Share

MERTUAKU RACUN RUMAH TANGGAKU
MERTUAKU RACUN RUMAH TANGGAKU
Author: Khilyatul Aulia

1. Kedatangan

last update Last Updated: 2024-03-05 12:47:26

Biduk Berbisa

Part 1. Kedatangan

Pagi ini udara terasa dingin. Hujan deras yang mengguyur kota tempat tinggalku semalaman menyisakan embun di dedaunan, juga genangan air di jalan depan rumah.

Aku bangun dengan malas. Kehamilan ketiga ini benar-benar mengujiku. Morning sickness menjadi santapanku setiap hari. Badan terasa lemas setelah mengeluarkan semua isi perut dari lambung, meski belum makan apapun. Namun, sebagai ibu yang memiliki hampir tiga orang anak, aku harus tetap menjalankan peranku.

Setelah selesai menunaikan kewajiban dua rakaat, aku bergegas ke dapur untuk membuat sarapan, sebelum Rizki dan Nia—putra-putriku bangun. Pagi ini aku hanya membuat nasi goreng dengan toping telur mata sapi dan irisan mentimun saja.

Hari ini akan menjadi akhir minggu yang sibuk untukku, karena kemarin ibu mertuaku menelpon, mengatakan akan datang ke rumah kami sore nanti. Hal yang harus aku ingat, meski kami masih tinggal di satu kabupaten yang sama, dan jarak rumah kami hanya satu jam perjalanan, tetapi Mama Laely—mertuaku biasanya selalu menginap di rumah kontrakan kami selama minimal tiga hari. Untuk itu, aku harus mempersiapkan segala sesuatunya agar terlihat sempurna dan tidak menimbulkan cemoohan dari mulutnya.

"Bunda.” Gadis kecilku memanggil. Ternyata Nia sudah bangun dan menghampiriku ke dapur.

"Halo, assalamualaikum Anak soleha bunda. Pinternya bangun gak pakai nangis lagi. Pipis dulu, yuk! Gak ngompol, kan?" tanyaku padanya.

"Gak. Dede udah becal, gak nompol lagi," celoteh bocah dua setengah tahun itu membuatku gemas.

(Gak. Dede udah besar, gak ngompol lagi.)

"Anak bunda gitu, lho!"

"Gak, dede anak ayah!" rajuknya.

"Hahaha iya, deh," jawabku. Sebuah kesenangan tersendiri untukku melihat wajah cemberutnya saat mengatakan bahwa dia anak ayah. Nia memang lebih dekat dengan ayahnya, terlebih setelah aku mengandung sekarang. Begitu pun dengan Bang Doni—suamiku yang lebih memanjakannya, mungkin karena dia anak perempuan. Yah, meskipun sebenarnya Nia lebih banyak menghabiskan waktu bersamaku.

Setelah Nia, Rizki pun ikut bangun. Dia segera membersihkan badan di kamar mandi. Usai mandi, aku menyuruh putraku itu untuk memanggil ayahnya yang duduk di teras untuk ikut sarapan.

Saat tengah sarapan, Bang Doni bertanya padaku, "Mama jadi ke rumah, Bun?"

"Iya, nanti sore, Yah," jawabku. "Ayah ke mana rencananya hari ini?" tanyaku padanya.

"Gak ada, mau di rumah aja, capek."

"Bisa bantu jagain Nia, dong?"

"Ah, gak gak! Orang mau istirahat di kamar, kok, disuruh jaga anak. Kamu gak tahu apa akutuh udah kerja lima hari, ditambah lembur sehari, masa cuma libur sehari gak bisa santai di rumah. Itukan tugasmu yang cuma di rumah aja!" cecarnya. Bang Doni lantas pergi setelah menghabiskan kopinya yang telah kupersiapkan juga.

Aku hanya mendesah pasrah karena takingin ada keributan di pagi hari. Bang Doni selalu menganggap tugasnya sebagai kepala rumah tangga hanya sebatas mencari nafkah saja. Terlebih setelah aku tidak berjualan kue lagi, dia seolah menutup mata dengan semua kerepotanku di rumah.

“Ayah!” rengek Nia. “Dede mau sama Ayah.”

