Share

20. Menyusun Rencana

Penulis: Khilyatul Aulia
last update Terakhir Diperbarui: 2024-03-19 11:48:57

Waktu berlalu begitu cepat. Tanpa terasa, sudah seminggu aku di sini. Mencoba menata hati, menyembuhkan luka, dan memulai kembali kebahagiaan bersama anak-anak, meski terasa kurang karena takada Bang Doni bersama kami.

Suamiku itu, entah bagaimana kabarnya. Sejak kejadian di rumah Mama Laely, sampai sekarang belum ada kabar darinya. Bahkan sekadar menelepon pun tidak.

Teringat saat-saat kebersamaan kami sebelum tinggal di rumah Mama Laely. Bang Doni begitu perhatian. Meski tinggal di rumah kontrakan sederhana, tetapi kami bahagia. Takada tekanan, takada hasutan, apalagi saling diam. Namun, sejak tinggal di rumah mertuaku, perlahan semua itu mulai sirna. Aku pun tak tahu entah sejak kapan, hingga Bang Doni mulai menjadi suami yang cuek dan bahkan taklagi peduli padaku.

"Dek," sapa Kak Rafka membuyarkan lamunanku.

"Iy—iya, Kak," jawabku.

"Kamu kenapa? Kok termenung? Apa kamu gak betah di sini?" tanya kakakku itu.

"Gak, Kak. Mana mungkin Risa gak betah di sini. Rumah ini adalah rumah ter
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • MERTUAKU RACUN RUMAH TANGGAKU   21. Kembali

    Bang Doni telah pulang ke rumah Mama Laely pagi tadi. Meski tampak keberatan, dia akhirnya menyetujui persyaratan yang diajukan Kak Rafka.Saat ini, aku dan Kak Rafka sedang duduk di taman belakang rumah. Kak Rafka sengaja memanggilku ke sini untuk membicarakan perihal maksud kedatangan Bang Doni kemarin. "Apa kamu sudah siap untuk kembali ke sana, Dek?" tanya Kak Rafka padaku."Sejujurnya, Risa lebih nyaman di sini, Kak," jawabku jujur. Aku benar-benar nyaman di sini, bersama orang-orang yang sayang dan peduli padaku. Di rumah orang tuaku, meski mereka takada lagi."Maaf, ya. Semalam kakak mengambil keputusan begitu saja. Kakak merasa hubungan kalian masih bisa diselamatkan. Kalian hanya kurang komunikasi satu sama lain. Sehingga sangat mudah untuk terpecah. Apalagi dengan kondisimu saat ini yang tidak stabil.""Kamu tahu, Dek? Teman-teman dan karyawan kakak sering mengeluhkan tentang ini. Kebanyakan para suami bingung, bagaimana cara menyatukan istri dan ibu mereka. Bahkan, untuk m

    Terakhir Diperbarui : 2024-03-20
  • MERTUAKU RACUN RUMAH TANGGAKU   22. Terbongkar

    Pagi ini Bang Doni cuti setengah hari karena kami akan pergi ke posyandu. Ya, Nina akan kami bawa ke posyandu pertamanya karena usianya sudah sebulan lewat beberapa hari.Kami ke posyandu berempat bersama Nia, sedangkan Rizki, tinggal di rumah bersama neneknya. Sulungku itu takmau ikut serta saat kuajak tadi. Ketika tiba di posyandu, kami menyerahkan buku KIA terlebih dahulu, lalu mengisi daftar hadir. Setelah itu, anak-anak bergiliran untuk ditimbang berat badan, diukur tinggi badan, dan lingkar kepalanya. Petugas juga memberikan makanan atau camilan untuk anak-anak, berupa was bubur kacang hijau, sup telur puyuh, atau buah-buahan.Untuk bayi seperti Nina, sekarang sudah tersedia timbangan digital dan pengukur tinggi badan khusus bayi di pusat pelayanan masyarakat itu. Sedangkan untuk Nia, sudah tersedia dua jenis timbangan yang menggunakan kain sarung dan timbangan digital dewasa, juga alat pengukur tinggi badan.Aku syok ketika tiba giliran Nina yang ditimbang. Berat badannya saat

