Ana meringis begitu kapas beralkohol itu menyentuh sudut bibirnya. Setelah peristiwa tadi, akhirnya dia bisa kembali ke kamar. Davin sendiri sudah bangun dari pingsannya dengan infus yang lagi-lagi tertancap di tangannya. Sempat Ana merasa takut, bahkan sampai detik ini dia masih memilih untuk duduk jauh dari Davin. Dia sebenarnya tidak ingin seperti ini, sungguh. Dia masih tidak percaya jika Davin bisa menembak 3 orang sekaligus demi menyelamatkannya. Untung saja, Bram dengan tanggap menyelesaikan permasalahan di rooftop tadi.
“Aku mau pulang sekarang." Tiba-tiba Davin berbicara membuat Ana mengangkat kepalanya terkejut.
Diva berdecak, “Nggak usah aneh-aneh deh, nanti Bunda pasti banyak tanya."
"Ya, nggak usah dijawab," jawab Davin enteng, "Lagian di rumah sakit udah nggak aman.”
"Tapi Mas Davin belum sembuh total." Akhirnya Ana membuka suara membuat Davin tersenyum tipis.
"Aku nggak papa, Sayang. Bahkan aku ud
Tangan kecil Ana bergerak untuk mencatat semua materi yang menurutnya penting. Dia tidak akan serajin ini jika dosen tidak menerapkan ujian lisan. Ana tidak tahu kenapa dosen harus bersusah payah menerapkan ujian lisan jika ujian tulis jauh akan lebih praktis nantinya. Benar bukan? Getaran pada ponselnya membuat Ana mengambil benda itu dari saku celana. Dia melakukannya dengan hati-hati, takut jika dosen akan melihatnya nanti.Sebuah pesan dari nomor yang tidak dikenal membuat Ana mengerutkan keningnya bingung. Dengan cepat dia membuka pesan itu dan langsung lemas begitu melihat isinya. Di dalam pesan itu terdapat foto Davin yang terlihat sibuk di ruangan kantornya. Di bawah foto itu tertulis sesuatu yang membuat Ana bergerak gelisah dalam duduknya. Tanpa ragu, Ana berdiri dan meminta ijin untuk pulang lebih awal. Dia pergi begitu saja tanpa mendengarkan balasan dari dosen. Tidak sopan memang, tapi Ana takut jika hal ini akan membahayakan nyawa lagi.
Jantung Ana berdetak cepat ketika melewati lorong gelap di gudang kosong yang tidak ia ketahui. Dia tidak sendiri saat ini, ada Davin yang berjalan di depannya dengan cepat. Setelah Kevin menghubungi Davin dan mengatakan jika telah menemukan pelaku pemasang kamera di ruangannya, Davin langsung bergegas pergi tanpa menunggu lagi. Ana yang sejak tadi memang bersama Davin memilih untuk ikut dan mengekor seperti anak ayam. Hatinya tidak bisa tenang begitu melihat wajah kekasihnya yang berubah menakutkan. Dia takut jika kekasihnya akan bertindak diluar kendali atau bahkan lebih parahnya, Davin akan membunuh lagi nantinya."Di mana dia?" tanya Davin pada Bram yang berdiri di depan pintu sambil merokok.Bram mengepulkan asapnya dan berbicara, "Di dalem."Ana melepaskan cengkeramannya pada jas Davin begitu pria itu berlalu pergi meninggalkannya di depan pintu. Ana merasa ragu untuk ikut masuk. Melihat Bram yang seperti menunggunya, akhirnya Ana ikut masuk ke dalam ruang
Ana datang ke pesta Alex bersama Ally dan Andre, untung saja pasangan gila itu mau menemaninya. Suasanaclubterlihat sangat ramai dan banyak wajah asing di sini. Ana yakin jika Alex tidak hanya mengundang teman kuliahnya.“Akhirnya kalian dateng!" Alex datang dan tersenyum lebar."Nice party,"ucap Andre sambil menikmati keadaan sekitar."Makasih, oh iya kenalin ini Allen, kakakku." Alex mengenalkan pria yang sedari tadi mengikutinya.Ana tersenyum saat Allen menjabat tangannya, tapi lama-lama senyuman Ana berubah canggung ketika pria itu tidak kunjung melepaskan tangan Ana. Allen masih menatapnya sambil tersenyum."Let her go, dia udah punya pacar," ucap Andre pada Allen."Serius? Sayang banget, kenapa Alex nggak cerita kalau punya temen secantik Ana." Allen tertawa dan melepaskan jabatannya pada Ana."Jangan ganggu dia, Bang." Alex berucap pada kakaknya. "Kalian nikmati pesta ini, pes
