Alya menatap mata suaminya, berharap jika semua yang ibu mertuanya itu katakan tidak benar. Rasanya persendian Alya patah mendengar hinaan seperti itu, andai mereka tahu jika Alya tengah hamil. Apa hinaan itu akan berubah menjadi kasih sayang.
Setelah mengetahui hal ini, Alya rasanya tidak perlu memberitahu bahwa dirinya tengah hamil. Alya akan melihat kedepannya akan seperti apa, ia yakin ibu mertuanya itu pasti akan lebih sayang pada menantu keduanya, dibandingkan dengan Alya.
"Apa benar jika Safira itu istri kedua kamu, Mas?" tanya Alya.
"Heh, kamu tidak dengar tadi. Safira itu .... "
"Aku tanya sama, Mas Gibran bukan sama, Mama," potong Alya. Ibu mertuanya itu memang sekali-kali harus diberi pelajaran.
"Alya, kamu .... "
"Sekarang jawab pertanyaanku, Mas. Apa benar jika Safira itu istri kamu." Alya memotong ucapan suaminya. Dadanya naik turun menahan amarah.
Gibran bungkam dan menundukkan kepalanya, pria berbadan putih itu tidak berani menatap mata istrinya yang menyorotkan kemarahan. Gibran benar-benar merasa bersalah karena sudah membohongi sang istri, bahkan menduakannya.
"Jawab, Mas! Kenapa diam saja!" bentak Alya.
"Iya." Gibran menjawab dengan suara lirih. Seketika air mata Alya menetes. Ternyata suami, ibu mertua dan sahabat sama saja kelakuannya.
"Terima kasih, Mas. Atas luka yang kamu berikan, terutama kamu. Sahabat macam apa yang tega menusuk sahabatnya sendiri dari belakang," ungkap Alya penuh dengan amarah.
"Diam kamu, masih untung Gibran tidak menceraikanmu langsung. Kalau iya, mau jadi gelandangan kamu!" bentak Ratna.
"Apa aku tidak salah dengar, bukankah jika saham yang mas Gibran kelola ditarik sama papa mereka yang akan jadi gelandangan," batin Alya.
"Gibran, antar Safira ke kamar," titah Ratna.
"Tapi, Ma .... "
"Cepat." Ratna memotong ucapan Gibran.
Dengan terpaksa Gibran membawa koper milik Safira menuju ke lantai atas. Begitu juga dengan Ratna, ia juga pergi ke kamar miliknya. Alya menghembuskan napasnya, ia harus kuat, tidak boleh lemah. Mungkin untuk saat ini Alya kalah, tapi tidak dengan nanti.
Usai makan siang, Alya memilih untuk menyendiri di taman belakang rumah. Hatinya terasa sakit saat mengingat penghianatan yang Gibran lakukan. Bahkan penghinaan yang sering ia dengar setiap kali bertemu dengan ibu mertuanya.
Selang berapa menit, Gibran datang, pria beralis tebal itu melihat istrinya tengah duduk melamun di taman belakang. Bergegas Gibran menghampiri sang istri, rasanya ia tidak tega melihat Alya sedih, karena wanitanya itu adalah segala-galanya bagi Gibran.
"Kamu lagi ngapain?" tanya Gibran seraya menjatuhkan bobotnya di sebelah Alya.
Alya menghembuskan napasnya. "Lagi duduk."
"Sayang, aku minta maaf karena. Aku tidak berniat untuk menikah dengan Safira, kami menikah karena .... "
"Sama-sama cinta, apa sama-sama bod*h," potong Alya. Hal itu membuat Gibran merasa geram, karena tidak biasanya Alya berkata kasar seperti itu.
"Alya, kenapa kamu .... "
"Kenapa? Apa, Mas pikir dengan maaf bisa mengambilkan semuanya. Mas sudah menghancurkan kepercayaanku, pernikahan kita." Lagi-lagi Alya memotong ucapan Gibran.
