalnya terdengar memecah keheningan. Suara klik senjata api diselingi ucapan nada bariton yang tegas yang menyertainya.
“Masih lembur?”
Sosok cantik berkostum serba hitam terdiam dan menghentikan aktivitasnya. Kursi beroda yang dirancang untuk mampu berputar pada porosnya sedikit ia gerakan sehingga ia bisa melihat siapa orang yang tadi menyapanya.
“Sir, anda meminta untuk Laporan Bulanan diselesaikan. Jadi …”
Ucapannya tidak sempat diselesaikan ketika sebuah tamparan dengan popor pistol menghentikannya. Kepalanya sedikit berkunang. Dalam keadaan minim cahaya, orang yang tadi memukulnya, pria dengan tubuh diatas rata-rata orang Indonesia, sedikit mendekat. Rambutnya kecoklatan dengan rahang yang besar disertai mata kebiruan dan seringainya yang lebih menyerupai serigala.
Itulah Nikolai Krysztof, konglomerat StalinGroup sebuah perusahaan multinasional asing yang membidangi riset dan pengembangan bidang bio-mikro elektronik yang menjadi atasannya.
“You’re right. Tapi yang kau cari adalah bukti-bukti kecuranganku, bukan?” suaranya tetap datar dan dingin. “Kejahatan lingkungan, pidana, perdata. Betul?”
Suara tamparan yang keras kembali terdengar. Darah segar timbul di sisi kiri bibir wanita itu. Tanpa kesan takut atau terintimidasi, si cantik berkostum serba hitam balas menatap tajam. Segurat senyum malah sengaja ia tunjukkan.
“Anda benar. Tapi, bukan hanya itu, Sir.”
Menghapus darahnya sesaat, ia lalu melanjutkan ucapannya. “Aku melakukan hal lain yang lebih menarik.”
Dagu Nikolai nampak sedikit mendongak. Tidak mengerti arah ucapan si penyelusup yang ternyata adalah sekretarisnya.
“Yang lebih menarik?” alisnya menaik.
“Anda tahu Sir, kebusukan perusahaan ini membuat saya muak. Dan saya rasa, satu kali penyelenggaraan pesta kembang api sudah cukup.”
Nikolai gagal menyembunyikan rasa heran. Ucapan yang ia dengar sungguh diluar dugaan. Kecemasannya sedikit membayang. “Maksudmu?”
“Aku telah menyiapkan pesta kembang apinya. Disini. Malam ini.”
Nikolai bergidik. Tidak, pikirnya.
Ia dengan cepat mencium suatu ketidakberesan. Wanita di depannya, yang malam itu jadi musuhnya, terlalu mudah dan terlalu sederhana kalau dinyatakan sebagai pihak yang kalah. Ia begitu tenang. Pertanda bahwa situasi jelek yang saat ini wanita itu hadapi nampak sudah masuk dalam perhitungannya.
Si wanita di depannya kemudian mengerling ke layar LCD komputer di meja kerjanya yang tadi baru saja ia kutak-kutik. Nikolai gagal menyembunyikan keheranannya yang luar biasa ketika ia sadar bahwa itu adalah satu-satunya komputer yang memiliki jaringan akses tanpa batas ke semua lini perusahaan. Termasuk akses mengaktifkan beberapa senyawa kimia yang ditempatkan dalam laboratorium rahasia di beberapa ruang rahasia. Seperti bahan peledak nitro-glycerin misalnya. Senyawa kimia labil berbentuk cair itu memiliki fungsi amat penting dalam proses produksi obat. Tapi jika itu diaktifkan secara sekaligus, itu berarti meledakkan kantornya.
Selaigus mengantar saham StalinGroup ke proses terjun bebas. Bangkrut.
Mantan sekretarisnya nampaknya telah mengetahui akses rahasia itu. Dan hal tersebut menjelaskan maksudnya mengenai ‘kembang api’ tadi. Mempekerjakan wanita ini ternyata merupakan suatu kecerobohan besar.