Bang Doni berbalik karena mendengar rengekan putrinya.

“Iya, deh. Ayo, sini sama ayah,” sahut Bang Doni dengan wajah terpaksa dan membawa Nia bersamanya.

Anehnya, meski begitu, Nia begitu dekat dengan ayahnya. Ah, entahlah, aku taktahu apa ini hanya berlaku di keluargaku saja atau semua suami berprilaku seperti itu. Bang Doni adalah tipikal suami yang cuek pada istri, tetapi takbisa menolak permintaan anaknya, terutama Nia.

Hari beranjak siang, badanku terasa lelah karena sejak selesai sarapan tadi, aku langsung melanjutkan pekerjaan rumah dan belum sempat mengistirahatkan tubuh. Beruntung anak-anak bersikap baik hari ini, sehingga tidak menambah pekerjaanku. Kehamilan kali ini juga membuat tubuhku cepat lelah,berbeda dengan saat mengandung Rizki dan Nia. Saat itu aku masih sanggup untuk tetap berjualan.

Karena waktu makan siang sudah dekat, aku memutuskan untuk membeli lauk jadi saja untuk makan siang kami. Aku juga membeli ayam bakar dan aneka kue untuk makan malam nanti bersama Mama Laely. Sesekali menjamu mertua rasanya tidak masalah, meski dengan begitu akan menghabiskan jatah belanjaku untuk dua hari. Biasanya mertuaku itu akan sampai ke sini tepat di jam makan malam.

Sebenarnya saat ini kami sedang menghemat pengeluaran karena sedang menabung untuk biaya masuk sekolah Rizki beberapa bulan lagi. Juga untuk biaya persalinanku. Bulan ini kami juga hanya mengirimkan separuh saja jatah belanja untuk Mama Laely. Mungkin itu sebabnya mertuaku itu datang ke sini.

Ucapan salam disertai ketokan pintu terdengar tepat saat aku dan anak-anak selesai membereskan mainan mereka yang kesekian kali. Aku menghela napas lega karena mertuaku itu datang di saat yang tepat, setelah aku selesai membereskan semuanya. Aku menyuruh Rizki memanggil ayahnya yang masih betah di kamar, setelah selesai salat Asar tadi.

"Mama, sehat, Ma?" tanyaku berbasi-basi sembari mengambil tangan mertua untuk bersalaman.

"Sehat, dong! Kalau gak sehat mana mungkin bisa sampai ke sini," ketusnya.

"Hehe, iya, Ma," balasku kikuk.

Bang Doni menghampiri kami dan menyambut mamanya. Mama Laely terlihat begitu bahagia saat anaknya yang mengulurkan tangan padanya.

Aku beranjak ke dapur untuk membuatkan minuman.

Saat sampai di ruang tamu, Mama Laely langsung mengkritik penampilanku. "Risa, kamu itu dandan sedikit kenapa, sih? Baju kucel, muka kusut. Sudah sore begini, kok, belum mandi. Nanti Doni bosan sama kamu baru tahu rasa!" hardiknya padaku.

"Iya, Ma. Tadi Risa sibuk, jadi belum sempat mandi. Kalau gitu, Risa mandi dulu, ya, Ma. Udah mau Magrib juga, nih," jawabku.

Untung saja anak-anak sudah kumandikan setelah Asar tadi, kalau belum, pasti akan menambah panjang daftar keburukanku di depan mertua.

Selesai mandi dan salat Magrib, aku langsung ke dapur menyiapkan makan malam. Ketika mengeluarkan ayam bakar dan aneka kue yang kubeli tadi, tiba-tiba suara Mama Laely mengagetkanku.

"Ya, ampun, Risa! Kamu itu, ya, kok, boros banget jadi istri. Gak mikir apa suamimu susah payah cari uang? Kamu malah beli makanan sebanyak ini?!" sentak mertuaku.

Aku yang sudah merasa lelah setelah seharian berkutat dengan semua pekerjaan rumah, takbisa menahan diri untuk tidak menjawab cercaan mertuaku. "Ma, Risa beli ini semua karena Mama mau datang. Niat Risa untuk membahagiakan Mama, menjamu Mama dengan makanan enak. Lagipula, kami gak setiap hari, kok, beli makanan enak begini. Malah bisa dibilang makan apa adanya. Kalau Mama gak suka, ya, udah. Untuk Mama, Risa ceplokkan telur aja!" balasku kesal.

