Delapan bulan berlalu.
Rumah sederhana dengan dinding sebagian dari kayu itu nampak sepi. Tidak begitu sepi sebetulnya karena kalau diperhatikan dengan seksama masih terdengar suara ketikan di papan ketik komputer. Yang melakukannya adalah seorang pria yang mengetik demi mengejar tenggat waktu untuk sebuah karya penulisan. Di dalam kamarnya, sekali-sekali ia melirik jam meja kecil yang diletakkan persis di samping komputer.
Jam 2.15.
Satu atau dua jam lagi ia harus segera mengirimkan karya tulisnya melalui fasilitas email yang tersambung melalui modem eksternal miliknya. Dikirim ke sebuah alamat penerbit Jakarta, seribuan kilometer dari tempatnya berada saat ini. Semua demi kontrak eksklusif penerbitan buku yang ia tak duga sama sekali begitu membuat pihak penerbit antusias sampai mereka berani memberikan uang muka amat besar bagi dirinya.
Pintu di dekatnya tiba-tiba terbuka dan seorang wanita membur
25 tahun sebelumnya. Pada lembah di tepi hutan Selaro, Sumatera Selatan, pertengahan tahun.Siang itu, di areal pinggir hutan, debu nampak bergumpal-gumpal dan sekaligus menyatu dengan kepulan asap hitam sisa pembakaran solar dari sebuah kendaraan berat. Di bawah terik matahari, memang hanya suara derum kendaraan saja yang terdengar karena alat berat itu tengah berada persis di dalam kepungan debu dan asap tadi. Gumpalan-gumpalan tadi begitu pekat menutupi sehingga dengan sempurna menutup seluruh bayangannya.Bak geram puluhan ekor badak, tak lama kemudian, kendaraan tadi bergerak keluar menembus gumpalan debu. Mesinnya meraung-raung beriringan dengan derum gerak rantai roda besi dan dentang baja saat tertumbuk bebatuan jalanan.Sang raksasa besi sedikit berbelok dan kemudian bergerak puluhan meter ke arah sebuah tebing kecil yang dipenuhi dengan pepohonan pakis hutan. Saat kembali menggali, debu dan asap kembali berhamburan. Nyaris tak terlihat dan nyaris pula tak peduli pekatnya gum
Di tengah gelap dan hawa lembab yang terhirup, sebuah pertanyaan menggelitik sanubarinya. Jika tempat yang ia telusuri itu merupakan goa buatan manusia, untuk keperluan apa dibuatnya?Ketika memasuki alur goa yang meliuk, aroma lembab semakin kuat tercium. Lampu senter yang ia bawa bergerak kesana-kemari menyorot ke banyak arah. Seiring makin jauh ia melangkah semakin banyak pula sarang laba-laba yang harus ia sibak. Jelas itu tidak masalah. Adalah masalah besar jika yang muncul adalah ular kobra sebagai salah satu spesies endemik wilayah itu.Ia bergidik. Pemikiran itu membuatnya memutuskan untuk membalik badan dan mencari jalan ke luar goa. Saat membalik badan itulah, sepatu yang ia kenakan menyentuh sesuatu yang menimbulkan suara denting.Alex mengarahkan senter ke bawah dan menemukan sebuah selongsong peluru yang membuatnya yakin bahwa goa itu bukan hanya sekedar bukan bentukan alam namun juga pernah dipakai seseoran
Keingintahuan Alex yang bertambah membuatnya menemukan dua baris tulisan lain yang di-cetak-timbul di bagian dasar tabung. Baris pertama berisi deretan nomor sekitar belasan digit yang mungkin merupakan kode produksinya. Saat nyala senter memerlihatkan tulisan lain terlihat deretan huruf dan angka “Prod.Date: 12/08/”.Kode penulisan itu sangat jamak ia temui dimana-mana. Tak salah lagi, pikirnya, itu merupakan rangkaian dua digit tanggal dan dua digit bulan yang kemungkinan besar merupakan tanggal dan bulan produksi benda tadi. Alex cukup yakin karena setelah itu ada empat digit lain. Ia mulai menggosok bagian yang tertutup dengan debu dan residu minyak demi mengetahui empat digit terakhir. Dan ketika selesai dilakukan, ia terhenyak melihat empat digit terakhirnya.2088.Ini gila, pikirnya. Di antara artefak eks Perang Dunia kedua, bagaimana mungkin ada sebuah benda dengan kode produksi buatan masa depan?
