"Oh ya, Mbak sudah tahu jalan pulangnya 'kan?"
"Iya aku sudah tahu kok, Do. Kamu kalau ada urusan duluan saja."
"Oke. Aku pergi duluan ya, Mbak. Kalau ada apa-apa langsung hubungi aku saja."
Nayla mengacungkan jari jempolnya pada Aldo.
"Angel, aku duluan ya," pamit Aldo melambaikan tangannya pada Angel.
"Hati-hati, Do."
Suara moge Aldo terdengar memecah kesepian siang hari itu. Tanpa sepengetahuannya, sepasang mata terus menatap kepergian lelaki itu hingga sudah tak terlihat lagi.
"Ngel, kamu suka ya sama Aldo?" Nayla menyenggol lengan Angel ketika melihat temannya itu tak berkedip saat melihat kepergian Aldo.
"Apaan sih, Nay. Enggak kok," ujarnya yang sengaja berbohong. Ia menundukkan kepalanya menutupi rasa malunya.
"Kelihatan kok, Ngel. Kalau suka juga enggak apa-apa." Nayla terus menggodanya. Sambil Nayla menyalakan mesin motor maticnya.
"Hehehe ... tapi memang Aldo ganteng sih. Udah ah, ayo kita j
"Kita berteduh dulu aja ya? Dari pada basah semua?""Iya deh. Di pohon situ aja, Nay," tunjuk Angel pada sebuah pohon trembesi yang lebat dan besar.Nayla langsung mempercepat motornya menuju pohon. Saat Angel mengamati sekitar. Tiba-tiba dia melihat dengan jelas. Sosok sinden berkebaya merah dengan berlumuran darah di sekujur tubuhnya. Tengah berdiri beberapa meter tepat di belakang Nayla dan Angel.Membuat Angel tercengang. Tak dapat berkata-kata dan hanya melihat ke depan."Nay, i-i-ituuuu!" ucap Angel terbata. Sambil ia menepuk bahu Nayla."Ada apa?"Melihat Angel yang ketakutan Nayla menoleh ke belakang. Betapa kagetnya Nayla saat melihat sosok sinden itu tengah menatap mereka berdua.Kilatan petir membuat mereka terkejut dan menjerit. Nayla langsung menggandeng tangan Angel dan menariknya. Menuju sepedah motor matic yang terparkir di dekat pohon."Ayo naik, Ngel!" suruh Nayla sembari menyalakan motornya."Ta-
Seluruh bulu kuduknya merinding. Ia sadar jika seseorang yang berada di depannya saat ini pasti bukan seorang manusia.Degup jantungnya semakin berdetak cepat, seakan seperti genderang perang.Pelan-pelan Bu Ningrum mendongakkan kepalanya ke atas. Hingga kedua matanya melotot saat melihat seorang wanita berwajah pucat dengan kepalanya yang terus mengucurkan darah . Wanita itu juga tengah melotot melihat Bu Ningrum. Kedua matanya berwarna putih tak ada warna lain.Bu Ningrum terkejut. Darah terus menetes membasahi wajah Bu Ningrum yang tepat berada di bawah wanita itu. Seluruh tubuhnya seperti tak dapat digerakkan. Bahkan untuk menjerit memanggil Nayla pun ia tak mampu.Tiba-tiba, wanita pucat itu menunduk perlahan lalu membuka mulutnya lebar-lebar. Seperti dikendalikan sesuatu, Bu Ningrum juga ikut membuka mulutnya lebar. Dengan mata yang semakin membulat.Asap berwarna hitam pekat yang keluar dari mulut wanita di hadapan Bu Ningrum mas
"Pembunuhan, Nek?" ulang Nayla mengerutkan dahinya.Nek Sami menarik napas lalu menghembuskannya lagi. Pandangannya lurus menatap Nayla dan Angel bergantian."Iya. Dulu tahun 1997 ada pembunuhan yang sangat menghebohkan warga desa. Saat itu Bundamu sedang hamil tua.""Itu tahun lahir Nayla, Nek!""Memang. Sejak kejadian pembunuhan itu, tempat itu menjadi angker dan membuat orang enggan melewatinya, apalagi saat malam hari," tutur Nek Sami menatap sang cucu.Nek Sami menuangkan air putih di dalam teko. Dalam beberapa kali teguk, air putih itu pun langsung habis."Saat itu, Kakekmu masih hidup. Bahkan Ayahmu juga masih ada.""Ayah?" ulang Nayla masih menatap pada Nek Sami.Nek Sami menganggukkan kepalanya. Sesekali ia melihat ke kamar Ningrum karena letak duduknya yang berada tepat di depan kamar. Sehingga pandangannya langsung mengarah ke kamar Ningrum."Dulu kejadian pembunuhan itu sangat menghebohkan warga, bahkan
