“Bos, kami sudah menemukan sopirnya,” ucap salah satu anak buah Wahyu dari seberang telepon dengan nada tergesa-gesa. “Tapi dia sendian, kami tidak menemukan istri Pak Didi di mobil itu.”Supir mobil pembawa pasokan sayur hasil panen di kebun milik Didi, berhasil dihadang oleh dua anak buah Wahyu. Pria bertubuh kurus itu awalnya mengebut karena mengira dikejar oleh kelompok perampok. Namun, ketika dia berhenti, dua pemuda bertubuh kekar menanyakan Wahyuni.“Wahyuni? Siapa itu? Saya nggak tahu! Lepaskan saya!” pekik si Supir, memohon dan ketakutan ketika salah seorang pria menahan kedua tangannya be belakang.Salah satu pria langsung memeriksa mobil dan seluruh bawaan. Namun, Wahyuni tidak ditemukan. Lalu, mereka berdua pergi begitu saja. Si Supir pun melanjutkan perjalanan dengan rasa trauma.“Sendirian? Kau yakin?” tanyanya dengan suara rendah dengan nada curiga. Dia menatap Didi yang tengah menikmati kopi panas di meja ruang tamu.Dua orang anak buah Wahyu setia berdiri di sisi Wahy
“Tolong! Ada orang terluka di mobil saya!” seru Yusuf kepada para perawat yang berada di IGD. Setibanya tadi di rumah sakit, Yusuf langsung bergegas masuk. Rico semakin pucat dan sedikit menggigil, dia hampir tak sadarkan diri. Para petugas medis langsung sigap membawa brankar untuk memindahkan Rico ke ruang IGD. Sambil mengikuti dari belakang, Yusuf tak bisa berhenti memikirkan apa yang harus dilakukan setelah ini. Seketika dia teringat Alya dan Salma. Suara mengaji sudah diputar di masjid, menandakan sebentar lagi akan azan subuh. Yusuf menunggu di balik tirai ketika Rico di pindahkan sambil menunggu dokter datang memeriksa. Dia sibuk melihat ponselnya. Tak ada pesan ataupun panggilan.“Aneh. Nggak mungkin mereka belum bangun. Kenapa mereka nggak ada yang menghubungiku?” gumam Yusuf.Di dalam IGD, dokter yang bertugas segera menghampiri Rico dan memeriksa konsidinya. Yusuf ikut masuk untuk mengetahui keadaan Rico. Kening dokter itu berkerut saat melihat luka di pergelangan kaki R
Malam ketika Yusuf pergi diam-diam untuk menyelamatkan Rico, dia mengira istrinya sudah tidur lelap. Tanpa dia ketahui, Salma yang tidak bisa tidur melihat mobil meninggalkan rumah, begitupun dengan Alya. Dia sangat khawatir dan tidak dapat menebak apa yang terjadi. Salma membuka pintu kamar untuk mengambil air minum ke dapur. Mendengar pintu kamar Salma terbuka, Alya ikut keluar.“Loh, Mbak Alya?” Salma terkejut, dia mengira Yusuf pergi terburu-buru dengan mobilnya karena membawa Alya ke rumah sakit. “Mbak bukannya ….” Salma menunjuk pintu keluar.Alya menggeleng dengan ekspresi cemas. “Mbak baik-baik aja, Salma. kamu lihat Mas Yusuf pergi tadi?”Salma mengangguk.“Apa dia memberitahumu mau pergi kemana?” tanya Alya.Salma tersenyum tipis. “Mana mungkin Mas Yusuf memberitahu Salma, Mbak.”Alya menggenggam tangannya sendiri. tubuhnya yang masih demam terasa sedikit menggigil.“Mbak, kelihatannya Mbak Alya nggak baik-baik aja. Salma telepon Mas Yusuf, ya. Kita ke rumah sakit aja,” uca