    Terakhir Diperbarui : 2024-03-21
  • MERTUAKU RACUN RUMAH TANGGAKU   23. Tidak Terima

    "Apa maksud semua ini, Risa?" tanya Bang Doni."Abang bisa menilai sendiri dari video yang Abang lihat. Abang bahkan bisa mendengar sendiri setiap perkataan yang dilontarkan mama kepada Risa," jawabku."Ta—tapi yang diceritakan mama pada abang berbeda," ucapnya bingung."Iya, Risa tahu, Bang. Itulah sebabnya Risa takpernah menceritakan apa pun pada Abang. Risa tahu semua itu akan sia-sia, jika Abang tidak mendengar sendiri dan melihat sendiri. Yah, meskipun karena itu mental Risa yang dihajar habis-habisan," ucapku seraya berdiri membelakanginya."Maafkan abang, Ris," pinta Bang Doni yang terdengar tepat di belakangku. Bang Doni lalu memegang kedua pundakku, lalu membalikkan tubuh kurus ini hingga menghadap ke arahnya."Dek, tolong maafkan abang. Abang akan menegur mama atas perbuatannya ini. Kalau perlu kita pindah dari sini dan memulai hidup baru, meski hanya tinggal di kontrakan seperti dulu. Kamu mau, kan?" Ucapannya terdengar begitu lembut di telingaku. Dia memanggilku dengan s

    Terakhir Diperbarui : 2024-03-22
  • MERTUAKU RACUN RUMAH TANGGAKU   24. Pindah

    Hari ini adalah hari terakhir kami di rumah Mama Laely. Aku, Bang Doni, dan anak-anak sudah siap untuk pergi dari rumah ini. Tadi, pagi-pagi sekali setelah salat Subuh, Bang Doni pergi mencari mobil pick-up untuk membawa kami beserta anak-anak ke rumah kontrakan yang baru.Sebenarnya kami belum tahu akan tinggal di mana. Aku mengusulkan untuk ke rumah Kak Rafka saja, tetapi Bang Doni menolak. Dia bilang akan membawa kami ke daerah dekat tempat kerjanya. Katanya di sana lebih mudah mencari rumah kontrakan.Sebagai seorang laki-laki, tentu saja Bang Doni memiliki ego yang tinggi. Menyetujui untuk pindah ke rumah Kak Rafka, itu sama saja menginjak harga dirinya.Sembari mencari mobil, Bang Doni juga menelepon teman-temannya untuk membantunya mencari rumah. Semoga ada rumah yang bisa kami tempati hari ini juga."Ayo, Ris. Kita berangkat sekarang. Abang dan Pak Heru sudah selesai mengangkut barang-barang ke mobil," ajak Bang Doni padaku. Pak Heru-sang supir-mengangguk setuju.Bang Doni men

    Terakhir Diperbarui : 2024-03-23
  • MERTUAKU RACUN RUMAH TANGGAKU   25. Kesepian

    Hari ini kami akan pergi ke rumah sakit untuk terapi ke psikiater. Sebelumnya, setelah kami pindah, Bang Doni sudah mengurus semua administrasi kepindahan kami di sini, termasuk pelayanan faskes tingkat satu. Kemarin Bang Doni juga sudah mengambil surat rujukan di faskes tingkat satu untuk dibawa ke rumah sakit."Sudah siap semuanya?" tanya Bang Doni padaku."Sudah, Bang," jawabku. Kami pun berangkat dengan mengendarai mobil yang kami sewa lewat jasa rental dengan Bang Doni sebagai supirnya.Tiba di rumah sakit, kami pun langsung menuju ke bagian administrasi untuk melakukan pendaftaran, lalu diarahkan ke bagian psikiater dengan surat rujukan yang telah kami bawa.Setelah menunggu beberapa saat, tibalah giliran namaku yang dipanggil. Aku masuk dan duduk di depan Pak Rafly, psikiater yang menanganiku tempo lalu."Selamat datang Bu Risa, selamat datang, Pak. Bapak suaminya Bu Risa, ya?" tanya Pak Rafly."Iya, Pak," jawabku."Oh, baguslah kalau terapi kali ini didampingi oleh suaminya. B