Gibran mengusap wajahnya dengan kasar. "Alya aku benar-benar minta maaf, kami terpaksa menikah karena kami dijodohkan. Dan alasan aku membawa Safira tinggal di sini, karena mamanya baru saja meninggal semalam. Itu alasannya juga, semalam aku pergi. Alya kamu mau kan maafin aku."
"Maaf mudah, Mas. Tapi sekali berhianat, sampai kapanpun akan berhianat. Sekali berbohong, akan terus berbohong," ujar Alya. Gibran menghembuskan napasnya dengan kasar.
"Alya, aku .... "
"Mas, mas di mana!" teriak Safira.
"Cepat masuk, aku tidak ingin debat dengan penghianat seperti kalian," titah Alya. Dengan terpaksa Gibran bangkit dan berjalan masuk ke dalam.
"Aku harus kuat, demi anak yang ada di kandunganku," batin Alya, seraya mengelus perutnya yang masih datar.
***
Malam telah tiba, entah kenapa malam ini Alya tidak selera makan. Terlebih saat melihat Safira, ia tidak habis pikir jika dia tega berhianat. Akhirnya Alya memilih untuk menyendiri di dalam kamar, percuma keluar yang ada hanya berdebat dengan ibu mertua.
Saat Alya tengah asyik berbalas chat dengan Linda dan juga Nita, tiba-tiba pintu kamar terbuka. Terlihat Gibran berjalan masuk ke dalam kamar dengan membawa sepiring nasi dan segelas air putih. Alya hanya melirik sekilas lalu kembali fokus pada layar ponselnya.
"Kamu makan dulu ya." Gibran meletakkan piring tersebut di atas meja yang berada di samping ranjang.
"Aku udah kenyang," sahut Alya.
"Kenyang dari mana, orang belum makan," balas Gibran.
"Aku kenyang makan penghianat kalian." Alya merebahkan tubuhnya, membelakangi Gibran.
Gibran terdiam mendengar perkataan istrinya, rasa bersalahnya kian merambah. Namun semua itu tak ada gunanya lagi, penyesalan memang selalu datang terlambat. Gibran menghembuskan napasnya, lalu ikut berbaring di sebelah istrinya.
"Aku minta maaf, aku tahu maafku ini memang tidak ada artinya lagi. Tapi jujur, aku sama sekali tidak berniat untuk menikah lagi. Tolong kamu percaya sama aku." Gibran melingkarkan tangannya di pinggang istrinya.
"Aku mau tidur, Mas. Tolong jangan ganggu aku," ujar Alya.
"Kamu makan dulu, nanti kamu sakit," sahut Gibran.
"Aku nggak lapar," balas Alya. Lalu mencoba untuk memejamkan matanya.
Gibran menghembuskan napasnya. "Ya sudah, kamu istirahat saja."
Gibran bangkit, lalu membawa kembali makanan dan minuman yang ia bawa. Pria dengan balutan kaos berwarna putih itu melangkahkan kakinya menuruni anak tangga. Setibanya di bawah, Gibran beranjak menuju dapur, tetapi langkahnya terhenti saat mendengar ucapan sang ibu.
"Makanya, nggak usah sok-sokan perhatian. Istrimu itu memang nyusahin, udah mandul, nggak tahu sopan santun. Mending kamu sama Safira saja, dia pasti bisa melayani kamu," tuturnya. Ratna memang selalu mencari kesalahan menantunya itu.
Gibran hanya menghembuskan napasnya, lalu memilih pergi ke dapur. Rasanya sakit saat didiamkan sama orang yang sangat dicintai. Mungkin rasa sakit yang Alya rasakan tidak seperti yang Gibran alami.
***
Pagi telah menyapa, pukul enam Alya baru bangun, itu pun karena ia merasa sangat mual. Alya memuntahkan semua isi perutnya, tetapi hanya cairan bening yang keluar. Rasanya memang tidak enak, bukan hanya mual, tapi kepala juga pusing. Alya membasuh wajahnya, setelah itu ia keluar dari kamar mandi.