Angin malam yang dingin tak mampu membuat redup suasana tegang yang terasa panas. Paman Didi menjelaskan rencananya untuk menolong Yusuf pada semua orang yang ada di sana.“Tapi, sepertinya keadaan Mbak Alya sedang nggak baik, Pakde. Demamnya semakin naik,” ucap Salma setelah menyentuh pipi Alya yang kemerahan.Arif diperintahkan untuk meminjam mobil Pak RT dengan alasan ada keluarga yang sakit. “Kalian pergi ke rumah sakit Mutiara Kasih yang ada di dekat kantor polisi.” Paman Didi memberi instruksi. “Arif, saya titip mereka.”Arif mengangguk. Paman Didi berpamitan pada istrinya untuk kembali pulang dan bersiap membantu Yusuf. Sementara itu, Alya tidak banyak banyak bicara. Sejak tadi dia memijat kepalanya yang semakin berdenyut. Wajahnya semakin pucat, tubuhnya lemas tak bertenaga. Alya semakin drop setelah mendengar penjelasan Paman Didi dan Arif bahwa Yusuf sedang melakukan misi penyelamatan untuk Rico yang terbilang berbahaya. Wahyu tidak akan memberi ampun bagi penyusup atau or
“Apa aku terlambat?” gumamnya sambil memperhatikan apa yang dilakukan oleh Wahyu dan anak buahnya kepada Didi.Salma melangkahkan kakinya menuruni kebun karet yang tanahnya dipenuhi dengan akar pohon. Dia tersandung dan hampir tersungkur ketika terburu-buru. Seekor kunang-kunang berkelip-kelip mendekati Salma. Sejenak Salma tersenyum, seolah mendapat kekuatan.Dia melanjutkan langkahnya dengan perlahan dan tenang. Di dalam hatinya tidak pernah terlepas menyebut nama Allah.Air matanya menetes ketika teringat betapa banyak dosa yang menyelimuti dirinya. Dia pernah menyesal terlahir ke dunia sebagai anak perebut suami orang. Dia pernah memanfaatkan Rico sebagai kambing hitam. Dia juga telah merebut surga seorang Alya, wanita yang sangat baik dan berhati lembut. “Mungkin ini akhirku,” ucap Salma ketika sudah berada di depan pagar kawat besi yang mengelilingi komplek kilang sekaligus rumah Wahyu.Dari jarak sekitar seratus meter, dia bisa melihat gerombolan orang itu membawa Didi menuju
“Sidang dengan terdakwa Wahyu dinyatakan dibuka. Terdakwa Wahyu, anda didakwa melakukan kekerasan terhadap istri anda, Lisna, melakukan penggelapan harta, penyek4pan dan anc4man keker4san terhadap pihak lain. Bagaimana anda menanggapi dakwaan ini?”Di ruang sidang yang dipenuhi pengunjung, suasana tegang menyelimuti setiap sudut ruangan. Wahyu telah berdiri di hadapan hakim dengan tatapan dingin dan tak acuh. Ia dituduh menyalahkgunakan kekuasaannya untuk menguasai keluarganya, memperlakukan mereka dengan kej4m dan bahkan berniat membalas dendam kepada pihak lain atas masa lalunya yang ia anggap belum selesai.Selama bertahun-tahun, Wahyu tidak hanya merampas harta milik istrinya, tetapi juga mengu-rungnya di rumah dan menyiksanya secara fisik serta psikologis. Istrinya hidup dalam ketakutan tanpa kebebasan dan terisolasi dari dunia luar. Tidak cukup sampai di situ, Wahyu juga diketahui meng-urung Rico—selaku anak tirinya karena mencoba melawan, mencoba menggagalkan rencana balas den
“Assalamu’alaikum, Mbak.” “Wa’alaikumsalam, adik Mbak yang ganteng. Ada apa? Tumben nelepon, biasanya juga kalau dichat males banget balesnya,” sahut Alya dengan raut senang ketika menerima telepon dari adiknya—Aldi.Aldi menarik napas sejenak. Jantungnya berdegup tak karuan ketika ingin menyampaikan sesuatu. “Dek … Ada apa? Kok kayak lagi tarik napas panjang, gitu?” Kening Alya berkerut.“Sebenarnya kami sedang dalam perjalanan menuju rumah Mbak Alya yang baru. Ibu mau kasih kejutan, rencananya mau datang diam-diam. Tapi ….” Aldi tak meneruskan ucapannya.“Tapi apa, Dek?” Perasaan Alya mulai tak enak.“Ibu masuk rumah sakit, tiba-tiba asmanya kambuh.”“Astaghfirullah ….” Alya menutup mulutnya. Dia sangat khawatir dengan keadaan sang ibu. “Sekarang di rumah sakit mana?” Rasa bahagia yang awalnya disampaikan Aldi bahwa keluarganya akan berkunjung sambil memberinya kejutan, kini berubah menjadi perasaan sedih.“Nggak jauh dari Desa Pandan, tapi harus keluar kecamatan, Mbak. Kami di R