Mertuaku yang dasarnya takmau kalah, lantas menjawab, "Hee, udah berani menjawab omonganku kamu, ya?! Enak aja, sini, biar mama yang bawa makanannya ke ruang tengah. Dapur kalian sempit, gak nyaman nanti mama makan di sini. Udah dibilang pindah aja ke rumah mama, tapi kamu ngotot gak mau, malah milih tinggal di kontrakan sempit gini."

"Hmm iya, Ma," jawabku kemudian. Aku tahu, berdebat dengan Mama Laely tidak akan ada habisnya. Lebih baik aku melanjutkan mempersiapkan makan malam kami saja.

Kami makan di ruang tengah yang sekaligus menjadi ruang tamu karena memang begitulah adanya. Rumah yang kami tempat ini hanya terdiri dari satu ruang tamu, dua kamar yang letaknya sejajar, dapur minimalis, dan kamar mandi. Bagian depan terdapat teras dan halaman yang tidak terlalu luas, cukup untukku menjemur pakaian dan memarkirkan motor kami. Meski kecil dan masih mengontrak, tetapi aku merasa lebih nyaman di sini daripada tinggal di rumah mertua yang jauh lebih besar dan luas.

"Enak ayamnya, Ma?" tanyaku pada Mama Laely yang sedang asik menghabiskan paha ayam bagiannya.

"Uhuk-uhuk, enak. Eh, iya, enak, Risa," jawab Mama Laely malu-malu.

"Kenapa, sih?" tanya Bang Doni heran.

Aku pun hanya tersenyum mendengarnya.

Related chapters

  • MERTUAKU RACUN RUMAH TANGGAKU   2. Ketahuan

    2. Ketahuan"Ris, tadi kamu ribut, ya, sama mama?" tanya Bang Doni saat kami sudah berada di kamar. "Ribut apa? Gak ada, tuh. Aku cuma menjelaskan apa yang harusnya mama tahu aja. Gak salah, kan?" jawabku. Pasti mertuaku itu sudah mengadu yang tidak-tidak pada anaknya. "Mama bilang kamu udah berani melawan dia. Kamu harusnya diam aja, gak usah menjawab mama. Udah tahu mama begitu, masih juga diladeni," ucapnya."Iya, nanti aku diam aja mau mama bilang apapun. Udah, ah, aku mau tidur, capek, gak ada istirahat seharian. Badanku juga mudah lelah semenjak hamil ketiga ini. Hhhmm, sebenarnya aku juga bingung, kenapa tadi seberani itu sama mama. Apa mungkin bawaan hamil, ya, aku jadi gampang tersulut emosi?" tanyaku pada diri sendiri."Ya, mana aku tahu. Yang hamil, kan, kamu. Bukan aku.""Ish, aku ngomong sama diri sendiri, kok. Bukan sama Abang.""Aneh?! Mama udah tahu belum kalau kamu hamil?""Aku belum bilang, sih. Takut mama malah ngomong yang enggak-enggak. Nanti malah bikin aku dow

    Last Updated : 2024-03-05
  • MERTUAKU RACUN RUMAH TANGGAKU   3. Permintaan

    Sejak kejadian kemarin, aku lebih banyak diam. Kemarin, setelah mendengar perkataan Mama Laely, aku langsung masuk ke kamar, tanpa menjawab sepatah kata pun. Sempat terdengar olehku suara perdebatan antara Mama Laely dan Bang Doni, tetapi takada keinginan untuk bertanya apa pun padanya.Seperti biasa, keseharianku tidak jauh-jauh dari dapur, sumur, dan kasur. Mama Laely beberapa kali tertangkap sedang memperhatikan aktifitasku. Namun, aku bersikap seolah tidak melihat kehadirannya.Sejujurnya, aku menyayangi Mama Laely. Bagaimana pun, dia adalah ibu dari suamiku. Namun, sejak awal hubungan kami memang tidak baik. Mama Laely pernah bercerita bahwa dulu Bang Doni sempat dijodohkan dengan salah seorang anak sahabatnya. Anak seorang juragan sawit di Kota Pekanbaru. Apalah aku yang hanya seorang anak yang terlahir dari penjual roti dan kue. Meski sekarang, di tangan kak Rafka, usaha itu telah sukses.Mama Laely juga pernah berkata padaku, bahwa selamanya anak laki-laki itu adalah milik ibu