"Kayaknya aku perlu ke dokter nih," batin Alya.
Alya terdiam, saat melihat ranjangnya kosong, semalam ia tidur sendiri, itu artinya Gibran tidur dengan Safira. Hatinya terasa sakit saat membayangkan suaminya sendiri bercumbu dengan wanita lain. Tidak mungkin tidak terjadi, sepasang suami-istri yang tidur satu ranjang, sangat tidak mungkin tidak melakukan itu.
"Alya sabar, semua ini pasti ada hikmahnya," batinnya. Alya menyeka matanya yang sudah basah.
Baru saja mau masuk ke dalam kamar mandi, tiba-tiba pintu kamar digedor dari luar. Bukan hanya digedor, suara ibu mertuanya yang cempreng itu ikut memekakkan telinga Alya. Alhasil, Alya berjalan menuju pintu dan membukanya.
"Cepat turun, siapkan sarapan. Bi Sumi pulang kampung," titah Ratna. Sontak Alya kaget, perasaan tadi sore bi Sumi masih baik-baik saja.
"Kapan, bi Sumi .... "
"Cepat turun." Ratna menarik tangan Alya dan membawanya turun ke bawah.
Setibanya di bawah Ratna membawa Alya ke dapur. "Cepat siapkan. Aku dan Safira sudah lapar, Gibran juga, sebentar lagi Gibran berangkat ke kantor.
"Ok, aku kerjain baru tahu rasa," batin Alya. Setelah itu Alya bergerak menyiapkan sarapan.
Selang beberapa menit Safira datang, dengan tampang tak berdosa, Safira berjalan menghampiri Alya yang tengah sibuk membuat sarapan.
"Al, tolong buatkan kopi dong," pinta Safira, tanpa rasa malu.
Alya mencoba menahan amarahnya. "Untuk siapa."
"Untuk aku," sahut Safira. Ia beranjak menuju kursi yang ada di dapur.
Dengan segera Alya menyeduh kopi seperti yang Safira perintahkan. Alya tersenyum saat ia memasukkan bubuk cabai ke dalam kopi yang sudah ia seduh.
"Mampus kamu," batin Alya, seraya mengaduk kopi tersenyum.
"Ini." Alya menyodorkan kopi tersebut. Dengan segera Safira menerimanya dan beranjak keluar.
"Cari apa, Mas?" tanya Safira saat melihat Gibran ada di meja makan.
"Kopi, biasanya Alya .... "
"Ini, Mas. Tadi aku yang buatin," ujar Safira seraya menyodorkan kopi yang ia pegang.
"Mas Gibran pasti akan memujiku," batin Safira.
Gibran menerima kopi tersebut. "Terima kasih ya."
Safira hanya tersenyum dan mengangguk. Dengan segera Gibran menyeruput kopi tersebut, tetapi baru saja satu teguk, tiba-tiba Gibran menyembuhkannya. Safira terkejut melihat Gibran menyemburkan kopi tersebut.
"Ada apa, Mas?" tanya Safira khawatir.
"Kamu buat kopi pakai apa, kenapa rasanya pedas," jawab Gibran, seraya mengelap mulutnya dengan tisu.
"Alya yang buat, Mas bukan aku," ujar Safira. Sontak Gibran terkejut.
"Ada apa?" tanya Ratna panik.
"Alya buat kopi rasanya pedas, Ma," jawab Safira, mendengar hal itu Ratna sontak geram.
"Alya! Ke sini kamu!" teriak Ratna. Dengan tergesa-gesa Alya beranjak menuju meja makan.
Tiba-tiba saja Ratna menyiramkan sisa kopi tersebut ke wajah Alya. Safira tersenyum melihat hal itu, sementara Gibran hanya diam. Alya tidak tahu apa kesalahannya, kenapa tiba-tiba ibu mertuanya melakukan hal itu.
_______
Balas Alya, jangan diam saja. Safira licik banget, Gibran bodoh, masa iya diam saja.