"Hahhhh??" Angel dan Nayla terkejut mendengarnya.Sami berjalan pelan dan duduk di pinggir tempat tidur Nayla. Diikuti oleh Nayla yang juga duduk di sebelah neneknya.Sementara Angel menarik sebuah kursi kecil lalu duduk di depan mereka berdua. Ikut mendengarkan cerita nenek Nayla."Dulu sering sekali terjadi perselisihan dan persaingan antar sinden untuk menjerat para lelaki yang menyawernya. Berbagai cara dilakukan sinden. Mulai memasang susuk di wajah dan sekujur tubuhnya sampai di bagian kelaminnya. Ada juga yang memakai sintren agar saat mereka menari atau menyanyi begitu indah di mata orang yang melihatnya.""Apa sinden-sinden itu semua datang ke Kakek, Nek?""Enggak!! Yang Nenek ingat ada satu sinden yang datang ke Kakekmu waktu itu.""Siapa Nek?""Rumahnya kalau enggak salah di dekat pohon asam itu. Namanya Kusumawardhani," ujar Nek Sami yang berusaha mengingat-ingat."Kusumawardhani?" ulang Nayla seraya men
"Menurutku, kita sepertinya harus bertemu dengan si Rasti itu deh, Nay. Kita tanyakan semuanya. Biar kita bisa menyelesaikan misteri tusuk konde ini," usul Angel sambil menggaruk kepalanya yang tak gatal."Tapi kalian harus tetap hati-hati. Ini sudah berurusan dengan dunia gaib. Yang enggak bisa dinalar," tutur Nek Sami."Baik, Nek," jawab Nayla dan Rasti bersamaan.Tiba-tiba terdengar suara Bu Ningrum yang terbatuk. Spontan mereka bertiga terkejut."Bunda!!" teriak Nayla yang langsung berlari menuju kamar Bu Ningrum. Disusul Angel dan Nek Sami dari belakang.Saat tiba di kamar Bu Ningrum, tampak wanita itu sudah duduk tegap di atas kasur menatap ke arah Nayla yang berdiri di depan pintu.Wajahnya terlihat sangat pucat. Sorot matanya menatap tajam ke arah Nayla. Sejenak Nayla tercekat melihat tatapan Bu Ningrum."Bunda ... udah enakan , Bun, kok langsung duduk gitu?" tanya Nayla lembut sembari mendekati sang bunda.Wanita itu m
Gadis itu mengintip sedikit dari jendela kayu dapur. Sontak kedua matanya langsung membulat lebar saat melihat apa yang ada di depannya."Tidak mungkin!" Spontan kedua tangan Nayla menutup mulutnya yang ternganga. Raut wajahnya begitu terkejut.Karena ia masih tidak percaya dengan yang dilihatnya, Nayla kembali mengintip dari sela-sela kayu jendela."Nyatakah yang aku lihat ini?" desis Nayla.Membuat gadis itu mengusap kedua matanya. Lalu mengerjap hingga beberapa kali.Sebuah kesenian gamelan lengkap dengan beberapa sinden serta para lelaki yang ikut menari bersama sinden nampak jelas di depan mata Nayla. Semuanya sangat nyata.Namun ada yang membuat Nayla begitu kaget saat melihat salah satu sinden yang sedang menari dengan seorang lelaki."Diaaaa ...."Tiba-tiba sebuah tepukan mendarat di bahu Nayla. Hingga membuatnya hampir melompat karena terkejut. Lalu ia menoleh ke belakang."Angel! Bikin a
