Dahlia tertegun di depan pintu kamar bernomor 23. ‘Kenapa harus kamar dengan nomor 23 yang tersisa. Dari tiga puluh kamar, kenapa nomor ini yang tersisa’ batin gadis itu.
“Hai, kamu, Dahlia, kan?” tanya seorang gadis seusianya.
“Iya, aku Dahlia,” jawabnya.
“Kenalkan, namaku Sofie, aku menempati kamar nomor 25, kamu, di kamar ini ya?” ujar gadis bernama Sofie itu.
“Hanya ini yang tersisa,” sahut Dahlia singkat.
“Sepertinya, kamu tidak suka dengan kamar ini,” tukas Sofie.
“Bukan tidak suka kamarnya. Aku ... tidak suka dengan angka 23,” lirih Dahlia.
“Kenapa?” tanya Sofie penasaran.
“Sudahlah, kita turun saja,” sahut Dahlia terdengar enggan mengatakan alasa
“Kakek, memanggil kami?” tanya Dara. Tampak Diandra berdiri disamping Dara dengan tatapan seolah menanyakan hal yang sama. Ustadz Yusuf yang tengah menjentik tasbih mendongakkan kepala dan mengulas senyum lembut ke arah gadis kembar di hadapannya. “Duduklah dan tunggu kakek selesai,” ucapnya lembut. Kedua gadis kembar itu pun duduk di hadapan ustadz Yusuf yang tampak masih serius menjentik tasbih di tangannya. Tak lama kemudian, pria tua itu tampak memasukan tasbih ke dalam saku bajunya. Sepertinya dia telah selesai dengan do’a dan dzikirnya. “Dara, Diandra, dengarkan kakek baik-baik. Hari ini, kakek akan pergi. Kakek minta, kalian tinggallah bersama paman Fikri. Nanti, paman kalian Azzam dan keluarganya, juga akan tinggal di sini. Kakek ingin, selama kakek pergi kalian tingg
Allah memang Maha Besar. Pertempuran yang tetap tidak seimbang itu, akhirnya dimenangkan oleh ustadz Yusuf dan sang pemuda asing, meski ustadz Yusuf harus terluka. “Kita istirahat di sana dulu, Kek,” ajak pemuda itu. Dibimbingnya ustadz Yusuf ke sebuah gubug yang tak jauh dari tempat mereka bertempur. Setelah mendudukkan ustadz Yusuh disebuah balai bambu, pemuda itu bergegas mencari dedaunan yang bisa digunakan sebagai obat. “Terima kasih, anak muda. Tapi, kalau boleh tahu, kamu ini siapa dan darimana? Terus, kenapa kamu bisa ada di hutan ini?” cecar ustadz Yusuf ketika pemuda itu tengah mengobati lukanya akibat cakaran dari makhluk mengerikan yang menjadi lawannya. Pemuda itu mengulas senyum tipis sebelum menjawab pertanyaan ustadz Yusuf. “Saya, Bakhtiar Alfarizi, Kek. Kakek, bisa panggil saya, Bakhtiar. Kebetulan, saya memang sedang menunggu Kakek,” jawab
Meninggalkan padepokan kiai Ummar, jauh di desa Damai, tampak seorang wanita paruh baya yang masih terlihat begitu cantik. Dengan dandanan bak orang kota, wanita itu tengah memerintahkan beberapa anak buahnya untuk menghancurkan sebuah kedai kecil. “Cepat, hancurkan tempat ini!” teriaknya. Rambut panjang wanita itu dibiarkan tergerai dan berkibar tertiup angin. Kacamata hitam bertengger di kepalanya. Desa Damai tak lagi sedamai namanya. Kehancuran dan bencana terjadi sejak puluhan tahun lalu. Tepatnya sejak awal kedatangan wanita itu. Siapakah wanita itu? Wanita itu adalah Watina, biasa disapa Wati. Putri tunggal Sarina dan Suryaman, sepupu dari Mayasari, bibi dari si kembar. Dialah yang telah menghasut warga hingga mereka tega membakar keluarga Mayasari. Sejak tragedi sepuluh tahun lalu, Wati yang telah kehilangan sel
“Paman,” sapa Wati sesopan mungkin. “Ayo, ke pondok, bibimu sudah menunggu di dalam,” ajak Widarta. Wati mengikuti langkah Widarta menuju pondok. Pria itu meminta Wati langsung masuk ke dalam pondok setelah mereka sampai. “Duduklah,” ujar Haruni meminta Wati untuk duduk. Setelah duduk, wanita itu baru menyadari sesuatu. Ia pun menatap bergantian kepada Haruni dan Widarta. ‘Wajah mereka ... kenapa bisa berubah. Bibi, menjadi sangat cantik dan paman, dia ... tampan sekali berbeda dengan saat bertemu di luar tadi’ monolog Wati dalam hati. Haruni yang menyadari hal itu hanya tersenyum miring. ‘Anak ini pasti terkejut dengan perubahan kami’ batin wanita paruh baya yang kini terlihat sangat cantik itu. “Ekheem ... Ada apa Bibi ingin aku datang ke sini?
