Pramudya, bukanlah pria belia yang baru pertama kali mengenal wanita. Dia pria dewasa yang punya cukup pengalaman dalam menghadapi wanita yang punya rasa padanya. Walaupun baru Hani yang mampir dan sempat menetap di hatinya, namun seharusnya dia cukup mengerti bagaimana seorang yang punya perasaan istimewa padanya menyimpan bara api cemburu di hati. Tapi kenyataannya Pram hanya mengerti bahwa Cinta tengah mengalami krisis kepercayaan diri akibat pengkhianatan yang dilakukan David, sang mantan kekasih.
Seperti yang dia amati di diri Cinta hari ini. Gadis itu tidak lagi menyembunyikan rasa cemburunya pada Pram, ketika ada wanita lain menggoda Pram. Secara terang benderang Cinta menunjukkan perasaan tak nyaman itu di hadapan semua orang.
Akan tetapi Pram masih saja beranggapan api yang tengah membara di hati Cinta hanya semata-mata karena pelampiasan kemarahannya saja lantaran kehilangan kekasih dengan cara yang menyakitkan.
Sejak pertemuannya dengan Stephany di re
Waktu sudah menunjukan pukul sembilan malam. Setelah Pram mengintip dari balik pintu kamar dan mendapati Cinta sudah terlelap dalam gelumunan selimut di atas ranjang, Pram yakin tugasnya untuk hari ini selesai. Lalu dia pamit pada Sabrina untuk keluar unit sebentar, mencari udara segar di kolam renang di bagian belakang lobi di lantai dasar.Suasana di sekitar kolam renang berukuran olimpic itu tampak lengang. Hanya ada beberapa pasang pria wanita yang duduk di kursi panjang di tepi kolam sambil bercengkrama dan sesekali saling mengadu bibir tanpa sungkan.Tapi pemandangan seperti itu sudah tak asing lagi di mata Pram. Dia hanya menolehkan wajah ke sembarang arah sambil melewati mereka dengan santai dan menempati dirinya di salah satu kursi panjang yang terletak di jajaran paling ujung.Sesaat Pram mengangkat kedua tangan untuk meregangkan persendian sebelum menyelonjorkan kaki dan merebahkan punggungnya pada sandaran belakang. Dia tarik sebatang rokok putih kem
“Terima kasih,” ucap Pram seraya memberikan selembar uang berwarna biru sebagai tip kepada petugas hotel yang mengantarkannya ke dalam kamar. Walaupun Pram tak berlebihan dalam hal materi, tapi dia cukup punya pengertian untuk memberikan tanda terima kasih atas jasa seseorang.Setelah terdengar pintu kamar itu tertutup, Pram meletakkan koper kecilnya ke dalam lemari di samping kamar mandi, lalu mengedarkan pandangan sejenak ke sekeliling ruangan.Kamar hotel jenis VIP itu tampak cukup luas. Terdapat king size bed bersprei putih di tengah ruangan, didampingi dua meja nakas di kiri kanan. Ketika Pram membuka sepatunya dan menginjakkan kaki di karpet tebal yang terhampar menutupi lantai, empuk dan hangat menjalari kulit telapak kakinya.Suhu kamar itu sebenarnya tidak terlalu dingin, tapi membuat Pram merasakan sensasi kesejukan yang membuatnya mengerjap-ngerjap karena kantuk yang tiba-tiba melanda.Seharusnya dia tak merasakan kantuk itu, karena
Mendampingi Cinta menjalani syuting yang memakan waktu nyaris empat jam, membuat Pram terpaksa mengundur jadwal makan malamnya. Seharusnya di pukul tujuh tadi dia sudah mengisi perutnya, tapi di pukul sepuluh malam ini dia baru menyantap makan malamnya di restorant hotel di lantai dasar.Tapi Pram tetap menikmati, walaupun lambungnya hanya dia isi dengan sepiring nasi dan dua tusuk sate lilit khas Bali. Yang terpenting baginya adalah dia sudah memastikan Cinta dan Sabrina sudah kembali ke kamar dan menyantap hidangan makan malam mereka di sana.Tak lebih dari satu jam Pram berada di restorant itu, dia putuskan untuk kembali ke kamar segera. Dia pun ingin mengistirahatkan tubuhnya di sana, karena dia yakin tugasnya untuk malam ini sudah selesai.Ketika pintu lift di lobi terbuka, Pram masuk lalu menekan tombol angka sepuluh menuju lantai kamarnya berada. Pintu lift pun tertutup rapat, membawa Pram yang hanya seorang diri berada di dalamnya.Bunyi dentingan