Gumpalan debu dan suara keras menyertai tanah yang tecabik dari lapisan dinding lereng bukit. Hujan material bebatuan berjatuhan dan terhunjam ke bumi ditemani beberapa gelondong kayu. Getaran di permukaan tanah yang terjadi seakan menyerupai gempa berskala 6 richter dan membuat guncangan di badan ekskavator. Batang pohon merbau yang tadi terhempas kini bergerak jatuh nyaris tegak lurus ke arah permukaan bumi. Sempat melayang beberapa detik, pohon yang kini hanya menyisakan batangnya itu serta-merta menghunjam tempat yang belum semenit yang lalu ditempati ekskavator. Ditemani serpihan tanah dan batu, kejatuhannya diiringi sekaligus suara derak kayu yang terpecah yang terdengar memekakkan telinga. Dalam sekejap tempat tadi terkubur longsoran tanah, batu, semak, kerikil, dan pepohonan. Kepulan debu pekat seketika membubung membentuk cendawan raksasa.Di dalam kabin ekskavator yang masih melaju mundur Alex menghembus napas lega. Fiuhhh! Nyaris dirinya mati konyol d
“Ndak mau. Dah lapar aku, tau? Kalau aku tunda makan siangku, lama-lama kumakan bae kau. Ngerti?”Bukannya takut, Sulai malah terkekeh mendengar canda rekannya. Beberapa rekan lain di barak tersenyum kecil melihat canda mereka berdua yang memang sangat karib entah sejak kapan walau keduanya berbeda dalam banyak hal. Beda dari segi suku, agama, latar belakang, pendidikan, dan masih banyak lagi. Lamat-lamat terdengar lagu ‘Kita’ dari Sheila on 7 yang tengah hit dari salah satu stasiun radio yang sinyalnya tertangkap jelas di sana. Sepertinya 1995 adalah tahun dengan kibar panji kemenangan grup band itu.“Aku dan teman-teman di barak tadi cemas memikirkan kau, Lex,” katanya dengan logat setempat yang sangat kental.“Kami kira sudah mati kau terkubur longsor. Kenapa tidak minta tolong segera?”“HT-ku rusak parah.”Belum sempat menjawab, terdengar celetukan dar
Dua jam sudah Tessa habis mengomeli dirinya atas kerusakan ekskavator yang terjadi karena ulahnya. Semua penjelasan Alex dengan gampang dimentahkan begitu saja. Alex akhirnya tidak lagi mau membantah karena ia yakin itu akan percuma saja. Ia memutuskan untuk banyak diam. Termasuk ketika wanita cantik namun judes itu mengeluarkan ancaman pemecatan di awal bulan depan.“Aku mungkin orang baru. Tapi bukan berarti aku tidak bisa bertindak tegas. Atas kerugian perusahaan akibat rusaknya ekskavator, aku bisa merekomendasikan pemutusan hubungan kerja atau mutasi ke tempat lain. Anda mengerti?”Alex hanya mengangguk kecil. Selama ditegur, tentu saja ia tidak menceritakan temuannya di goa itu yang kini terbuka lebar setelah longsoran bukit menggerus pintu masuknya.Saat mandi dan air dari shower mengucur membasahi sekujur tubuh Alex hanya bisa menyesali keadaan. Bayangan pemecatan, ekskavator yang rusak, batu cadas, goa, bergantian memenuhi benaknya. Kariernya bisa jadi berakhir di sini terkec