Jingga samar cahaya matahari pagi menyapa, namun tak mampu mengusir bayang-bayang kesedihan yang menyelimuti hati Alya. Aroma tanah basah dan dedaunan yang berembun mengiringi perjalanan pagi ini.Salma akhirnya ikut bersama Alya dan Yusuf meski sudah berkali-kali dia menolak dan meminta untuk tetap tinggal di rumah saja.“Jangan, Salma. Mbak khawatir kalau kamu sendirian di rumah.” Alya menyentuh bahu madunya.Wajah Salma terlihat tidak ramah. Sikap dinginnya seolah kembali menyambut Alya saat pertama kali bertemu.“Nggak ada yang perlu dikhawatirkan lagi, Mbak. Semua masalah hidup saya sudah hilang,” jawab Salma dengan senyum tipis yang dipaksa.“Mas, gimana?” Alya menoleh pada Yusuf, meminta pendapat, karena yang dikhawatirkan Alya saat ini adalah kondisi Salma yang tengah mengandung. Dia tidak ingin Salma sendirian jika suatu saat tiba-tiba dia merasakan sakit, mual atau keinginan mengidamnya.“Salma, ikut saja dengan kami. Kamu bisa menunggu di mobil dan istirahat sembari menungg
“Maaf, Yusuf. Aku harus sampaikan ini sama kamu,” kata Dokter Cindy dengan berat hati dan wajah muram.“Ada apa, Cin?” Yusuf tak bisa menyembunyikan rasa cemasnya.“Aku turut berduka cita atas apa yang terjadi. Aku ngerti betapa hancurnya hati kalian, aku mau menjelaskan sebisa mungkin meskipun aku belum bisa memastikan tanpa adanya pemeriksaan lanjut.” Cindy menyampaikan dengan suara pelan dan hati-hati.Suara isakan terdengar dari Ibunya Alya. Pak Hamdan segera memeluk istrinya dan membuatnya tenang.“Kenapa bisa?!” Suara Yusuf meninggi, terdengar seperti membentak.Cindy seketika menunduk.“Maaf, Cin. Aku nggak bermaksud marah sama kamu.”“Aku ngerti perasaan kamu, Suf. Pecahnya ketuban yang terjadi pada Alya, menjadi faktor pemicu, tapi bukan hanya itu satu-satunya penyebab. Beberapa kemungkinan yang perlu kita investigasi lebih lanjut adalah infeksi yang menyebabkan aliran darah dan oksigen ke plasenta berkurang.”Yusuf terduduk dan membingkai kepalanya yang tiba-tiba berdenyut n
“Mas, perutku sakit.” Alya meringis sambil memegangi perutnya yang sudah membesar. Dia merasakan sensasi aneh dan rasa sakit yang luar biasa yang membuat dia harus segera menelepon sang suami yang saat ini sedang berada di kebun apel.Tangan kiri Alya bertopang pada jendela kamarnya, sedangkan yang satunya memegang ponsel. Matanya menatap pemandangan sawah di mana pepadian telah menguning dan tak lama lagi akan memasuki musim panen.“Aku pulang sekarang!” Yusuf mengakhiri panggilan. Enam bulan berlalu begitu cepat. Tetapi bagi Alya dan Yusuf, waktu berjalan begitu lambat. Tak sabar rasanya menunggu kehadiran buah hati. Saat ini, adalah masa-masa menegangkan di mana usia kehamilan Alya memasuki minggu ke 37. Selama waktu itu pula, Yusuf telah menjatuhkan talak pada Salma disaksikan Aldi, Alya dan Paman Didi. Dia akhirnya menuruti permintaan Salma pada surat itu, bukan karena Aldi ingin menggantikannya, tapi demi kesehatan mental mereka semua, jika memang itu yang diinginkan Salma.“