Sayang bahwa kecerobohan itu tanpa sadar diulangi kembali. Membiarkan diri termangu, itulah kecerobohan Nikolai sekarang. Karena dalam kecepatan refleks nan menakjubkan, si cantik berkostum serba hitam tiba-tiba menepis tubuh Nikolai untuk menjauh darinya. Dalam kecepatan yang sama, sedetik berikut, ia kemudian menggerakkan kaki kirinya. Tubuhnya berpusing untuk kemudian melancarkan sebuah tendangan yang tepat mengenai ulu hati.
Tanpa ampun tubuh tinggi jangkung Nikolai terhuyung ke belakang dan membentur filing cabinet sekaligus memecahkan pot keramik di sampingnya. Pistol Colt yang tadi diarahkan ke atas dirinya kini malah beralih dalam genggaman tangannya.
Tangan si cantik berkostum hitam menekan tombol Enter untuk mulai melakukan proses perekaman data dalam kartu elektrik yang tadi dipersiapkannya.
Nikolai yang tadi terhuyung jatuh menggeleng-geleng kepala untuk sesegera mungkin menghilangkan pusing yang menyergap. Namun si cantik kembali menyerang. Sebuah pukulan hook membuatnya terpental lima meter ke dinding. Ketika tubuhnya membentur dinding, peralatan sensor yang ditempatkan dibawah lapisan dinding langsung bekerja dengan membunyikan speaker alarm. Dalam sekejap, suara berisik alarm serta-merta memenuhi seluruh lantai.
Si cantik berkostum hitam memaki.
Di Security Control, pusat komando pengamanan gedung dimana penjaga keamanan berjaga-jaga, terjadi kesibukan mendadak. Lokasi sumber kekacauan kini terlacak dan komunikasi radio dengan cepat tersebar ke semua lantai. Beberapa penjaga keamanan dari berbagai lantai bergerak menuju lantai 106 dimana ruang atasan tertinggi mereka berada. Dalam hitungan detik dua orang penjaga bersenjata api yang beroperasi di lantai yang sama segera tiba di lokasi yang ditentukan.
Pintu ruang kerja Nikolai segera didobrak dari arah luar ruangan. Itu bukan pekerjaan sulit bagi mereka yang memang berpostur besar dan pengalaman di bidangnya. Namun, si cantik berkostum serba hitam telah mengantisipasi. Diiringi lengking kecil kembali dua buah tendangan putar yang betul-betul sempurna berturut-turut menyambutnya. Sekali telak di bagian kepala sementara yang kedua persis di bagian dada. Tubuh penjaga yang berpostur besar itu terjatuh ke arah depan serta menimpa Nikolai yang baru akan bangkit lagi. Saat tubuh si penjaga hilang keseimbangan, si cantik yang telah bersiap dengan kedatangan mereka, menyambar pistol yang digenggamnya. Dengan cepat alat berapi itu pindah tangan dan melakukan fungsinya. Kini ia memegang dua pistol sekaligus.
Penjaga kedua berniat menyerbu masuk. Namun ia tidak jadi melakukan itu ketika tembakan demi tembakan menembus engsel dan daun pintu. Jelas ini ditujukan untuk menghalanginya masuk. Serpihan kayu segera berlompatan. Terpental akibat tembakan senjata api.
“Shit!”
Si penjaga menyerapah tanpa bisa berbuat banyak. Terlalu beresiko menyerbu masuk saat jalan tertutup hujan peluru.
Didalam ruangan, si cantik terus menembak pintu masuk untuk menghalangi penjaga kedua masuk. Ia juga menembaki lokasi sekitar penjaga pertama dan Nikolai tadi terjatuh untuk membuat mereka tetap diam disana. Namun selain itu, ia juga ternyata menembak kaca jendela. Tembakan demi tembakan yang dilepaskannya sangat intens, terarah dan dilakukan dengan interval yang amat singkat yang menunjukkan kualitas bahwa si cantik memang mestilah bukan sekedar seorang sekretaris.
