Farrel tidak punya tenaga lagi untuk melawan anak buah Karina. Pemuda itu terlihat kelelahan. Dia benar-benar tidak berdaya. Farrel telah bertarung dengan tiga orang bersenjata bertubuh lebih besar darinya. Selama dalam gua, Farrel tidak menyentuh makanan apa pun. Dirinya dan Nur hanya minum air di dalam gua.Melihat lawannya tak berdaya Karin tersenyum puas. Dia mengamati benda di tangannya, sembari menyeringai seperti iblis. "Astaga, jagoan itu ternyata ajalnya lebih dekat dari perkiraan. Selamat jalan, sahabat pengkhianat!" desis Karina.Klik!Sebuah pisau lipat. Farrel tersentak disusul rasa nyeri yang luar biasa di perutnya. Beberapa detik kemudian, suara tawa Karina dan kedua orang suruhannya tidak terdengar lagi. Semua berubah gelap. Manusia berhati iblis berwujud Karina itu masih tertawa terbahak.Dia menatap bengis pada kedua laki-laki bertubuh besar itu. "Lempar dia ke sungai itu!" perintahnya tak ingin dibantah.Karina kembali terbahak puas. Kini, tuntas sudah dendamnya pad
Karin dan Trisna tak bisa mundur lagi. Di belakang mereka, ada jurang terjal penuh bebatuan. Sigit mendekat sambil menyunggingkan senyum mengejek."Berakhir sudah petualangan kalian, biadab!" ucap laki-laki itu di samping telinga Karin.Gadis itu menatap mata Sigit dengan ketakutan juga kebencian. "Aku nggak takut masuk penjara. Yang penting, Farrel sekarang sudah bertemu dengan Tuhan. Ha ha ha! Jadi, aku akan habiskan hidupku di penjara juga nggak masalah. Bersamamu, Git!" ucapnya frustasi."Apa maksudmu?" sentak Sigit dengan rahang mengeras."Aku sudah membunuh temanmu itu, Git. Maaf, mungkin kamu juga ikut nyusul dia, ya!" Karina tersenyum miring dan melirik ke arah Trisna.Trisna mengedipkan sebelah matanya. Dengan gerakan cepat dia mencengkeram kerah baju Sigit. Kini posisi kedua orang itu di pinggir jurang. Sedangkan polisi yang berdiri di depan mereka tampak waspada dan tidak ingin membuat kesalahan yang berakibat fatal pada ketiga orang itu.Sigit melirik ke arah bawah sana, ju
"Berhenti! Aku bilang serahkan dia! Kami dari kepolisian, tempat ini sudah kami kepung!" Bintang kembali memperingatkan.Laki-laki itu melirik ke arah semak-semak. Benar saja, ada dua polisi yang mengarahkan senjata padanya. Dia menatap Bintang dan kedua temannya yang tengah mengacungkan senjata kepadanya. Keringat dingin membasahi tubuh lelaki itu."Cepat, serahkan anak itu pada kami!" sentak Bintang lagi lebih tegas.Laki-laki itu terlihat bingung dan mendongak ke arah sana. Terdengar suara gamelan yang mengalun membuyarkan konsentrasinya. Bintang dan kedua temannya tak ingin hanyut dalam suara gamelan itu.Karena menurut penuturan Kyai Sekayu, suara gamelan itu memiliki daya hipnotis. Orang yang mendengarkan dengan seksama bisa-bisa masuk ke alam mereka. Maka dari itu, tiga orang yang bertugas di situ memilih selalu berzikir supaya konsentrasi mereka tidak terpecah.Rafli menggeliat tidak nyaman. Bocah itu pun membuka matanya. Dia menatap bingung pada orang-orang yang ada di sekitar
"Ya Allah, lahaula walaquwata illabillah!"Ketiga orang itu terus menggumamkan kalimatullah. Apa yang mereka lihat benar-benar mengerikan. Tidak pernah terbersit sedikit pun meski dalam mimpi, mereka akan melihat kejadian seperti ini.Mbah Kukus masih mengamuk membanting dan menyiksa tubuh Sutoro. Iblis itu sangat marah karena apa yang diinginkan tak terpenuhi. Semua persembahan yang diinginkan tak bisa diberikan. Iblis itu juga tidak mampu menembus tempat di mana Bintang dan teman-temannya berada. Karena daerah di luar Gerbang Bambu Kuning bukan lagi daerah kekuasaannya."Haaarrrggh!" Sekarang, Sutoro tak ubahnya seperti seekor tikus yang dililit oleh ular raksasa. Tidak berdaya, bahkan untuk bernapas saja tidak bisa. Sutoro tidak punya waktu untuk bertaubat. Kini, kematian dengan dirinya hanya berjarak antara kulit dan daging.Sutoro teringat ambisinya dalam mengumpulkan harta dengan jalan yang salah dan kejam. Dia menatap pilu pada orang-orang yang berdiri di samping tubuhnya yang