Ana berjalan mengikuti Davin yang berada di depannya. Terlihat jelas jika pria itu masih marah. Diluar peristiwa yang terjadi di club tadi, pasti Davin ingin sekali memarahinya. Ana sadar jika dia salah sekarang. Bertemu dengan Lucy membuatnya menyesal untuk datang ke ulang tahun Alex, tapi jika dia tidak datang, Ana juga tidak akan menemukan satu nama yang patut ia curigai.Alex. Jika benar pria itu yang melakukannya, Ana benar-benar tidak percaya. Memang benar jika Alex sedikit berubah akhir-akhir ini. Pria itu menjadi misterius dan sering menghilang begitu saja, tapi Ana masih tidak percaya jika pria sebaik Alex akan berani bermain-main dengan nyawa."Katakan." Suara Davin yang kelewat datar membuat lamunan Ana buyar."Aku tadi ketemu Lucy," ucap Ana pelan.Diva berdecak malas, "Kamu emang sering ketemu Lucy, Na.""Beda!" Ana mengambil duduk di samping Laila dan mulai berbicara, "Dia nggak kabur lagi, justru dia datengin aku tadi."
Langkah kaki riang itu berjalan dengan semangat memasuki Lab TV. Ana membuka pintu dengan kencang dan tersenyum lebar, membuat semua orang yang ada di dalam ruangan tersebut menatapnya aneh sekaligus geli."Siang!" sapa Ana sambil menutup pintu."Kenapa kamu? Seneng banget kayanya?" tanya salah satu teman Ana.Ana hanya tertawa dan berlalu masuk ke sebuah ruangan. Hari ini dia harus mengikuti rapat untuk pembagian job desc program baru di TV kampusnya. Begitu memasuki ruangan, sudah banyak orang yang datang, lengkap dengan kakak pendamping yang akan mendampingi junior ketika produksi nanti. Ketika melewati Alex, Ana memilih untuk menunduk dan mengambil tempat duduk yang jauh. Bukannya apa, tapi dia memang harus waspada bukan?"Oke, karena udah lengkap langsung aja kita mulai." Alex mulai berdiri dan menjelaskan materi setelah selesai membagikan kertas yang berisikan pembagian job desc untuk para anggota.Ana menatap kertas di tang
Davin meremas kertas di tangannya begitu telah selesai membaca pesan yang tertulis di sana. Dia tidak menyangka jika Lucy berani lari dari pengawasannya. Bahkan kemarin, Kevin masih bertatap muka untuk memberikan bahan makanan selama wanita itu di apartemen.Aku kembali ke Paris. Jangan mencariku."Gimana bisa dia kabur gitu aja?""Nggak tau, dia aneh akhir-akhir ini. Kalian sadar nggak sih, Lucy sering ngilang gitu aja. Bolak-balik Paris dengan tujuan yang belum kita tau pasti. Apa kamu yakin kalau dia beneran bukan orang di balik semua teror ini, Vin?""Kalau gitu kita susul Lucy." Saran Bram mulai menyulut rokoknya."Dia mau nikah kan?" tanya Davin ketika tahu harus memulai langkahnya dari mana sekarang, "Cari tau siapa suaminya.""Aku bahkan nggak yakin kalau calon suaminya itu ada bentuknya," celetuk Kevin kesal, "Bisa aja itu cuma alesan Lucy.""Apa salahnya kita cari?" Bram berdiri dan merap
Davin memijat keningnya sambil mengamati berkas-berkas yang ada di atas meja. Entah kenapa kepalanya terasa pening saat ini. Sudah seminggu Davin tidak bertemu dengan Ana dan dia merindukannya sekarang. Memang selama seminggu ini dia sangat sibuk dengan urusan kantor karena hari-hari sebelumnya dia terlalu fokus untuk menyelidiki masalah teror. Untuk teror, bisa saja Davin langsung melaporkan dan menyerahkannya pada polisi. Namun belum tentu jika polisi akan menemukan nama Alex sebagai kandidat tersangka selain Lucy. Lagipula masalah ini cukup pribadi, Davin tidak ingin masalah ini sampai ke telinga media yang akan mempengaruhi perusahaannya nanti.Suara pintu yang terbuka membuatnya menoleh, muncul Bram dan Kevin yang masuk ke dalam ruangannya. Davin bangkit dan menunjuk sofa. Jika sudah berkumpul seperti ini, tentu mereka akan membahas sesuatu yang penting."Jadi apa yang kalian dapat?" tanya Davin sambil melonggarkan dasinya."Kamu bakal kaget pas denger ini.