“Itu Salma, Mas!” Alya menunjuk rekaman CCTV yang ditunjukkan Cindy pada layar komputernya.Kening perempuan berjas putih itu mengerut heran, kenapa dua temannya itu mengenal pasien yang ia tangani kemarin.Yusuf mengangguk, dia juga melihat Salma menangis sedangkan Rico berusaha menenangkannya.“Mas, telepon Rico, tanyakan di mana Salma. Aku mau ngomong sama dia,” pinta Alya, menarik lengan baju suaminya seperti anak kecil.Yusuf membawa istrinya duduk agar tenang. “Ingat kata Cindy barusan? Kamu nggak boleh stres!” peringat Yusuf dengan nada pelan.Alya akhirnya mengangguk patuh. Dia mengusap perutnya, menarik napas dan berusaha menenangkan diri.“Cin, makasih banyak, ya. Kita pamit dulu, nanti bakalan rutin periksa ke kamu,” ucap Yusuf berpamitan dengan senyum seolah tak ada masalah.Cindy dengan raut bingung, mengangguk saja. Padahal dia masih ingin mengobrol karena penasaran kenapa Yusuf dan Alya bisa mengenal perempuan itu, tapi dia tidak berhak tahu dan tidak berani bertanya le
“Mas, kenapa? Kok, kelihatannya lagi mikirin sesuatu?” Alya sejak tadi memperhatikan suaminya yang tampak berubah.Setelah menerima berita bahagia, ekspresi yang sebelumnya ceria tiba-tiba berubah redup setelah kembali dari rumah Salma.Yusuf menoleh sejenak, sedang tangannya sibuk mengemudikan mobil.“Nggak ada, Sayang.”“Kamu mikirin apa?” tanya Alya dengan nada tegas tapi lembut. Dia tahu, suaminya sedang menyembunyikan sesuatu.Ibu yang sejak tadi di belakang, hanya diam dan mendengarkan.Yusuf masih diam. Sesekali dia menarik senyum seperti dipaksakan.“Apa kamu masih marah sama aku, Mas? Tebak Alya.Yusuf menggeleng cepat. “Enggak, Sayang. Aku cuma ….”“Apa ada sesuatu yang kamu temukan di rumah Salma tadi?” Alya menebak lagi. Sekarang wajah Yusuf tampak terkejut, namun akhirnya mengangguk.“Salma meninggalkan surat.” Yusuf melirik kaca spion depan, melihat ibu mertuanya dengan tatapan sungkan.Sejak tadi dia menyembunyikan hal itu karena tidak ingin ibu mertuanya mendengar. Di
Beberapa hari kemudian, kondisi ibu semakin membaik dan diperbolehkan untuk pulang. Sementara ayah, masih dalam perawatan. Aldi mengabaikan tugas akhir kuliahnya untuk sementara demi menjaga sang ayah. Dia yang membantu mengisi memori baru ketika ayahnya tersadar dan tidak mengingat apa pun bahkan namanya sendiri.Kemarin, ibu ikut pulang ke Desa Pandan. Alya sangat senang bisa bersama sang ibu meski belum bisa berkumpul kembali dengan ayahnya.“Sayang, aku mau ke kebun dulu, ya. Sudah beberapa hari aku jarang mengontrol proyek. Kasihan Paman Didi,” ucap Yusuf berpamitan, ketika selesai sarapan.Alya mengangguk dan tersenyum, sambil membereskan piring di atas meja.“Bu, Yusuf pamit, nanti siang kita ke rumah sakit lagi, jengukin ayah, ya.” Yusuf mencium punggung tangan mertuanya.Wanita yang gemar memakasi songkok jika berada di dalam rumah itu mengangguk dan tersenyum hangat.Alya mengantarkan suaminya ke depan pintu setelah membereskan piring kotor. Dia berjalan pelan seperti tidak
“Bagaimana keadaan ayah saya, Dok?” tanya Aldi seketika, setelah dokter keluar dari ruang operasi. Dari sisi lain, Yusuf berlari menghampiri Aldi. Dia meninggalkan Salma yang masih belum sadarkan diri dan dalam perawatan di ruang IGD sebelum dokter menentukan ruangan rawat. Dengan napas terengah-engah. Yusuf berdiri di samping Aldi. “Kabar baiknya, Alhamdulillah pasien sudah berhasil ditangani.” “Kabar buruknya?” tanya Yusuf ragu. “Kemungkinan beliau akan mengalami amnesia,” jawab sang dokter. Yusuf menepuk bahu Aldi untuk menenangkannya. Dokter dan rekannya pamit dari sana. Tak lama kemudian, Pak Hamdan dibawa ke ruang ICU. Aldi terduduk lemah. Dia bersyukur ayahnya masih selamat, meski setelah sadar nanti, sang ayah tidak akan mengenalinya. “Terima kasih, Allah. Setidaknya ini akan membuat ayah melupakan masa lalu tersakitnya. Biarkan aku yang menanggung rasa bersalahnya ya Allah ….” Keluh Aldi sambil menangkupkan tangan dan menjatuhkan wajahnya di atas tangan yang