Menjelang siang, petugas pemakaman di Desa Karanglor begitu sibuk. Mereka menyiapkan dua makam untuk Trisna dan Karina secara bersamaan.Namun, tidak seperti pemakaman orang pada umumnya, kali ini tidak ada satu pun penduduk desa yang mau datang. Mereka merasa muak dan jijik dengan perilaku kedua orang tersebut semasa hidupnya. Apalagi belum ada kabar apa-apa mengenai keberadaan Farrel."Ora sudi taziah. Ngapain, wong jahat wae. Ayu-ayu tapi koyo iblis!" ( Tidak mau taziah. Ngapain orang jahat, saja. Cantik-cantik tapi seperti iblis) Ucapan seperti itu hampir terdengar di setiap tempat. Mereka tidak menyangka jika Karin begitu jahat sama seperti ayahnya."Dasar perempuan iblis! Biar masuk neraka sana! Bisa-bisanya dia hendak membunuh anakku. Cinta ditolak kok jadi bar-bar!" cibir Bu Marni geram karena sampai sekarang Sigit masih belum sadarkan diri di rumah sakit.Sangat miris. Pemakaman Karina dan Trisna hanya dihadiri orang-orang dari petugas pemakaman dan saudara mereka saja. Seoran
"Mbak Alisha, bagaimana keadaan Nur dan Rafli di rumah sakit?" tanya Bu Halimah dengan suara lirih. Kedua mata wanita paruh baya itu terlihat bengkak karena terlalu banyak mengeluarkan air mata.Alisha menemani Bu Halimah semenjak Farrel dikabarkan hilang. Mereka berdua tidak menyangka jika hal buruk seperti ini akan terjadi pada Farrel.Alisha mendekat dan memegang pelan lengan Bu Halimah. Dia menatap prihatin pada wanita yang berbaring di depannya. Tergambar jelas di wajahnya kesedihan dan kehilangan itu. "Mereka baik-baik saja, kondisinya sudah membaik. InshaAllah akan dibawa pulang besok.""Kalau Sigit?" tanyanya lagi. Walaupun anaknya sendiri belum ada kabar, Bu Halimah tak berhenti memikirkan nasib mereka.Alisha menghela napas. Dia ikut prihatin dengan apa yang dialami laki-laki tersebut. Menurut penjelasan Bintang, Sigit terkena tembak nyasar tepat di ulu hatinya. Sampai kini, Sigit belum sadarkan diri."Mas Sigit belum sadar, Bu. Masih dalam UGD." "Astaghfirullah, betapa ja
Di ruangan lain. Agus selalu menyempatkan waktu menunggu Sigit. Laki-laki berwajah rupawan itu berharap Sigit segera membuka mata.. Dia duduk dengan gelisah. Agus menyandarkan bahu di kursi ruang tunggu dengan wajah tertunduk lesu."Eh, Pak Agus. Kok Pak Agus di sini, masih nungguin Sigit, ya?" Agus mendongak ke sumber suara. Dia menatap malas pada Bu Sayuti yang berdiri tak jauh dari tempatnya duduk. Wanita itu tersenyum, berlagak seramah mungkin.Agus mengangguk samar. "Iya, Bu. Bagaimana keadaan Nur?" tanyanya tak acuh. Agus benci dengan perempuan munafik di depannya itu.Agus teringat tentang Nur. Dia ikut prihatin dengan apa yang menimpa gadis belia itu. Agus tidak habis pikir ada orang tua yang tega pada anaknya sendiri. Apalagi Nur anak tunggal.Bu Sayuti mengangguk. "Ya, dia sudah baikan, Pak. Sigit sudah sadar belum, Pak?' tanyanya basa basi."Masih belum sadar. Apa kalian senang lihat Nur, Rafli, dan Sigit masuk rumah sakit karena ulah kalian dan guru kalian itu?" tanya Agus
"Nuraini!" panggil orang itu lagi.Nur tersenyum canggung dan mengusap air matanya. Dia menatap laki-laki yang berdiri di depannya. "Pak, Agus! Bapak ke sini juga?" tanyanya lirih.Agus mengangguk samar. Laki-laki yang selalu menunjukkan sikap datar dan dingin itu, beralih menatap makam Sigit dengan tatapan sedih."Ayo, aku antar pulang!" ajak Agus dengan tatapan masih tertuju ke makam Sigit.Walaupun berat, Agus terpaksa menerima permintaan sang kekasih. Meskipun Agus sendiri tidak yakin bisa melakukan tugas itu. Setidaknya, Agus sudah menuruti permintaan kekasihnya. Dia juga ingin Sigit tenang di sisi Tuhan. Nuraini menggeleng samar dan tersenyum canggung. "Maaf, merepotkan Bapak. Saya masih mau ke makam Mas Banu." Nur mengangguk pelan dan meninggalkan Agus yang masih berdiri di dekat makam Sigit.Laki-laki itu menatap sekilas pada Nur yang kini duduk di samping makam kekasihnya. Baik Agus dan Nuraini sibuk mendo'akan orang-orang yang mereka cintai. Kepergian Banu dan Sigit tentu me