Veily tersenyum. Merasa lucu dan senang karena ada yang memperhatikan dirinya dengan begitu detil.“Mmmm... apa lagi ya? ”Alex coba mengingat-ingat. “Kamu juga suka menjawab dengan mendehem, atau mengiyakan dengan suara-suara aneh. Cuma ham hem ham hem begitu aja.”Sambil tetap membuntuti Alex, Veily hanya tertawa kecil.“Masih mending. Daripada kamu nggak pernah ngomong apa-apa. Kan? Kan? Kan?”Alex tak menjawab. Tadinya Veily berpikir bahwa pria itu tidak berminat melanjutkan perbincangan sampai kemudian terdengar tanggapan darinya.“Kamu tadi bilang aku lucu. Lucu kenapa?”“Iya. Kenapa kamu ngotot soal ulangan biologi itu? Sudah jelas jawabanmu ngaco.”“Abis, pusing. Saat itu nggak ada mood untuk mikir. Malah nge-mood untuk becanda.”“Aku heran nilai ulanganmu jelek. Di sebelahmu
Pintu lift baru akan tertutup rapat ketika sebuah lengan menahannya. Sesosok pria tujuhpuluhan tahun menyelusup masuk, mengangguk ke seorang pria berjas formal yang sudah ada di dalamnya, sebelum kemudian menutup tombol penutup pintu lift.Pria lain yang terlebih dahulu ada di dalamnya melihat bahwa sosok pria tua itu tidak menekan tombol lantai. Ini artinya mereka berdua menuju ke lantai yang sama.“Selamat pagi, Pak Triko,” pria tua itu memulai percakapan. Tak perlu berbalik badan karena pantulan kaca di depan lift membuat ia bisa melihat lawan bicaranya dengan jelas.Pria berjas formal menoleh. “Bapak tahu namaku?”“Siapa tidak mengenal CEO bank ini.” Pria tua tersenyum kecil. “CEO sekaligus direktur perusahaan pemasok peralatan militer Angkatan Udara di nusantara. Sebetulnya, aku ingin memberikan sebuah solusi untuk masalah di bank yang Anda pimpin.” 
Veily menyadari sesuatu yang lain lagi. Alex tidak lagi mengenakan kalung akik merah padam. Benda yang dulu diberikan khusus untuk pria itu kini tak ada lagi di lehernya. Sebersit rasa kecewa seketika menyeruak dalam batinnya....Bagi Veily, Alex bukan pria biasa. Ia pernah mendapat perhatian khusus dalam diri Veily yang seiring berjalannya waktu mulai berani menyalakan bara api dalam hatinya. Dan kala Alex menyambut, bara api itu – cinta, tentu saja – makin memuai. Menyalakan rindu, perhatian, dan ketertarikan yang terus bergejolak. Sampai kemudian terjadi sebuah kesalahpahaman yang belakangan ia sesali hingga saat itu. Kesalahpahaman yang membuat tersingkirnya Alex dari lembar hidupnya. Andai bisa membalik waktu, ingin rasanya ia jatuh dalam rengkuhan pria itu. Menumpahkan maaf. Mencurahkan sesalnya yang nyaris tak berujung.Dan kini. Tidak bukan kini - tapi kemarin pagi tepatnya – secara tak terduga
“Sialnya aku tiba di medan pertempuran antara pasukan Jepang dengan tentara sekutu. Aku langsung berada dibawah todongan salah seorang tentara Jepang. Penjelasan bahwa aku dari masa depan tentu saja tidak membuatnya percaya. Ia hampir saja membunuhku sampai kemudian kubuktikan kebenaran ucapanku melalui Jetpack yang kubawa. Tentara Jepang itu, Letnan Hamada namanya, memaksaku untuk memakaikan Jetpack padanya. Di bawah todongan, aku menurut. Aku hanya menge-set agar benda itu terbang naik, melayang di ketinggian tertentu, dan mendarat kembali. Semua tak lebih dari lima menit. Tapi itu memang berdampak signifikan. Dalam gelap malam, dengan mitraliurnya dan dengan sekali pukul ia melumpuhkan sekutu di tempat persembunyian dari udara. Pertempuran berakhir dengan kemenangan di pihak Jepang.”Alex menyimak rangkaian cerita menakjubkan tadi sementara Profesor tetap meneruskan.“Kami kemudian pulang ke barak Jepang yang ternyata me