Setelah para warga pulang ke rumah masing-masing, ustadz Yusuf diikuti kedua putranya dan Bakhtiar memilih masuk untuk melaksanakan salat isya terlebih dahulu sebelum melaksanakan upacara pernikahan. “Nak Tiar, kenalkan, ini putra sulung kakek, Azzam, kamu bisa memanggilnya paman Azzam. Sedangkan yang di sebelahnya, adalah paman Fikri, putra kedua kakek,” ujar ustadz Yusuf memperkenalkan kedua putranya pada Bakhtiar. Dengan takzim, Bakhtiar menyalami mereka berdua. “Senang bisa berkenalan dengan Paman berdua,” ujar Bakhtiar. “Kami, juga senang bisa berkenalan denganmu. Besar harapan kami agar kamu bisa menyelamatkan Dara dan Diandra. Seperti yang kamu tahu, mereka bukanlah keluarga kandung kami, tetapi bagi kami, mereka adalah keluarga kami,” tutur Azzam mewakili Fikri. “Tentu, Paman. Saya akan
“Dia, masih hidup. Aku harus segera mencari bantuan,” gumam pemuda itu. Ia kemudian mengayuh sepedanya dengan cepat kembali desa untuk mencari pertolongan. “Tolong! Tolong!” teriak pemuda itu sambil mengayuh sepedanya. “Dik! Didik!” pemuda itu menghentikan sepedanya saat sayup-sayup mendengar ada yang memanggil namanya. Dilihatnya seorang pria tengah berjalan mendekatinya. “Kenapa kamu teriak-teriak begitu, Dik?” tanya pria itu. “I-Itu Pak Sigit, ada ... ada korban kejahatan yang dibuang ke desa kita. Di-dia ada di bawah pohon besar di ujung jalan. Denyut nadinya sangat lemah tetapi dia masih hidup,” terang pemuda bernama Didik itu. “Jangan menyebar berita yang tidak benar, Dik. Jika warga mendengar ini, bisa menimbulkan keresahan. Kau tahu,
Melihat Ustadz Yusuf yang masih terdiam, membuat rasa penasaran dalam diri kedua gadis kembar itu semakin besar. “Kek, ayolah, ceritakan lagi pada kami,” rengek Dara sambil bergelayut di bahu kiri ustadz Yusuf. “Iya, Kek, Andra juga penasaran lho,” kali ini, Diandra yang membujuk ustadz Yusuf. Pria tua itu, merasa semakin dilema tetapi dia harus melakukan sesuatu agar kedua gadis kembar itu tak lagi merengek padanya. “Baiklah, kakek akan cerita, tetapi tidak sekarang,” tukas ustadz Yusuf. “Yaa, Kakek, kok gitu!” seru mereka kompak. “Ada apa, ini? Ramai sekali,” ujar Halimah yang tiba-tiba hadir di sana. “Oh, itu Nek, kami sedang menonton berita kejahatan yang lagi ramai saat ini,” jawab ustadz Yusuf yang tak sepenu
Beberapa hari kemudian, ustadz Yusuf memanggil Dara dan Diandra ke ruang pribadinya. Sesuai janjinya, hari ini ia akan menceritakan semuanya kepada kedua gadis kembar itu. Dilema yang dialaminya menghilang sudah setelah ia teringat ucapan kiai Ummar. Ia juga sudah menghubungi Bakhtiar dan meminta pemuda itu untuk bersiap jika sewaktu-waktu terjadi sesuatu. “Hari ini, kakek sudah siap menceritakan semuanya pada kalian. Apa, kalian yakin, ingin mendengar keseluruhan ceritanya?” tanya ustadz Yusuf pada kedua gadis kembar itu. “Iya, Kek,” jawab mereka serempak. Ustadz Yusuf tampak menghela napas panjang sebelum memulai ceritanya. “Sebelum kakek mulai bercerita, bisakah kalian ceritakan kembali mimpi yang kalian alami kepada kakek?” pancing ustadz Yusuf. “Iya, Kek. Waktu itu, Dara seperti dibawa ke r
