"Pencurian apa?" Armando bertanya kepadaku.
Aku pun berpikir sama. Tidak mungkin aku membawa kasus pencurian patung Mesir itu ke dalam keributan tugas ini. Mungkin aku akan cari kasus yang serupa supaya aku mendapatkan sudut pandang baru mengenai kasus patung Mesir atau patung Greywacke itu.
"Umumnya pencurian bank. Namun itu case sudah umum. Aku kepikiran kita akan cari case pencurian barang seperti misalnya pencurian barang seni atau lukisan di Museum. Aku hanya teringat kasus hilangnya lukisan "Mona Lisa" sekitar awal tahun 1900an di Museum Louvre Paris. Penjahatnya mengklaim dia melakukan itu karena sikap "patriotik" yaitu mengembalikan lukisan ke negara asalnya. Namun dia juga memiliki sikap yang berlawanan dengan sikap yang "patriotik" itu. Dia malah menjual lukisan itu dibanding mengembalikannya langsung. Sangat menarik untuk dibahas dari sudut pandang psikologi," jawabku.
Ayden menjawab, "Ya memang sangat menarik. Dari sisi kriminologi juga menantang untuk mengetahui cara-cara dia melakukannya. Tapi kasus itu kasus langka. Susah mendapatkannya disini."
"Ya ada benarnya. Susah bertemu kasus-kasus itu disini". Armando terlihat berpikir dan menimpali, "Kalau kita mendapat case seperti itu, bisa jadi auto A. IPK naik deh."
Aku menghela nafas dan kami diam untuk beberapa saat. Tak lama kemudian, Alyssa berkata dengan percaya diri, "Kita tidak pernah tahu ada case kalau kita tidak bertanya kepada detektif bukan?". Kami semua menganggung mengiyakan.
"Ayahku orang partai dan aku tahu beliau punya detektif langganan untuk menginvestigasi berbagai macam masalah partai. Mungkin akan membantu kita mendapatkan case yang sesuai," kata Alyssa sambil menyilangkan tangannya.
"Oke. Lets do this!" kataku menyemangati mereka.
Kami segera melakukan diskusi mengenai topik-topik yang akan dibahas apabila sudah bertemu dengan detektif. Memang sih belum ketemu kasusnya. Tapi setidaknya kami sudah mempersiapkan dulu apabila sewaktu-waktu bertemu dengan kasusnya.
Tak terasa 2 jam berlalu dan ketua jurusan mengumumkan adanya penggantian jadwal mata kuliah selanjutnya karena dosen terkait sedang berhalangan. Horee bisa pulang cepat pikirku.
Armando mendekatiku dan berkata, "Habis ini ada acara ngga? Kudengar kuliah kalian reschedule bukan?". Aku agak terkejut mendengarnya bicara sesantai itu kepadaku. Aku terbiasa dengan cara bicara Lucas dan Alex yang menurutku cukup formal seolah-olah mereka melakukan translate bahasa di kepalanya. Jadi ketika bertemu dengan Armando, Evie, maupun teman-teman lainnya, kadang aku merasa kikuk dan grogi.
"Anna, kenapa diam? aku ada salah ngomong ya?" tanya Armando kepadaku.
"Play hard to get Anna!" pikiranku berteriak seperti itu. Nanti dikira aku gampangan. Ya aku tahu misiku memacari Armando. Tapi hey! Aku juga ingin semuanya berjalan senatural mungkin. Bagaimanapun juga ini kali pertama aku bertemu dengan Armando.
Aku menoleh ke Armando dan tersenyum, "Oh iya, habis ini aku ada acara dengan kakakku. Dia akan senang karena aku pulang lebih cepat."
"Oh.Okay. Mungkin next time. Sampai jumpa princess. Jangan lupa catatanmu kubawa dulu ya." jawab Armando terlihat menutupi kekecewaannya. Aku mengangguk dan melambaikan tangan ke arahnya.
Aku segera merogoh kantong tasku mencari hpku. Kulihat layarku dan kucari nomor Alex
"Alex. Jemput aku dong. Aku sudah selesai kuliah," kataku membuka percakapan.
"Okay. Kita langsung menuju rumah Lucas untuk mind training," jawab Alex singkat dan langsung menutup telponnya. Huft, tidak pernah basa basi.
***
Alex menjemputku dengan mobil. Memang sejak kami "bekerja" di klan, aku dan Alex mendapatkan fasilitas mobil. Aku tidak tahu menahu masalah mobil jadi aku terima saja. Alex segera membawa kami ke rumah Lucas.
Kami melewati pepohonan dan kami juga melewati "kantor" atau tempat kerja klan. Alex memutar lagu-lagu Guns N' Roses. Mobil kami berhenti di depan pagar tanaman hidup di sebelah rumah kayu kecil. Tiba-tiba sebuah kotak pos muncul di samping jendela mobil Alex. Aku terkejut melihatnya. Alex membuka jendelanya dan tak lama kemudian robot kecil keluar dari kotak pos itu dan memindai wajah Alex.