    Last Updated : 2024-03-05
  • MERTUAKU RACUN RUMAH TANGGAKU   4. Pindah

    Hari ini Mama Laely akan pulang ke rumahnya. Hari ini juga Bang Doni akan memberitahukan ke Mama Laely keputusannya. Sampai saat ini, aku masih berharap Bang Doni akan menolak keinginan Mama Laely untuk kepindahan kami ke sana.Saat ini kami sedang berkumpul di ruang tengah untuk sarapan. Tadi aku sudah membuat mie lidi goreng dengan toping kerupuk merah untuk sarapan kami. Taklupa kusuguhkan juga secangkir teh melati kesukaan Mama Laely dan kopi hitam untuk Bang Doni. Hidangan untuk sarapan pun telah tersaji di hadapan kami.Rencananya setelah sarapan, Bang Doni akan mengantar Mama Laely ke loket agen travel, sekalian berangkat kerja. Sedangkan Rizki, aku yang akan mengantarnya ke sekolah taman kanak-kanak, dengan berjalan kaki karena jaraknya takjauh dari rumah kami.Setelah membaca doa sebelum makan, kami pun menikmati makanan yang tersaji. Takada yang bersuara saat makan karena aku dan Bang Doni memang sepakat dan mengajarkan anak-anak kami untuk tidak bersuara saat makan."Ma," p

    Last Updated : 2024-03-05
  • MERTUAKU RACUN RUMAH TANGGAKU   5. Menjadi Budak

    Hari-hari yang kulewati di rumah mertua sangat melelahkan. Bukan hanya fisik, tetapi juga hati. Rasanya apa pun yang kulakukan takada yang benar di mata Mama Laely.Setiap hari, saat jam menunjukkan pukul empat pagi, jika aku tidak segera keluar kamar, Mama Laely akan membuat kegaduhan di depan kamarku. Entah sengaja menghentak-hentakkan kakinya yang memakai sandal ke lantai, kadang membangunkan Rizki yang tidur di sebelah kamar kami dengan berteriak, bahkan takjarang terdengar suara wajan dan sutil besi yang sengaja diadu.Sedangkan aku, di kehamilan yang semakin membesar, pergerakanku semakin terbatas. Aku juga semakin cepat merasakan kelelahan. Namun, Mama Laely takmau tahu akan kondisiku. Jika aku melawan atau menjawab perkataannya, maka mertuaku itu akan mengadu yang tidak-tidak pada Bang Doni."Rizki! Nia! Cepat bereskan semua mainan kalian ini! Nenek nggak suka rumah nenek jadi berantakan seperti ini karena kalian, paham!" Terdengar suara bentakan Mama Laely pada anak-anakku di

    Last Updated : 2024-03-05
  • MERTUAKU RACUN RUMAH TANGGAKU   6. Masalah Keuangan

    Pagi ini Rani menghampiriku saat aku sedang memasukkan pakaian ke dalam pengering mesin cuci. Gadis berkulit kuning langsat dengan rambut lurus sebahu itu tampak telah rapi dan cantik mengenakan kemeja putih dengan blazer berwarna hitam dan rok berwarna senada sebatas lutut. Wajahnya dipoles dengan make up tipis dan lipstik berwarna nude, menambah anggun penampilannya."Kak Risa, lagi nyuci, ya?" tanyanya berbasa-basi."Iya, Ran. Tumben datangin kakak pagi gini. Bukannya kamu udah mau berangkat kerja?" tanyaku balik padanya."Iya, Kak. Rani cuma mau bilang, kamar Rani gak usah Kakak bersihin, biar Rani yang bersihin sendiri. Baju kotor Rani juga, biar Rani aja yang nyuci sendiri. Kakak, kan, lagi hamil, pasti capek ngerjain semuanya sendiri. Maaf, ya, kalau mama menyuruh Kakak mengerjakan semuanya sendiri," ucapnya."Tapi kalau nanti mama nanya, gimana?" "Bilang aja kamar Rani terkunci, jadi Kakak gak bisa masuk. Pakaianku juga kusimpan di kamar aja, biar mama gak bisa nyuruh Kakak m

