Alena, Leo, dan Rufus merasa sudah waktunya mereka mencari tahu siapa sosok Lady yang dimaksud oleh Gryffindor. "Jadi,sebenarny kaum Nocturnus memakai bidak catur yaitu Templar untuk merngubah wajah Celeste menjadi Nocturnus?" tanya Alena pada Gryffindor. Gryffindor menganggukkan kepalanya sebagai jawaban. Alena, Leo, dan Rufus duduk berhadapan dengan Gryffindor di ruang yang redup. Dekorasi ruangan kuno dengan hiasan bergambar naga dan singa-singa, mencerminkan tradisi lama yang dihormati oleh keluarga Gryffindor. Leo, dengan ekspresi kritis, bertanya, "Gryffindor, apa yang membuat kaum Nocturnus tertarik pada Celeste hingga mereka mengubah wajahnya dengan bantuan Templar?" Gryffindor menarik napas dalam-dalam, "Celeste bukan sembarang individu. Dia memegang kekuatan yang dapat mengancam eksistensi kaum Nocturnus. Mereka menginginkannya berada di pihak mereka atau setidaknya tidak melawan mereka. Dengan mengubah wajahnya, mereka dapat mengendalikannya, mengubah identitasnya dan me
Bersama "Mata Celeste", Asterik memulai perjalanannya untuk menyembunyikan artefak tersebut di tempat yang aman. Namun, setiap langkahnya selalu diikuti oleh bayangan Jenderal Nocturnus dan pasukannya. Sebagai seorang Pemburu, Asterik tahu bahwa melarikan diri bukanlah pilihan, ia harus menghadapi Jenderal Nocturnus sekali lagi.Asterik memutuskan untuk mencari bantuan dari para Templar yang tersisa dan klan pemburunya. Dengan "Mata Celeste" sebagai bukti, ia berhasil mengumpulkan sekelompok pejuang yang bersedia membantunya. Bersama-sama, mereka memulai misi untuk mempertahankan dan menyembunyikan "Mata Celeste".Jenderal Nocturnus, dengan pengetahuannya yang mendalam tentang kuil dan sejarah "Mata Celeste", dapat memprediksi langkah-langkah Asterik. Dengan cepat, pasukan Nocturnus mengepung kelompok Asterik di sebuah lembah di Hutan Celeste.Terjebak, Asterik dan pasukannya harus membuat keputusan. Mereka memutuskan untuk mempercayai kekuatan "Mata Celeste". Dengan menggabungkan kek
Jenderal Nocturnus menghela napas dengan kasar. lalu dengan kekuatan telepatinya,ia memberitahu pada Sang Lady bahwa Mata Batu Darah itu tak ada. Jenderal Nocturnus menghela napas dalam-dalam, matanya merah menyala seiring dengan kekuatan telepatinya yang kuat. Ia lalu menghubungi Sang Lady, pemimpin pasukan elitnya, dengan pikirannya yang kuat.Nocturnus dengan suara mental yang intens,"Sang Lady, saya telah menyelusuri seluruh penjuru dunia ini. Mata Batu Darah itu tak ada."Sang Lady dalam pikirannya yang tenang dan memikirkan,"Tidak mungkin, Jenderal. Ini adalah benda yang kita butuhkan untuk misi ini. Kami tidak bisa gagal."Nocturnus dengan suaranya penuh keteguhan,"Saya tahu ini adalah misi yang penting, tapi sesuatu yang sangat jahat telah menghilangkan mata itu dari dunia ini. Saya merasakannya dengan kekuatan telepati saya. Kita harus berhati-hati."Sang Lady yang tadinya ragu-ragu, tetapi akhirnya percaya,"Baiklah, Jenderal. Saya percayai insting Anda. Kami akan mengganti