"Itu suara burung gagak 'kan?""Iyaa, Nay.""Kok kayaknya di atas genteng rumahku sih.""Ayo kita tidur aja ahh." ajak Angel yang langsung menutupi seluruh tubuhnya dengan selimut. Gadis itu begitu ketakutan karena suara burung gagak yang terdengar berkali-kali."Loh ... Ngel, kok malah udah tutup selimut duluan!"Kraaakk ... kraaakk ... kraaakk.Suara burung gagak semakin kencang terdengar. Suasana malam itu tiba-tiba terasa sunyi sepi. Bahkan suara jangkrik yang semua terdengar, kini sudah tergantikan oleh suara burung gagak yang menyeramkan.'Kok aku jadi merinding gini ya,' batin Nayla dengan manik mata yang mengamati sekeliling.Akhirnya Nayla mengikuti seperti yang dilakukan Angel. Ia menutupi seluruh tubuhnya dengan selimut. Mencoba untuk memejamkan matanya walaupun sulit.Dug! Dug! Dug!Belum hilang rasa takutnya karena suara burung gagak, ia mendengar seperti suara langkah kaki yang mendekat k
Wanita tua itu terdiam sesaat. Beralih melihat ke jam dinding yang masih menunjukkan pukul tiga pagi."Kalian tidur aja dulu. Besok pagi Nenek akan tunjukkan sesuatu pada kamu, Nay," ucap Nek Sami seraya bangkit dan berjalan meninggalkan Nayla dan Angel.Kini, wanita tua itu sudah kembali di dalam kamarnya. Pandangan matanya melihat ke atas lemari pakaian. Sebuah bungkusan berwarna hitam dan sedikit berdebu terus di pandanginya."Apa sekarang saatnya aku harus memberitahu tentang mimpiku beberapa hari yang lalu dan yang kulihat waktu itu? Tapi aku enggak percaya kalau itu ternyata suatu pertanda." ucap Nek Sami dalam hatinya.Beberapa jam berlalu. Sinar matahari mulai menampakkan diri. Semua manusia di bumi mulai melakukan aktivitasnya. Termasuk Nayla dan Angel yang baru saja bangun, sebab kemarin malam mereka tak dapat tidur akibat suara burung gagak dan sosok sinden merah yang menghantui."Ngel, bangun!" ucap Nayla seraya menggoyangkan tubu
Waktu sudah menunjukkan pukul delapan kurang lima belas menit. Setelah membayar taxi online, Nayla dan Rasti langsung berlari masuk ke dalam gedung yang cukup mewah di mana mereka mengikuti training. Sepatu pantofel hitam dengan heels 3 cm yang mereka pakai sangat tak nyaman digunakan berlari. Tapi karna takut terlambat, mau tak mau Nayla dan Rasti berlari walau harus pandai-pandai menjaga keseimbangan badannya. "Nay, benerin dulu rambut kamu. Berantakan tuh!""Oh ya!" Nayla langsung membenarkan helai rambut yang keluar dan menggulung rambutnya dengan rapi. Tak lupa mereka berdua saling mengingatkan dan mengamati penampilan satu sama lain. Sampai di depan resepsionis. Nayla dan Angel menunjukkan kartu anggota training. Setelah mendapatkan jadwal dan di mana ruangan mereka hari itu, dengan berjalan cepat keduanya segera menuju ruangan yang berada di lantai 5.Lift pagi itu terlihat tak terlalu banyak orang. Tanpa berpikir macam-macam keduanya langsung masuk. Apalagi saat Nayla mel
"Terimakasih, Bu. Rejeki pagi-pagi," ujar satpam budi kegirangan. "Mau di kubur di mana, Bu?""Terserah, Pak. Asal jangan di sini.""Oh baik, Bu."Setelah Tante Dewi mengunci semua pintu rumah. Satpam Budi yang masih berada di rumah itu sedang mencari sebuah kantong keresek. Dimasukkan bangkai itu ke dalam kantong. Ketika akan keluar dari rumah, Budi kembali menoleh ke belakang. "Lagi ada saudaranya ya,Bu di rumah?" tanya tiba-tiba satpam Budi. "Hah? Enggak ada saudara, Pak," jawab Tante Dewi sambil menoleh ke belakang. Tak hanya Tante Dewi. Nayla dan Rahma pun juga ikut menoleh melihat ke arah yang di lihat satpam tersebut. "Itu ada perempuan, Bu sedang melihat ke sini.""Haaah?" Tante Dewi, Rahma dan Nayla hanya bisa mengangnga kaget. Kecuali Rasti. Gadis itu seperti melihat seseorang di dalam rumah. Menyadari matahari yang semakin tinggi, Tante Dewi menyuruh anak dan keponakannya itu untuk segera berangkat agar tidak terlambat. Begitu juga si satpam yang sudah berhasil mend