Yuk yang penasaran dengan kelanjutannya, ikuti terus ya kisahnya.Alya menyeka wajahnya yang basah karena kopi, ibu mertuanya memang sudah sangat keterlaluan. Sementara, Gibran yang sebagai suaminya hanya diam, suami macam apa. Melihat istrinya diperlukan buruk hanya menonton."Kamu mau bunuh anak saya, iya." Ratna menjambak rambut panjang Alya."Ma, sudah mungkin Alya .... ""Diam kamu, istri seperti dia tidak perlu kamu bela. Sudah mandul, tidak tahu diri, seharusnya kamu berterima kasih karena Gibran masih mempertahankan kamu. Coba kalau Gibran menceraikanmu, siapa yang mau sama wanita mandul sepertimu!" bentak Ratna, lalu melepas jambakannya dengan kasar."Sekarang kamu selesaikan masakanmu, kami sudah lapar," titah Ratna."Suruh saja menantu kesayangannya, Mama untuk masak, aku bukan pembantu." Alya melenggang pergi meninggalkan ruang makan. Hatinya terlanjur sakit mendengar ucapan demi ucapan pedas ibu mertuanya itu."Alya, berani kamu ... Alya mau kemana kamu, Alya!" te
Safira tersenyum saat melihat siapa yang datang, begitu juga dengan Ratna. Sementara Alya masih diam, ia berusaha untuk bersikap tenang. Gibran berjalan menghampiri mereka Alya dengan tatapan mata yang tajam."Jadi ini yang kamu lakukan di belakang aku iya?" tanya Gibran penuh dengan penekanan.Alya terdiam sejenak. "Memangnya kenapa? Mereka pantas mendapatkan ini. Aku bukan wanita lemah yang seenaknya diinjak-injak begitu saja."Plak, satu tamparan mendarat di pipi mulus Alya. "Sekarang kamu berubah, di mana Alya yang dulu."Alya mengusap pipinya yang terasa panas. "Aku berubah juga gara-gara kamu, dan sepertinya bukan aku saja yang berubah, tapi kamu juga. Setelah kamu menikahi sahabat tidak tahu diri itu, kamu berubah."Gibran kembali mengangkat tangannya kembali, dan hendak menampar pipi Alya kembali. Namun niatnya terhenti saat melihat sorot mata istrinya yang terlihat seperti menahan rasa sakit. Gibran sadar, jika keputusannya unt
Dengan cepat Alya mengambil amplop tersebut, ia tidak ingin Gibran tahu jika dirinya tengah hamil. Sementara itu, Gibran menatap istrinya dengan penuh selidik, ada rasa curiga jika sang istri menyembunyikan sesuatu darinya."Amplop apa itu?" tanya Gibran."Ini bukan punyaku, tapi punya Linda. Kemarin dia nitip," jawab Alya. Ia sengaja berbohong agar Gibran tidak mencurigainya.Gibran hanya mengangguk, setelah itu ia beranjak meninggalkan kamar istrinya. Sementara itu, Alya bergegas masuk ke dalam kamar mandi untuk membersihkan diri. Hari ini Alya akan pergi ke rumah orang tuanya untuk mengurus masalah yang kini menimpanya.Dua puluh menit kemudian, Alya sudah siap untuk pergi. Wanita berambut panjang itu beranjak keluar dari kamar, ia melangkahkan kakinya menuruni anak tangga. Setibanya di bawah terlihat Ratna dan Safira tengah ribut di dapur, sementara Gibran sudah berangkat ke kantor."Heh mau kemana kamu?" tanya Rat