Suasana kamar hotel sudah tidak berbentuk lagi. Selimut sudah jatuh ke atas lantai dengan bungkus makanan yang berserakan di atas kasur. Kamar bujang memang seperti ini bukan? Meskipun Bram sudah tidak bujang lagi, namun ketika bersama sahabatnya, naluri bebas itu langsung muncul begitu saja."Kapan terakhir kita kayak gini?" tanya Kevin kembali memasukkan keripik kentang ke dalam mulutnya. Tangannya tidak berhenti untuk mengolah stick game di tangannya."Kuliah mungkin?" balas Bram yang matanya tidak beralih dari layar laptop.Ini semua adalah ide Kevin yang membawa alat game-nya ke Paris. Dia beranggapan jika hitung-hitung akan beristirahat sejenak dari pekerjaannya. Meskipun tujuan awal bukan seperti itu, namun apa salahnya menghabiskan waktu bersama sahabat dan bernostalgia tentang kehidupan remaja mereka dulu. Davin yang melihat kedua sahabatnya sibuk bermain hanya bisa mendengus. Dia tidak ikut bermain dan lebih memilih untuk berbalas pes
Suasana ramai di dalam sebuah gedung membuat Davin mengeratkan pelukannya pada pinggang Ana. Dengan warna pakaian yang senada, Ana dan Davin mulai masuk lebih dalam ke gedung pernikahan Alex.Ya, setelah bertahun-tahun bertarung dan berjuang dengan penyakitnya, akhirnya pria itu bisa hidup normal. Terima kasih pada Ana yang ikut memberikan semangat pada Alex selama ini.Sudah tiga tahun Alex dinyatakan sembuh dan selama itu pula dia mulai menata kembali hidupnya yang sempat berantakan karena masa lalu yang kelam. Namun semuanya berubah sekarang, keadaannya sudah kembali normal. Alex tidak terlalu memikirkan kondisi kakaknya di penjara, toh kesalahan Allen memang sudah sangat keterlaluan."Mas, jangan gini, ah. Susah gerak tau." Ana berucap kesal sambil berusaha menahan tubuh Daniel di
Ana menghela nafas lega begitu telah menyelesaikan naskah FTV untuk salah satu stasiun televisi. Matanya melirik ke arah jam yang sudah menunjukkan pukul 11 malam, tapi suami dan anaknya belum juga kembali ke rumah."Ke mana mereka?" Ana meraih ponselnya untuk menghubungi Davin. Namun belum sempat melakukannya, pintu kamar terbuka dan muncul Davin dengan kantung plastik di tangannya."Kok baru pulang?""Urusan pria," jawab Davin santai dan meletakkan bingkisan makanan di meja Ana.Mata Ana menyipit melihat itu, "Apa ini?""Kata David itu sogokan buat kamu, biar nggak marah lagi."Ana berdecak, tapi tak urung juga membuka makanan itu
Suara dering alarm yang berbunyi membuat pria yang tengah tertidur itu perlahan membuka matanya kesal. Dengan mata yang memerah karena kurang tidur, Davin melihat ke arah jam yang sudah menunjukkan pukul lima pagi. Dia menggerang pelan sebelum berbalik untuk melihat istrinya yang masih tertidur pulas.Perlahan raut wajah kesal itu berubah ketika melihat wajah polos Ana yang tertidur. Seketika rasa lelah di tubuhnya yang hanya tidur tiga jam langsung sirna. Tangan Davin terangkat dan menekan pipi Ana dengan jari telunjuknya. Wanita itu mengerang dan berbalik membelakangi Davin. Melihat itu, Davin segera mendekatkan tubuhnya dan memeluk istrinya dari belakang. Tangannya terulur mengelus perut Ana yang terlihat membuncit."Bangun, Sayang. Udah pagi," bisik Davin mengelus perut Ana."Ngantuk, Mas!" Ana mendorong tangan Davin yang berada di perutnya."Aku bangunin anak aku, bukan kamu."Ana menatap Davin sengit, "Sama aja, anakmu masih di dalem perutku.