    Last Updated : 2024-03-08
  • MERTUAKU RACUN RUMAH TANGGAKU   7. Melahirkan

    Hari ini badanku terasa taknyaman. Tadi malam Nia sakit, badannya panas, tidurnya mengingau, dan dia sama sekali takingin kulepas hingga aku takbisa tidur meski sebentar saja. Untungnya, setelah kuberi obat penurun panas, suhu tubuhnya berangsur normal kembali.Seperti biasa, karena tadi aku terlambat bangun dan keluar dari kamar, mertuaku memberi pekerjaan rumah yang banyak sekali, disertai omelan yang panjang.Bukan hanya membersihkan seisi rumah, Mama Laely juga menyuruhku mengganti semua gorden di rumah ini, dan mencucinya juga. Alasannya karena sejak kami tinggal di sini, kurang lebih sudah sekitar lima bulan, aku belum pernah mencuci gorden di rumah ini sekali pun.Sebenarnya takjadi masalah untukku mencucinya, hanya saja di kehamilan yang sudah memasuki bulan ke sembilan ini, menyulitkanku untuk melakukan itu.Beruntung berat tubuhku tidak terlalu berisi, bahkan bisa dibilang kurus untuk ukuran ibu hamil, sehingga aku masih bisa memanjat kursi untuk membongkar dan memasangnya.

    Last Updated : 2024-03-09
  • MERTUAKU RACUN RUMAH TANGGAKU   8. ASI VS SUFOR

    Aku bercengkrama bersama Papa dan Mama di sebuah taman. Taman ini, seperti taman di dekat rumah kami, tempat aku bermain semasa kecil. Namun, taman ini terlihat lebih indah. Bahkan, lebih tepatnya sangat indah. Bunga-bunga bermekaran penuh warna, mengeluarkan aroma harum mewangi. Di atasnya, kupu-kupu hilir-mudik mengepakkan sayapnya yang berwarna-warni, lalu singgah dan menghisap nektar bunga. Aneka mainan anak-anak berjejer rapi di salah satu sudut taman. Ada ayunan, jungkat-jungkit, juga perosotan. Orang tuaku tampak sangat bahagia berada di sini, wajah mereka terlihat cerah berseri. Saat ini kami duduk di salah satu bangku taman yang berjejer rapi di sepanjang sudut taman. Taman ini juga terlihat sangat bersih, takada sampah bekas bungkus makanan ataupun daun yang berserakan. “Risa, hiduplah bahagia dengan keluargamu, ya,” kata Mama.“Kamu pasti bisa karena kamu kuat!” ucap Papa.“Ingatlah, kami selalu ada untukmu!” sambung Mama lagi.Tiba-tiba, aku dikejutkan oleh suara aneh. H

    Last Updated : 2024-03-10
  • MERTUAKU RACUN RUMAH TANGGAKU   9. FITNAH

    Hari keempat setelah melahirkan. Badanku masih terasa taknyaman, terutama di bagian perut. Ditambah dengan begadang semalaman, membuat tubuhku tidak fit. Namun, aku tetap harus mengurus diri dan anak-anakku seorang diri karena di rumah ini, takada yang bisa kuharapkan untuk membantuku.Hari ini Bang Doni sudah mulai bekerja kembali karena cutinya sudah habis. Sedari pagi, Mama Laely beberapa kali kudapati berlalu lalang, sembari melirik-lirik ke arah kamarku yang pintunya sengaja dibiarkan terbuka, sambil memiringkan sebelah bibirnya ketika melihat ke arahku. Sedangkan Rizki kuminta membawa Nia ke kamarnya untuk bermain di sana saja. Untunglah mereka menurut.Sekitar pukul sepuluh pagi, Mama Laely ke kamarku. "Risa, Mama mau pergi arisan dulu. Nasi sudah Mama masak di magic com, lauknya nanti saja Mama masak. Mama perginya gak lama," ucapnya padaku. "Iya, Ma. Makasih," jawabku. Ternyata mertuaku takseburuk yang kupikirkan. Mama Laely masih mau memasak untukku."Hhmmm," katanya.Aku m