Profesor Senjaya menatap tajam. “Aku ingin benda itu dihancurkan. Kendati perang dingin antara blok barat dan timur tak lagi muncul ke permukaan akan muncul hegemoni lain yang sama membahayakannya. Tak sulit membayangkan bencana macam apa yang terjadi jika sampai Jetpack diproduksi masif di masa ini.”Penjelasan Profesor terdengar masuk akal. Alex berpikir dan menimbang-nimbang sekian lama di tempat duduknya. Gelas berisi minuman jus jeruk yang ia pesan dari tadi sudah lama tandas. Kendati demikian, ia tetap saja mengaduk-aduk gelas yang kini hanya tersisa es batu saja.“OK,” katanya kemudian. Nyaris tanpa suara. “Aku di pihakmu.”Profesor nampak lega.“Namun sebelum kuserahkan padamu, tolong jawab pertanyaan terbesarku. Bagaimana ceritanya benda itu bisa berada di goa Jepang, teronggok bersama barang-barang peninggalan Perang Dunia kedua, sementara Prof send
Pada sepuluh detik pertama Alex masih bisa menahan. Tapi ketika sudah dua puluh detik, wajahnya mulai berubah. Alex mulai meringis ketika cubitan Tessa berlangsung hingga lebih tiga puluh detik.“Ampun,” desisnya.“Nggak!” cetus Tessa galak. Rona kemenangan terpancar di wajahnya melihat Alex yang mulanya sok kuat kini mulai meringis kesakitan.“Ampun.”“Nggak. Bilang dulu seperti tadi kubilang. Ayo, cepetan!”Dalam sengatan nyeri Alex dengan cepat mengingat sesuatu. “I miss youuuu... ouch!”Tessa melepaskan cubitannya. “Koq milih kalimat yang itu dan bukan yang satunya?”Alex tidak menjawab. Saat menarik tangannya kembali tanpa sengaja ia menyentuh ujung botol saus yang terbuka yang langsung mengotori jari-jarinya.“Tuh, kamu sih.”
Seiring kepergian Alex dan seiring pula berjalannya waktu, penyesalan yang sebelumnya menghinggapi Alex, kini mulai menyapa dirinya. Setelah berpikir lebih dalam, perlahan ia mulai menyadari bahwa Alex tidaklah seburuk yang ia sangka.Yang kemudian timbul dalam jiwanya adalah rasa bersalah yang makin kuat menyergap. Melecut hasrat memaafkan dan dimaafkan. Terpuruk dalam sesal, Veily mencoba mencari tahu keberadaan Alex hanya untuk mendapatkan kenyataan bahwa pria itu ternyata pergi tanpa meninggalkan jejak alamat, telepon, atau bahkan kota yang ia tuju.Hari dengan cepat berganti hari dan bahkan berubah hingga hitungan tahun. Namun keberadaan Alex tetap lenyap tak berbekas. Asa yang semula membara, lambat laun padam. Dingin. Hingga kemudian Veily sadar bahwa sudah tiba waktunya untuk memupus kenangan yang sempat terajut.Ia sadar telah mengambil keputusan yang salah. Namun lekas pula ia menyadari bahwa keputusan yang sal
Laporan beban fiskal perusahaan yang menggelayuti pikiran Tessa segera ia buang jauh-jauh dan diabaikan begitu saja ketika Alex hadir di pintu ruang kerjanya siang itu.“Maaf terlambat,” kata Alex sesopan mungkin sesaat setelah diijinkan Tessa untuk duduk di depannya.“Lain kali jangan terlambat dong.”Kendati cukup lantang bentakannya – kalau bisa disebut sebagai sebuah bentakan – Alex merasa bahwa Tessa hanya berpura-pura. Sorot matanya tidak bisa menutup aura rindu ketika melihat kehadiran dirinya.“Iya maaf. Aku janji.”“Sip. Kamu dimaafkan. Tadinya aku kuatir, tahu? Eh ternyata cepat juga kamu bisa nyampe. Kamu ke sini tahu kan untuk apa?”“Tahu.”“Tadinya direncanakan kami di BOM merenc...”“Kalian dibom?”&nbs
