Safira tersenyum saat melihat siapa yang datang, begitu juga dengan Ratna. Sementara Alya masih diam, ia berusaha untuk bersikap tenang. Gibran berjalan menghampiri mereka Alya dengan tatapan mata yang tajam.
"Jadi ini yang kamu lakukan di belakang aku iya?" tanya Gibran penuh dengan penekanan.
Alya terdiam sejenak. "Memangnya kenapa? Mereka pantas mendapatkan ini. Aku bukan wanita lemah yang seenaknya diinjak-injak begitu saja."
Plak, satu tamparan mendarat di pipi mulus Alya. "Sekarang kamu berubah, di mana Alya yang dulu."
Alya mengusap pipinya yang terasa panas. "Aku berubah juga gara-gara kamu, dan sepertinya bukan aku saja yang berubah, tapi kamu juga. Setelah kamu menikahi sahabat tidak tahu diri itu, kamu berubah."
Gibran kembali mengangkat tangannya kembali, dan hendak menampar pipi Alya kembali. Namun niatnya terhenti saat melihat sorot mata istrinya yang terlihat seperti menahan rasa sakit. Gibran sadar, jika keputusannya untuk menikah dengan Safira adalah kesalahan terbesar.
Namun, Gibran tidak bisa menolak keinginan ibunya, dan almarhumah ibu Safira. Gibran menurunkan tangannya kembali, tetapi pandangan matanya tak beralih dari netra istrinya. Sementara Alya memilih pergi dari ruangan tersebut. Ingin rasanya melampiaskan amarahnya, tetapi Alya sadar jika dirinya tengah hamil.
"Mas, kenapa nggak kamu ceraikan saja si Alya sih. Lama-lama dia bahaya, kamu mau aku sama mama nanti diam-diam dihabisi sama Alya," ungkap Safira, wanita itu benar-benar tidak punya rasa malu. Sudah menggaet suami sahabat sendiri, sekarang malah mengomporinya untuk bercerai.
"Safira benar, lebih baik kamu dan Alya bercerai. Sekarang baru gilingan cabai, nanti bisa-bisa racun. Kamu mau mama dan Safira .... "
"Cukup, Ma. Aku pusing dengan masalah yang ada, mungkin benar apa yang Alya katakan. Aku yang berubah, aku juga merasa setelah menikah dengan Safira, masalah selalu datang." Gibran memotong ucapan ibunya.
"Jangan bod*h kamu, lama-lama kamu bisa dimanfaatkan sama dia. Lebih baik kamu lepaskan saja, sebelum terlambat," ujar Ratna. Ia akan mencari cara apapun agar Gibran dan Alya berpisah.
Gibran menghembuskan napasnya, setelah itu ia memilih untuk masuk ke dalam kamar. Ia ingin melihat Alya, Gibran merasa bersalah karena tadi menamparnya. Tidak ada niat untuk melakukan hal itu, selama menikah baru kali ini Gibran dan Alya bertengkar sehebat ini. Sebenarnya tidak pernah.
Ceklek, Gibran membuka pintu kamar istrinya, terlihat Alya tengah berbaring di atas ranjang. Dengan ragu Gibran melangkahkan kakinya menghampiri sang istri, sementara Alya hanya diam, ia tak peduli dengan kedatangan suaminya itu. Dadanya masih bergemuruh mengingat kejadian tadi.
"Alya, maaf untuk yang tadi. Apa ini masih sakit?" tanya Gibran. Tangannya terulur untuk menyentuh pipi mulus istrinya. Namun dengan kasar Alya menipisnya.
"Tamparan ini sama sekali tidak terasa sakit. Tapi perbuatan kalian yang menyakitkan." Alya memiringkan tubuhnya, membelakangi Gibran.
Gibran menghela napas. "Maaf, aku benar-benar tidak bermaksud untuk menghianati pernikahan kita. Aku melakukan ini karena .... "
"Cukup, Mas. Aku tidak mau mendengar apapun lagi, bagiku semuanya sudah jelas." Alya memotong ucapan suaminya. Kali ini Alya bangkit dari tempat tidur dan melangkah masuk ke dalam kamar mandi.
Gibran terdiam, ia mencoba memahami ucapan Alya. Semua itu terjadi memang gara-gara dirinya sendiri, andai tidak menuruti keinginan ibunya, mungkin hubungan pernikahannya tidak akan seperti sekarang. Gibran mengusap wajahnya dengan kasar, penyesalan tak guna.
***
Malam telah tiba, usai makan malam Alya memilih langsung ke kamar. Dadanya terasa sesak saat melihat Gibran dan Safira berduaan seraya menonton televisi. Safira memang teman yang nggak punya muka, suami sahabat sendiri bisa-bisanya digaet. Sementara Gibran pun sama, menikah tanpa persetujuan dari Alya.
"Aku harus kuat, aku tidak boleh lemah, orang-orang seperti mereka pasti akan mendapatkan balasan yang setimpal," batin Alya. Tiba-tiba saja pintu kamarnya terbuka.