“Siapakah pemuda tampan itu?” Terdengar suara warga yang saling berbisik mempertanyakan tentang siapa pemuda itu. “Pak, maaf, siapa pemuda itu?” tanya Pak RT yang kebetulan berdiri di dekat Pak Sapto yang merupakan komandan dari tim polisi yang tengah sibuk memeriksa jasad gadis tak dikenal itu. “Oh, maaf, kami belum sempat memperkenalkan beliau kepada para warga di sini. Beliau Pak Ilham, seorang detektif yang dikirim dari kantor pusat untuk membantu memecahkan kasus ini,” tutur petugas polisi itu. Pak RT yang mendengar penuturan itu hanya manggut-manggut tetapi jelas terlihat bibirnya menyunggingkan senyum. Beberapa saat kemudian, jasad itu telah dikirim ke rumah sakit di kota untuk dilakukan autopsi. Sementara itu, Pak RT meminta para petugas polisi, dokter dan pemuda bern
Restia duduk dengan gelisah di sudut sebuah kafe. Sesekali ia melihat jam yang melingkar di tangannya. “Mana, sih, mereka. Hari semakin malam tapi bayangan mereka pun belum terlihat,” sungut gadis itu. Baru saja ia akan menghubungi orang yang ditunggunya melalui ponsel, mereka telah terlihat memasuki kafe itu. “Kalian darimana, sih? Aku sudah hampir dua jam menunggu kalian,” serbunya begitu Fery dan kedua temannya duduk di hadapannya. Ya, ternyata ketiga pemuda itulah yang sejak tadi ditunggunya. “Tck! Kamu lupa, kalau sudah jam pulang kerja, jalanan di kota ini berubah padat. Apalagi di perempatan depan sana pasti macet,” sahut Fery kesal. “Hah! Ya sudah, kalian pesan dulu saja,” tukas Restia. Seraya menunggu pesanan mereka, Restia yang sudah penasaran dengan apa yang ingin disampaikan se
Dua orang gadis tengah sibuk mengambil bahan makanan dari rak yang berderet di sebuah swalayan. Wajah mereka yang cantik dan terlihat mirip membuat mereka menjadi pusat perhatian. Tak hanya kaum adam tetapi juga kaum hawa. Bahkan beberapa gadis ada yang memberikan tatapan sinis karena merasa iri dengan kecantikan mereka yang nyaris sempurna. Kedua gadis itu, bukan tak menyadari telah menjadi pusat perhatian, mereka hanya berusaha bersikap biasa dan mengabaikan itu semua sesuai pesan dari ustadz Yusuf. Ya, kedua gadis itu adalah Dara dan Diandra. “Sudah semua, Kak?” tanya Diandra. Dara memperhatikan troly yang berisi belanjaan mereka. “Hanya camilan pesanan trio usil yang belum,” sahut Dara sambil terkekeh. “Ya sudah, kita ke bagian camilan dulu saja,” jawab Diandra. “Ayo,” sahut Dara.
Bakhtiar baru saja akan mengunci pintu pagar rumahnya setelah memarkirkan motornya ketika tiba-tiba dia dikejutkan suara teriakan minta tolong tak jauh dari rumahnya. ‘Suara minta tolong siapa itu?’ batin pemuda itu. Tolong! Kembali Bakhtiar mendengar suara teriakan itu. Tanpa menunggu lagi ia segera mencari arah asal suara. “Hei! Lepaskan dia!” seru pemuda itu seraya mendekat ke arah tiga orang pemuda yang tengah mengganggu seorang gadis. “Siapa kau? Pergilah dan jangan ikut campur urusan kami!” bentak salah seorang pemuda itu. “Aku bukan siapa-siapa. Aku hanya orang yang tidak suka dengan laki-laki pengecut seperti kalian, yang beraninya hanya dengan seorang gadis,” sahut Bakhtiar tenang. Sementara gadis yang tadi diganggu tiga pemuda itu diam-diam menarik sudut
Dua hari telah berlalu, ustadz Yusuf yang teringat akan sesuatu kembali mengajak kedua gadis kembar itu untuk berbicara tentang hal yang ingin mereka tanyakan karena tertunda oleh ulah cucu-cucunya. Dara dan Diandra datang sambil membawa minuman dan kudapan untuk ustadz Yusuf, yang telah mereka anggap sebagai kakek mereka sendiri. Setelah meletakkan apa yang mereka bawa, kedua gadis kembar itu pun duduk di hadapan ustadz Yusuf. “Sekarang, katakan, apa yang ingin kalian tanyakan tempo hari?” ucap ustadz Yusuf membuka pembicaraan Dara dan Diandra saling melempar pandang. Hal itu membuat ustadz Yusuf mengulas senyum tipis. “Kenapa hanya saling pandang? Ayo, katakan saja,” ujar ustadz Yusuf. “Ekhem ... begini, Kek, beberapa hari yang lalu, tepatnya saat Kakek bercerita tentang tragedi