"Silakan masuk master," kata robot kecil itu. Seketika itu juga pagar tanaman hidup itu terbuka dan kami masuk ke dalamnya. Hutan pikirku. Kami melewati banyak pepohonan dan aku melihat ada beberapa binatang di dalamnya, antara lain rusa, kambing, sapi, ayam, anjing, dan beberapa hewan kecil lainnya.
"Alex, kita benar mau ke rumah Lucas?" tanyaku.
"Ya tentu saja. Ini baru halamannya," sahut Alex santai.
"Aku kira Lucas tinggal di kantor. Kantornya kan luas dan ada lapangan golf dan kolam renang juga," aku mengutarakan pikiranku pada Alex.
"Itu fasilitas untuk anggota klan. Kamu pikir Lucas mau privacy-nya digabung dengan anggota?"
Aku terdiam. Memang ada benarnya perkataan Alex. Seorang pemimpin mafia pasti memiliki tempat tinggal sendiri. Alex mengecilkan suara mp3nya.
"Anna.." kata Alex.
"Hmm.. ada apa?" tanyaku singkat
"Tolong jaga jarak dengan Lucas. Dia terlihat menyukaimu dan aku yakin perasaanmu kepadanya juga mulai tumbuh. Aku tahu itu. Tapi aku belum yakin dengannya. Dia berbahaya dan bagaimanapun dia adalah boss kita saat ini," kata Alex dengan suara tegas.
Aku mengangguk dan berkata, "Ok Alex. Akan kuusahakan."
Alex selalu menjagaku sejak kecil dan dia selalu membelalu dari setiap ejekan, bully, hinaan yang kuterima. Aku mengerti maksudnya. Aku bertaruh tidak ada kakak di dunia ini yang mau adik kesayangannya memiliki pasangan seorang mafia yang hidupnya terus ada di dalam bahaya.
Mobil kami segera melaju dan parkir di te,pat parkir di samping rumahnya. Aku dan Alex segera keluar sesudahnya.
Wow!!! Rumah bergaya minimalis bercat putih penuh kaca dengan tangga di depannya terlihat sangat nyaman. Aku membayangkan diriku dan Lucas menghabiskan waktu menyusuri setiap sudut-sudutnya dengan aktivitas kecil kami. Apalagi di lantai atas terlihat ada kolam renang dan aku yakin juga ada jacuzzi. Jantungku berdegub kencang.
Alex menghela nafas dalam-dalam dan berkata melalui pikiran, "Anna, apa yang kamu pikirkan? Fokus! Kita disini tidak untuk bersenang-senang."
Oops!! Khayalanku langsung menghilang. Aku mengambil nafas dalam-dalam mencoba meraih kesadaran penuh. Kami segera menaiki tangga menuju rumah dan Lucas membukakan pintu untuk kami.
"Hai akhirnya kalian sampai disini. Welcome to the jungle," kata Lucas terkikik. Ya memang rumahnya seperti di tengah hutan. Melihatnya lebih casual memang menyenangkan. Namun bagaimanapun juga, mata Lucas bagaikan magnet untukku. Dia melihat mataku dengan tajam dan aku menatapnya balik. Dadaku rasanya berdesir dan perutku melilit melihatnya. Lucas memakai baju merah tanpa kerah dengan celana jeans hitam sedangkan aku hanya memakai dress floral butut. Sangat kontras. Kalau menurut mitologi Yunani, mungkin dia adalah Zeus, sedangkan aku? Mungkin hanya budaknya Hera.
"Duduklah terserah dimanapun. Aku siapkan dulu minuman untuk kalian."
Lucas segera masuk ke dalam. Alex memilih duduk si kursi santai dan membuka hpnya sedangkan aku melihat-lihat foto yang terpajang di dinding. Kebanyakan foto Lucas yang sedang berkeliling dunia. Namun ada dua foto yang menarik perhatianku. Satu foto dengan bingkai putih menampilkan dia dan seorang wanita yang sangat cantik terlihat menikmati permainan jet ski bersama. Aku mengambil nafas dalam-dalam dan terlintas dalam pikiranku bahwa wanita itu pasti pacarnya. Hatiku rasanya perih. Tapi ini masih terlalu awal untuk sebuah patah hati. Aku melihat foto selanjutnya yang menarik perhatianku, yaitu foto keluarga. Dua orang tua mirip dengan Lucas yang aku tebak adalah ayah ibunya berdiri dengan Lucas dan satu orang anak laki-laki lainnya. Mereka memilki warna rambut yang sama dengan Lucas dengan fitur wajah yang mirip, sedangkan anak laki-laki di samping Lucas terlihat berbeda. Dia tidak terlalu tampan dengan rambut pirang panjang yang diikat menjadi satu ke belakang. Man bun kata orang-orang.
