“Pak, maksudnya itu Nak Yusuf ke sini bersama Ibu dan istrinya, bukan mau menjadikan Manda sebagai istri.” Wanita tua itu menerangkan dengan nada yang makin tinggi.
“Maaf, ya, bapaknya Manda ini memang sedikit kurang baik pendengarannya. Maklum sudah tua,” sambungnya sambil menatap kami.Aku pun bisa bernapas lega. Ternyata si Bapak hanya salah dengar saja.“Maaf, ya. Tadi ada kata-kata istri, Bapak nangkapnya jadi gitu.” Wanita muda bernama Manda itu menimpali.“Gak apa-apa, kok,” balasku.“Maaf, ya, Pak. Kedatangan saya ke sini bukan seperti yang Bapak kira. Saya ke sini ingin mengantar ibu dan istri saya untuk menjenguk Manda,” ujar Mas Yusuf. Namun, pria tua itu tampak bingung dengan ucapan Mas Yusuf.Ibunya Manda pun mengulang kembali ucapan Mas Yusuf kepadanya dengan nada tinggi. Akhirnya ayahnya Manda paham dan manggut-manggut. Beliau meringis kemudian berujar, “Maaf! Saya salah dengar berarti. Maklum, sudah tua.”“Almira tidak akan meninggalkan saya. Keselamatan orangtua Almira bukan ada di tangan Anda, melainkan di tangan Tuhan. Memangnya Anda siapa berani mengancam istri saya?” Mas Yusuf menarik tanganku kemudian merangkul tubuh kecilku. “Memangnya Anda itu siapa, sih? Punya apa Anda berani mendebat saya, hm? Harta Anda itu gak ada apa-apanya dengan harta saya. Lepaskan saja Almira karena Anda tidak akan mampu menafkahinya!”Aku menahan tubuh Mas Yusuf sekuat tenaga agar tak memukul pria itu. Aku takut jika mereka akan saling pukul dan Mas Yusuf kalah tenaga. Perdebatan ini terhenti kala kami melihat mobil Ayah memasuki pelataran rumah. “Lihat Ayahmu, Almira! Apa kamu menyayanginya? Jika iya, tinggalkan pria ini dan menikahlah denganku! Jika masih tidak mau, aku bisa melakukan apapun untuk membuat Ayahmu pergi dari dunia ini, termasuk Bunda yang sangat kamu cintai itu.”“Beraninya Anda!” Mas Yusuf akhirnya mendaratkan pukulan kepada Om Arga.
“Memangnya harus panik?” Lagi-lagi Ayah berbicara dengan sangat santai. “Kan, Om Arga bangun usaha yang sama di depan kedai kopinya Mas Yusuf, Yah.”“Terus kenapa kalau sama? Namanya rezeki itu sudah ditakar. Gak perlu takut ketukar. Arga memang sengaja, kok. Lagian … ini bagus, dong, buat Yusuf.”Aku mengernyit. “Kok, bagus, sih, Yah?” “Yusuf bisa menciptakan ide baru untuk mengembangkan usahanya. Bagaimana cara supaya kedai kopi milik Yusuf dikenal paling unggul, paling oke, dan paling nyaman. Memang, yang dibutuhkan itu kerja keras dan ketekunan. Ini kesempatan Yusuf untuk bersaing dan membuktikan bahwa dia bisa.”Awalnya aku tidak setuju dengan sikap Ayah yang begitu santai. Namun, setelah mengetahui isi pikirannya, aku pun mengerti. “Yang namanya usaha, gak ada, tuh, selalu mulus dan lurus. Pasti ada aja masalahnya. Dan Yusuf sedang dalam fase diuji. Rasa kopinya kurang nikmat dan kurang memikat. Rasanya sudah beda, gak s
“Tolong jangan membuat keributan di sini! Mbak Almira, silakan menepi!” Security memisahkan kami. “Anda lagi? Dulu Anda ribut dengan mertuanya Mas Yusuf, sekarang dengan istrinya.”“Memang dia yang cari gara-gara duluan.” Citra menunjuk-nunjuk diriku.“Situ yang mancing duluan, kok, situ yang emosi,” balasku tenang. “Ikut saya!” Security itu menarik Citra. Aku hanya bisa melambaikan tangan kecil dan melempar senyuman tipis. Biarlah dia menjadi urusan keamanan. Aku tak ingin membuang tenagaku hanya untuk mengurusi dirinya.Saat di dalam, aku mendengar Mas Yusuf berbicara dengan para karyawannya dengan nada yang cukup tegas. Tiba-tiba pandanganku tersita pada sirup dan susu yang berjajar itu.Ada beberapa kotak susu yang isinya masih sangat banyak. Namun, segel sudah lepas dan posisi tutup tidak rapat sama sekali. Merk susu itu pun berbeda-beda. Setahuku, Mas Yusuf hanya menggunakan satu merk susu yang kualitasnya terja