    Terakhir Diperbarui : 2024-03-24
  • MERTUAKU RACUN RUMAH TANGGAKU   26. Sakit

    Hari ini Bang Doni bekerja seperti biasa. Sebelum berangkat, dia menyempatkan diri membantuku mencuci pakaian dan menjemurnya.Nina si bungsu mulai bisa diajak berinteraksi. Hal itu membuat Rizki dan Nia senang bermain dengan adik bungsu mereka. Meskipun hanya dibalas dengan senyuman.Saat ini mereka bertiga sedang bermain di kamar Rizki. Aku sengaja membawa Nina ke sini untuk memudahkanku mengawasi ketiganya saat aku sedang melakukan pekerjaan rumah."Adek, cilukba!" seru Rizki sembari meletakkan kedua telapak tangannya di muka dan membuka telapak tangannya kembali."Cicak dindindin, diam layap-layap. Datang ekol nyamuk, hap! Lalu tangkapkan!" nyanyi Nia takmau kalah."Hahaha, salah, Dek. Bukan gitu nyanyinya," kata Rizki."Bialin. Memang Kakak bica?" tantang Nia pada kakaknya dengan omongan yang cadel. Sedangkan Nina yang menjadi objek perhatian mereka, tertawa melihat tingkah kedua saudaranya yang mungkin dianggap sedang bermain dengannya.Aku bahagia melihat interaksi ketiga anakk

    Terakhir Diperbarui : 2024-03-25
  • MERTUAKU RACUN RUMAH TANGGAKU   27. Menyesal

    Sudah satu minggu Mama Laely dirawat di rumah sakit. Namun, Bang Doni masih enggan untuk datang menjenguknya. Hal ini membuat hatiku taktenang. Aku takut Bang Doni akan menyesal di kemudian hari.Bukan bermaksud mendoakan hal buruk, tetapi usia manusia takada yang tahu. Kondisi Mama Laely saat ini, membuatku berpikir yang tidak-tidak. Aku terus kepikiran soal kondisi mertuaku itu, juga hubungannya dengan Bang Doni. Bagaimana kalau Mama Laely pergi saat mereka belum saling memaafkan, bahkan belum saling jumpa sejak kejadian malam itu.Agh, apa ini salahku? Karena aku, ibu dan anak itu bertengkar. Apa yang harus kulakukan? Aku harus bagaimana?Oh, iya, Rani. Aku harus menelepon Rani. Baiklah, aku akan meneleponnya sekarang. Mumpung anak-anak juga sedang tidur siang semua. Semoga Rani tidak sibuk. Kulihat jarum jam menunjukkan pukul 12.45 Wib. Semoga saat ini Rani sedang istirahat, jadi aku bisa berbicara dengannya.Tuutt tuuttt tuutttt(Nomor yang anda tuju-)Ternyata Rani tidak menga

    Terakhir Diperbarui : 2024-03-26
  • MERTUAKU RACUN RUMAH TANGGAKU   28. Sekarat

    Sejatinya, kehidupan dan kematian adalah kodrat manusia. Takada manusia yang hidup abadi, begitu pun takkan ada kematian jika takada kehidupan.Pagi ini kami bersiap-siap untuk berangkat ke rumah sakit tempat Mama Laely dirawat. Jam empat subuh tadi, Rani menelepon. Dia mengabarkan keadaan mamanya yang semakin memburuk.Gadis yang kesehariannya bekerja sebagai admin sebuah bank itu terdengar sangat sedih. Bagaimana tidak, seperti apapun perbuatan orang tua kita, bahkan seburuk apapun seorang ibu, bagi anaknya, dia adalah sosok yang takakan pernah tergantikan oleh siapa pun.Aku juga melihat kesedihan di mata Bang Doni. Laki-laki itu tampak berusaha menutupinya, meski masih terlihat olehku. Ya, begitulah laki-laki, lebih suka menutupi luka seorang diri. Aku paham, mungkin Bang Doni masih berusaha untuk menjaga perasaanku. Hingga ia takada sedikit pun menyinggung akan pergi menjenguk mamanya yang sudah sekarat. Namun, aku bukanlah siapa-siapa yang dengan keras hati takmau memaafkan ora