Oleg memasuki boks telepon, memutar nomor, dan mulai berbicara dengan seseorang di ujung sana. Mulutnya sibuk mengunyah permen yang sejak ia di Jakarta menjadi kesukaannya.“Letnan, aku masih belum bisa melacak keberadaan Profesor. Tapi sudah mendapatkan informasi mengenai Alex. Info itu benar.” Jeda sesaat ketika ia mendengar tanggapan dari lawan bicaranya. “Alex tinggal di kamar hotel sejak kemarin. Masalahnya, saat Dimitri dan aku diam-diam memasuki kamar, benda itu tidak ada di sana.”Terdengar suara keras orang memaki di ujung telepon.“Anak muda itu ternyata lebih cerdas daripada yang kita kira. Letnan, perlukah kita lakukan rencana B?”“Belum saatnya menghabisi dia. Kalian tunggu aba-aba dariku. Aku masih punya ide lain.”*Petugas yang bertugas di meja resepsionis mengenali pria muda yang nyaris sebaya dengan dirinya ketika ia kembali muncul di hadapannya.“Selamat pagi,” salamnya mendahului Alex.“Pagi.”“Sdr. Alex kan?”“Aku tersanjung, bapak dengan mudah bisa mengenali aku.
“Hacker, tepatnya. Aku memperbaiki misalnya sistim perbankan yang kacau, seperti transaksi derivatif, pengamanan data cyber, phone banking, dan semacamnya. Yah, itu untuk biaya hidup sehari-hari.”“I see.”“Sekarang langsung ke intinya. Jadi kamu sudah temukan benda itu?”Sadar bahwa tak perlu lagi menutupi, Alex mengangguk. “Jetpack? Ya.”Profesor langsung berbicara lebih serius ke masalahnya.“Kamu sudah tahu cara menerbangkan Jetpack?”“Prof,” Alex tersenyum sinis, “aku belum banyak menyentuhnya. Beberapa hari ini aku dibawa pada situasi yang kukhawatirkan membuatku terkena skizofrenia. Semua gara-gara benda yang mungkin dari masa depan tapi berada pada tumpukan barang rombeng eks zaman revolusi. Kukatakan dari masa depan karena bisa saja ada pabrik yang salah embose ketika menuliskan tanggal produksi pada benda aneh itu. Tidakkah itu hal yan
Ia menyibak selimut lalu duduk di pinggir ranjang. Deru suara pendingan udara yang nyaris tak terdengar di siang hari kini terasa cukup lantang saat malam hari. Sadar dirinya akan sulit lagi melanjutkan tidur, Alex memutuskan untuk bangun dan meminum dua-tiga teguk air mineral dari gelas yang masih tersisa setengahnya.Matanya yang kini terbuka lebar seketika terpaku pada laptop pemberian perusahaan. Ketertarikan yang besar membuatnya kembali membuka laptop, menghidupkannya, dan mencolok perangkat modem.Dalam setengah jam berikutnya, Alex sibuk mengutak-utik perangkat yang membawanya berselancar ke jagat maya. Kendati dirinya merupakan pengguna yang masih sangat baru, dengan kecerdasan yang dimiliki, ternyata tidak sulit untuk dirinya mempelajari mengenai internet, memanfaatkan mesin pencari, dan penggunaan email.Dengan fasilitas mesin pencari, Alex mencoba mencari informasi apa saja. Termasuk Jetpack, tentu saja, yang