Deburan ombak yang membelai telinganya sejak tiga puluh menit yang lalu ternyata tak mampu membuai dirinya memasuki alam mimpi. Berkali-kali dia mencoba mengatupkan kelopak matanya, namun rasa kantuk itu seakan enggan menghampiri.Suhu udara dari penyejuk ruangan dia pasang di derajat yang cukup rendah. Dan pintu balkon dia biarkan menganga. Hanya mengenakan kaos hitam dan celana pendek selutut, Pram lakukan itu semua agar tercipta suasana yang mendukungnya untuk memejamkan mata dan terlelap dengan segera.Namun tetap saja sepasang matanya berkhianat pada penat yang terasa di sekujur tubuhnya. Padahal dirinya kini sudah terlentang pasrah di atas ranjang, dengan lampu kamar yang dia redupkan.Tiba-tiba saja sekelebat bayangan wajah Cinta terlintas dibenaknya. Membuatnya kembali beranjak walaupun dengan setengah malas.Seakan ada perintah yang menggema di kepala, Pram meraih ponselnya yang tergeletak di atas meja nakas, lalu menekan tombol dialling ke
Tak salah penyair bilang, bahwa matahari tenggelam bagaikan musik indah pengantar malam. Langit bagaikan ruang luas yang disoroti cahaya jingga. Dihiasi dengan kepakan sayap burung-burung yang berlalu lalang menemani suasana senja.Satu moment yang sangat ditunggu-tunggu kedatangannya oleh semua orang. Rasanya tak lengkap ketika berada di pantai tapi melewatkan begitu saja fenomena alam yang membius pandangan ini.Dari tempatnya berdiri di tepi pantai, Pram enggan berkedip menyaksikan panorama yang sangat mempesona tersaji di depan mata. Sang surya, yang telah tiba pada waktunya untuk menenggelamkan diri di garis batas cakrawala, mempersilahkan langit malam menyambut rembulan.Pram berdiri di samping Cinta yang juga terpana menyaksikan pemandangan cantik itu. Walaupun bukan pengalaman pertama kalinya untuk Cinta, namun sunset adalah satu keindahan lukisan alam yang tak pernah ingin dia lewatkan setiap kali dia berada di tepi lautan. Sekilas Pram me
Rasa cinta ternyata sedahsyat itu. Cinta mampu merubah sikap dan sifat, bahkan hidup seseorang. Cinta memang hanya datang pada hati yang terbuka dan siap untuk dimasuki. Cinta tak memerlukan alasan untuk datang dan bertahta pada dua hati yang memujanya. Demikian yang kini Pram rasakan. Dia tak pernah menduga bahwa rasa itu tumbuh di hatinya. Dan kian subur bagai jamur di musim hujan. Tanpa alasan, rasa itu kini bersemayam indah di dalam hati. Ruang hampa di dalamnya kini sudah terisi kembali oleh wajah seseorang yang jelita. Pintu hati yang sempat tertutup rapat, kini terbuka lebar dan terukir indah oleh sebuah nama, Aura Cinta Anastasia. Sambil menikmati sebatang rokok di teras kontrakannya, Pram membuka memorinya ketika berada di Pulau Bali tiga hari lalu. Semua moment manis yang dia lalui bersama Cinta tergambar satu per satu. Dan tanpa sadar senyuman mengembang di bibirnya saat mengingat ciuman hangat yang dia lakukan bersama Cinta dengan latar belakang sunset di
Wanita itu melemparkan senyum penuh arti pada pria di seberang mejanya kini. Senyum kepuasan karena melihat wajah pria itu menegang disertai bunyi gemeretuk rahang di dalam mulut menandakan emosi yang demikian hebat tengah melanda.Amarah yang sudah menggumpal di dalam dada nyaris tak terbendung lagi, manakala bola mata David menatap layar ponsel yang disodorkan Stephany. Menyaksikan adegan mesra gadis yang dia cinta bersama seorang pria yang tak pernah dia sangka mampu mengalahkannya, membuat sekujur tubuhnya serasa mendidih dan darahnya berdesir cepat hingga mencapai puncak kepala.Siang ini, David bertemu dengan Stephany di sebuah kafe hotel mewah setelah setengah jam yang lalu wanita cantik itu menghubunginya. Tak butuh waktu lama David datang demi mendengar berita menggemparkan yang akan Stephany utarakan. Apalagi jika bukan mengenai gadis pujaannya yang ingin dia rebut kembali. Untuk itu David rela membatalkan semua jadwal pemotretan untuk hari ini.