“Kalian, tinggallah sebentar di sini, saat ini aku ada perlu keluar. Tidak lama, hanya satu atau dua jam saja,” ujar Bakhtiar. Kedua gadis kembar itu saling tatap, seolah saling menanyakan pendapat. “Bagaimana? Bisa, kan, kalian tinggal di sini dulu. Hanya sampai aku kembali,” ujar pemuda itu. “Baiklah, Mas, tapi tolong kabari kakek jika kami ada di sini,” sahut Dara. “Tentu, aku akan mengabari beliau,” jawab Bakhtiar. Setelah mengabari ustadz Yusuf sesuai permintaan Dara, Bakhtiar pun bergegas pergi. Dia sengaja mengendarai motornya tetapi dia langsung bersembunyi di balik pohon tak jauh dari rumah itu. Tanpa disadari kedua gadis itu, bersamaan dengan dirinya keluar dari rumah, Bakhtiar telah membuka kembali sebagian ingatan mereka tetang kejadian sebelum mereka tiba di rumah ini. Dengan
Tubuh kedua gadis kembar itu tampak limbung dan jatuh ke tanah begitu mereka memasuki halaman rumah yang sepuluh tahun ini mereka tempati. Tampak asap tebal membubung tinggi pada salah satu tubuh gadis itu. Bakhtiar, yang mengawasi dari dalam rumah bergegas keluar saat melihat asap tebal itu semakin menipis dan menghilang. Kini, hanya ada satu tubuh gadis yang tergeletak di halaman rumah itu. Bakhtiar membopong tubuh gadis yang telah dinikahinya secara gaib beberapa hari lalu ke dalam rumah. Dibaringkannya tubuh itu ke atas ranjang. Setelah menyelimuti gadis itu, Bakhtiar keluar dari kamar menuju dapur. Pemuda itu tampak sedang menyeduh teh hangat. Ditiupkannya do’a pada minuman itu, lalu dibawanya ke kamar dimana isterinya terbaring. Dipandanginya wajah gadis itu. Terngiang ucapan sang kakek sehari sebelum dia mengikuti ustadz Yusuf. ‘Tiar, setelah ikrar pernikahan itu, jika terjadi sesuatu pada kedu
Beberapa hari kemudian, ustadz Yusuf memanggil Dara dan Diandra ke ruang pribadinya. Sesuai janjinya, hari ini ia akan menceritakan semuanya kepada kedua gadis kembar itu. Dilema yang dialaminya menghilang sudah setelah ia teringat ucapan kiai Ummar. Ia juga sudah menghubungi Bakhtiar dan meminta pemuda itu untuk bersiap jika sewaktu-waktu terjadi sesuatu. “Hari ini, kakek sudah siap menceritakan semuanya pada kalian. Apa, kalian yakin, ingin mendengar keseluruhan ceritanya?” tanya ustadz Yusuf pada kedua gadis kembar itu. “Iya, Kek,” jawab mereka serempak. Ustadz Yusuf tampak menghela napas panjang sebelum memulai ceritanya. “Sebelum kakek mulai bercerita, bisakah kalian ceritakan kembali mimpi yang kalian alami kepada kakek?” pancing ustadz Yusuf. “Iya, Kek. Waktu itu, Dara seperti dibawa ke r
Melihat Ustadz Yusuf yang masih terdiam, membuat rasa penasaran dalam diri kedua gadis kembar itu semakin besar. “Kek, ayolah, ceritakan lagi pada kami,” rengek Dara sambil bergelayut di bahu kiri ustadz Yusuf. “Iya, Kek, Andra juga penasaran lho,” kali ini, Diandra yang membujuk ustadz Yusuf. Pria tua itu, merasa semakin dilema tetapi dia harus melakukan sesuatu agar kedua gadis kembar itu tak lagi merengek padanya. “Baiklah, kakek akan cerita, tetapi tidak sekarang,” tukas ustadz Yusuf. “Yaa, Kakek, kok gitu!” seru mereka kompak. “Ada apa, ini? Ramai sekali,” ujar Halimah yang tiba-tiba hadir di sana. “Oh, itu Nek, kami sedang menonton berita kejahatan yang lagi ramai saat ini,” jawab ustadz Yusuf yang tak sepenu