Komputer berbunyi. Proses perekaman data selesai bersamaan waktu dengan habisnya magasin selongsong peluru baik di pistol pertama maupun kedua.
Si cantik melempar dua senjata apinya. Cepat sekali ia duduk di kursi putar beroda didepan komputer, mengambil kartu mikro SD dan menyimpan di sabuknya dengan kecepatan dan sekaligus ketenangan yang luar biasa. Selang sedetik kemudian, Nikolai dan penjaga pertama bangkit. Penjaga kedua juga kini menyerbu masuk. Dan kini malah menyerbu masuk bersama-sama dengan dua, tiga atau bahkan empat penjaga lain yang sama-sama bersenjata lengkap.
Sempurna.
Tiba-tiba saja si cantik menendang meja kerja didepannya. Kursi beroda yang didudukinya kontan tersentak dan kini terdorong ke arah belakang, menuju kaca rayban yang tadi terkoyak-koyak letusan senjata api. Bagai mengejek maut, masih sempat ia melakukan sebuah ciuman jarak jauh pada orang-orang di ruangan itu.
Nikolai kembali merutuk.
Kursi yang diduduki si cantik tetap melaju deras.
Nikolai dan para penjaga terkesiap melihat kursi mengarah ke arah jendela kaca untuk kemudian menabrak dengan suara keras. Serpihan kaca berhambur ke seluruh ruangan dan udara terbuka diluar sana. Kaca yang telah rapuh karena terkoyak sambaran banyak peluru kini menganga lebar. Ini menjelaskan sikapnya mengapa ia tadi juga menembaki jendela kaca. Beserta dengan kursi yang didudukinya, si cantik berkostum hitam terjatuh dan segera disambut kekuatan gravitasi.
Benar-benar nampak sebuah tindakan bunuh diri. Tanpa ampun tubuh langsingnya melayang jatuh. Tubuhnya meluncur deras menuju lapangan parkir gedung, ratusan meter dibawahnya.
Bersama dengan penjaga-penjaganya, Nikolai menyaksikan adegan itu saat memburu ke sisi jendela. Dari ketinggian sekitar empat ratus meter ia masih sempat melihat tubuh mantan sekretarisnya meluncur deras ke permukaan bumi. Dengan kecepatan jatuh yang dahsyat maka dalam hitungan beberapa detik lagi tubuh indah langsing itu akan berubah menjadi onggokan daging tak berarti.
Namun Nikolai dan beberapa pasang mata di sampingnya tiba-tiba terkesiap. Dari ransel yang sejak tadi dipakainya tiba-tiba menyembul sebuah gelembung kain nilon yang juga berwarna gelap.
Pilot parachute!
Sebuah parasut mini yang lantas dengan kekuatan tolakan angin yang besar menarik parasut induk untuk keluar dan mengembang.
Sungguh suatu upaya yang amat terencana. Dari ketinggian yang begitu rendah, hanya 300an meter dari permukaan tanah, lawannya telah mengaktifkan parasut dalam upayanya melakukan pelarian diri yang fantastis.
“Tembak! Habisi, habisi dia …” Nikolai berteriak-teriak memberi perintah.
Sama hal dengan tuan mereka, para penjaga itu juga sama sekali tidak menduga kejadiannya akan menjadi demikian diluar dugaan. Jadi ketika mereka mengikuti perintah Nikolai untuk menembak, mereka tahu bahwa tidak banyak yang bisa diharapkan.
Tembakan pistol dan senapan mesin mereka sudah terlalu terlambat. Lawan mereka dengan cerdik menggerakan temali sedemikian rupa sehingga parasutnya memutari gedung ke sisi sebelah sehingga mustahil untuk terjangkau sudut terjangan peluru.