Pram pun berharap David menyerangnya. Karena dia ingin sekali melawan dan memberi pelajaran pada pria berambut klimis itu dengan menghajarnya saat ini juga. Bukan saja untuk melindungi Cinta yang memang sudah menjadi tugasnya, tapi karena perasaan tak rela jika Cinta termakan rayuan hingga hatinya luluh dan akhirnya jatuh kembali ke dalam pelukan David, lalu mengabaikan hatinya yang sudah dicuri Cinta begitu saja.“Sudahlah David, kamu dan Cinta nggak bisa bersama. Percuma kamu ngemis-ngemis begini. Cinta udah nggak mau sama kamu lagi.” Kali ini Sabrina angkat bicara, berdiri di sisi Pram.Namun, bukannya mengerti apa yang Sabrina katakan. David justru mengalihkan tatapan nyalangnya pada Sabrina. Dan meminta Sabrina agar diam dengan mengangkat tegas telunjuknya ke depan wajah Sabrina.“Kalian berdua ini cuma pekerja. Jadi jangan ikut campur urusan majikan!” hardik David dengan nada mengejek seraya menunjuk kasar Sabrina dan Pram bergantia
Pramudya.Dari tempatnya berdiri, di balkon Presidential Suit Room lantai dua puluh hotel Swastika, ia memandangi barisan gedung yang diterangi oleh lampu-lampu aneka warna. Seakan bangunan-bangunan menjulang itu tengah berlomba-lomba memamerkan keindahan di antara langit kelam.Jalan raya ibukota di bawah sana masih tampak sibuk menggeliat walau hari telah beranjak gelap.Diiringi semilir angin malam yang sejuk dan tak menusuk, ia menyandarkan pinggang di pagar balkon bersama secangkir kopi hitam di tangan. Diseruputnya beberapa teguk, lalu ia letakkan kembali ke atas meja kaca.Satu jam lalu, setelah seluruh rangkaian acara akad nikah dan resepsi digelar, sebenarnya ia ingin segera membawa Cinta pulang ke rumah. Namun, Pak Abraham, ayah mertuanya sudah mempersiapkan satu kamar termewah di hotel ini untuknya dan Cinta beristirahat beberapa hari. Tentu saja ia tak mampu menolak. Ia berpikir beginilah cara ia menghargai permintaan ayah mertua
Seseorang tidak bisa memaksakan dengan siapa ia akan jatuh cinta. Tapi hati lebih tahu siapa yang pantas untuk diperjuangkan dan siapa yang pantas didapatkan.Jadi, jangan pernah berhenti mencintai hanya karena pernah terluka. Karena tak ada pelangi tanpa hujan, tak ada cinta sejati tanpa tangisan.Pramudya dan Cinta sudah membuktikan itu semua. Setelah melewati segala rintangan, kepedihan dan kekecewaan, kini saatnya mereka berhak merayakan penyatuan cinta yang sejatinya awal melangkah menuju kehidupan baru.Cermin memang tidak pernah berdusta. Ia menampilkan apa yang ada di hadapannya. Disana terlihat seorang gadis cantik tinggi semampai dalam balutan kebaya putih berkerah rendah. Kalung rantai platina berliontin bentuk matahari melingkar di leher jenjangnya. Rambutnya disanggul dan ditaburi butiran kristal yang berkilau ketika ditimpa cahaya. Wajahnya yang sehalus porcelein dihias dengan warna-warna muda, terkesan alami namun tetap menggetarkan hati saa