Rufus mengamati Alena yang merasa sudah letih dengan pencarian liontin yang dimaksud Gryffindor. Dengan bijak, Rufus mencoba mengembalikan semangat gadis itu meski tidak ada perasaan apapun yang melebihi seorang teman baik. Kata Rufus,"Mungkin ada seseorang yang mengetahui bagaimana melawan pasukan Orc yang dimiliki Celeste." "Pasukan Orc?" tanya Leo dan Alena serentak. Rufus mengangguk pelan dan melanjutkan,"Ya, sejak kejatuhan Celeste di tangan pembelot Templar, lahir para Orc dari lumpur dosa Nocturnus."Alena menjawab dengan rasa penasaran, "Orc dan Batu Darah? Apa hubungannya dengan pencarian liontin Gryffindor, Rufus?" Rufus tersenyum, "Tentu, Alena. Jadi, diceritakan bahwa Batu Darah adalah salah satu benda bersejarah yang bisa mengalahkan pasukan Orc ini. Gryffindor dikatakan telah menggunakan kekuatan Batu Darah dalam pertempuran melawan makhluk-makhluk tersebut pada masa lalu. Benda itu memiliki kekuatan luar biasa untuk melawan kekuatan gelap, seperti Orc yang berasal dar
Serangan dari luar juga tak terelakkan. Rupanyan Jenderal Nocturnus telah menyusupkan pasukn Orcnya untuk mengepung Leo, Alena, dan Rufus yang menutup kuil itu dengan reruntuhan terakhir. "Oh, tidak!" pekik Alena. "Rufus, lihat! Kita terkepung oleh pasukan-" "Itu Orc yang kumaksud! Cepat kita keluar dari sini sebelum mereka mencium aroma kita." tegas Rufus lagi. Pasukan Orc bergerak dengan langkah-langkah berat dan mengancam, menyusul aroma yang semakin kuat dari pintu kuil yang telah dikunci oleh Rufus. Leo, Alena, dan Rufus merasa kecemasan mendalam, dijepit di dalam kuil yang telah menjadi penjara mereka. Dalam keheningan yang mencekam, Alena meraih tangan Leo dengan erat, matanya penuh dengan ketakutan. Leo mencoba memberikan senyuman berani untuk menghiburnya, meskipun hatinya berdebar-debar. Di saat yang genting ini, hanya ada satu pilihan: bertahan hidup. Rufus berdiri di depan pintu kuil yang terkunci, mencoba untuk menahan panik yang tumbuh dalam dirinya. Ia melirik pint
Setelah pelayan datang dan membawakan pesanan makanan mereka, Rufus memakan roti yang sengaja ia bawa sepanjang perjalanan. Sedangkan Leo Sanders memakan hidangan daging panggang yang berukuran kecil. Alena meminum teh rosella. Sedangkan Gryffindor mengamati sekitar. "Lihat, apa yang kutemukan di kuil tersebut." Tuan Savory memperlihatkan sebuah artefak yang membuat ketiganya terkejut ketika melihat sebuah artefak yang mereka cari ada di tangan Sang Pemburu. "UHUK!" Leo terbatuk sejenak dan bertanya pada Tuan Savory,"D-darimana Anda dapatkan itu?" "Kudapatkan dari kuil itu. Sebelum Jenderal Kegelapan mendapatkannya, aku sudah mengamankannya terlebih dahulu." kata pemburu Savory itu. "Apakah Anda juga melihat sosok yang bangkit dari kegelapan itu, Tuan Savory?" tanya Rufus sopan. "Pertanyaannya, mengapa sebuah batu bisa memicu peperangan seperti ini? Aku adalah penduduk terakhir yang selamat dari pembantaian Celeste. Waktu itu aku menjadi saksi bisu dari apa yang telah diperbuat ol
"Jadi Anda mengetahui sejarah kelam dari Batu darah ini?" tanya Leo Sanders pada Pemburu Savory. "Lalu apa alasanmu memasuki kuil itu, Savory?" tanya Gryffindor tanpa basa-basi. Pemburu itu merasa segan bila ia mengatakan alasan memasuki kuil sekadar untuk keisenga belaka. "Darah dalah perantara kehidupan. Dahulu sebelum Pemimpin Nocturnus bangkit dari tidur panjangnya..." Alena, Leo dan Rufus memperhatikan Sang Pemburu dengan seksama sambil mendengarkan kalimat selanjutnya,"...beberapa penduduk sini hilang secara misterius..." kata Pemburu Savory sambil mengalihkan pandangannya pada Gryffindor. "Aku tak pernah mendengar ada sulap seperti itu..." kelakar Leo sebelum Alena memotong kelakarnya,"Diamlah, Tuan Muda yang Kecil, biarkan aku mendapatkan potongan petunjuk dari Tuan Savory!" "Baiklah,baiklah, semoga malam ini kita tidak harus bertemu Orc lagi sebab aku sangat mual dengan aromanya, Nona Manis." goda Leo pada Alena. Gryffindor menghela napas pela lalu berkata,"Memang sudah k