Ayah pernah bilang jika aku harus tenang dengan ancaman Om Arga. Entah apa yang membuat Ayah bisa sesantai itu, padahal Om Arga sangat mengerikan. Aku mengirimkan pesan Om Arga itu kepada Ayah. Tak menunggu lama, Ayah membalas pesanku dengan emoji jempol saja. Aneh! Aku juga mengirim pesan itu kepada Bunda agar lebih berhati-hati. Namun, Bunda hanya membalas dengan satu kata, yaitu tenang. “Ibu.” Aku mencekal tangan ibu mertua yang melewatiku.“Iya?”“Om Arga mengirim pesan ini. Aku takut Bunda kenapa-kenapa, Bu. Ancamannya gak main-main, Bu. Aku takut mobil Bunda diapa-apakan.”Ibu mertua membaca pesan itu kemudian geleng-geleng kepala. “Ayah sama Bunda kamu pasti sudah jaga-jaga. Arga itu hanya menggertak kamu saja supaya kamu takut.”“Aku harus apa, Ibu?” “Hubungi Ayah sama Bunda!”“Sudah, kata mereka aku disuruh tenang, tapi gimana bisa tenang kalau keselamatan orangtuaku terancam, Bu?”
Kukira siapa, ternyata yang datang adalah Ayah. Cepat-cepat aku menyambutnya. “Anak ayah, apa kabar?”“Baik. Ayo Ayah masuk dulu!”Kami pun duduk berdua di ruang tamu. “Gimana? Arga masih mengganggu?”Aku menggeleng. “Gak ada gangguan sama sekali, Yah.”“Bagus. Ini akibatnya kalau Arga berani main ancam keluarga ayah. Oh, iya, gimana usaha suamimu? Ada perkembangan selama pembenahan dua bulan ini?”“Udah, Yah, dan akan direnovasi secepatnya.”“Kapan itu?”“Mas Yusuf belum memberitahu waktu pastinya, Yah.”“Desain dan lain-lain udah direncanakan?”“Sudah dari beberapa minggu yang lalu, Yah. Tinggal pengerjaan aja.”“Baguslah jika sudah siap semua. Rencananya, ayah akan membantu mempromosikan kedai kopi suamimu, tapi setelah tahu mau direnovasi, lebih baik ayah menunggu setelah direnovasi saja. Nanti ayah akan bilang ke Yusuf, soal tenaga kerja akan ayah kirimkan beberapa orang agar bis
Cepat-cepat aku memberikan pelukan hangat kepada ibu mertua. Tak kusangka, air mata ini menetes juga apalagi saat mendengar kalimat terakhirnya. “Jangan pernah mengatakan itu! Gak ada yang namanya seorang ibu merepotkan anaknya. Gak ada, Ibu. Ibu jangan khawatir! Aku akan selalu menemani masa tua Ibu. Aku akan membersamai Ibu dan aku bersedia penuh merawat Ibu. Semoga Ibu selalu sehat dan panjang umur.”“Anak baik yang selalu menyayangi orangtuanya dengan tulus, hidupnya akan sejahtera. Percayalah! Pintu rezeki akan terbuka sangat lebar. Segala urusan juga akan dipermudah.”“Aamiin. Terima kasih atas doanya, Ibu.”Ibu mendaratkan kecupan di kepalaku. “Almira, ibu mau tanya. Apa ada sesuatu untuk bayimu yang belum kamu beli?”“Aku belum membeli apapun, tetapi semuanya sudah lengkap, Bu.”“Syukurlah. Itu salah satu rezeki kalian.”Soal perlengkapan bayi, memang aku belum membeli apapun. Namun, aku sudah mendapatkan semua