Dan karena rasa ngantuk, tak terasa mereka semua tertidur dengan berdempetan di kasur. Tetapi Nayla dan Rasti tertidur di karpet lantai. Sinar matahari pagi menembus sela-sela jendela. Tante Dewi terbangun sambil mengucek kedua matanya. Ia terkejut saat melihat jam sudah menunjukkan pukul setengah tujuh pagi. Buru-buru wanita itu membangunkan Nayla, Rasti dan Rahma. "Ayo bangun! Bangun Rahma, Nayla, Rasti. Sudah pagi. Kalian terlambat nanti!"Tampak Nayla yang terlebih dahulu mulai menggerakkan badannya."Jam berapa ini, Te?" tanya Nayla sambil mengangkat kedua tangannya ke atas. "Hah? Kesiangan ini, Te!""Makanya! Cepet kamu bantu Tante bangunin mereka!"Tiga puluh menit kemudian. Di ruang tamu, semuanya sudah tampak rapi dengan pakaian yang mereka kenakan. Karena mereka semua bangun kesiangan pagi itu semuanya berangkat tanpa sarapan."Kalian udah siap semua? Rahma kamu nanti pulang jam berapa?" tanya Tante Dewi."Jam lima Ma, bisa juga lebih. Soalnya ada kerja kelompok nanti d
"Tumbal para laki-laki, Mbak?" celetuk Rahma. "Iya benar." Wajah Nayla tertunduk dan berubah sedih. Dia teringat akan Wisnu sang pujaan hati yang sudah meninggal. Nayla masih sangat menyesal dan masih belum bisa maafkan dirinya sendiri atas kematian sang kekasih. Seandainya Nayla tak menemukan dan mengambil tusuk konde itu, mungkin saat ini dia masih bisa bersama Wisnu dan tak dihantui seperti ini. "Ras, kayaknya aku tau siapa pocong itu." Tiba-tiba Nayla mengangkat kepalanya dan menatap Rasti di samping. Kedua bola mata mereka saling beradu pandang."Siapa?"Semua yang ada di ruangan saat itu menatap ke arah Nayla dengan tajam. "Dano!""Siapa Dano itu, Mbak?"Rasti memicingkan mata kanannya. Mencoba mengingat-ingat siapa nama yang disebut Nayla."Oh! Dia korban yang belum lama ini?" cetus Rasti. Dengan cepat kepala Nayla mengangguk beberapa kali."Maksudnya gimana, Nay?" tanya Tante Dewi yang tak mengerti apa yang dibicarakan keponakannya itu. "Jadi saat Nayla dan Angel akan k
"Oh ya kamu kok belum tidur?" tanya Dion. "Iya Rasti tadi lihat penampakan pocong.""Pocong! Kok bisa?""Gak tau. Tapi sepertinya pocong itu adalah tumbal dari tusuk konde ini, Yon.""Gila! Tusuk konde itu harus benar-benar di musnahkan. Sebelum makin banyak korban.""Iya. Eh, lanjut besok ya, Yon. Kasihan Rasti, aku harus temenin dia dulu.""Oke."Telepon pun terputus. Dion kembali berbaring di kasur, sampai akhirnya kedua matanya pun dapat terpejam dan Dion terlelap dalam tidurnya. Sementari itu di rumah Tante Dewi.Semuanya jadi terbangun karena teriakan Rasti. Mereka duduk di ruang tamu. Selesai telepon, Nayla kembali ke ruang tamu sambil membawa segelas air untuk temannya itu. "Minum dulu, Ras." "Makasih, Nay.""Memangnya tadi apa yang membuat kamu teriak, Nduk?" tanya Tante Dewi lembut. Rasti terdiam beberapa saat, sampai Nayla menyenggol lengannya. Membuat Rasti gelagapan. "Kok diam? ditanya Tante, Ras!""Oh maaf, Tante." Rasti memalingkan pandangannya pada kamar Nayla.