"Sudah selesai menatap foto-fotoku?" tiba-tiba Lucas muncul di belakangku sambil membawa sepiring garlic bread. Aku menoleh ke arahnya dan berkata, "Maaf. Aku hanya tertarik dengan foto keluargamu."
Lucas mendekatiku dan membisikkan sesuatu ke telingaku, "Suatu saat kamu akan bertemu mereka." Aku merasakan nafasnya sampai ke leherku. Aku langsung menaruh tangan di dadaku. Jantungku bergetar hebat. "Fokus Anna!" kataku pada diri sendiri.
Untungnya Alex masih sibuk dengan hpnya. Lucas menaruh garlic bread nya di meja tengah. Lucas berkata kepada kami, "Siete Pronti?" (sudah siap?)
Alex segera berdiri, merapikan bajunya, dan menjawab,"Sempre pronto." (selalu siap)
"Bisakah kalian tidak menggunakan bahasa Italia?" kataku kesal. Alex dan Lucas tertawa bersamaan. Alex menjawab, "Aku juga baru belajar Anna. Kamu bisa sebut Italiano supaya lebih singkat."
Aku kesal mendengarnya tapi tidak dapat kupungkiri bahasa itu terdengar seksi apalagi kalau Lucas yang mengatakannya.
Lucas segera berkata kepada kami, "Duduklah. Aku akan menjelaskan secara garis besar tentang teknik-teknik membaca pikiran." Aku dan Alex segera duduk di sofa yang ada di ruangan itu. Sofa itu berwarna putih seperti sofa yang ada di ruang kerja Lucas. Setelah kami duduk, Lucas pun ikut duduk.
Dia segera menekan sesuatu dalam smartwatchnya dan tiba-tiba di depan kami muncul presentasi dari sinar laser yang dihasilkan smartwatch tersebut.
Wow! pikirku. Aku tidak terlalu fokus dengan presentasinya. Aku malah fokus dengan smartwatch Lucas yang walaupun digerakkan namun tidak mengubah posisi presentasi.
Lucas berdehem lumayan kencang. Mungkin mengetahui pikiranku.
Lucas mulai berbicara, "Okay. Sekarang aku akan menerangkan sedikit mengenai mind reading atau pembacaan pikiran. Jujur aku belajar mengenai hal ini secara otodidak dari buku yang diwariskan turun temurun. Menurut buku itu, mind reader entah suatu berkat atau kutuk untuk keluarga mafioso yang berasal dari Sisilia. Menurut penelitian para nenek moyang, jumlah mind reader sangat sedikit kira-kira 2 kelahiran per generasi. Satu generasi dihitung per 10 tahun. Jadi ada kira-kira dua orang mind reader yang lahir dalam kurun waktu sepuluh tahun."
Lucas melanjutkan, "Sekarang hanya ada aku dan kalian. Kita bertiga. Mungkin karena kalian kembar jadi dihitung sebagai satu kelahiran. Bisa jadi itu penyebabnya tapi kita tetap harus waspada karena kita tidak tahu dengan kondisi orang lain."
"Ada lima level atau tingkatan mind reader seperti yang kalian lihat di presentasi. Tingkatan pertama adalah Onda atau Ombak. Kalau menurut analisaku kalian berada di level ini. Disini seorang mind reader dapat membaca pikiran semua orang tanpa pandang bulu. Alhasil rasanya pikiran seperti diserang ombak terus menerus sehingga kita terkadang tidak dapat fokus dengan apa yang kita ingin dengar. Umumnya ketika masih kecil, kita akan merasa seperti orang gila karena orang-orang berbicara siang malam dan kita tidak dapat menghentikannya. Namun seiring pertumbuhan, biasanya mind reader sudah mulai mengabaikannya sehingga suara-suara yang ada hanya seperti suara ombak. Kita mulai memfokuskan untuk mendengar pikiran ke orang-orang tertentu. Secara alami, itu akan masuk ke level 2," kata Lucas memberikan penjelasan.
Ya memang benar apa yang dikatakannya. Aku dan Alex sering dianggap gila karena pikiran orang lain yang datang bertubi-tubi.
"Jadi kita akan naik level secara alami?" tanya Alex.
Lucas menggeleng dan menjawab, "Awalnya iya. Alam mengkondisikan hal itu supaya mind reader tidak gila. Kalian saat ini hanya mendengar seperti ombak bukan?" Aku dan Alex langsung mengiyakan. Lucas melanjutkan, "Namun untuk benar-benar masuk ke level 2, kalian harus melakukan pelatihan. Kalau tidak kalian sampai mati juga akan tetap mendengar ombak itu. Sampai sini jelas?"
Aku dan Alex mengangguk.