Nikolai merutuk keras. Sebuah tamparan darinya dengan telak mengenai pipi salah seorang dari beberapa penjaga yang menyertainya. Di saat itulah ia kembali melihat layar komputer.
Ia terkesiap melihat hitung mundur yang tadi tampil di layar komputer semakin mengecil.
00:04
00:03
Keringat dinginnya mengalir.
00:02
00:01
Aliran darah Nikolai seolah terhenti. Sampai kemudian penunjuk waktu menunjukkan sebuah bilangan dimana waktu pun seolah ikut terhenti.
00:00
Ledakan keras membahana memekakkan gendang telinga disertai bola api raksasa. Dalam hitungan sepersekian detik rangkaian kaca di sisi gedung sebelah utara dan timur luluh lantak seketika. Dinding di kedua sisi gedung dalam sekejap mata berubah menjadi keping dan abu semen yang berhamburan tak berarti. Bongkahan-bongkahannya terlontar ratusan meter ke udara terbuka berbarengan dengan jilatan api dan hawa panas yang menyertainya. Dengan kepongahannya bola-bola api skala raksasa menebar ke tiap koridor di lantai gedung dimana ledakan tadi berasal.
Peralatan laboratorium berbahan kaca dalam sekejap berubah ujud. Meleleh untuk kemudian menjadi senyawa uap kimia berbau sangit. Beberapa petugas keamanan dan petugas laboratorium yang malam itu tengah melakukan proyek rahasia, terperangkap dalam gelombang panas ekstrim. Kepanikan dan kengerian terpampang ketika mereka melihat malaikat pencabut nyawa datang dalam wujud gelombang panas berwarna jingga dan melahap tubuh mereka tanpa ampun. Jerit kengerian mereka bergaung dan berbaur dengan asap hitam pekat yang ditimbulkan.
Diluar sana, ratusan meter dari lokasi kejadian, sebuah parasut terus mengayun turun. Meluncur terbawa alur angin melintasi jalan raya untuk kemudian hilang ditelan gelap.
*
Acara mandi pagi hari itu bisa jadi merupakan mandi yang mengesalkan yang Dimas pernah alami. Sabun sudah tersisa sebuku ibu jari. Odol harus ia kuras sekuat tenaga dari ujung hingga ke bibir tube. Shampo yang diperbanyak dengan cara dicampur air hanya menyisakan tiga-empat tetes terakhir. Belum cukup dengan itu, cobaan berikutnya muncul lagi.Air di bak untuk dirinya mandi hanya tersisa setengah tegel. Itu mungkin kuantitas yang cukup untuk ia mandi. Namun, dengan lantai bak tersaput lapisan lumpur tipis sebagai residu penampungan air selama satu minggu, Dimas tidak yakin ia bisa cukup mandi saat itu. Guncangan yang tiimbul akibat dari cedokan air sekecil apapun akan menyebabkan endapan lumpur tadi tercampur dengan air ledeng.Ini menyebalkan Dimas. Tak terbayang ia harus keramas dan mandi dengan air kecoklatan.Ya, kendati bukan merupakan karyawan tetap yang terpaku bekerja di sebuah institusi perusahaan, sebagai penulis lepas yang
“Ada Niken, pak?“ terdengar suara Dimas di luar pintu rumah Deni saat menanyai puterinya.Niken menoleh bersamaan dengan meluncurnya jawaban dari Casdi, orangtua Deni.“Ada.“Pintu masuk yang berada di belakang Niken terbuka. Dimas muncul. Setelah permisi pada ibu Deni yang menemani putera mereka bermain, Dimas membawa Niken pulang.Pertanyaan berbau protes diajukan Niken ketika keduanya melangkah ke unit rumah susun mereka.“Kenapa Niken nggak boleh main lama-lama sih?““Mbak Sarni kan sudah datang untuk membantu Niken mandi, sikat gigi dan ganti baju sebelum berangkat sekolah,“ jawab Dimas mencoba menjelaskan selembut mungkin.“Dan mbak Sarni sebentar lagi sudah harus pergi ke tempat lain.“Terus, kenapa Niken nggak ayah beliin playstation sih?“Sebuah ide jawaban melintas di benak Dimas.