Sementara itu di istana Celeste yang sudah berubah menjadi istana terkutuk, Sang Lady masih merasakan 'trans' karena kekuatan vampirnya sedikit tidak stabil.Valthor mengamati dari balik tirai bangsal. Jenderal Nocturnus telah kembali dari perjalanannya. Di singgasananya, Sang Lady tampak mulai stabil setelah pejuang Nocturnusnya kembali. Dia merasakan bahwa aroma kekasihnya muncul. Sang Jenderal memasuki bangsal dengan kuda Kegelapannya. "Ladyku,hamba telah membawakan sebuah kado untuk Lady. Seorang yang sudah Anda tandai kini berada di kereta tawanan. Mari, lihatlah!" kata Jenderal Nocturnus sembari mengajak Sang Lady untuk melihat apa yang ada di dalam kereta. Sang Lady, masih merasa terganggu oleh fluktuasi kekuatan vampirnya, mengangguk lemah saat Jenderal Nocturnus mengundangnya untuk melihat isi kereta tawanan. Dengan gerakan anggun, dia berjalan menuju kereta tersebut, ditemani oleh Jenderal Nocturnus.Mereka berhenti di depan kereta tawanan yang tertutup rapat. Sang Lady mera
Setelah pertemuan dengan Lucius, situasi di rumah sakit jiwa St. Dymphna semakin tegang. Frank Flanders, meskipun sempat merasa lega karena telah menceritakan tentang liontin kepada Lucius, tetap dihantui oleh mimpi-mimpi buruk yang mengerikan setiap malam. Suara-suara yang berbisik dalam mimpinya semakin kuat, memerintahkannya untuk melakukan hal-hal yang tak terbayangkan.Suatu malam, saat petugas rumah sakit berpatroli di lorong-lorong yang sunyi, Frank tampak lebih tenang dari biasanya. Para petugas mengira obat penenang yang diberikan akhirnya bekerja. Namun, di dalam kamar isolasinya, Frank memandang sekeliling dengan mata yang gelap dan penuh keputusasaan. Di sudut ruangan, sebuah kain putih, bekas tirai yang telah disobek, tergeletak tak terpakai. Frank menghela napas dalam-dalam, merasakan beban berat di dadanya. Ia merasa tidak ada lagi jalan keluar dari mimpi-mimpi buruk ini. Dengan tangan gemetar, ia meraih kain tersebut dan mulai mengikatkan salah satu ujungn
Lucius merasa putus asa setelah pertemuannya dengan Adrian tidak membuahkan hasil. Liontin yang begitu penting baginya ternyata sudah dicuri oleh Frank Flanders, seorang pria yang kini dirundung mimpi buruk setiap malam. Mimpi-mimpi itu begitu mengerikan hingga membuat Frank kehilangan akal sehatnya dan akhirnya harus dirawat di rumah sakit jiwa. Di rumah sakit jiwa, Frank terus meracau tentang liontin yang memanggilnya dalam mimpi, meminta untuk dikembalikan kepada pemiliknya. Kondisinya semakin memburuk, dan meskipun para dokter berusaha memahami keadaannya, mereka tidak dapat menghilangkan mimpi-mimpi buruk yang menghantuinya. Lucius, yang merasa bahwa liontin itu bukan hanya barang berharga tapi juga memiliki kekuatan mistis, sadar bahwa dia harus menemukan cara untuk mendapatkan kembali liontin itu. Dia tahu bahwa hanya dengan mengembalikan liontin kepada pemilik yang sah, kutukan ini dapat diakhiri. Namun, pertanyaannya adalah, bagaimana cara masuk ke rumah sakit