Lucas melanjutkan, "Level 2 itu adalah Scelta atau Pilihan. Di level ini kita seperti me-mute pikiran orang-orang sehingga kita tidak akan dengar apapun kecuali kalau kita menginginkannya. Kabar baiknya kita juga dapat memblokade mind reader lain yang mencoba membaca pikiran kita. Itulah sebabnya kalian tidak bisa membaca pikiranku kecuali aku membolehkannya. Misal aku membolehkan Anna membaca pikiranku beberapa kali yang membuat pipinya memerah. Tapi selanjutnya Anna tidak bisa membaca pikiranku karena aku tidak mengijinkannya."
Aku menunduk mengingat momen-momen itu. Memalukan pikirku. Kulirik Alex, dia tampak tenang-tenang saja.
Lucas tertawa lalu berkata, "Itu tidak memalukan Anna. Aku senang melihatnya. Bukan untuk mempermalukanmu. Hanya untuk mengecek apakah perasaanmu kepadaku sebenarnya. Aku tidak mau kamu takut kepadaku." Jantungku berdebar kencang. Rasanya dunia mau runtuh. Aku malu tapi aku senang. Perasaan macam apa ini.
Tiba-tiba Alex mengalihkan pembicaraan, "Capo, boleh dilanjutkan?"
Lucas tersenyum dan berkata, "Tentu. Di level 2 ini kalian juga bisa mengirimkan pesan pikiran berupa kata-kata khusus kepada orang yang kalian tuju seperti halnya membangun saluran hanya antara kalian berdua. Jadi misal aku mengirimkan pesan pikiran kepada Alex, maka Anna tidak akan tahu."
"Untuk jarak kedua mind reader yang saling bertukar pesan tergantung kemampuan masing-masing. Dari catatan tua menunjukkan paling jauh 10 km. Namun, secara umum, pembagian jarak hanya ada dua bagian yaitu jarak dekat (kurang dari 200 m) dan jarak jauh (>200 m). Lebih gampangnya aku menyebutnya jarak bluetooth. Untuk pengiriman pesan masih dalam jangkauan jarak bluetooth, teknik yang dibutuhkan lebih simpel dengan energi yang kecil. Namun untuk menjangkau diluar jarak bluetooth, maka diperlukan teknik yang lebih rumit dengan keperluan energi yang lebih besar."
Lucas berhenti sejenak lalu melanjutkan, "Level selanjutnya adalah level Ombra atau visualisasi. Disini kalian bisa mengetahui atau melihat di pikiran kalian imajinasi orang lain. Syaratnya kalian minimal pernah berbicara dengan orang tersebut. Untuk ketentuan jarak masih sama."
Lucas melanjutkan,"Lalu level 4 adalah level Memoria atau Ingatan. Disini kalian bisa mengetahui ingatan masa lalu orang lain. Di level ini kalian membutuhkan bonding atau kedekatan khusus dengan target. Hal itu dinilai dari emosi, bisa berupa cinta, kemarahan, kekecewaan, dan lain sebagainya. Intinya emosi yang kuat akan menghasilkan bonding. Untuk jarak tergantung kekuatan, namun pada umumnya diperlukan jarak dekat untuk membaca ingatan seseorang karena energi yang diperlukan sangat besar. Mayoritas mind reader akan pingsan pertama kalinya."
Aku langsung mengajukan pertanyaan kepada Lucas, "Apa kamu juga pingsan waktu belajar level ini?"
Lucas menatap mataku dan menjawab singkat, "Ya. Dua hari."
"Berat juga pelajaran ini. Aku baru tahu ada level-levelnya," pikirku.
Lucas menatap kami bergantian dan melanjutkan, "Okay level terakhir adalah level Penetrazione atau Penetrasi. Disini mind reader bisa memasukkan pikirannya kepada benda mati dan hidup. Untuk benda mati biasa disebut telekinesis seperti yang kalian saksikan sebelumnya. Aku bisa menggerakkan benda tanpa menyentuhnya karena aku memasukkan pikiranku ke dalam benda itu," Lucas berhenti sejenak. Dia mengambil nafas dalam-dalam dan melanjutkan,
"Untuk memasukkan pikiran ke benda hidup seperti manusia umumnya disebut mind controlling. Ini adalah level yang sangat berbahaya. Kalau kalian mencobanya pertama kali dan gagal, maka akan terjadi kerusakan dalam tubuh kalian dan akibatnya kalian bisa mati. Beberapa mind reader mati sia-sia karena mencoba belajar mind controlling. Jadi akupun tidak mempelajarinya. Aku tidak mau mati sia-sia."
"Sungguh penutup yang 'menyenangkan'," pikirku.
Alex bertanya kepada Lucas, "Sejauh ini apakah ada mind reader yang bisa menguasai teknik mind controlling?"
Lucas menggeleng.
Aku merasa kikuk dan akhirnya mengambil sepotong garlic bread untuk mencairkan perasaanku. Alex mengikuti jejakku.
Lalu Lucas berbicara kepada kami berdua,"Sekarang aku mau mengajarkan kalian Scelta."
Aku dan Alex segera menghabiskan roti kecil kami.