Penyesalan memang selalu datang terlambat, karena jika diawal itu namanya pendaftaran. Kini Gibran hanya bisa meratapi nasibnya, istri pergi, saham yang sudah kurang lebih satu tahun ia kelola kini diambil kembali. Rasanya Gibran ingin menangis, mungkin jika hanya saham yang diambil, ia masih bisa terima. Namun, Alya juga ikut pergi, terlebih sang istri dalam keadaan hamil.Selama setahun menantikan buah hati, setelah terwujud, justru Gibran tidak bisa memilikinya, karena sang istri memilih untuk pergi. Andai ia tidak menuruti keinginan ibunya, mungkin kejadiannya tidak akan seperti sekarang ini. Mungkin saat ini Gibran tengah berbahagia karena kehamilan Alya."Gibran, sekarang apa yang akan kamu lakukan?" tanya Ratna.Gibran menggelengkan kepalanya. "Nggak tahu, Ma. Alya sudah pergi ninggalin aku."Ratna menghembuskan napasnya. "Untuk apa kamu memikirkan dia, biarkan saja dia pergi. Yang perlu kamu pikirkan adalah, bagaimana caranya kit
Kini Gibran sudah ada di kantor, ia pun langsung mengecek ke gudang. Seketika tubuhnya luruh ke lantai, semua barang-barang habis dilalap oleh dijago merah. Tidak ada yang tersisa sedikitpun, entah berapa kerugian yang harus Gibran tangung."Bisa-bisa perusahaan ini bangkrut," ucap salah satu pegawainya."Iya, entah berapa kerugian yang harus, pak Gibran tanggung," sahut yang lain."Iya, malah bisa-bisa kita nggak gajian, untuk menutupi ini semua," timpal yang lain lagi."Hus, jangan keras-keras. Kalau, pak Gibran denger bagaimana, dia kan lagi berduka," sergah yang lain. Sontak mereka diam.Setelah itu Gibran bangkit, ia menatap semua pegawainya yang masih berkumpul di depan gudang. Setelah itu Gibran menyuruh mereka untuk kembali bekerja, meski terlihat jika mereka tidak memiliki semangat untuk kerja."Anton, kapan kejadiannya?" tanya Gibran."Satu jam sebelum para karyawan datang, Pak," jaw
Keesokan harinya, Gibran datang ke rumah orang tua Alya, berharap istrinya itu mau mencabut gugatannya itu. Setibanya di sana, Gibran memarkirkan mobilnya, setelah itu ia pun turun. Pria dengan balutan kemeja berwarna merah maroon mengedarkan pandangannya.Rumah nampak sepi, bahkan jika dilihat rumah sudah lama tak berpenghuni. Halaman kotor, banyak tumbuh rumput liar. Kondisi rumah juga tak terawat, semenjak menikah dengan Alya, ia memang jarang ke mertuanya itu. Mungkinkah jika mereka pindah."Kenapa rumahnya sepi, apa mereka pindah. Tapi rumah ini sepertinya sudah lama tidak berpenghuni, lalu Alya kemana," gumam Gibran. Ia mendesah kecewa, sudah jauh-jauh datang, tapi hasilnya nihil."Huft, nomor Alya nggak aktif lagi," gumamnya, seraya menelpon nomor istrinya.Hampir satu jam Gibran menunggu, tapi hasilnya nihil. Lelah menunggu, akhirnya Gibran memutuskan untuk pulang, ia tidak tahu harus mencari kemana istrinya itu. Namun, tib
Seminggu telah berlalu, sejak pertemuannya dengan Alya di resto waktu itu. Kini Gibran mulai berpikir jika anak yang Alya kandung bukanlah anaknya. Rasanya sulit untuk menerima kenyataan itu, dan mungkin Gibran juga sudah termakan oleh perkataan Safira.Kini Gibran tidak peduli lagi dengan perceraian itu, bahkan dirinya tidak akan mempersulit jalannya sidang nanti. Saat ini Gibran memilih fokus pada perusahaannya yang terancam bangkrut. Gibran sudah berusaha untuk mencari bantuan, tapi hasilnya tetap sama.Sudah lebih dari dua puluh perusahaan, yang ia ajak untuk kerja sama, agar bisa menyelamatkan perusahaan miliknya. Namun hanya penolakan yang Gibran terima, rasanya ia seperti kehilangan harga diri. Hendak meminjam uang ke bank, tapi hasilnya juga sama, tidak ada bank yang mau meminjamkan uang.Gibran tidak tahu harus berbuat apa lagi, otaknya berasa ingin pecah. Terlebih saat melihat kelakuan Safira dan ibunya, yang seperti tidak memiliki pe