    Last Updated : 2024-03-10

Latest chapter

  • MERTUAKU RACUN RUMAH TANGGAKU   30. Merajut Kembali

    Kami telah sampai di rumah orang tuaku, tepatnya sekarang rumah Kak Rafka. Anak-anak terlihat begitu antusias. Begitu mobil berhenti, mereka dengan taksabar berebutan untuk segera keluar dan berlari ke rumah.Aku yang baru saja keluar dari mobil dan melihat mereka berlarian, dengan spontan berteriak, "Rizki, Nia, pelan-pelan jalannya. Anak-anak, hati-hat–""Udah, biarkan saja, Dek," kata Bang Doni memotong ucapanku.Aku menoleh dan melotot ke arah Bang Doni yang telah berdiri di belakangku. Merasa kesal karena dia memotong perkataanku untuk memberi peringatan pada anak-anak."Abang! Ih, bikin kesel!" tandasku cemburut, memonyongkan bibir, dan bersedekap tanda aku marah padanya.Bang Doni hanya tersenyum melihat tingkahku, dia berjalan mendekat dan mengelus kepalaku. Suamiku itu lalu mendekatkan bibirnya ke telingaku, dan berbisik, "Cantik banget kalau lagi manyun gitu, Dek. Jadi pengen di sosor.""Abang! Emangnya Risa bebek?!" Kupukul pelan lengannya karena kesal sekaligus malu menden

  • MERTUAKU RACUN RUMAH TANGGAKU   29. Sembuh

    Seminggu sudah kepergian Mama Laely. Sudah satu minggu pula aku tinggal di rumah peninggalan mertuaku. Selain untuk menyambut tamu yang datang melayat, kami tetap di sini sementara waktu untuk menemani Rani. Sedangkan Bang Doni, sejak jatah cutinya habis tiga hari yang lalu, dia berangkat kerja dari sini."Dek, kamu mau tetap di sini apa pulang ke rumah kita?" tanya Bang Doni pagi ini, ketika membantuku memasak dan membereskan dapur.Akhir-akhir ini, Bang Doni lebih sering memanggilku dengan panggilan adek saat kami berdua. Dia juga lebih rajin membantu pekerjaanku, juga mengurus anak-anak."Risa terserah Abang saja, tapi Risa ada jadwal ke psikolog besok. Menurut Abang, bagusnya gimana?" "Hhmmm, bagusnya besok kita ke rumah sakit dari sini saja.""Tapi, kan, kita belum minta surat rujukan dari klinik faskes pertama di tempat tinggal kita sekarang. Gimana, dong?"Oh, ya, udah. Nanti Abang ke klinik jam istirahat kerja. Sekalian mengambil berkas yang belum kebawa. Adek belum bawa semu

  • MERTUAKU RACUN RUMAH TANGGAKU   28. Sekarat

    Sejatinya, kehidupan dan kematian adalah kodrat manusia. Takada manusia yang hidup abadi, begitu pun takkan ada kematian jika takada kehidupan.Pagi ini kami bersiap-siap untuk berangkat ke rumah sakit tempat Mama Laely dirawat. Jam empat subuh tadi, Rani menelepon. Dia mengabarkan keadaan mamanya yang semakin memburuk.Gadis yang kesehariannya bekerja sebagai admin sebuah bank itu terdengar sangat sedih. Bagaimana tidak, seperti apapun perbuatan orang tua kita, bahkan seburuk apapun seorang ibu, bagi anaknya, dia adalah sosok yang takakan pernah tergantikan oleh siapa pun.Aku juga melihat kesedihan di mata Bang Doni. Laki-laki itu tampak berusaha menutupinya, meski masih terlihat olehku. Ya, begitulah laki-laki, lebih suka menutupi luka seorang diri. Aku paham, mungkin Bang Doni masih berusaha untuk menjaga perasaanku. Hingga ia takada sedikit pun menyinggung akan pergi menjenguk mamanya yang sudah sekarat. Namun, aku bukanlah siapa-siapa yang dengan keras hati takmau memaafkan ora