Lucius meninggalkan rumah Elara dengan berbagai pikiran berkecamuk di benaknya. Perpustakaan tua itu menjadi tujuan berikutnya. Mengemudi melalui jalan-jalan kota yang mulai sepi, ia berusaha mengingat setiap detail yang telah didapatkan sejauh ini. Perpustakaan tua itu terletak di ujung jalan yang jarang dilalui orang. Bangunan batu dengan jendela-jendela tinggi dan pintu kayu besar tampak berdiri megah di bawah cahaya bulan. Lucius memasuki perpustakaan, di dalamnya suasana tenang dan berdebu terasa menyelimutinya. Rak-rak buku yang tinggi dan lampu redup menciptakan suasana yang hampir magis.Di belakang meja kayu besar di tengah ruangan, seorang pria tua dengan rambut abu-abu pendek dan kacamata bundar sedang membaca sebuah buku tebal. Lucius mendekatinya dengan hati-hati. "Victor?" tanya Lucius dengan suara rendah agar tidak mengganggu keheningan perpustakaan. Pria tua itu mengangkat pandangannya dan tersenyum tipis. "Ya, saya Victor. Ada yang bisa saya bantu?" Lucius
Setelah mengucapkan terima kasih kepada pria tua itu, Lucius bergerak dengan tujuan yang lebih jelas. Dia memindai kerumunan di bar sekali lagi, mencoba menemukan wanita bernama Alicia. Ia memutuskan untuk bertanya pada bartender, yang mungkin lebih mengenal para pelanggan tetap di sana.Lucius mendekati bar dan memanggil perhatian bartender, seorang pria dengan kumis tebal dan tatapan tajam. "Permisi, apakah Anda tahu di mana aku bisa menemukan seorang wanita bernama Alicia? Aku diberitahu bahwa dia sering berada di sini." Bartender itu menatap Lucius sejenak sebelum menjawab, "Alicia, ya? Dia ada di sini tadi. Sepertinya dia sedang duduk di pojok sana, di dekat jendela." Lucius mengikuti arah pandangan bartender dan melihat seorang wanita muda dengan rambut hitam panjang dan mata tajam yang duduk sendirian. Dia sedang menatap keluar jendela, tampaknya tenggelam dalam pikirannya sendiri.Dengan langkah mantap, Lucius mendekati meja Alicia dan memberanikan diri untuk berbicara.
Lucius menatap layar ponselnya sejenak setelah mengirim pesan balasan kepada Alena. Keheningan jalanan malam yang terhampar di sekitar Knockturn Alley menambah suasana misterius di sekitarnya. Cahaya lampu jalan yang redup menyala samar-samar di antara bangunan-bangunan kuno yang menjulang tinggi, memberi sentuhan dramatis pada suasana malam itu.Ia menarik napas dalam-dalam saat melangkah keluar dari gedung penyelidikan. Udara dingin malam London menusuk tulang, membuatnya lebih berhati-hati saat berjalan di sepanjang trotoar yang gelap. Langkahnya mantap meskipun hatinya dipenuhi dengan rasa was-was dan antisipasi akan apa yang akan dihadapinya dalam perjalanan ini.Dengan kunci mobilnya yang digenggam erat, Lucius melangkah menuju kendaraannya. Cahaya lampu mobil menyinari jalanan yang sepi saat ia membuka pintu mobil dan masuk ke dalam. Sejenak, ia duduk di dalam mobilnya, membiarkan dirinya meresapi ketenangan sejenak sebelum melanjutkan perjalanan. Setelah memastikan bahw
[Marcus:]"Hai Lucius, ada waktu untuk ngobrol sebentar?"[Lucius:]"Halo Marcus, tentu. Ada apa?"[Marcus:]"Aku turut berduka cita atas kematian atasan kita,Tuan Grissham Bell. Bisa ketemu sebentar di tempat biasa?"[Lucius:]"Bisa. Ada masalah apa?"[Marcus:]"Aku ingin mendiskusikan proyek baru. Ada beberapa hal yang perlu dipecahkan."[Lucius:]"Baiklah, aku akan ke sana dalam 15 menit."[Marcus:]"Terima kasih, Lucius. Sampai nanti."[Lucius:]"Sampai nanti, Marcus."Lucius kemudian bangkit dari peraduannya lalu pergi membersihkan dirinya. Dia sadar bobot tubuhnya sudah menurun sedikit namun perut abs-nya tetap terbentuk sempurna. Setelah berpakaian rapi, Lucius keluar dari rumahnya dan menuju tempat pertemuan yang biasa mereka gunakan, sebuah kafe kecil di sudut kota yang tenang.[Kafe Kecil di Sudut Kota]Marcus sudah duduk di meja sudut, menatap ke luar jendela dengan secangkir kopi di tangannya. Ketika melihat Lucius masuk, dia melambaikan tangan dan tersenyum tipis."Lucius,