Kini Alya sudah ada di rumah sakit, Yulia terus mondar-mandir di depan ruangan di mana putrinya berada. Khawatir, panik, dan takut menjadi satu, Yulia hanya bisa berdo'a agar Alya baik-baik saja. Selang beberapa menit, Gunawan datang, pria berkemeja putih itu melangkah tergesa-gesa menghampiri sang istri."Bagaimana keadaan Alya, Ma?" tanya Gunawan. Raut wajahnya terlihat begitu khawatir."Mama nggak tahu, Pa. Dokter belum keluar," jawab Yulia dengan air mata yang terus menetes."Kita berdo'a saja, semoga putri kita baik-baik saja." Gunawan merengkuh tubuh istrinya agar merasa lebih tenang.Selang sepuluh menit, pintu ruangan terbuka, seorang dokter keluar, melihat itu Gunawan dan Yulia bergegas bangkit dan berjalan menghampiri dokter tersebut. Mereka berharap semoga keadaan Alya baik-baik saja."Bagaimana keadaan putri kami, Dok?" tanya Gunawan."Untuk saat ini kondisinya belum stabil, dan luka yang dider
Waktu terus bergulir, setelah melewati hari demi hari, hingga bulan demi bulan. Kini penantian Alya dan Reyhan telah terbayar, tepat pukul tujuh pagi Alya melahirkan seorang putri yang sangat cantik. Wajahnya sangat mirip dengan Alya, tetapi hidung dan matanya mewarisi ayahnya."Lihat, Sayang. Wajahnya mirip banget sama kamu, cantik." Reyhan menggendong putrinya dan duduk di sebelah istrinya."Tapi hidung sama mata mirip sama kamu," ucap Alya seraya memandangi wajah putrinya."Iya lah, kan papanya tampan," sahut Reyhan dengan penuh percaya diri."Ish, biasa aja kok," balas Alya. Seketika Reyhan mencubit gemas hidung istrinya."Ih, sakit tahu." Alya memegangi hidungnya, dengan bibir cemberut."Nggak usah cemberut, jelek tahu." Reyhan mengacak-acak rambut panjang istrinya.Selang beberapa menit, pintu ruangan terbuka terlihat Yulia dan Widya masuk ke dalam. Kedua wanita itu segera menghampiri cu
Satu bulan telah berlalu, pukul sebelas malam Alya terbangun dari tidurnya, tangan kanannya meraba sebelahnya yang kosong. Detik itu juga, kelopak mata Alya terbuka sempurna, wanita hamil itu bangkit dan menelisik sudut kamarnya mencari sosok suaminya."Mas, Mas, Mas Reyhan!" teriak Alya. Lalu bangkit dari tempat tidur."Mas." Alya kembali berteriak."Iya, Sayang sebentar!" teriak Reyhan dari ruang kerjanya.Selang lima menit Reyhan masuk ke dalam kamar, terlihat jika istrinya tengah mondar-mandir tak jelas. Reyhan berjalan menghampiri istrinya, seketika Alya memeluk tubuh suaminya. Reyhan merasa jika ada sesuatu yang sang istri inginkan."Ada apa, hem?" tanya Reyhan."Mas, aku pengen makan martabak telor," jawab Alya. Seketika Reyhan menghela napas, sudah diduga."Sayang ini .... ""Aku pengennya sekarang, Mas. Kalau nolak nanti anak kamu ileran, mau." Alya memotong ucapan suaminya.&nb