  • MERTUAKU RACUN RUMAH TANGGAKU   27. Menyesal

    Sudah satu minggu Mama Laely dirawat di rumah sakit. Namun, Bang Doni masih enggan untuk datang menjenguknya. Hal ini membuat hatiku taktenang. Aku takut Bang Doni akan menyesal di kemudian hari.Bukan bermaksud mendoakan hal buruk, tetapi usia manusia takada yang tahu. Kondisi Mama Laely saat ini, membuatku berpikir yang tidak-tidak. Aku terus kepikiran soal kondisi mertuaku itu, juga hubungannya dengan Bang Doni. Bagaimana kalau Mama Laely pergi saat mereka belum saling memaafkan, bahkan belum saling jumpa sejak kejadian malam itu.Agh, apa ini salahku? Karena aku, ibu dan anak itu bertengkar. Apa yang harus kulakukan? Aku harus bagaimana?Oh, iya, Rani. Aku harus menelepon Rani. Baiklah, aku akan meneleponnya sekarang. Mumpung anak-anak juga sedang tidur siang semua. Semoga Rani tidak sibuk. Kulihat jarum jam menunjukkan pukul 12.45 Wib. Semoga saat ini Rani sedang istirahat, jadi aku bisa berbicara dengannya.Tuutt tuuttt tuutttt(Nomor yang anda tuju-)Ternyata Rani tidak menga

  • MERTUAKU RACUN RUMAH TANGGAKU   26. Sakit

    Hari ini Bang Doni bekerja seperti biasa. Sebelum berangkat, dia menyempatkan diri membantuku mencuci pakaian dan menjemurnya.Nina si bungsu mulai bisa diajak berinteraksi. Hal itu membuat Rizki dan Nia senang bermain dengan adik bungsu mereka. Meskipun hanya dibalas dengan senyuman.Saat ini mereka bertiga sedang bermain di kamar Rizki. Aku sengaja membawa Nina ke sini untuk memudahkanku mengawasi ketiganya saat aku sedang melakukan pekerjaan rumah."Adek, cilukba!" seru Rizki sembari meletakkan kedua telapak tangannya di muka dan membuka telapak tangannya kembali."Cicak dindindin, diam layap-layap. Datang ekol nyamuk, hap! Lalu tangkapkan!" nyanyi Nia takmau kalah."Hahaha, salah, Dek. Bukan gitu nyanyinya," kata Rizki."Bialin. Memang Kakak bica?" tantang Nia pada kakaknya dengan omongan yang cadel. Sedangkan Nina yang menjadi objek perhatian mereka, tertawa melihat tingkah kedua saudaranya yang mungkin dianggap sedang bermain dengannya.Aku bahagia melihat interaksi ketiga anakk

  • MERTUAKU RACUN RUMAH TANGGAKU   25. Kesepian

    Hari ini kami akan pergi ke rumah sakit untuk terapi ke psikiater. Sebelumnya, setelah kami pindah, Bang Doni sudah mengurus semua administrasi kepindahan kami di sini, termasuk pelayanan faskes tingkat satu. Kemarin Bang Doni juga sudah mengambil surat rujukan di faskes tingkat satu untuk dibawa ke rumah sakit."Sudah siap semuanya?" tanya Bang Doni padaku."Sudah, Bang," jawabku. Kami pun berangkat dengan mengendarai mobil yang kami sewa lewat jasa rental dengan Bang Doni sebagai supirnya.Tiba di rumah sakit, kami pun langsung menuju ke bagian administrasi untuk melakukan pendaftaran, lalu diarahkan ke bagian psikiater dengan surat rujukan yang telah kami bawa.Setelah menunggu beberapa saat, tibalah giliran namaku yang dipanggil. Aku masuk dan duduk di depan Pak Rafly, psikiater yang menanganiku tempo lalu."Selamat datang Bu Risa, selamat datang, Pak. Bapak suaminya Bu Risa, ya?" tanya Pak Rafly."Iya, Pak," jawabku."Oh, baguslah kalau terapi kali ini didampingi oleh suaminya. B