    Terakhir Diperbarui : 2024-03-28

Bab terbaru

  • MERTUAKU RACUN RUMAH TANGGAKU   30. Merajut Kembali

    Kami telah sampai di rumah orang tuaku, tepatnya sekarang rumah Kak Rafka. Anak-anak terlihat begitu antusias. Begitu mobil berhenti, mereka dengan taksabar berebutan untuk segera keluar dan berlari ke rumah.Aku yang baru saja keluar dari mobil dan melihat mereka berlarian, dengan spontan berteriak, "Rizki, Nia, pelan-pelan jalannya. Anak-anak, hati-hat–""Udah, biarkan saja, Dek," kata Bang Doni memotong ucapanku.Aku menoleh dan melotot ke arah Bang Doni yang telah berdiri di belakangku. Merasa kesal karena dia memotong perkataanku untuk memberi peringatan pada anak-anak."Abang! Ih, bikin kesel!" tandasku cemburut, memonyongkan bibir, dan bersedekap tanda aku marah padanya.Bang Doni hanya tersenyum melihat tingkahku, dia berjalan mendekat dan mengelus kepalaku. Suamiku itu lalu mendekatkan bibirnya ke telingaku, dan berbisik, "Cantik banget kalau lagi manyun gitu, Dek. Jadi pengen di sosor.""Abang! Emangnya Risa bebek?!" Kupukul pelan lengannya karena kesal sekaligus malu menden

  • MERTUAKU RACUN RUMAH TANGGAKU   29. Sembuh

    Seminggu sudah kepergian Mama Laely. Sudah satu minggu pula aku tinggal di rumah peninggalan mertuaku. Selain untuk menyambut tamu yang datang melayat, kami tetap di sini sementara waktu untuk menemani Rani. Sedangkan Bang Doni, sejak jatah cutinya habis tiga hari yang lalu, dia berangkat kerja dari sini."Dek, kamu mau tetap di sini apa pulang ke rumah kita?" tanya Bang Doni pagi ini, ketika membantuku memasak dan membereskan dapur.Akhir-akhir ini, Bang Doni lebih sering memanggilku dengan panggilan adek saat kami berdua. Dia juga lebih rajin membantu pekerjaanku, juga mengurus anak-anak."Risa terserah Abang saja, tapi Risa ada jadwal ke psikolog besok. Menurut Abang, bagusnya gimana?" "Hhmmm, bagusnya besok kita ke rumah sakit dari sini saja.""Tapi, kan, kita belum minta surat rujukan dari klinik faskes pertama di tempat tinggal kita sekarang. Gimana, dong?"Oh, ya, udah. Nanti Abang ke klinik jam istirahat kerja. Sekalian mengambil berkas yang belum kebawa. Adek belum bawa semu

  • MERTUAKU RACUN RUMAH TANGGAKU   28. Sekarat

    Sejatinya, kehidupan dan kematian adalah kodrat manusia. Takada manusia yang hidup abadi, begitu pun takkan ada kematian jika takada kehidupan.Pagi ini kami bersiap-siap untuk berangkat ke rumah sakit tempat Mama Laely dirawat. Jam empat subuh tadi, Rani menelepon. Dia mengabarkan keadaan mamanya yang semakin memburuk.Gadis yang kesehariannya bekerja sebagai admin sebuah bank itu terdengar sangat sedih. Bagaimana tidak, seperti apapun perbuatan orang tua kita, bahkan seburuk apapun seorang ibu, bagi anaknya, dia adalah sosok yang takakan pernah tergantikan oleh siapa pun.Aku juga melihat kesedihan di mata Bang Doni. Laki-laki itu tampak berusaha menutupinya, meski masih terlihat olehku. Ya, begitulah laki-laki, lebih suka menutupi luka seorang diri. Aku paham, mungkin Bang Doni masih berusaha untuk menjaga perasaanku. Hingga ia takada sedikit pun menyinggung akan pergi menjenguk mamanya yang sudah sekarat. Namun, aku bukanlah siapa-siapa yang dengan keras hati takmau memaafkan ora