“Selamat siang, pak“ sebuah sapaan terdengar dari arah belakang pintunya.“Met siang.“Casdi membalik badan. Ia hampir tidak percaya dengan penglihatannya. Di depannya kini berdiri sesosok wanita yang ia percaya pasti memenuhi benak impian semua pria termasuk dirinya. Ia hampir saja menatap lebih lama kalau isterinya tidak bertanya.“Ada perlu apa, mpok?““Mau tanya,“ kata wanita itu sambil tangannya menunjuk sebuah unit rumah yang tertutup. “Itu unit nomor D14?“Casdi dan isterinya melihat arah yang ditunjuk sebelum Casdi mengiyakan.“Bener, mpok.““Unit ini disewakan?“ “Bener. Kebetulan emang bini saya yang megang kuncinya. Yang punya rumah ngasih kepercayaan sama saya dengan bini saya buat nyerahin kunci. Kali-kali aja minat gitu. Mau ngeliat-liat dulu, mpok?&ldqu
Dimas mengelus rambut puterinya. Ia tahu Niken kembali merindukan almarhumah isterinya, ibunda Niken.“Sayang,“ cetus Dimas, “pulang yuk?“Niken menggeleng kepalanya perlahan. Ia terus saja menyaksikan pemandangan di depannya. Dimas lalu ikut menonton.Tak lama kemudian, dari pelataran parkir Casdi datang dengan motornya menjemput mereka. Deni segera naik di jok terdepan sedangkan isteri Casdi duduk di bagian belakang. Mereka tertawa-tawa kecil sebelum kemudian Casdi melajukan motornya meninggalkan areal rumah susun.Mata Niken tak berkedip menyaksikan kejadian tadi. Waktu Dimas memeluk pinggangnya, Niken lalu membalas dengan pelukan yang tak kalah erat. Raut wajahnya kelihatan semakin sedih.Dimas menghela nafas dalam-dalam.Sesaat berikut, Niken sudah berada dalam rangkulan Dimas yang mengantarnya kembali ke unit rumah susun dimana mereka tinggal.Ketika tiba di lantai teratas dima
Dimas tengah melangkah menuju lobby sebuah perusahaan penerbitan ketika sebuah teguran terdengar. “Kau langsung pulang?“ Sari, editor di perusahaan tersebut langsung mencegatnya ketika ia baru saja keluar dari pintu lift.. Dimas menoleh dan melihat wanita itu mendekat ke arah dirinya. “Ya.“ “Kau sudah dapat honor dari cetakan pertamamu?“ “Cetakan kedua,“ kata Dimas mengoreksi sembari menunjukkan selembar cek tunai dari saku bajunya. “Sudah.“ “Jadi mentraktir a
Supermarket yang Maia masuki cukup banyak dikunjungi orang dengan counter buah-buahan dan makanan ringan paling banyak diminati. Itu tidak mengherankan karena pihak supermarket menyediakan obral besar saat itu. Kendati demikian, Maia tidak berminat bergabung dengan sekumpulan orang-orang tadi. Ia lebih suka menghabiskan waktu untuk memilih barang-barang lain. Maia bukan tipe shopaholic. Itu sebabnya kendati di lantai yang sama tersedia berbagai butik dan pernak-pernik kebutuhan wanita, Maia tidak banyak menghabiskan waktu disana. Hanya lima menit ia gunakan untuk membeli beberapa perlengkapan wanita sedangkan setengah jam berikut ia pakai untuk memilih keperluan-keperluan lainnya. Saat berada di depan kasir, Maia beruntung. Ia dilayani bukan kasir baru melainkan kasir yang dengan terampil mem