Satu minggu kemudian, kesepakatan kerjasama antar dua perusahaan itu akhirnya terlaksana. Dikukuhkan dengan penandatanganan sejumlah dokumen perjanjian oleh Aura Cinta Anastasia sebagai Direktur Utama PT Swasti Karya Utama dan Rosalinda Cattleya Aji Pratama sebagai Direktur Pelaksana PT Andromeda Persada Land.Disaksikan sejumlah jajaran manager dari kedua perusahaan, pengacara masing-masing pihak dan notaris independen.Cinta seakan enggan berkedip ketika menatap sosok Pram yang tampak begitu mempesona di hari istimewa ini. Pria dengan keelokan fisiknya itu semakin menawan dengan setelan jas hitam yang begitu pas membalut tubuh tegapnya. Rambut klimisnya tertata rapi membingkai wajahnya yang segar dengan rahang licin kebiruan. Senyuman tipisnya yang selalu mengembang sepanjang acara tak ayal lagi membuat para kaum hawa melelehkan air liur kala memandangnya.Benar-benar seorang pria dengan pesona yang tak terbantahkan!Demikian juga Pram yang begitu menik
Untung saja Pram sigap menangkap tubuh Cinta yang tiba-tiba lunglai seperti daun kering yang lepas dari tangkai. Sehingga tubuh gadisnya itu tak sampai jatuh menghantam lantai.Lima menit tadi, ruangan lantai tiga mendadak gempar bagai diguncang gempa bumi. Lantaran pekikan panik Juwita saat melihat ibu direktrisnya yang cantik itu tiba-tiba tak sadarkan diri.Para karyawan langsung berhamburan keluar dari kubikel mereka menuju ruang kerja Direktur Utama untuk mengetahui apa yang terjadi.Tapi ketika melihat Pram membopong tubuh Cinta ke atas sofa dan mendekap begitu posesifnya, para karyawati yang melongo ke dalam ruangan justru berharap diri mereka yang pingsan saat itu, demi bisa bertukar tempat dengan Cinta, berada dalam dekapan hangat pria menawan itu.Burhan dan Baldi, serta Juwita akhirnya berhasil menggiring mereka kembali ke kubikel masing-masing, dan menghempaskan harapan semu mereka.Cinta mengerjap-ngerjapkan kelopak mata lemah, menyesu
Pramudya.“Apa kabar?” Terdengar begitu lugu, berbulan-bulan tak jumpa tapi hanya pertanyaan itu yang mampu terucap dari bibirnya.Perlahan Cinta mengurai dekapan dari tubuh tegapnya, kemudian mendongak untuk menjangkau pandangan tepat ke bola matanya yang juga menghangat. Lalu seulas senyum menghiasi wajah gadisnya yang basah.“Kangen.” Singkat, namun menggambarkan sejuta rasa indah.“Sama.” Begitu juga Pram yang seketika kehilangan kata-kata mesra yang sudah ia persiapkan sejak dari rumah. Karena ia terlalu sibuk menjinakkan hati yang kini melonjak-lonjak hendak melambung tinggi.Tanpa ia duga, Cinta menangkup wajahnya, menariknya untuk mendekat, lalu mengecup bibirnya begitu dalam dan lama. Walau terperanjat, ia berharap mampu membekukan waktu untuk menikmati kecupan hangat itu.Belum juga harapannya terkabul, Cinta melerai kecupan panjang di bibirnya. Lalu begitu tergesa-gesa gadis
Cinta.Ia mematut diri sejenak di depan cermin meja rias setelah tubuh semampainya terbalut blazer magenta dan celana panjang dengan warna sama, rambut coklatnya ia biarkan terurai bergelombang, serta riasan wajahnya natural, namun terkesan elegant.Lalu menyungging senyum puas ketika dirasa penampilannya saat ini sudah cukup paripurna. Pasalnya ia menganggap hari ini adalah hari penentuan bagi hidup mati perusahaan. Karena siang nanti ia akan bertemu dengan calon investor yang tertarik menanamkan dana besar pada proyek yang sedang ia perjuangkan. Setidaknya ia ingin memberikan kesan pertama yang positif lewat penampilan.“I’m gonna get dressed for success,” gumamnya sambil tersenyum dan mengerlingkan mata pada pantulan dirinya di cermin.Bergegas ia raih tas tangannya dengan brand terkenal dunia, lalu lekas melangkah keluar kamarnya.“Morning, Pa, Ma.” Ia menyapa setelah berada di kamar kedua orangtuanya.Pak A