Pagi ini aku sudah siap untuk ikut serta Mas Yusuf. Entah kejutan apa, yang jelas semalam Mas Yusuf tidak memberitahu sama sekali. “Udah siap?” Aku yang tengah bercermin pun berbalik badan. “Udah, Mas.”“Gak boleh pakai sandal hak tinggi.”“Nggak, Mas. Nih, aku pakai sandal ini.” “Sip. Semua kue udah aku masukkan ke mobil. Ayo berangkat sekarang!”**Kondisi jalan raya hari ini cukup longgar sehingga kami tiba di kedai kopi lima belas menit lebih cepat. Entah sudah berapa lama aku tidak kemari. Kulihat kedai kopi Mas Yusuf tampak sangat berbeda. Perpaduan cat warna ungu dan hitam pada bangunan kedai ini sangat memikat mata. Dua karyawan Mas Yusuf keluar, membantu Mas Yusuf membawa beberapa kue buatanku. Sebelum aku melangkahkan kaki untuk masuk ke kedai, aku terlebih dahulu melihat kedai kopi yang ada di seberang. Bangunan itu bercat coklat muda, sama persis dengan warna bangunan kedai kopi Mas Yus
Mas Yusuf turut melihat ke bawah. “Gak tahu. Nanti aja tunggu informasi dari anak-anak!”“Udah, kamu jangan mikirin urusan mereka! Lebih baik baca buku, Sayang!”Mas Yusuf menarik tanganku agar tidak terlalu ingin tahu urusan di luar sana. Aku pun duduk di sofa kemudian mengamati ruangan di sekeliling. Buku-buku di sini tidak diperjualbelikan dan juga tidak boleh dibawa pulang. Khusus ruang membaca, CCTV terpasang lebih banyak dari ruangan lainnya. Di sini juga ada satu orang yang berjaga guna mencegah terjadinya kehilangan. “Mas, kayaknya aku pengin menambah menu baru.”“Apa, Sayang?”“Mille crepes. Di sini belum ada, kan?”“Dari ubi ungu juga?”“Enaknya gimana? Dari ubi ungu atau kopi?”“Memangnya kamu ada waktu? Ngolah tiga menu itu aja kamu harus bangun pagi-pagi, loh, Sayang. Lagian, sebentar lagi kamu lahiran. Mending tunda dulu, deh! Tunggu kalau kamu sudah melahirkan anak kita!”Apa y
“Oh, ya?” Aku merasa ada sesuatu yang terlepas di bagian belakang bajuku. Tangan jahil Mas Yusuf ternyata sudah melepas tali punggung gaunku. Aku merasa gaunku sudah longgar sekarang.“Mas!” “Sst!”Saat aku berbalik badan, aku sudah disambut dengan sentuhan dari bibir hangatnya. Tidak, tidak. Ini terlalu mendebarkan. Mas Yusuf kian lincah melanjutkan aksinya saat aku mencoba menghindar.**“Zen!” Aku mendadak terbangun kemudian menatap setiap sudut ruangan. Yang pertama teringat dalam pikiranku adalah Zen. Kuperhatikan lagi isi ruangan ini. Ah, iya. Aku sedang berada di hotel bersama suamiku. Pria yang semalam telah membuat diriku remuk dan tak berdaya masih tertidur pulas di sampingku tanpa balutan baju. Aku tersenyum kala mengingat perlakuannya semalam. Dia cukup leluasa dan agresif daripada saat di rumah. Bahkan hasil permainannya semalam terasa lebih melelahkan daripada malam pertama. Aku membelai wajah
Aku dan Mas Yusuf saling berpandangan kemudian kembali menatap Ibu. “Gimana dengan Zen, Bu?” tanyaku.“Ada saatnya kalian pergi bersama Zen, ada saatnya juga kalian hanya pergi berdua. Kalau kalian pergi berdua, Zen akan bersama ibu. Lagi pula, Bu Marissa juga sering kemari. Kakek dan dua neneknya Zen siap menemani kalau kalian pergi kencan.”“Jadi ….” Mas Yusuf melirikku. “Jadi, tunggu apa lagi? Zen sudah makan. Stok susu juga masih banyak. Bu Marissa juga mengabari akan ke sini malam ini. Jadi, gak perlu ditunda lagi! Kalian pergilah berdua! Habiskan malam ini bersama!” “Ibu, tapi gak apa-apa kalau aku meninggalkan Zen bersama Ibu dan Bunda?” tanyaku karena khawatir Zen rewel.“Gak apa-apa, Mira. Kamu butuh kesegaran. Kamu butuh suasana baru di luar sana. Siapa tahu, dengan kencan ini, pikiranmu berasa plong.” Kembali aku dan Mas Yusuf berpandangan. Namun, kami saling diam. “Kok, malah lihat-lihatan? Ayo! Almira, Y
