"Tan, kenapa yang bisnis. Uang Nayla enggak cukup," bisik Nayla lirih.
"Sudah, Nay. Uangnya kamu simpan saja. Ini tiketnya Tante yang belikan. Terus uang teman kamu, buat uang saku kamu di jalan ya."
Sontak kedua mata Nayla semakin membulat lebar mendengar perkataan Dewi barusan.
"Enggak, jangan, Tante. Nayla bayar ya, Tan, Nayla sudah banyak merepotkan, Tante Dewi."
"Sudah enggak usah, Sayang. Kamu simpan!"
Saat Dewi dan Nayla sedang berdebat, petugas wanita itu mengkonfirmasi data Nayla dan Angel.
Setelah semua data dipastikan benar oleh Nayla, petugas wanita itu menyebutkan nominal harga kedua tiket kereta.
"Total semuanya jadi tujuh ratus enam puluh ribu rupiah."
"Bayar pakai ini, Mbak." Tante Dewi memberikan kartu debitnya pada petugas wanita.
Nayla masih terus melotot melihat sang tante. Ia sungguh merasa tidak enak karena Tante Dewi selalu baik kepadanya.
"Jangan melotot terus, nanti mata kamu keluar, Nay," god
Kepala Nayla sedikit melongok keluar, ia menoleh kanan kiri. Tak ada siapa pun. Semuanya terlihat sepi.Bahkan suara hewan malam juga tak terdengar. Setelah memastikan tidak ada seorang pun, Nayla kembali menutup dan mengunci jendela kamar. Tak lupa ia juga menutup tirai jendela."Aku tadi hanya mimpi ketemu sama Mas Wisnu?"Gadis itu duduk di pinggiran ranjang sambil mencoba mengingat mimpi yang baru saja ia alami."Di mimpiku, Mas Wisnu sangat menyeramkan. Dan ... sepertinya bola matanya enggak ada yang sebelah kanan," gumamnya sambil menyilangkan kaki kanan pada paha kirinya.Nayla bangkit dan berjalan menuju meja. Ia menarik sebuah kursi kecil lalu membuka laci mejanya.Ia mengambil tusuk konde itu dan terus memperhatikannya.Saat itu, Nayla merasakan hawa yang berbeda di dalam kamarnya. Ia merasa seluruh bulu di tubuh serta tengkuknya begitu merinding.Saat kepalanya sedikit mendongak ke atas,
"Siapa ya pagi-pagi gini yang bertamu?" tanya Rahma."Oh, mungkin temen aku kemarin, Ma. Biar aku aja yang bukain pintunya," ujar Nayla berlari menuju pintu.Sebelum membuka pintu, Nayla melihat siapa yang datang dari jendela. Ia melihat Angel sudah berdiri di depan pintu sambil membawa koper di sampingnya."Haii, Ngel!" seru Nayla menyapa Angel saat membuka pintu."Hai, Nay," balas gadis berkulit putih itu sambil membenarkan koper yang ia bawa."Ayo masuk dulu. Aku kenalkan sama tante dan saudaraku," ajak Nayla menarik tangan Angel.Angel pun menganggukkan kepalanya. Ia mengikuti langkah kaki Nayla masuk ke dalam rumah, sambil menyeret koper miliknya."Nah, kenalkan, Ngel. Ini Tante Dewi dan ini Rahma, sepupuku." Nayla menunjuk pada Dewi dan Rahma. Kemudian ia berucap, "Tante, ini Angel, teman Nayla."Dewi dan juga Rahma berdiri, lalu berjalan mendekati Angel."Saya Angel, Tante," ujarnya seraya