Aura Cinta AnastasiaAtmosfere Meeting Room Hotel Swastika saat ini membeku. Dingin, kaku, dan membuat semua peserta internal meeting perusahaan itu mendadak diam membisu. Terlebih saat dua orang anggota tim konsultan bisnis memaparkan sejumlah temuan dan analisa di hadapan mereka.Yang intinya bahwa pembangunan proyek apartement yang akan dibangun oleh Pak Abraham dan rekannya Pak Derry Nugraha terpaksa dihentikan untuk sementara waktu. Dan perusahaan harus mengembalikan keseluruhan dana konsumen yang sudah masuk, juga semua kewajiban perbankan yang sudah jatuh tempo. Sementara sumber keuangan yang dimiliki oleh perusahaan tersebut berada di titik rawan.Untuk mengatasi kendala tersebut, tak ada cara lain yaitu mencari investor atau menjual semua aset perusahaan bahkan aset pribadi pemilik untuk mendapatkan sumber pendanaan. Sedangkan para calon investor yang dianggap berpotensi saat ini sepertinya mundur teratur setelah berita mengenai masalah pr
“Selamat pagi, Sayang ... “Pram terlihat memutar bola matanya, sedikit jengah mendengar sapaan ibunya itu saat ia melangkah masuk ke ruang kerja dimana sang ibu sedang berkutat dengan beberapa dokumen di belakang meja kaca.“Jangan panggil ‘sayang’, Bu. Nggak suka!”Dari balik kacamatanya, Bu Ocha melirik Pram yang langsung menempatkan diri di kursi seberangnya. Lalu ia mengulum senyum.“Kan emang sayang,” godanya, karena suka melihat wajah puteranya yang tertekuk sebal itu.“Ibu ... please. Udah setua ini dipanggil ‘sayang’ sama Ibu, bikin malu aja,” gerutu Pram sambil memainkan pena di atas meja.Bu Ocha terkekeh ringan sambil melirik Mak Ayu yang duduk di sofa di tengah ruang kerja itu. Demikian juga Mak Ayu yang ikut tersenyum melihat interaksi ibu dan anak itu, lalu menyeruput secangkir teh hangat di tangannya.“Kalo nggak mau dipanggil ‘sayang&r
Pramudya.Ia tertegun menatap sesosok wajah yang tergambar di dalam bingkai foto berukuran besar di salah satu dinding kamar. Kelopaknya sedikit memicing mengamati wajah teduh namun terkesan bijaksana itu. Ia tak menampik bahwa tampilan sosok itu memiliki banyak persamaan dengan dirinya. Sepasang mata yang dalam di kawal dengan kedua alis yang legam. Bibir yang tipis dengan sudut tajam saat tersenyum. Dan garis rahang yang sangat menawan menggambarkan ketegasan. Ia memandangi foto itu seperti sedang bercermin.“Itu Pratama, cinta pertama Ibu, ayah kamu.” Dibelakangnya, Bu Ocha melingkarkan tangan di bahunya, kemudian meletakkan kepala di sana sambil ikut memandangi wajah di dalam bingkai foto warna kuning keemasan di hadapannya.“Ganteng,” Ia memuji tanpa mengalihkan tatapan pada foto itu.“Iya, persis kayak kamu. Wajah kamu seperti copy paste ayah kamu, Pram. Ibu cuma kebagian mewarisi bentuk hidung ke kamu,&rd