Satu tahun telah berlalu, pernikahan Alya dan Reyhan semakin hari semakin romantis. Setiap bahtera rumah tangga pasti ada saja rintangannya, dan mungkin saat ini mereka tengah menikmati indahnya menjalin hubungan pernikahan.Sementara itu, Silvi yang dulu mengejar-ngejar cinta Reyhan, kini dia menyerah, rasanya percuma mencintai pria yang sudah beristri. Bahkan kini Silvi memilih untuk rujuk dengan Dony---suaminya demi putri mereka.Berbeda dengan Andin, kini wanita itu tengah mendekam di balik jeruji besi, lantaran untuk menebus perbuatannya. Ternyata, setelah diselidiki mobil yang menabrak Alya adalah mobil milik Andin. Wanita itu sengaja karena merasa sakit hati, lantaran Reyhan lebih memilih Alya.Setahun sudah, Gibran meninggalkan istri serta putrinya, yang masih sangat membutuhkannya. Gibran meninggal lantaran kecelakaan saat hendak menjemput ibunya, dan sebelum Gibran menghembuskan napas terakhirnya, ia berpesan jika kornea matanya akan
Kini mereka sudah berkumpul di rumah sakit, Reyhan dan ibunya, serta kedua orang tua Alya kini mereka ada di ruang rawat Alya. Wanita berambut panjang itu kini terbaring tak berdaya, dengan beberapa alat medis yang menempel di tubuhnya.Reyhan tidak menyangka jika kejadian buruk kembali menimpa sang istri. Terlalu banyak penderitaan yang Alya alami, Reyhan merasa jika dirinya belum mampu menjadi suami yang baik dan berguna untuk Alya. Untuk kejadian ini, Gunawan dan Reyhan sudah melaporkannya kepada pihak polisi, semoga pelaku segera ketemu.Sementara itu, Gibran merasa bersalah, gara-gara menolong Kania, kini Alya yang harus menanggung semuanya. Gibran berharap tidak terjadi sesuatu yang buruk pada Alya. Meski sekarang Alya bukan lagi istrinya. Namun, bagaimanapun wanita itu pernah menjadi bagian dari hidupnya, pernah menemani hidupnya."Al, kamu pasti bisa melewati semua ini. Maafkan aku, gara-gara kamu menolong Kania, kini kamu yang harus me
Reyhan terdiam mendengar permintaan Silvi, lagi-lagi ia melirik istrinya. Namun, Alya membalasnya dengan tatapan tajam, melihat tatapan istrinya. Ia sudah paham jika Alya melarang dirinya untuk pergi. Lagi pula, Reyhan juga tidak akan bertindak konyol. Untuk bekerja saja, ia memilih mengalah."Silvi maaf, aku tidak bisa. Kamu lihat sendiri kan, aku rela tidak kerja demi bisa menjaga Alya. Jadi tidak mungkin aku ninggalin istriku ini, kamu kan bisa meminta tolong sama orang lain." Reyhan menolak permintaan Silvi. Jujur, ia merasa kurang suka dengan sikap wanita itu yang terlalu berlebihan."Kamu tega ngomong seperti itu, Rey aku .... ""Silvi, aku sudah membantumu untuk bisa lepas dari Doni, dan mendapatkan hak asuh atas putri kalian. Tapi untuk yang ini, tolong kamu meminta bantuan pada orang lain. Jangan semuanya kamu bergantungkan kepadaku, aku sekarang sudah menikah, aku harus bisa menjaga hati istriku." Reyhan memotong ucapan Silvi. Hal ini benar
Kania membuka pintu utama rumahnya, dan detik itu juga, matanya membulat sempurna. Saat melihat seorang wanita dan anak kecil sudah berdiri di depan pintu. Ia tidak menyangka jika dia bisa nekat datang ke rumahnya."Kamu, mau ngapain datang ke sini?" tanya Kania. Sorot matanya menunjukkan rasa tak suka pada wanita yang ada di hadapannya itu. Yang tak lain adalah mantan istri Gibran.Safira tersenyum. "Aku ke sini ingin bertemu dengan mas Gibran. Memangnya kenapa.""Sayang, siapa yang datang?" tanya Gibran seraya berjalan menghampiri istrinya.Sontak Gibran terkejut, saat melihat mantan istrinya yang tengah bertamu ke rumahnya. Sebisa mungkin Gibran bersikap seperti biasa, ia masih ingat seperti apa kelakuan Safira yang sesungguhnya. Kebohongan yang sudah diperbuat oleh Safira, masih terus berputar di benaknya."Ada urusan apa kamu ke sini?" tanya Gibran seraya berjalan mendekati Kania istrinya."Aku ke sini cuma