“Gimana gak tampan? Dua pabriknya saja unggul.” Tawa kami pecah saat Manda menyahut demikian. Manda berdiri kemudian beralih duduk di samping Om Arga. Mereka tampak sangat serasi, terlihat sama-sama dewasa. Wajah kebapak-bapakan Om Arga sangat cocok dengan wajah keibuan Manda. Aku dan Mas Yusuf sama-sama tersenyum. Di balik kejadian yang menimpa, ternyata ada banyak kisah menarik setelahnya. Cara Tuhan memang tak terduga. Dari yang awalnya diselimuti ego dan benci hingga berujung saling bersaing, kini sudah berubah menjadi saling merangkul dan mendukung. Om Arga menepati janjinya. Dia mempromosikan kedai kopi Mas Yusuf kepada banyak rekannya. Bahkan selalu mampir ke sana hampir setiap hari. Begitu pun dengan Ayah dan para rekannya. Sekarang aku bersyukur, perolehan pendapat coffee shop memang sudah meningkat drastis. Mas Yusuf sudah berencana mengadakan kembali bonus untuk para karyawan apabila pendapatan selama lima bulan ke depan tetap stabi
Rencananya, kami akan begadang sampai Zen tertidur pulas. Nyatanya, setelah Zen pulas, kami justru terjaga. Aku dan Mas Yusuf malah asyik berbagi rasa dan cerita. Entah sepanjang apa obrolan kami malam ini, tahu-tahu sudah pukul 02.35. “Mas, bentar lagi Ibu bikin kue. Aku gak ngantuk. Bol—”“Gak boleh.” Belum juga aku menyelesaikan ucapanku, Mas Yusuf memangkas seenak jidat. “Cuma bantuin doang. Bisa sambil duduk.”“Nanti aku yang bantuin Ibu. Kamu tidur sekarang! Kamu dari tadi ngomong mulu, loh, Sayang. Jadi gak tidur-tidur, kan?”“Lah?” Aku mengernyit. Bisa-bisanya aku yang disalahkan. “Yang ngajak bercerita siapa? Mas Yusuf duluan.”“Aku bercerita supaya kamu tidur. Eh, malah kamu makin bersemangat.”“Loh, kan, ta—”“Udah, diam! Merem, Mira!”**Satu bulan sudah aku menjalani hari sebagai seorang ibu. Bahagia, kuakui sangat bahagia. Cara ibu mertua memperlakukanku, akan aku contoh kelak k
“Stop, Bibi!” Mas Yusuf dan Mbak Diva datang. Mas Yusuf dan Mbak Diva memegang tubuh Bibi Tika. Ibu mertua cepat-cepat mengambil Zen dan menyerahkannya Zen padaku. “Bawa ke kamar, Mir!” Aku ke kamar untuk menyusui Zen. Wajahnya sampai memerah gara-gara menangis. Aku mendengar Mas Yusuf memberi teguran kepada Bibi Tika. Begitu pun dengan Mbak Diva dan Ibu. “Aku hanya mau beri makan.”“Anakku belum waktunya makan, Bi. Dia anakku. Bibi gak usah ikut campur!”“Berani sama bibi sekarang kamu, Suf.”“Maaf, Bibi. Urusan anak itu nomor satu. Apapun yang menyangkut anak, aku tidak bisa abai begitu saja. Dia anakku. Kalau Bibi memaksa lalu terjadi sesuatu dengan anakku, apa Bibi mau bertanggung jawab?”Mbak Diva memasuki kamar. Dia mengunci kamar dari dalam sambil meletakkan jari telunjuk di bibir. Mbak Diva mendekat dan melihat Zen yang menyusu dengan begitu kuat. “Tenang, ya! Dulu aku juga sepert