Tangannya sibuk mengeluarkan satu per satu barang yang ada di dalam laci tersebut. Sampai raut wajah Dion berubah melihat sebuah foto usang yang masih hitam putih. "Ini yang aku cari. Ini foto aku saat aku umur 5 tahun. Dan ini Mas Agung, lalu perempuan ini." Kalimatnya terhenti. Dion duduk di pinggir ranjang. Foto usang itu masih di lihatnya dengan serius. Dahinya mengerut mencoba mengingat-ingat kejadian yang telah lama terjadi. "Perempuan ini yang namanya Mawar, gadis yang dicintai Mas Agung, tapi enggak mendapat restu Mama Papa."Lalu Dion membalik foto usang itu. Tepat di pojok kanan bawah terdapat sebuah tulisan yang tintanya hampir pudar. Dion pun mencoba mengeja tulisan yang samar tersebut."Wo ... no ... giri?""Apa desa Nayla di Wonogiri ya? Kalau bener, bisa jadi sinden merah yang mengikuti Nayla adalah Mawar yang dulu pernah dicintai Mas Agung."Dengan cepat Dion langsung membereskan semua pakaian dan barang-barang miliknya. Semuanya dia kembalikan ke dalam lemari. Men
Waktu menunjukkan pukul sepuluh malam. Rahma, Rasti, Nayla dan Tante Dewi masih berkumpul di ruang tv. Terdengar suara tawa mereka yang memecah keheningan malam. Acara komedi tersebut membuat Nayla dan Rasti merasa terhibur. Setelah acara pun selesai. Tante Dewi menyuruh mereka bertiga untuk langsung masuk ke dalam kamar dan tidur. Agar besok kembali segar saat beraktivitas. Rasti mengikuti langkah Nayla menuju kamar. Saat itu pandangan mata Rasti tak sengaja melihat ke arah jendela yang tirainya belum tertutup. "Nay, itu tirainya belum di tutup!""Oh ya, lupa kali Tante Dewi. Aku tutup dulu deh!" Nayla berjalan ke arah jendela sambil menyisir rambutnya dengan jari tangan. Sementara itu Rasti masih berdiri di depan pintu kamar Nayla. Matanya masih menatap ke arah Nayla yang kini sudah berada di depan jendela. Nayla menarik pengait tirai. Tiba-tiba Rasti terkejut bahkan hampir teriak. Namun buru-buru Rasti menutup mulutnya dan menyembunyikan rasa kagetnya. Rasti tak mau kalau jeri
Perempuan itu pun terjatuh ke tanah. Kedua kakinya seperti tak mampu menopang tubuhnya sendiri. Tatapan matanya masih melihat punggung laki-laki yang baru saja meninggalkan dirinya. "Kenapa kamu tega, Mas." Dion hanya terdiam. Ia merasa kasihan pada perempuan yang tak dikenalnya itu. Walaupun ia tak tahu persis apa yang terjadi, namun ia juga membenarkan apa yang dikatakan perempuan itu pada Kakaknya. Hingga Dion mendengar suara yang tak asing baginya. Ia merasa tubuhnya seperti sedang digoyang-goyang. Sampai dirinya mulai terbangun. "Nak, kamu kenapa? Kenapa bisa di sini?" Dion tersentak kaget. Hingga membuat wanita setengah baya yang memakai baju tidur itu juga ikut kaget."Mama!""Kamu kenapa, hah?""Ehh ... "Dion menoleh ke kanan dan ke kiri. Membuat Mamanya makin keheranan dengan kelakuan anak laki-lakiny itu."Cari siapa?""Anuu ... Ini di rumah, Ma?""Loh iya! Ini di rumah. Emang kamu kira di mana? Di hutan?!"Dion hanya terdiam sambil celingukan. "Dion! Kamu kenapa sih?
Melihat gelagat Dion yang aneh, Mas Agung kembali bertanya. Hingga membuat Mama Dion juga ikut penasaran."Kenapa? Ada apa di depan?""Enggak, Mas.""Tapi wajah kamu kok kayak habis lihat setan?" Dion terhenyak dengan kalimat kakaknya itu. 'Iya, dia sinden tusuk konde itu. Sinden yang mengikuti Nayla. Tapi kenapa dia sekarang juga mengikuti aku? Padahal aku belum berbuat apa-apa,' batin Dion sendiri. "Dion!" panggil sang Mama yang sedang berjalan mendekati putra bungsunya. Wanita itu sedikit melongok keluar. Pintu yang mau ditutup Dion dibuka oleh Mamanya. "Enggak ada orang Dion. Siapa yang kamu lihat?""Memang gak ada, Ma. Ya sudah ayo masuk, Ma, udah malem." Dion langsung memeluk Mamanya dan mengajaknya masuk ke dalam rumah.Setelah mengantar sang Mama ke dalam kamar. Dion berniat untuk ke kamarnya yang berada di lantai dua.Baru menaiki beberapa anak tangga, Dion melihat sekelebat bayangan dari arah dapur yang lampunya sudah dimatikan. Sejenak Dion menghentikan langkahnya. Di