Baju yang dikenakan Dimas cukup banyak terkena curahan hujan saat ia tiba di dalam kabin kendaraan. Ini akibat payung yang ia pakai tergolong kecil sehingga tidak cukup lebar melindungi tubuhnya dari hujan yang turun begitu deras. Dimas baru saja akan menghidupkan mesin kendaraan ketika handphone-nya berbunyi. Perangkat komunikasi berkategori low-end itu menunjukkan sebuah nama di layar tampilannya. Nama Niken. Dalam rangka memonitor keberadaan Niken, kendati ia masih duduk di bangku kelas I, sudah satu-dua minggu ini Dimas membekalinya dengan sebuah handphone. Dimas bersyukur karena Niken ternyata tergolong cerdas sehingga hanya butuh waktu tidak lama sebelum puterinya benar-benar menguasai alat komunikasi tersebut.“Halo sayang,“ Dimas langsung menyapa dengan mesra.&nb
Urusan belanja baru saja Maia selesaikan. Dari depan pintu keluar, Maia mengawasi mobil-mobil yang berlalu-lalang di depannya. Jam menunjukkan pukul satu siang. Sebuah taksi yang Maia perkirakan buatan sepuluh tahun lalu mendekat. Bemper depannya nampak berkarat dengan cat dan plang taksi yang makin buram termakan usia, hujan dan sinar matahari. Sopir didalamnya memberi isyarat pada Maia untuk mau menggunakan jasanya. Produk sisa awal 2000-an yang segera lenyap tergerus zaman akibat bermunculannya taksi online itu, meluncur pelan. Merendengi langkah kakinya.Maia mengebas tangan. Sebuah isyarat penolakan.Maia berharap bisa mendapatkan satu buah taksi yang bersih dengan pendingin udara yang nyaman untuk mengantarnya pulang. Namun
Veily menyadari sesuatu yang lain lagi. Alex tidak lagi mengenakan kalung akik merah padam. Benda yang dulu diberikan khusus untuk pria itu kini tak ada lagi di lehernya. Sebersit rasa kecewa seketika menyeruak dalam batinnya....Bagi Veily, Alex bukan pria biasa. Ia pernah mendapat perhatian khusus dalam diri Veily yang seiring berjalannya waktu mulai berani menyalakan bara api dalam hatinya. Dan kala Alex menyambut, bara api itu – cinta, tentu saja – makin memuai. Menyalakan rindu, perhatian, dan ketertarikan yang terus bergejolak. Sampai kemudian terjadi sebuah kesalahpahaman yang belakangan ia sesali hingga saat itu. Kesalahpahaman yang membuat tersingkirnya Alex dari lembar hidupnya. Andai bisa membalik waktu, ingin rasanya ia jatuh dalam rengkuhan pria itu. Menumpahkan maaf. Mencurahkan sesalnya yang nyaris tak berujung.Dan kini. Tidak bukan kini - tapi kemarin pagi tepatnya – secara tak terduga
“Sialnya aku tiba di medan pertempuran antara pasukan Jepang dengan tentara sekutu. Aku langsung berada dibawah todongan salah seorang tentara Jepang. Penjelasan bahwa aku dari masa depan tentu saja tidak membuatnya percaya. Ia hampir saja membunuhku sampai kemudian kubuktikan kebenaran ucapanku melalui Jetpack yang kubawa. Tentara Jepang itu, Letnan Hamada namanya, memaksaku untuk memakaikan Jetpack padanya. Di bawah todongan, aku menurut. Aku hanya menge-set agar benda itu terbang naik, melayang di ketinggian tertentu, dan mendarat kembali. Semua tak lebih dari lima menit. Tapi itu memang berdampak signifikan. Dalam gelap malam, dengan mitraliurnya dan dengan sekali pukul ia melumpuhkan sekutu di tempat persembunyian dari udara. Pertempuran berakhir dengan kemenangan di pihak Jepang.”Alex menyimak rangkaian cerita menakjubkan tadi sementara Profesor tetap meneruskan.“Kami kemudian pulang ke barak Jepang yang ternyata me