Sehingga dengan cepat Nayla pun langsung masuk ke dalam mencari keberadaan Angel. Ia mengedarkan pandangannya sampai ia melihat Angel yang sedang berusaha meletakkan koper di bagasi atas."Kamu kok lama sih, Nay?" tanya Angel saat Nayla tiba."Anu ... tadi antri di pintu masuk gerbong kereta, Ngel," jawab Nayla sengaja berbohong."Oh ... ini tempat duduk kita. Nomer 6A dan 6B. Kamu mau duduk di dekat jendela atau di pinggir?""Di pinggir aja deh, biar cepet kalau kebelet mau ke toilet.""Okey. Aku di dekat jendela ya. Koper kamu sini, biar aku taruh atas sekalian."Nayla memberikan kopernya pada Angel. Dengan dibantu Angel, akhirnya koper miliknya sudah berada di bagasi atas."Wah ... keretanya enak ya, Nay. Ber-AC terus ada TV lagi, Nay.""Iya, kan ini kereta bisnis.""Oh ya, ini uang tiketnya, Nay." Angel memberikan amplop putih pada Nayla yang ia ambil dari dalam tas selempang yang dipakainya."Makasih ya, Ngel
Dewi dan Rahma berjalan bersama menuju mobilnya yang di parkir di bawah pohon mangga. "Ma, makan bakso, yuk," ujar Rahma saat akan membuka pintu mobil. "Bakso? Memangnya kamu udah lapar lagi?" "Iya, Ma. Makan bakso enak ini, Ma." "Ya udah ayo. Emang mau makan bakso di mana, Nak?" tanya Dewi yang masuk ke dalam mobil dan mulai menghidupkan mesin mobil. "Hmm ... warung bakso Pakde Roso aja, Ma." "Okey, ayo." Dewi pun mulai melajukan mobilnya keluar dari parkiran stasiun. Mobil merah itu melaju sedang di jalan raya. Sekitar hampir setengah jam perjalanan, Dewi dan Rahma tiba di sebuah warung bakso yang cukup ramai. Dewi pun bingung mencari tempat parkir, karena semua tempat sudah penuh dengan mobil-mobil lainnya. Seorang anak muda yang tampaknya juru parkir di warung bakso itu membantu Dewi mencarikan tempat parkir. Tak membutuhkan waktu lama, akhirnya Dewi berhasil mendapatkan tempat parkir mob
"Menurutku, pemilik tusuk konde itu menyimpan sintrennya di dalam benda ini," ucap Rasti seraya pandangan matanya melihat ke tusuk konde."Aku tetap mau mencoba mengembalikan ini ke tempatnya.""Silahkan! Tapi jangan kaget kalau benda itu bakal balik lagi ke kamu, Nay."Nayla tak mengindahkan ucapan Rasti. Gadis itu langsung berjalan masuk meninggalkan Rasti di depan pintu toilet.Nayla menghampiri Angel yang masih memandang keluar jendela."Kok lama sih?""Iya maaf tadi masih ada orang di toilet. Jadi nunggu deh.""Nay, ini aku bawa biskuit. Ayo makan!""Wah, enak nih."Nayla pun mengambil satu biskuit milik Angel. Terdengar suara pintu gerbong kereta yang di tarik.Tampak dua orang petugas kereta yang bertugas memeriksa tiket. Rasti langsung berjalan masuk dan duduk di tempatnya.Sebelumnya, Nayla dan Rasti pun saling beradu pandang."Perempuan aneh!" gumamnya lirih."Siapa perem
"Sinden itu selalu mengikutinya. Tapi dia enggak percaya apa yang aku bilang," kata Rasti dalam hati. Sambil kedua manik matanya melihat ke arah Nayla.Ting!Terdengar suara pesan yang masuk di HPnya. Segera ia merogoh saku celana dan membuka pesan tersebut yang ternyata dari saudaranya.'Udah sampai mana, Mbak? Mbah Waci tanya terus ini.' Tertulis pesan di hp Rasti.Setelah membalas pesan yang ia terima, buru-buru ia naik ke dalam kereta.Saat pandangannya melihat ke kedai roti, ternyata Nayla sudah tak berada di sana."Dia sudah naik rupanya," ujarnya pada dirinya sendiri.Terdengar kembali suara peluit panjang, tanda kereta api akan kembali berangkat. Semua penumpang yang berada di luar, segera masuk ke dalam gerbong.Rasti tampak santai. Setelah pintu gerbong sepi, langkah kakinya berjalan masuk ke dalam dengan kepala yang menunduk. Sampai Rasti seperti menabrak seseorang.Bugh ...."Maaf, saya ...."