Ana mengerang saat tubuhnya terguncang dengan keras. Matanya yang masih mengantuk terasa berat untuk dibuka. Dia baru saja tidur siang tadi dan siapa yang berani membangunkannya, mengingat jika hanya dirinya sendiri di rumah ini. Mengingat itu, Ana membuka matanya cepat. Dia berdiri dan menghela nafas lega saat menemukan Davin yang menatapnya aneh."Mas!" Ana berdecak kesal dan kembali menghempaskan tubuhnya di kasur."Kamu kenapa?" tanya Davin sambil melepaskan kemejanya."Aku pikir tadi ada maling." Ana kembali bangkit dan duduk di kasur. Rasa kantuknya sudah hilang sekarang. Dia menatap Davin yang tengah berdiri di depan cermin sambal mengelus dagunya yang mulai lebat akan rambut."Kok Mas Davin udah pulang?" Ana bertanya masih memperhatikan Davin yang mulai melepaskan celananya. Pemandangan yang cukup membuatnya panas dingin."Males di kantor."Mata Ana membulat. Dia bertepuk tangan heboh karena rasa tidak percayanya. Dia tidak salah den
Ana terkejut saat melihat begitu banyak notifikasi yang masuk. Bahkan semua sosial media-nya banjir akan ucapan selamat atas pernikahannya. Tak jarang Ana juga tidak mengenal siapa yang memberikan selamat, mungkin itu teman Davin.Ana terkikik melihat teman-temannya yang ramai di grup sejak semalam karena membicarakannya. Dia yang menikah saja tidak seheboh ini kenapa teman-temannya menjadi gila? Bahkan Ally secara terang-terangan menunjukkan otak mesumnya.Ana menghentikan tawanya saat merasakan tangan hangat bergerak melingkar di pinggangnya. Dia menoleh dan menemukan Davin dengan mata yang setengah terbuka. Ana meletakkan ponselnya dan berbalik menatap pria yang sudah sah menjadi suaminya sejak kemarin itu."Pagi," sapa Ana tersenyum lebar.Davin menarik tubuh Ana semakin mendekat. Setelah itu matanya kembali terpejam saat berhasil menenggelamkan wajahnya di leher Ana."Mas bangun." Ana berdecak."Masih pagi, Ana.""Udah jam delapa
Tepat hari ini, Ana dan Davin telah resmi menikah dan menjadi pasangan suami istri. Pernikahan terjadi begitu cepat tanpa mereka sadari. Davin yang awalnya ingin menunggu Ana lulus kuliah terlebih dahulu tidak bisa lagi menahan diri untuk tidak memiliki gadis itu seutuhnya. Kehilangan Ana berkali-kali cukup membuat hati Davin terketuk untuk segera memiliki gadis itu. Ia juga berterima kasih pada kehidupannya yang seolah memang menginginkan seorang wanita dalam hidupnya."Kenapa senyum-senyum?"Ana tersenyum tipis, "Udah nikah loh kita," goda Ana pada Davin.Pria itu menggeleng pelan dan kembali tersenyum menyapa para undangan yang telah datang hari ini. Untuk pertama kalinya hati Davin terasa damai dan sejuk. Mulai detik ini, Ana adalah miliknya. Gadis yang dia cari sejak dulu sudah berada di sisinya sekarang. Tidak ada kebahagiaan lain yang Davin inginkan selain ini."Cantik.""Iya, ini kebaya pilihan mama," ucap Ana melihat pakaian yang dia kenak