Dokter itu terdiam seraya menatap pria yang ada di hadapannya. "Maaf, kami .... "Reyhan semakin merasa panik dan khawatir, saat dokter yang menangani istrinya menggantung ucapannya. Reyhan hanya bisa berdoa semoga istri serta calon anaknya dalam keadaan baik. Meski kemungkinan besar, itu tidak mungkin terjadi."Tolong jelaskan, Dok," ujar Reyhan."Kami harus melakukan tindakan operasi, karena detak jantung bayi yang ada di dalam perut istri, Bapak lemah," jelas Dokter Irma.Bagai disambar petir di siang hari, mendengar hal itu, persendian Reyhan berasa lemas. Haruskah ia kehilangan calon anaknya, haruskah Alya mengalami hal buruk itu untuk kedua kalinya. Reyhan tidak biasa membayangkan jika itu sampai terjadi."Tolong lakukan yang terbaik untuk istri dan calon anak kami, Dok." Reyhan pasrah, apa pun yang akan terjadi nantinya. Reyhan hanya bisa berdo'a, semoga keajaiban terjadi."Baik, kalau begitu, Bapak ikut
Waktu terus bergulir, hubungan Alya dan Reyhan semakin hari semakin romantis. Saat ini Reyhan tengah menikmati perannya sebagai seorang suami dan calon ayah butuh ekstra kesabaran dalam menghadapi sikap istrinya yang berubah-ubah. Tak jarang, Reyhan harus mempunyai stok kesabaran yang cukup banyak.Seperti malam ini, saat Reyhan tengah sibuk dengan pekerjaannya. Alya terus saja mengganggunya, entah itu meminta di pijit kakinya, dan masih banyak lagi. Beruntung, Reyhan termasuk orang yang penyabar, tetapi orang juga mempunyai batas kesabaran."Sudah ya, aku selesein kerjaan dulu, biar nanti tinggal nemenin kamu tidur," ujar Reyhan seraya bangkit dari duduknya."Tapi jangan lama-lama," sahut Alya."Iya, nggak lama kok." Reyhan mencolek hidung istrinya. Setelah itu ia beranjak menuju meja kerjanya.Baru saja Reyhan menjatuhkan bobotnya di kursi, tiba-tiba Alya sudah memanggilnya lagi. Reyhan menghela napas, entah apa lagi
Alya tidak menyangka jika Gibran bisa senekat itu, bukankah pria itu tengah berada di atas pelaminan. Namun kenapa tiba-tiba Gibran ada di toilet, mungkinkah pria itu mengikuti mantan istrinya. Takut terjadi fitnah, Alya mengibaskan tangan mantan suaminya itu."Sayang, aku .... "Plak, satu tamparan mendarat tepat di pipi kanan Gibran. "Aku nggak suka dengan cara kamu yang seperti ini. Ingat, kita sudah tidak ada hubungan apa-apa lagi. Dan satu hal, kamu sudah menikah, bagaimana perasaan Kania, jika melihat suaminya masih saja menggoda mantan istrinya.""Alya, aku tidak rela kamu bahagia dengan pria lain. Aku masih sangat mencintai kamu, tolong kembali lagi padaku. Aku janji akan .... "Plak, Alya kembali menampar pipi mantan suaminya itu. "Hubungan kita sudah berakhir, dan semua ini terjadi juga karena ulah kamu. Aku bahagia menikah dengan mas Reyhan, dia pria baik, tegas, dan punya pendirian."Gibran terdiam mendengar penuturan mantan istri