  • MERTUAKU RACUN RUMAH TANGGAKU   24. Pindah

    Hari ini adalah hari terakhir kami di rumah Mama Laely. Aku, Bang Doni, dan anak-anak sudah siap untuk pergi dari rumah ini. Tadi, pagi-pagi sekali setelah salat Subuh, Bang Doni pergi mencari mobil pick-up untuk membawa kami beserta anak-anak ke rumah kontrakan yang baru.Sebenarnya kami belum tahu akan tinggal di mana. Aku mengusulkan untuk ke rumah Kak Rafka saja, tetapi Bang Doni menolak. Dia bilang akan membawa kami ke daerah dekat tempat kerjanya. Katanya di sana lebih mudah mencari rumah kontrakan.Sebagai seorang laki-laki, tentu saja Bang Doni memiliki ego yang tinggi. Menyetujui untuk pindah ke rumah Kak Rafka, itu sama saja menginjak harga dirinya.Sembari mencari mobil, Bang Doni juga menelepon teman-temannya untuk membantunya mencari rumah. Semoga ada rumah yang bisa kami tempati hari ini juga."Ayo, Ris. Kita berangkat sekarang. Abang dan Pak Heru sudah selesai mengangkut barang-barang ke mobil," ajak Bang Doni padaku. Pak Heru-sang supir-mengangguk setuju.Bang Doni men

  • MERTUAKU RACUN RUMAH TANGGAKU   23. Tidak Terima

    "Apa maksud semua ini, Risa?" tanya Bang Doni."Abang bisa menilai sendiri dari video yang Abang lihat. Abang bahkan bisa mendengar sendiri setiap perkataan yang dilontarkan mama kepada Risa," jawabku."Ta—tapi yang diceritakan mama pada abang berbeda," ucapnya bingung."Iya, Risa tahu, Bang. Itulah sebabnya Risa takpernah menceritakan apa pun pada Abang. Risa tahu semua itu akan sia-sia, jika Abang tidak mendengar sendiri dan melihat sendiri. Yah, meskipun karena itu mental Risa yang dihajar habis-habisan," ucapku seraya berdiri membelakanginya."Maafkan abang, Ris," pinta Bang Doni yang terdengar tepat di belakangku. Bang Doni lalu memegang kedua pundakku, lalu membalikkan tubuh kurus ini hingga menghadap ke arahnya."Dek, tolong maafkan abang. Abang akan menegur mama atas perbuatannya ini. Kalau perlu kita pindah dari sini dan memulai hidup baru, meski hanya tinggal di kontrakan seperti dulu. Kamu mau, kan?" Ucapannya terdengar begitu lembut di telingaku. Dia memanggilku dengan s

  • MERTUAKU RACUN RUMAH TANGGAKU   22. Terbongkar

    Pagi ini Bang Doni cuti setengah hari karena kami akan pergi ke posyandu. Ya, Nina akan kami bawa ke posyandu pertamanya karena usianya sudah sebulan lewat beberapa hari.Kami ke posyandu berempat bersama Nia, sedangkan Rizki, tinggal di rumah bersama neneknya. Sulungku itu takmau ikut serta saat kuajak tadi. Ketika tiba di posyandu, kami menyerahkan buku KIA terlebih dahulu, lalu mengisi daftar hadir. Setelah itu, anak-anak bergiliran untuk ditimbang berat badan, diukur tinggi badan, dan lingkar kepalanya. Petugas juga memberikan makanan atau camilan untuk anak-anak, berupa was bubur kacang hijau, sup telur puyuh, atau buah-buahan.Untuk bayi seperti Nina, sekarang sudah tersedia timbangan digital dan pengukur tinggi badan khusus bayi di pusat pelayanan masyarakat itu. Sedangkan untuk Nia, sudah tersedia dua jenis timbangan yang menggunakan kain sarung dan timbangan digital dewasa, juga alat pengukur tinggi badan.Aku syok ketika tiba giliran Nina yang ditimbang. Berat badannya saat

DMCA.com Protection Status