“Dokter ….” Aldi berteriak memanggil dokter yang sedang berjalan menuju ruangan ibunya.Setelah mendengar penjelasan sang ayah tentang masa lalu yang terjadi antara Salma dan dirinya, Salma tak cukup puas sampai di situ. Tanpa basa basi, dia menjelaskan secara langsung tentang siapa dirinya saat ini. Hal itu memicu kambuhnya penyakit ibunya Alya. Dadanya sesak dan sulit bernapas.Saat semua orang panik dan beralih pada ibunya Alya, Salma keluar dari ruangan. Dia berharap Alya dan Aldi mengalami hal yang sama dengan dirinya. Dia ingin melihat, bagaimana kedua anak yang bahagia itu, ketika kehilangan orang yang paling dicintai.“Nggak adil, Tuhan, kalau mereka masih bahagia sementara aku menderita. Meski alasannya melakukan itu demi uang untuk berobat istrinya, tapi kenapa dia tega sampai harus menghilangkan nyawa orang tuaku? Apa semurah itu harga nyawa orang tuaku, Tuhan?” Hujan deras menerpa bumi. Salma berjalan sambil memeluk lengannya. Tubuhnya menggigil dan ia biarkan basah kuyub
“Gimana hasilnya, Sayang?” Yusuf mengulurkan tangan, meminta alat tes kehamilan yang masih disembunyikan oleh Alya di belakang punggungnya.Perlahan Alya menutup kembali pintu kamar mandi, dia tersenyum kikuk pada suaminya dan sesekali melirik pada ibunya yang tersenyum sembari menaik turunkan alisnya.“Mana? Aku mau lihat,” pinta Yusuf sambil menggoyangkan tangannya yang terulur. “Apa hasilnya nggak sesuai harapan?” tanya Yusuf, dia menurunkan tangannya dan berhenti memaksa Alya yang ekspresi wajahnya tidak bisa dijelaskan.“Mas, sebenarnya aku ….”“Assalamu’alaikum ….” Suara Aldi membuyarkan semuanya. Dia tersenyum lebar, di belakangnya seorang pria yang selama ini sangat dirindukan oleh keluarga, ikut masuk dengan senyum penuh rindu.Selama ini, mereka hanya melepas rindu lewat panggilan suara atau video. Namun hari ini, raga seorang ayah dan suami yang pergi demi mencari nafkah, sudah dapat dipeluk.Semua kompak menjawab salam. Pak Hamdi pertama kali menghampiri sang istri. Memelu
“Apa yang harus aku lakukan, Al?” tanya Salma dengan perasaan putus asa. Kini, dia tidak punya lagi harapan untuk terus menempel pada rumah tangga Yusuf dan Alya. Matahari mulai naik. Cuaca hari ini sangat cerah. Terik cahayanya menerpa wajah Salma, membuat mata kecoklatannya seakan memancarkan sinar. Aldi terdiam dalam keterpesonaannya ketika Salma menatapnya dengan mata berkaca-kaca.“Aku tahu, sejak awal aku sudah salah melangkah. Tapi, berkat Mas Yusuf, aku bisa membuat Pakde Wahyu masuk ke dalam penjara. Walaupun nenek tidak bisa menyaksikan kemenanganku.” Salma menunduk sedih.Aldi menarik napas sembari memejamkan mata, menghirup oksigen yang dilepaskan oleh pohon-pohon di sekeliling taman rumah sakit.“Kamu harus pergi dari hidup mereka. Biarkan Mbak Alya bahagia.” Aldi membuang pandangan ke depan. Menatap lurus seolah sedang menerawang masa lalu. “Sejak kecil, hidupnya sudah banyak mengalah. Demi aku, dia rela tidak kuliah. Padahal dia bercita-cita menjadi seorang desainer.