“Pak Yusuf, saya minta maaf.”“Saya sudah menduga, tapi saya tidak mau salah sangka. Ya sudahlah. Itu sudah berlalu,” kata Mas Yusuf dengan santainya. Aku pun pernah menduga jika Citra dan lainnya adalah antek-antek Om Arga. “Maafkan saya yang sengaja meniru usaha Pak Yusuf. Sekarang saya tahu, meski saya berusaha meniru dan menyaingi usaha Pak Yusuf, tetapi yang namanya rezeki itu sudah ada takarannya. Usaha saya tidak sesukses usaha Pak Yusuf. Bahkan saya pusing karena karyawan banyak yang semena-mena sehingga membuat pelanggan tidak betah. Kemungkinan saya akan menutupnya dan menggantinya dengan usaha yang lain.”Aku dan Mas Yusuf saling berpandangan mendengar ucapan Om Arga. “Apapun usaha Pak Arga nantinya, semoga sukses,” timpal Mas Yusuf kemudian. “Aamiin. Terima kasih. Saya akan mengganti rugi apa yang sudah saya perbuat terhadap coffee shop Pak Yusuf.”“Tidak perlu. Biarlah, Pak Arga! Itu sudah berlalu. Yang
“Jika Bu Tami memperhatikan wajahnya betul-betul, Bu Tami akan mengetahui siapa ayahnya,” kataku yang memang sudah tahu masa lalu Manda. Manda menatap ke arahku sambil menggeleng pelan. Kurasa, sudah cukup Manda menyembunyikan semua ini. Ini saat yang tepat untuk mengatakan karena semua orang sedang berkumpul. Om Arga mendekati Cindy kemudian berlutut dan meraba wajah cantiknya. Om Arga berkaca-kaca lalu mendongak beralih menatap Manda yang masih berdiri.“Manda, dia … anakku?” Manda terdiam dan kembali menunduk. “Manda, jawab! Kenapa aku tidak pernah tahu hal ini?”Kudengar Manda sedikit terisak. Kasihan, pasti dia sedang teringat dengan masa lalunya. “Karena kamu pergi di saat aku mengandung dua bulan. Kamu menceraikan aku melalui telepon. Aku mau beritahu kehamilan ini, tapi kamu buru-buru menutup telepon. Kamu juga langsung menutup semua akses untuk kuhubungi, Mas. Aku menunggu berminggu-minggu, ternyata hanya s
(POV ALMIRA)“Atur napas, Bu! Ikuti saya! Tarik napas pelan-pelan lalu keluarkan!”Aku mencoba mengatur napas. Namun, karena saking sakitnya yang kurasa, aku kesulitan untuk mengambil napas dengan baik. Aku bahkan masih terengah-engah. Seorang bidan berlanjut mengajariku bagaimana cara mengejan. Aku pun mengikuti arahannya. “Ah, iya, benar.”“Semangat, Ibu!!! Sudah nampak. Rileks, ya, rileks! Ikuti lagi arahan saya!”“Ayo, Sayang! Kamu bisa.” Mas Yusuf berbisik di telinga. Aku kembali melakukan apa yang sudah dicontohkan oleh bidan tadi. Berusaha mengatur napas dan mengejan. “Alhamdulillah.” Serentak mereka mengucap hamdalah diiringi suara tangis bayi yang sangat kencang. “Hah? Sudah keluar?” Rasanya aku masih tidak percaya. Aku tak merasakan apapun di bawah sana saat bayiku keluar. Sakit yang kurasa hanya di perut dan pinggang saja. Kulihat Mas Yusuf menangis kemudian menciumi wajahku. E
(POV ARGA)“Apa ini? Gadis yang kucintai mengeluarkan darah?” Aku hanya bisa diam saat melihat Almira kesakitan. Ya, dia kesakitan. Tubuhnya meliuk-liuk ke sana kemari. Pria bernama Yusuf itu datang menghampiri Almira dan melepaskan ikatannya. Entah bagaimana bisa dia kemari, aku tak tahu. Tangan Almira meremas kerah kemeja suaminya. Wajahnya meringis kesakitan. Sesekali dia menjambak rambut suaminya sambil merintih dan berteriak. Kubiarkan pria yang telah menikahinya itu membawanya pergi. Namun, telingaku masih terasa sangat sakit mendengar jeritan Almira yang menggema di ruangan.“Apa aku setega ini?”Kutatap darah yang menetes di lantai. Itu darah Almira. Tenggorokanku seakan tercekat saat hendak menelan ludah. “Arga ….”Suara itu begitu lirih ketika memanggil. Aku berbalik badan. Seorang wanita tua yang berjalan tertatih dengan bantuan tongkat karena postur tubuhnya sudah membungkuk. “Tega seka