  • MERTUAKU RACUN RUMAH TANGGAKU   27. Menyesal

    Sudah satu minggu Mama Laely dirawat di rumah sakit. Namun, Bang Doni masih enggan untuk datang menjenguknya. Hal ini membuat hatiku taktenang. Aku takut Bang Doni akan menyesal di kemudian hari.Bukan bermaksud mendoakan hal buruk, tetapi usia manusia takada yang tahu. Kondisi Mama Laely saat ini, membuatku berpikir yang tidak-tidak. Aku terus kepikiran soal kondisi mertuaku itu, juga hubungannya dengan Bang Doni. Bagaimana kalau Mama Laely pergi saat mereka belum saling memaafkan, bahkan belum saling jumpa sejak kejadian malam itu.Agh, apa ini salahku? Karena aku, ibu dan anak itu bertengkar. Apa yang harus kulakukan? Aku harus bagaimana?Oh, iya, Rani. Aku harus menelepon Rani. Baiklah, aku akan meneleponnya sekarang. Mumpung anak-anak juga sedang tidur siang semua. Semoga Rani tidak sibuk. Kulihat jarum jam menunjukkan pukul 12.45 Wib. Semoga saat ini Rani sedang istirahat, jadi aku bisa berbicara dengannya.Tuutt tuuttt tuutttt(Nomor yang anda tuju-)Ternyata Rani tidak menga

  • MERTUAKU RACUN RUMAH TANGGAKU   26. Sakit

    Hari ini Bang Doni bekerja seperti biasa. Sebelum berangkat, dia menyempatkan diri membantuku mencuci pakaian dan menjemurnya.Nina si bungsu mulai bisa diajak berinteraksi. Hal itu membuat Rizki dan Nia senang bermain dengan adik bungsu mereka. Meskipun hanya dibalas dengan senyuman.Saat ini mereka bertiga sedang bermain di kamar Rizki. Aku sengaja membawa Nina ke sini untuk memudahkanku mengawasi ketiganya saat aku sedang melakukan pekerjaan rumah."Adek, cilukba!" seru Rizki sembari meletakkan kedua telapak tangannya di muka dan membuka telapak tangannya kembali."Cicak dindindin, diam layap-layap. Datang ekol nyamuk, hap! Lalu tangkapkan!" nyanyi Nia takmau kalah."Hahaha, salah, Dek. Bukan gitu nyanyinya," kata Rizki."Bialin. Memang Kakak bica?" tantang Nia pada kakaknya dengan omongan yang cadel. Sedangkan Nina yang menjadi objek perhatian mereka, tertawa melihat tingkah kedua saudaranya yang mungkin dianggap sedang bermain dengannya.Aku bahagia melihat interaksi ketiga anakk

  • MERTUAKU RACUN RUMAH TANGGAKU   25. Kesepian

    Hari ini kami akan pergi ke rumah sakit untuk terapi ke psikiater. Sebelumnya, setelah kami pindah, Bang Doni sudah mengurus semua administrasi kepindahan kami di sini, termasuk pelayanan faskes tingkat satu. Kemarin Bang Doni juga sudah mengambil surat rujukan di faskes tingkat satu untuk dibawa ke rumah sakit."Sudah siap semuanya?" tanya Bang Doni padaku."Sudah, Bang," jawabku. Kami pun berangkat dengan mengendarai mobil yang kami sewa lewat jasa rental dengan Bang Doni sebagai supirnya.Tiba di rumah sakit, kami pun langsung menuju ke bagian administrasi untuk melakukan pendaftaran, lalu diarahkan ke bagian psikiater dengan surat rujukan yang telah kami bawa.Setelah menunggu beberapa saat, tibalah giliran namaku yang dipanggil. Aku masuk dan duduk di depan Pak Rafly, psikiater yang menanganiku tempo lalu."Selamat datang Bu Risa, selamat datang, Pak. Bapak suaminya Bu Risa, ya?" tanya Pak Rafly."Iya, Pak," jawabku."Oh, baguslah kalau terapi kali ini didampingi oleh suaminya. B