Lucas berbicara, "Karena semuanya mengenai pikiran, maka teknik utamanya ada membayangkan dan berpikir. Anna, aku mau mencobanya dulu denganmu. Tolong fokus!"
Aku mengangguk. Lucas berkata, "Pejamkan matamu dan bayangkan kamu berada di sebuh ruangan dengan pintu yang banyak. Salah satu pintu itu adalah jalan menuju pikiranku."
Aku segera memejamkan mata dan mengikuti instruksi.
Lucas melanjutkan,"Sekarang lihat secara lebih dekat pintu itu. Kamu akan menemukan fotoku di depan pintu itu. Itu untuk memastikan bahwa kamu tidak akan salah membuka pintu. Apa kamu menemukannya?" Aku mengangguk. Lucas melanjutkan, "Sekarang coba buka pintu itu dan temukan aku di dalamnya. Bicaralah sesuatu kepadaku."
Aku mengikuti instruksinya dan aku menemukan Lucas di dalamnya. Awalya aku bingung apa yang harus aku bicarakan. Sosok Lucas dalam pikiranku menatapku tajam dan perasaanku menjadi campur aduk. Akhirnya aku memutuskan untuk mengutip kalimat dalam novel kisah cinta Edward dan Bella Cullen si vampir melalui pikiran itu dan berkata kepada sosok itu, "He's like a drug for you, Bella."
Lucas terbatuk-batuk.
Trainingku bersama Alex dan Lucas berlangsung lancar. Dibalik sosoknya yang ditakuti banyak orang, ternyata Lucas adalah sosok yang menyenangkan dan guru yang berdedikasi tinggi. Dia mengajarkan teknik-teknik secara jelas dan mudah dimengerti. Dia pun juga mewanti-wanti kami untuk terus berlatih di rumah. Selepas training, kami mengambil waktu istirahat dengan berbicara mengenai berbagai macam topik dan ajaibnya Lucas menguasai semua topik yang kami bicarakan.Sungguh pria yang cerdas.Untungnya kami sudah belajar level 2 yang artinya aku bisa memblokir orang-orang yang mau membaca pikiranku.Itu artinya Merdekaaa!!!. Namun tidak dapat dipungkiri, aku yang terjebak di dalam pembicaraan dua orang lelaki terkadang bingung mengikuti arah pembicaraan seperti halnya pembicaraan tentang olahraga, polit
Kubuka mataku dan kulihat wajah Alex yang mendekat. Aku bertanya kepadanya, "Apa yang terjadi?" Aku memegang kepalaku dan rasanya pusing. Alex memutar bola matanya kesal dan menjawabku, "Justru aku yang harus bertanya apa yang terjadi pada kalian. Aku mendapat laporan dari pelayan kalau kalian pingsan di pinggir kolam renang." "Oh itu..." aku mengingat kejadian sebelumnya. "Aduh kalau ciumanku ketahuan Alex, pasti dia akan marah.Tapi kenapa ada kilat?" Pikiranku bertanya-tanya mengenai hal itu. "Mungkin Lucas tahu sesuatu. Oh iya Lucas. Aku hampir melupakan dia." "Oh itu apa Anna? Tolong cerita semuanya kepadaku," ujar Alex dengan wajah khawatirnya. Aku membisu. Aku teringat ingatan-ingatan memori pada saat kilatan itu terjadi. "Alex, mana Lucas? Sek
Aku menjadi sibuk beberapa hari terakhir ini. Bagaimana tidak, aku harus membagi waktuku untuk beberapa hal. Di pagi hari sampai sore aku kuliah dan mengerjakan tugas, sore hari aku harus latihan fisik bersama Lily, malam hari aku terus latihan untukmind trainingyang sangat menguras energi. Weekend aku harus membagi waktuku bersama Lucas dan Armando, dua pria yang dekat denganku. Rasanya lelah namun aku menikmatinya.Selepas latihan fisik sore ini, aku beristirahat di sudut ruang olahraga dan meminum segelas air kelapa. Badanku penuh keringat mengucur. Aku berbaring di atas kursi sambil menutup mata kelelahan. Lily benar-benar serius dalam melatih fisikku. Dia menyuruhkujumping jack, push up, leg lift, sit up,karate, dan lain sebagainya. Untuk menutup latihan, pasti aku akan dipasangkan dengan seorang anggota klan baik cowok maupun cewek untuk be
"Anna, sudah bangun?" Kudengar suara Alex di luar pintu kamarku. Dia mencoba mengetok kamarku. Aku terbangun mendengar suaranya tapi rasanya masih mengantuk. Semalam aku mengucapkan selamat ulang tahun kepada Lucas dan akhirnya kami telpon semalaman.Ya hari ini adalah hari ulang tahun dan itu berarti pesta topeng akan diadakan hari ini. Aku sudah menyiapkan kado untuk Lucas walaupun mungkin tidak ada artinya dengan hadiah-hadiah yang diberikan orang lain.Aku membuka pintu dengan kusut. Begitu pintu kamarku terbuka, Alex langsung membawakanevening dressmodel A-line berwarna merah dengan brokat di bagian atasnya. Sangat cantik."Anna, ini kiriman gaun dari Lucas. Pakailah."Aku segera membuka bungkusnya dan