Profesor Senjaya menatap tajam. “Aku ingin benda itu dihancurkan. Kendati perang dingin antara blok barat dan timur tak lagi muncul ke permukaan akan muncul hegemoni lain yang sama membahayakannya. Tak sulit membayangkan bencana macam apa yang terjadi jika sampai Jetpack diproduksi masif di masa ini.”Penjelasan Profesor terdengar masuk akal. Alex berpikir dan menimbang-nimbang sekian lama di tempat duduknya. Gelas berisi minuman jus jeruk yang ia pesan dari tadi sudah lama tandas. Kendati demikian, ia tetap saja mengaduk-aduk gelas yang kini hanya tersisa es batu saja.“OK,” katanya kemudian. Nyaris tanpa suara. “Aku di pihakmu.”Profesor nampak lega.“Namun sebelum kuserahkan padamu, tolong jawab pertanyaan terbesarku. Bagaimana ceritanya benda itu bisa berada di goa Jepang, teronggok bersama barang-barang peninggalan Perang Dunia kedua, sementara Prof send
Pada sepuluh detik pertama Alex masih bisa menahan. Tapi ketika sudah dua puluh detik, wajahnya mulai berubah. Alex mulai meringis ketika cubitan Tessa berlangsung hingga lebih tiga puluh detik.“Ampun,” desisnya.“Nggak!” cetus Tessa galak. Rona kemenangan terpancar di wajahnya melihat Alex yang mulanya sok kuat kini mulai meringis kesakitan.“Ampun.”“Nggak. Bilang dulu seperti tadi kubilang. Ayo, cepetan!”Dalam sengatan nyeri Alex dengan cepat mengingat sesuatu. “I miss youuuu... ouch!”Tessa melepaskan cubitannya. “Koq milih kalimat yang itu dan bukan yang satunya?”Alex tidak menjawab. Saat menarik tangannya kembali tanpa sengaja ia menyentuh ujung botol saus yang terbuka yang langsung mengotori jari-jarinya.“Tuh, kamu sih.”
Seiring kepergian Alex dan seiring pula berjalannya waktu, penyesalan yang sebelumnya menghinggapi Alex, kini mulai menyapa dirinya. Setelah berpikir lebih dalam, perlahan ia mulai menyadari bahwa Alex tidaklah seburuk yang ia sangka.Yang kemudian timbul dalam jiwanya adalah rasa bersalah yang makin kuat menyergap. Melecut hasrat memaafkan dan dimaafkan. Terpuruk dalam sesal, Veily mencoba mencari tahu keberadaan Alex hanya untuk mendapatkan kenyataan bahwa pria itu ternyata pergi tanpa meninggalkan jejak alamat, telepon, atau bahkan kota yang ia tuju.Hari dengan cepat berganti hari dan bahkan berubah hingga hitungan tahun. Namun keberadaan Alex tetap lenyap tak berbekas. Asa yang semula membara, lambat laun padam. Dingin. Hingga kemudian Veily sadar bahwa sudah tiba waktunya untuk memupus kenangan yang sempat terajut.Ia sadar telah mengambil keputusan yang salah. Namun lekas pula ia menyadari bahwa keputusan yang sal
Laporan beban fiskal perusahaan yang menggelayuti pikiran Tessa segera ia buang jauh-jauh dan diabaikan begitu saja ketika Alex hadir di pintu ruang kerjanya siang itu.“Maaf terlambat,” kata Alex sesopan mungkin sesaat setelah diijinkan Tessa untuk duduk di depannya.“Lain kali jangan terlambat dong.”Kendati cukup lantang bentakannya – kalau bisa disebut sebagai sebuah bentakan – Alex merasa bahwa Tessa hanya berpura-pura. Sorot matanya tidak bisa menutup aura rindu ketika melihat kehadiran dirinya.“Iya maaf. Aku janji.”“Sip. Kamu dimaafkan. Tadinya aku kuatir, tahu? Eh ternyata cepat juga kamu bisa nyampe. Kamu ke sini tahu kan untuk apa?”“Tahu.”“Tadinya direncanakan kami di BOM merenc...”“Kalian dibom?”&nbs