Ketika Nayla dan Angel berjalan menuju pintu keluar stasiun, Nayla menghentikan langkahnya. Tatap matanya melihat lurus ke depan dengan wajah yang terlihat seperti ingin menangis.Angel yang sudah jalan terlebih dahulu di depan, menyadari jika Nayla tak ada di belakangnya. Gadis itu pun berbalik dan menghampiri Nayla yang masih berdiri di dekat pintu keluar."Nay, kok berhenti? Ada apa?""Aku ingat Mas Wisnu pas nganter aku. Ternyata, itu pertemuan terakhir kami." Suara Nayla terdengar sendu berusaha untuk menahan tangisnya.Angel merangkul pundak Nayla. Ia mengelus-elus lengan Nayla untuk membuatnya tenang dan tidak bersedih.Namun, tiba-tiba air matanya kembali menetes. Dengan cepat Angel mengambil tisu di dalam tas. Ia memberikannya pada Nayla."Makasih, Ngel."Angel hanya manggut-manggut sambil telapak tangannya mengusap punggung Nayla."Sekarang kamu jangan sedih lagi. Kamu harus cari tau semua penyebab kematian Mas Wisnu
"Sudah selesai, tapi tetap kamu harus rajin mengobatinya. Biar cepat sembuh.""Ma-makasih," balasnya."Kamu kenapa? Kok kelihatan tegang dan ketakutan gitu?" tanya Nayla yang penasaran."Enggak apa-apa kok. Mungkin tadi pas kamu obatin sedikit perih. Hehehe," kata lelaki itu berbohong."Makasih ya, sudah menyelamatkan aku tadi. Sekarang aku mau pergi. Takut kemalaman nanti sampai rumah.""Tunggu! Boleh enggak aku tau nama kamu dan minta nomer HP kamu?"Sesaat Nayla menjadi diam. Matanya saling berpandangan dengan Angel.Angel pun hanya mengangkat bahunya sambil tersenyum nyengir."Namaku Nayla.""Aku Dano. Aku boleh minta nomer kamu?""Sini biar aku yang tulis di HP kamu."Dengan senang hati, lelaki yang bernama Dano itu memberikan HPnya pada Nayla. Setelah menuliskan nomer HPnya, Nayla mengembalikan HP tersebut pada Dano."Sudah aku save, nama Nayla. Ya sudah, aku mau p
Waktu sudah menunjukkan pukul delapan kurang lima belas menit. Setelah membayar taxi online, Nayla dan Rasti langsung berlari masuk ke dalam gedung yang cukup mewah di mana mereka mengikuti training. Sepatu pantofel hitam dengan heels 3 cm yang mereka pakai sangat tak nyaman digunakan berlari. Tapi karna takut terlambat, mau tak mau Nayla dan Rasti berlari walau harus pandai-pandai menjaga keseimbangan badannya. "Nay, benerin dulu rambut kamu. Berantakan tuh!""Oh ya!" Nayla langsung membenarkan helai rambut yang keluar dan menggulung rambutnya dengan rapi. Tak lupa mereka berdua saling mengingatkan dan mengamati penampilan satu sama lain. Sampai di depan resepsionis. Nayla dan Angel menunjukkan kartu anggota training. Setelah mendapatkan jadwal dan di mana ruangan mereka hari itu, dengan berjalan cepat keduanya segera menuju ruangan yang berada di lantai 5.Lift pagi itu terlihat tak terlalu banyak orang. Tanpa berpikir macam-macam keduanya langsung masuk. Apalagi saat Nayla mel
"Terimakasih, Bu. Rejeki pagi-pagi," ujar satpam budi kegirangan. "Mau di kubur di mana, Bu?""Terserah, Pak. Asal jangan di sini.""Oh baik, Bu."Setelah Tante Dewi mengunci semua pintu rumah. Satpam Budi yang masih berada di rumah itu sedang mencari sebuah kantong keresek. Dimasukkan bangkai itu ke dalam kantong. Ketika akan keluar dari rumah, Budi kembali menoleh ke belakang. "Lagi ada saudaranya ya,Bu di rumah?" tanya tiba-tiba satpam Budi. "Hah? Enggak ada saudara, Pak," jawab Tante Dewi sambil menoleh ke belakang. Tak hanya Tante Dewi. Nayla dan Rahma pun juga ikut menoleh melihat ke arah yang di lihat satpam tersebut. "Itu ada perempuan, Bu sedang melihat ke sini.""Haaah?" Tante Dewi, Rahma dan Nayla hanya bisa mengangnga kaget. Kecuali Rasti. Gadis itu seperti melihat seseorang di dalam rumah. Menyadari matahari yang semakin tinggi, Tante Dewi menyuruh anak dan keponakannya itu untuk segera berangkat agar tidak terlambat. Begitu juga si satpam yang sudah berhasil mend