Kilatan-kilatan itu datang kembali kala tante Clarissa memelukku, namun kali ini berbeda. Aku seperti melihat beberapa film pendek beruntut di pikiranku.Aku melihat seorang wanita muda dan ibu muda. Aku mendekatinya namun mereka tidak dapat melihatku. Wanita muda itu menggendong dua bayi di sisi kiri kanan tangannya sedangkan di belakangnya ada sebuah koper. Aku mengenali mereka. Tante Clarissa dan Ibu Margareth."Tolong jaga mereka. Saya akan mengirimkan uang sesuai keperluan sehari-hari berapapun yang dibutuhkan," kata tante Clarissa muda dengan wajah pucat dan mata biru terang di muka sebuah pintu kayu panti asuhan."Baik bu. Kami akan menjaga mereka," jawab ibu Margareth muda."Terima kasih banyak. Mohon jangan bosan kalau saya a
"Lucas, kenapa kamu harus ikut-ikutan? Yang bertanggung jawab atas Anna adalah aku. Urusi saja urusan pestamu!" kata Armando sambil memegang jas Lucas."Ini adalah pestaku. Anna adalah salah satu tamuku walaupun dia datang bersamamu. Aku tidak mau ada hal-hal buruk terjadi di pestaku," Lucas membalas memegang kerah baju Armando.Lucas menyadari kekesalannya dan pikirannya kalut antara harus bersandiwara demi patung kuno itu atau harus berterus-terang demi Anna. Dia pun melepaskan kerah baju Armando dari genggaman tangannya. Armando juga mengikuti langkahnya."Aku melihat cara memandangmu tadi Lucas. Bukan cara pandang seorang yang baru kenal yang sampai rela memanggil dokter dan menelepon driver demi 'seorang tamu'," Armando menatap Lucas langsung di depan matanya.
Alex segera masuk ke dalam dan duduk di sampingku. Dia terdiam dan aku teringat pada saat aku menyiramnya.Tidak seharusnya aku melakukan itu.Akhirnya aku berkata kepadanya dengan muka muram, "Maaf Alex, tadi aku menyirammu." Alex langsung memelukku dan menjawab, "Aku juga minta maaf sudah berteriak kepadamu Anna." Dia mengusap-usap rambutku lalu kami melepas pelukan masing-masing dan tertawa.Mama juga tertawa melihat kami lalu beliau memalingkan wajahnya untuk menatap Alex dan berkata, "Maafkan aku Alexander. Pasti berat bagimu mengetahui kenyataan dengan cara seperti ini." Alex mengangguk dan tersenyum serta berkata, "Setidaknya aku masih memiliki orang tua bukan?" Mendengar hal itu, mata mama berbinar-binar seperti ada secercah cahaya pengharapan.Mama berkata kepada kami, "Aku bersyukur masih bisa bertemu dengan
Pagi-pagi benar, Armando mengetuk pintu hotelku. Aku segera berlari membukanya. Dia terlihat pucat pasi. Rambutnya berantakan dan pakaiannya pun berantakan. Dia tiba-tiba mendorong tubuhku ke dinding, tangan kanannya disandarkan di pundakku. Aku terkejut melihat perlakuannya."Armando, ada apa?", tanyaku sambil memandangnya cemas. Dia terdiam melihat mataku. Kurasakan entah kemarahan, kekecewaaan, bahagia, bercampur aduk menjadi satu dalam tatapan matanya. Akhirnya kuputuskan melihat visualnya. Aku mencoba berkonsentrasi walaupun Armando menatapku seperti ingin memangsaku.Bubble keluar dari kepalanya, kulihat dia menciumku dengan sangat intens dan aku juga membalas ciumannya dengan bergairah. Aku terkejut melihatnya. Kuputuskan untuk menutup bubblenya. Armando menjawabku dengan suara sengau, "Apa kamu benar-benar anak kandung tante Cla
Kediaman Clarissa, SisiliaKringgg...Clarissa segera menilik ponselnya. Tertulis nama Dea Cassano disitu.Clarissa : " Ya De"Dea : (sambil menangis sesenggukan) "Armando di rumah sakit Riz, Armando mencoba menyelamatkanku dari amukan Angelo dan Armando yang terkena hantaman kursi Angelo.Clarissa : "Astaga. Aku kesana sekarang. Tenangkan dirimu De. Waktu Angelo sudah tidak lama lagi."Dea hanya menangis sesenggukan mendengarnya lalu menutup teleponnya. Mata Clarissa berkilat tajam. Tak lama kemudian, Lucas yang meneleponnya dan menginformasikan semua plan kepada Clarissa. Clarissa tampak tersenyum bangga ketika dia mendengar bahwa Anna lah yang mengajukan rencana itu. "Anna memang mirip aku,"pikirnya bangga.Lalu dia menoleh dan berkata kepada asistennya, "Sudah waktunya. Siapkan Private Jet ke Indonesia.""Baik Madam."Asisten Clarissa segera berlalu dan Clarissa pun segera mengangangkat smartphonennya untuk menelepon Paulo. Di ujung sana Paulo segera mengangkat teleponnya