Oleg memasuki boks telepon, memutar nomor, dan mulai berbicara dengan seseorang di ujung sana. Mulutnya sibuk mengunyah permen yang sejak ia di Jakarta menjadi kesukaannya.“Letnan, aku masih belum bisa melacak keberadaan Profesor. Tapi sudah mendapatkan informasi mengenai Alex. Info itu benar.” Jeda sesaat ketika ia mendengar tanggapan dari lawan bicaranya. “Alex tinggal di kamar hotel sejak kemarin. Masalahnya, saat Dimitri dan aku diam-diam memasuki kamar, benda itu tidak ada di sana.”Terdengar suara keras orang memaki di ujung telepon.“Anak muda itu ternyata lebih cerdas daripada yang kita kira. Letnan, perlukah kita lakukan rencana B?”“Belum saatnya menghabisi dia. Kalian tunggu aba-aba dariku. Aku masih punya ide lain.”*Petugas yang bertugas di meja resepsionis mengenali pria muda yang nyaris sebaya dengan dirinya ketika ia kembali muncul di hadapannya.“Selamat pagi,” salamnya mendahului Alex.“Pagi.”“Sdr. Alex kan?”“Aku tersanjung, bapak dengan mudah bisa mengenali aku.
“Hacker, tepatnya. Aku memperbaiki misalnya sistim perbankan yang kacau, seperti transaksi derivatif, pengamanan data cyber, phone banking, dan semacamnya. Yah, itu untuk biaya hidup sehari-hari.”“I see.”“Sekarang langsung ke intinya. Jadi kamu sudah temukan benda itu?”Sadar bahwa tak perlu lagi menutupi, Alex mengangguk. “Jetpack? Ya.”Profesor langsung berbicara lebih serius ke masalahnya.“Kamu sudah tahu cara menerbangkan Jetpack?”“Prof,” Alex tersenyum sinis, “aku belum banyak menyentuhnya. Beberapa hari ini aku dibawa pada situasi yang kukhawatirkan membuatku terkena skizofrenia. Semua gara-gara benda yang mungkin dari masa depan tapi berada pada tumpukan barang rombeng eks zaman revolusi. Kukatakan dari masa depan karena bisa saja ada pabrik yang salah embose ketika menuliskan tanggal produksi pada benda aneh itu. Tidakkah itu hal yan
Ia menyibak selimut lalu duduk di pinggir ranjang. Deru suara pendingan udara yang nyaris tak terdengar di siang hari kini terasa cukup lantang saat malam hari. Sadar dirinya akan sulit lagi melanjutkan tidur, Alex memutuskan untuk bangun dan meminum dua-tiga teguk air mineral dari gelas yang masih tersisa setengahnya.Matanya yang kini terbuka lebar seketika terpaku pada laptop pemberian perusahaan. Ketertarikan yang besar membuatnya kembali membuka laptop, menghidupkannya, dan mencolok perangkat modem.Dalam setengah jam berikutnya, Alex sibuk mengutak-utik perangkat yang membawanya berselancar ke jagat maya. Kendati dirinya merupakan pengguna yang masih sangat baru, dengan kecerdasan yang dimiliki, ternyata tidak sulit untuk dirinya mempelajari mengenai internet, memanfaatkan mesin pencari, dan penggunaan email.Dengan fasilitas mesin pencari, Alex mencoba mencari informasi apa saja. Termasuk Jetpack, tentu saja, yang