Bandara Diagon Alley kini dalam kondisi siaga satu. Petugas keamanan dikerahkan ke setiap sudut, memastikan tidak ada celah bagi pelarian. Kabar tentang hilangnya liontin vampir dari museum membuat situasi semakin tegang. Setiap penumpang yang hendak berangkat maupun baru tiba diperiksa dengan ketat, tidak ada yang luput dari pengawasan.Di tengah keramaian yang penuh dengan ketegangan, terdengar bunyi langkah berat dari sepatu-sepatu bot militer yang menggetarkan lantai bandara. Kepolisian Diagon Alley, yang kini menjalankan operasi militer, menyusuri setiap sudut dengan senjata terhunus. Kapten Marcus, pemimpin operasi, memberikan instruksi tegas kepada timnya melalui radio:"Semua unit, pastikan setiap titik keluar dijaga ketat. Tidak ada yang masuk atau keluar tanpa izin saya. Siapkan pemeriksaan intensif di semua pintu gerbang dan terminal."Frank Flanders, yang baru saja mendengar instruksi melalui radio seluler yang diselundupkan, merasa jantungnya berdetak lebih cepat. Dia meny
"Oliver yang malang, mengapa kau tidak memunculkan batang hidungmu di depanku?" dengus pria parlente itu.Frank Flanders duduk sendiri di ruang gelap, merenungi kegagalannya. Walaupun penuh dengan keyakinan awalnya, dia akhirnya tersadar bahwa dia sendirian dalam pencarian Oliver. Dalam kesendirian dan keputusasaan, dia terus mencari dengan tekad yang semakin melemah. Namun, hasilnya tetap nihil. Kegagalan itu menghancurkan semangatnya, meninggalkan dia dalam kesedihan dan penyesalan yang mendalam.Mendengar Oliver Brown tertangkap oleh Kepolisian Diagon Alley, pria gempal itu kemudian bersiap-siap untuk mengambil jalur Britania Raya untuk melarikan diri dari masalah yang diperbuat oleh Oliver Brown. Namun tak disangka, seluruh satuan Kepolisian Diagon Alley telah mencium keberadaannya."CH, sial!" geramnya, menggertakkan giginya dengan frustrasi. Ia tahu bahwa pelarian kali ini akan lebih sulit dari yang pernah dibayangkannya. Dengan setiap langkah yang diambil, bayang-bayang kegelapa
Lucius melangkah keluar dari kamar tidurnya, meninggalkan kehangatan selimut untuk menghadapi hawa dingin malam. Ia menuju ruang kerjanya yang penuh dengan buku-buku tua dan artefak berdebu, peninggalan dari berbagai penelitian yang pernah ia lakukan. Di sudut ruangan, sebuah sakel rusak yang disebutkan dalam mimpinya tergeletak di atas meja, setengah terkubur di bawah tumpukan dokumen.Dengan hati-hati, Lucius membersihkan permukaan sakel, memperhatikan ukiran-ukiran halus yang menghiasi permukaannya. Ia mencoba mengingat setiap detail dari mimpi tadi, berharap menemukan petunjuk yang bisa membantunya membuka sakel ini dalam dunia nyata.(Tidak mungkin ini hanya kebetulan,) pikirnya. (Mimpi itu pasti ada artinya.)Lucius kemudian mengingatkan dirinya pada satu nama: Profesor Aldric, seorang ahli sejarah yang pernah ia temui dalam salah satu konferensi. Profesor Aldric dikenal sebagai seorang yang memiliki pengetahuan mendalam tentang artefak kuno. Dengan cepat, Lucius memutuskan untu