Davin menatap lekat gadis yang menuruni tangga dengan wajah bantalnya. Rambut yang masih acak-acakkan dengan kaos yang kebesaran itu membuat Davin menggelengkan kepalanya pelan. Ini sudah pukul sembilan pagi dan gadis itu baru saja bangun tidur. Benar-benar pemalas. Davin saja rela bangun pagi buta demi mengejar penerbangan pagi ke Surabaya. Di sini lah dia sekarang, duduk di meja makan bersama Ayah Ana sejak satu jam kedatangannya tadi."Lihat anak Bapak, Vin. Jam segini baru bangun, kamu yakin mau nikahin dia?"Davin menatap Ayah Ana dan tersenyum tipis. Melihat tingkah Ana yang seperti anak kecil tentu membuatnya sedikit terganggu. Namun untuk menyesal? Tidak, Davin tidak menyesal sama sekali. Malah dia semakin berambisi untuk memiliki Ana seutuhnya sehingga bisa mendisiplinkan gaya hidup aneh gadis itu."Itu yang jadi beda, Pak."Ayah Ana menghela nafas kasar, "Aneh kamu, Vin. Pantes cocok sama anak Bapak." Lagi-lagi Davin tersenyum mendengar itu. Mat
Ana menghentikan kegiatannya bermain ponsel saat sebuah panggilan muncul di layar ponselnya. Dengan cepat dia bangkit dari tidurnya dan tersenyum senang."Halo calon suami," sapa Ana dengan cengiran khasnya."Di mana?" tanya Davin mengacuhkan sapaan Ana."Di rumah dong, kenapa?"“Udah dikirim belum katalog-nya sama Bunda?" tanya Davin kembali mengingatkan Ana tentang model kebaya yang akan dia kenalan nanti saat menikah."Udah, lagi diseleksi sama Mama.""Jangan pilih yang terbuka."Bibir Ana berkedut mendengar itu, "Tapi kayanya Mama tadi pilih yang keliatan punggungnya deh.""Jangan aneh-aneh, pakai jas hujan aja kalau macem-macem." Ana tertawa mendengar itu. Davin tidak pernah berubah. Selalu harus sesuai dengan apa yang diinginkannya. Lagipula orang tua Ana juga tidak akan membiarkannya memakai pakaian terbuka. Jangan lupakan prinsip kuno yang dipegang teguh oleh keluarganya.
Cahaya matahari yang memasuki jendela tidak membuat semua penghuni apartemen Davin beranjak untuk memulai aktivitasnya. Kejadian semalam seolah memberikan kesempatan pada mereka untuk berleha-leha sejenak. Tidak terkecuali Diva dan Laila yang tengah berbaring santai di sofa ruang tengah dengan televisi yang masih menyala.Kevin dan Bram yang tidur di karpet sejak semalam juga tidak berniat untuk bangkit, meskipun mereka sadar jika harus kembali bekerja hari ini. Mata Bram terlihat sayu dan begitu juga Kevin. Mereka berdua melihat tayangan gosip di televisi dengan tatapan jenuh."Kok mereka belum bangun ya?" gumam Laila memakan keripik kentangnya."Habis begadang semalam," jawab Kevin merebut bungkus makanan dari tangan kekasihnya."Mereka nggak aneh-aneh kan semalam?"Bram melirik Diva geli, "Maksudmu apa?""Kamu tau maksudku apa." Diva menatap suaminya kesal."Gimana mau macam-macam kalau Ana tidur di kamar tamu," sahut Kevin yang mu