Dan karena rasa ngantuk, tak terasa mereka semua tertidur dengan berdempetan di kasur. Tetapi Nayla dan Rasti tertidur di karpet lantai. Sinar matahari pagi menembus sela-sela jendela. Tante Dewi terbangun sambil mengucek kedua matanya. Ia terkejut saat melihat jam sudah menunjukkan pukul setengah tujuh pagi. Buru-buru wanita itu membangunkan Nayla, Rasti dan Rahma. "Ayo bangun! Bangun Rahma, Nayla, Rasti. Sudah pagi. Kalian terlambat nanti!"Tampak Nayla yang terlebih dahulu mulai menggerakkan badannya."Jam berapa ini, Te?" tanya Nayla sambil mengangkat kedua tangannya ke atas. "Hah? Kesiangan ini, Te!""Makanya! Cepet kamu bantu Tante bangunin mereka!"Tiga puluh menit kemudian. Di ruang tamu, semuanya sudah tampak rapi dengan pakaian yang mereka kenakan. Karena mereka semua bangun kesiangan pagi itu semuanya berangkat tanpa sarapan."Kalian udah siap semua? Rahma kamu nanti pulang jam berapa?" tanya Tante Dewi."Jam lima Ma, bisa juga lebih. Soalnya ada kerja kelompok nanti d
"Tumbal para laki-laki, Mbak?" celetuk Rahma. "Iya benar." Wajah Nayla tertunduk dan berubah sedih. Dia teringat akan Wisnu sang pujaan hati yang sudah meninggal. Nayla masih sangat menyesal dan masih belum bisa maafkan dirinya sendiri atas kematian sang kekasih. Seandainya Nayla tak menemukan dan mengambil tusuk konde itu, mungkin saat ini dia masih bisa bersama Wisnu dan tak dihantui seperti ini. "Ras, kayaknya aku tau siapa pocong itu." Tiba-tiba Nayla mengangkat kepalanya dan menatap Rasti di samping. Kedua bola mata mereka saling beradu pandang."Siapa?"Semua yang ada di ruangan saat itu menatap ke arah Nayla dengan tajam. "Dano!""Siapa Dano itu, Mbak?"Rasti memicingkan mata kanannya. Mencoba mengingat-ingat siapa nama yang disebut Nayla."Oh! Dia korban yang belum lama ini?" cetus Rasti. Dengan cepat kepala Nayla mengangguk beberapa kali."Maksudnya gimana, Nay?" tanya Tante Dewi yang tak mengerti apa yang dibicarakan keponakannya itu. "Jadi saat Nayla dan Angel akan k
"Oh ya kamu kok belum tidur?" tanya Dion. "Iya Rasti tadi lihat penampakan pocong.""Pocong! Kok bisa?""Gak tau. Tapi sepertinya pocong itu adalah tumbal dari tusuk konde ini, Yon.""Gila! Tusuk konde itu harus benar-benar di musnahkan. Sebelum makin banyak korban.""Iya. Eh, lanjut besok ya, Yon. Kasihan Rasti, aku harus temenin dia dulu.""Oke."Telepon pun terputus. Dion kembali berbaring di kasur, sampai akhirnya kedua matanya pun dapat terpejam dan Dion terlelap dalam tidurnya. Sementari itu di rumah Tante Dewi.Semuanya jadi terbangun karena teriakan Rasti. Mereka duduk di ruang tamu. Selesai telepon, Nayla kembali ke ruang tamu sambil membawa segelas air untuk temannya itu. "Minum dulu, Ras." "Makasih, Nay.""Memangnya tadi apa yang membuat kamu teriak, Nduk?" tanya Tante Dewi lembut. Rasti terdiam beberapa saat, sampai Nayla menyenggol lengannya. Membuat Rasti gelagapan. "Kok diam? ditanya Tante, Ras!""Oh maaf, Tante." Rasti memalingkan pandangannya pada kamar Nayla.