Armando dan Angelo bertengkar hebat di dalam ruang kerja Angelo sedangkan Dea Gambino hanya bisa menangis di sudut ruangan. Plak! Terdengar suara tamparan keras yang mendarat di pipi Armando. "Kamu benar-benar anak tidak tahu malu! Kamu tahu Vero itu siapa? Kamu pasti bersekongkol dengan Gambino untuk membebaskan Vero!" teriak Angelo kepada anak laki-lakinya itu. "Tentu saja aku tahu. Dia adalah kakakku!" Plak! Angelo kembali menampar anak semata wayangnya itu. Dea Cassano menangis semakin keras. Wajah Angelo memerah dan berkata kepadanya, "Dia bukan anakku! Dasar anak bodoh!" "Memang bukan anak ayah! Tapi dia anak ibuku!" Kemarahan Angelo pun menjadi tak tertahankan. Dia langsung menendang perut Armando keras-keras yang membuat pemuda itu meringkuk di tanah. Dea langsung menghampiri Armando dan berteriak ke arah Angelo, "Sudah cukup kamu menyakiti semua anak-anakku!" "Vero itu anakmu? Maksudmu?" Dea segera berdiri dan
"Ini minum dulu Lucy," ujar Lily sambil memberikan secangkir gelas berisi air putih kepada gadis yang sudah lemah lunglai itu."Terima kasih Lily.""Sama-sama," jawab Lily singkat sambil meneguk champage dalam gelas di tangannya.Lucy atau Vero itu segera menatap sekelilingnya. Tembok putih dengan jendela besar itu menarik perhatiannya. Namun sebenarnya di balik jendela itulah yang menarik perhatiannya. Lucy segera berdiri, berjalan ke arah jendela itu untuk memastikan lalu menoleh dan bertanya kepada Lily, "Itu ayam? rusa? Kita sebenarnya ada dimana? kebun binatang?"Celetuk Vero membuat Lily tertawa keras. Lily segera meneguk champagne yang ada di tangannya seraya menjawab santai,"Rumah Lucas."Vero segera berbalik dan menatap Lily, "Rumah Capo? Wow, aku ngga nyangka rumahnya sebesar ini dan Capo memelihara banyak binatang.""Iya, semua masakan dari dapurnya rata-rata diambil dari pekarangannya sendiri," jawab Lily santai.Vero meng
"Dolcezza, kamu tahu ngga kalau aku bener-bener sayang sama kamu?"Lucas menggosok punggungku dengan sabun wangi. Jacuzzi yang penuh dengan air hangat dan bunga itu membuatku merasa sangat segar dan spesial. Ditambah Lucas ada di belakangku dan sambil sesekali menciumi leherku menjadikanku merasa sangat senang.Aku berbalik ke arahnya. Tubuh atletisnya yang terlihat sangat kekar membuatku tersenyum dan berpikir, "Bagaimana aku bisa seberuntung ini?"Lucas memegang pipiku dan berkata, "Aku yang beruntung bisa mendapatkanmu. Kamu benar-benar harga berharga untukku.""Kita barusaja jadian dan aku belum mengenalmu terlalu lama," kataku berkilah."Aku tahu kalau kamu diciptakan untukku sejak aku bertemu denganmu."Aku berbalik membelakanginya kembali dan menjawabnya, "Ingat kilat itu?"Lucas tertawa mengiyakan sambil menciumi leherku. Dia menjelajah tubuhku sesuka hatinya dan setiap sentuhannya membuatku terasa ingin bercinta terus menerus
Agil datang dengan tergopoh-gopoh dengan membawa tas ransel. Sesampainya di lantai yang dituju, dia pun segera mengetuk pintu kamar hostel sesuai dengan petunjuk dari Ben.Mendengar ketukan dari pintu, Alex pun segera mengintip untuk memastikan Agil yang datang. Dia mengintip dari kaca kecil yang tersemat di pintu. Begitu mengetahui bahwa Agil yang datang, maka Alex segera membukakan pintu untuknya."Masuklah!" kata Ben sambil duduk di atas tempat tidur.Agil segera memasuki ruangan itu lalu menatap mereka bergantian. Dia berkeliling melihat kondisi kamar itu sambil bertanya kepada mereka, "Gimana hasilnya? Aman?""Duduklah dulu," kata Alex kepada Agil. Ben mengangguk dan ikut menyuruh Agil duduk di depannya. Alex pun ikut duduk melingkar bersama dengan mereka."Zac, ceritakanlah," kata Ben seraya menatap Alex yang memiliki nama angklan Zac itu.Alex menarik nafas dalam-dalam. Agil menatapnya dengan wajah penasaran. Alex pun mulai menceritak