  • MERTUAKU RACUN RUMAH TANGGAKU   24. Pindah

    Hari ini adalah hari terakhir kami di rumah Mama Laely. Aku, Bang Doni, dan anak-anak sudah siap untuk pergi dari rumah ini. Tadi, pagi-pagi sekali setelah salat Subuh, Bang Doni pergi mencari mobil pick-up untuk membawa kami beserta anak-anak ke rumah kontrakan yang baru.Sebenarnya kami belum tahu akan tinggal di mana. Aku mengusulkan untuk ke rumah Kak Rafka saja, tetapi Bang Doni menolak. Dia bilang akan membawa kami ke daerah dekat tempat kerjanya. Katanya di sana lebih mudah mencari rumah kontrakan.Sebagai seorang laki-laki, tentu saja Bang Doni memiliki ego yang tinggi. Menyetujui untuk pindah ke rumah Kak Rafka, itu sama saja menginjak harga dirinya.Sembari mencari mobil, Bang Doni juga menelepon teman-temannya untuk membantunya mencari rumah. Semoga ada rumah yang bisa kami tempati hari ini juga."Ayo, Ris. Kita berangkat sekarang. Abang dan Pak Heru sudah selesai mengangkut barang-barang ke mobil," ajak Bang Doni padaku. Pak Heru-sang supir-mengangguk setuju.Bang Doni men

  • MERTUAKU RACUN RUMAH TANGGAKU   23. Tidak Terima

    "Apa maksud semua ini, Risa?" tanya Bang Doni."Abang bisa menilai sendiri dari video yang Abang lihat. Abang bahkan bisa mendengar sendiri setiap perkataan yang dilontarkan mama kepada Risa," jawabku."Ta—tapi yang diceritakan mama pada abang berbeda," ucapnya bingung."Iya, Risa tahu, Bang. Itulah sebabnya Risa takpernah menceritakan apa pun pada Abang. Risa tahu semua itu akan sia-sia, jika Abang tidak mendengar sendiri dan melihat sendiri. Yah, meskipun karena itu mental Risa yang dihajar habis-habisan," ucapku seraya berdiri membelakanginya."Maafkan abang, Ris," pinta Bang Doni yang terdengar tepat di belakangku. Bang Doni lalu memegang kedua pundakku, lalu membalikkan tubuh kurus ini hingga menghadap ke arahnya."Dek, tolong maafkan abang. Abang akan menegur mama atas perbuatannya ini. Kalau perlu kita pindah dari sini dan memulai hidup baru, meski hanya tinggal di kontrakan seperti dulu. Kamu mau, kan?" Ucapannya terdengar begitu lembut di telingaku. Dia memanggilku dengan s

  • MERTUAKU RACUN RUMAH TANGGAKU   22. Terbongkar

    Pagi ini Bang Doni cuti setengah hari karena kami akan pergi ke posyandu. Ya, Nina akan kami bawa ke posyandu pertamanya karena usianya sudah sebulan lewat beberapa hari.Kami ke posyandu berempat bersama Nia, sedangkan Rizki, tinggal di rumah bersama neneknya. Sulungku itu takmau ikut serta saat kuajak tadi. Ketika tiba di posyandu, kami menyerahkan buku KIA terlebih dahulu, lalu mengisi daftar hadir. Setelah itu, anak-anak bergiliran untuk ditimbang berat badan, diukur tinggi badan, dan lingkar kepalanya. Petugas juga memberikan makanan atau camilan untuk anak-anak, berupa was bubur kacang hijau, sup telur puyuh, atau buah-buahan.Untuk bayi seperti Nina, sekarang sudah tersedia timbangan digital dan pengukur tinggi badan khusus bayi di pusat pelayanan masyarakat itu. Sedangkan untuk Nia, sudah tersedia dua jenis timbangan yang menggunakan kain sarung dan timbangan digital dewasa, juga alat pengukur tinggi badan.Aku syok ketika tiba giliran Nina yang ditimbang. Berat badannya saat

DMCA.com Protection Status