Tangannya sibuk mengeluarkan satu per satu barang yang ada di dalam laci tersebut. Sampai raut wajah Dion berubah melihat sebuah foto usang yang masih hitam putih. "Ini yang aku cari. Ini foto aku saat aku umur 5 tahun. Dan ini Mas Agung, lalu perempuan ini." Kalimatnya terhenti. Dion duduk di pinggir ranjang. Foto usang itu masih di lihatnya dengan serius. Dahinya mengerut mencoba mengingat-ingat kejadian yang telah lama terjadi. "Perempuan ini yang namanya Mawar, gadis yang dicintai Mas Agung, tapi enggak mendapat restu Mama Papa."Lalu Dion membalik foto usang itu. Tepat di pojok kanan bawah terdapat sebuah tulisan yang tintanya hampir pudar. Dion pun mencoba mengeja tulisan yang samar tersebut."Wo ... no ... giri?""Apa desa Nayla di Wonogiri ya? Kalau bener, bisa jadi sinden merah yang mengikuti Nayla adalah Mawar yang dulu pernah dicintai Mas Agung."Dengan cepat Dion langsung membereskan semua pakaian dan barang-barang miliknya. Semuanya dia kembalikan ke dalam lemari. Men
Waktu menunjukkan pukul sepuluh malam. Rahma, Rasti, Nayla dan Tante Dewi masih berkumpul di ruang tv. Terdengar suara tawa mereka yang memecah keheningan malam. Acara komedi tersebut membuat Nayla dan Rasti merasa terhibur. Setelah acara pun selesai. Tante Dewi menyuruh mereka bertiga untuk langsung masuk ke dalam kamar dan tidur. Agar besok kembali segar saat beraktivitas. Rasti mengikuti langkah Nayla menuju kamar. Saat itu pandangan mata Rasti tak sengaja melihat ke arah jendela yang tirainya belum tertutup. "Nay, itu tirainya belum di tutup!""Oh ya, lupa kali Tante Dewi. Aku tutup dulu deh!" Nayla berjalan ke arah jendela sambil menyisir rambutnya dengan jari tangan. Sementara itu Rasti masih berdiri di depan pintu kamar Nayla. Matanya masih menatap ke arah Nayla yang kini sudah berada di depan jendela. Nayla menarik pengait tirai. Tiba-tiba Rasti terkejut bahkan hampir teriak. Namun buru-buru Rasti menutup mulutnya dan menyembunyikan rasa kagetnya. Rasti tak mau kalau jeri
Perempuan itu pun terjatuh ke tanah. Kedua kakinya seperti tak mampu menopang tubuhnya sendiri. Tatapan matanya masih melihat punggung laki-laki yang baru saja meninggalkan dirinya. "Kenapa kamu tega, Mas." Dion hanya terdiam. Ia merasa kasihan pada perempuan yang tak dikenalnya itu. Walaupun ia tak tahu persis apa yang terjadi, namun ia juga membenarkan apa yang dikatakan perempuan itu pada Kakaknya. Hingga Dion mendengar suara yang tak asing baginya. Ia merasa tubuhnya seperti sedang digoyang-goyang. Sampai dirinya mulai terbangun. "Nak, kamu kenapa? Kenapa bisa di sini?" Dion tersentak kaget. Hingga membuat wanita setengah baya yang memakai baju tidur itu juga ikut kaget."Mama!""Kamu kenapa, hah?""Ehh ... "Dion menoleh ke kanan dan ke kiri. Membuat Mamanya makin keheranan dengan kelakuan anak laki-lakiny itu."Cari siapa?""Anuu ... Ini di rumah, Ma?""Loh iya! Ini di rumah. Emang kamu kira di mana? Di hutan?!"Dion hanya terdiam sambil celingukan. "Dion! Kamu kenapa sih?
Melihat gelagat Dion yang aneh, Mas Agung kembali bertanya. Hingga membuat Mama Dion juga ikut penasaran."Kenapa? Ada apa di depan?""Enggak, Mas.""Tapi wajah kamu kok kayak habis lihat setan?" Dion terhenyak dengan kalimat kakaknya itu. 'Iya, dia sinden tusuk konde itu. Sinden yang mengikuti Nayla. Tapi kenapa dia sekarang juga mengikuti aku? Padahal aku belum berbuat apa-apa,' batin Dion sendiri. "Dion!" panggil sang Mama yang sedang berjalan mendekati putra bungsunya. Wanita itu sedikit melongok keluar. Pintu yang mau ditutup Dion dibuka oleh Mamanya. "Enggak ada orang Dion. Siapa yang kamu lihat?""Memang gak ada, Ma. Ya sudah ayo masuk, Ma, udah malem." Dion langsung memeluk Mamanya dan mengajaknya masuk ke dalam rumah.Setelah mengantar sang Mama ke dalam kamar. Dion berniat untuk ke kamarnya yang berada di lantai dua.Baru menaiki beberapa anak tangga, Dion melihat sekelebat bayangan dari arah dapur yang lampunya sudah dimatikan. Sejenak Dion menghentikan langkahnya. Di