Ben dan Alex sedang dalam penyamarannya di bakery. Mereka berdua berperan seperti seorang pasangan kakek cucu yang sedang memesan kue ulang tahun di bakery milik Angelo. Ben berperan sebagai kakek dan Alex berperan sebagai cucu yang sedang memasuki masa pubertas. Tentu saja mereka juga berdandan selayaknya kakek cucu lengkap dengan rambut palsu dan seragam SMA. Seorang pelayan wanita melihat mereka dengan tatapan tanpa curiga. Dia bersikap masa bodoh dengan penampilan Alex dan Ben. Hal ini pertanda bagus karena Alex pun juga membaca pikiran pelayan itu dan tidak menemukan sesuatu hal yang membuatnya khawatir. "Mau pesan apa? Dibawa pulang atau dimakan disini?" tanya pelayan itu sambil menatap Ben dan Alex bergantian. Alex berkata kepada Ben, "Kakek aja ah yang nentuin. Aku ngikut aja." Mendengar itu, Ben berbisik kepada Alex, "Nanti ketauan suaraku masih muda. Kamu aja yang ngomong." Alex pun mengangguk dan berkata kepada pelayan itu, "Satu ke
Aku membuka mataku dan kulihat Lucas tertidur di sampingku. Aku merasa sangat bahagia ketika mengetahui pria kekasihku itu ada di sampingku. Aku melihat ke bawah dan ternyata aku sudah dipakaikan pakaian dalam. Aku segera bangkit berdiri dan mencuci mukaku.Setelah dari tempat tidur, kumelihat hp Lucas bergetar kencang. Rasa penasaranku langsung memuncak dan kuiintip hpnya. Kulihat ada nama Armando di atasnya. Jantungku langsung berdegub kencang. Pikiranku langsung berkecamuk seperti benang ruwet.Kulihat ke arah Lucas dan kulihat wajah Lucas menjadi kesal. Dia bergumam dalam tidurnya, "Berisik ah Dolcezza. Aku masih mengantuk.""Inilah susahnya pacaran sesama mind reader," pikirku kesal. Kulihat Lucas hanya tersenyum namun matanya tetap tertutup."Ada telepon dari Armando. Kamu yang angkat atau aku yang angkat?" tanyaku langsung ke arah Lucas. Seketika itu juga mata Lucas terbuka lebar. Dia langsung bangkit berdiri, "Aku aja yang angkat
Jantungku berdegub sangat kencang ketika Lucas menjemputku dengan mobil sportnya itu. Kulihat mobilnya masuk ke dalam halaman rumahku. Dengan gayanya yang khas, Lucas keluar dari mobilnya. mataku melompat melihatnya. Dia memakai kaos putih ketat dan celana jeans biru terang. Badannya yang tegap dan atletis itu memang memiliki kharisma yang sangat kuat yang membuat jantungku melompat setiap kali bertemu dengannya. Aku merasa bahagia setiap kali aku bersamanya."Benar-benar James Dean," kataku dalam hati.Kulihat Lucas tersenyum dari kejauhan. Dia berjalan ke arahku yang membuat aku merasa dunia melambat. Dia mendekatiku, memeluk pinggangku, dan mencium bibirku dengan lembut. Sesaat kemudian dia bertanya, "Dolcezza, kamu segitu ngefansnya sama James Dean?"Perutku terasa tergelitik. Aku hampir lupa kalau dia juga mind reader. Kujawab pertanyaannya, "Iya dong, bukannya kamu reinkarnasinya James Dean?"Lucas tertawa mendengarnya dan dia mengangguk ke
Kubuka mataku dan kulihat Lucas masih tertidur di sampingku. Lucas hanya memelukku semalaman. Walaupun kami tidak berhubungan badan, namun hatiku sangat bahagia. Karena cinta tidak hanya tentang seks.Aku segera bangkit dari tempat tidur dan keluar dari kamar. Kubuka kulkas dan kuambil roti, sayuran, ikan kaleng, dan mayones. Bahan-bahan itu segera kuolah menjadi sepotong sandwich. Tak lupa aku juga menyiapkan susu segar dalam gelas. Setelah semuanya selesai, aku segera menaruh sandwich dan susu di atas nampan dan kubawa ke kamar dengan hati-hati."Buon Giorno Dolcezza, Mi Amore, (Selamat pagi Manisku, Cintaku)," sapa Lucas mengagetkanku. Lucas berdiri di depan pintu kamar. Tentu saja masih dengan rambut berantakan dan baju yang memperlihatkan dada bidangnya."Honey, kok sudah bangun?"Lucas segera mencium bibirku singkat. Dia tersenyum dan berbisik di telingaku, "Kamu ngga lupa kan kalau hari ini hari Sabtu?"Aku mengernyitkan dahi dan me