Alya menoleh ke arah pintu, terlihat suaminya berjalan masuk ke dalam. Enak banget jadi laki, setelah bermesraan dengan istri mudanya, kini tinggal bersama dengan istri tuanya. Alya menggelengkan kepalanya, rasanya ia tidak sudi lagi melayani suaminya. Alya tidak pernah rela berbagi suami.
"Alya malam ini aku tidur di sini ya," ujar Gibran seraya duduk di tepi ranjang.
"Tidur aja di kamar istri mudamu, aku mau tidur sendiri," sahut Alya tanpa menoleh.
Gibran menghela napas. "Kamu masih istriku, jadi terserah aku mau tidur dengan siapa. Dan satu lagi, hampir dua minggu kamu mengabaikanku, jadi aku minta jatah malam ini."
Alya bangkit mendengar hal itu. "Apa?! Jatah, apa aku tidak salah dengar? Apa kamu lupa, Mas. Saat kita akan melakukannya, tiba-tiba kamu pergi tanpa ada rasa bersalah, tanpa memikirkan perasaanku bagaimana. Kamu lupa itu, Mas. Laki-laki memang sama, seperti kucing jika disodori ikan pasti akan dilahapnya juga. Padahal sudah kenyang tiap hari makan ikan."
"Alya, aku kan sudah minta maaf. Pokoknya aku tidak mau tahu, malam ini kamu harus memuaskanku." Gibran naik ke atas ranjang dan dengan kasar menindih tubuh istrinya.
"Lepas, Mas! Aku tidak mau, sekarang kamu keluar dari kamar aku!" teriak Alya. Ia benar-benar tidak sudi lagi melayani suaminya.
"Kamu berani menolakku." Gibran mengangkat tangan kanannya dan hendak melayangkan tamparan di pipi istrinya.
"Ayo tampar, kamu pikir aku takut iya," tantangnya, seketika Gibran diam dan perlahan menurunkan tangannya.
"Mas, ayo tidur. Aku nungguin kamu loh." Safira menggedor pintu kamar Alya. Sontak Alya dan Gibran terkejut.
"Tuh, istri mudamu. Sekarang, Mas keluar," titah Alya. Dengan terpaksa Gibran bangkit dan beranjak turun. Pria dengan balutan kaos berwarna putih itu melangkahkan kakinya keluar dari kamar Alya.
Setelah Gibran keluar, Alya langsung mengunci pintu kamarnya. Tak peduli jika ia menolak keinginan suaminya. Alya benar-benar tidak rela kalau harus berbagi suami.
***
Pagi telah menyapa, pukul enam Alya terbangun, wanita berambut panjang itu menggeliatkan tubuhnya. Tiba-tiba saja perutnya terasa mual, dengan cepat ia bangkit dan berlari masuk ke dalam kamar mandi. Alya memuntahkan isi perutnya, tetapi hanya cairan bening yang keluar. Setelah mencuci wajah dan mulutnya Alya bergegas keluar dari kamar mandi.
"Ternyata begini ya, nikmatnya hamil muda," ucap Alya seraya mengelus perutnya yang masih datar.
"Kok tiba-tiba aku pengen lontong sayur sih. Emm, kayaknya enak banget, lebih baik aku siap-siap aja deh," ujarnya. Alya pun bergegas mengambil handuk dan beranjak masuk ke dalam kamar mandi.
Namun tiba-tiba pintu kamar diketuk dari luar, dan suara itu adalah suara Gibran. Alya mendengus kesal, untuk apa pagi-pagi seperti ini datang ke kamarnya. Dengan langkah terpaksa, Alya membukakan pintu terlebih dahulu.
"Mau ngapain?" tanya Alya.
"Mau ambil baju kerjaku," jawab Gibran. Sementara Alya hanya ber-oh ria. Gibran berjalan menuju almari pakaian lalu membukanya.
Gibran mengambil kemeja berwarna merah maroon, celana panjang hitam dan juga jas. Setelah itu ia menutup pintu almarinya, tetapi tiba-tiba sebuah amplop jatuh tepat di hadapan Gibran. Mata Alya membola saat tahu jika amplop yang jatuh adalah amplop yang berisi hasil pemeriksaan kehamilannya.
"Amplop apa ini." Gibran mengambil amplop tersebut, seketika Alya terkejut, ia takut jika kehamilannya akan diketahui oleh Gibran. Meski Gibran itu suaminya sendiri, tapi pria itu telah mengkhianatinya. Rasanya Alya tidak rela, jika Gibran dan ibu mertuanya tahu kalau saat ini ia tengah hamil.
________
Alya ayo rebut amplop itu, jangan biarkan suami tak tahu diri seperti Gibran tahu jika kamu hamil. Mulai susun rencana untuk membalas perbuatan mereka.
Dengan cepat Alya mengambil amplop tersebut, ia tidak ingin Gibran tahu jika dirinya tengah hamil. Sementara itu, Gibran menatap istrinya dengan penuh selidik, ada rasa curiga jika sang istri menyembunyikan sesuatu darinya."Amplop apa itu?" tanya Gibran."Ini bukan punyaku, tapi punya Linda. Kemarin dia nitip," jawab Alya. Ia sengaja berbohong agar Gibran tidak mencurigainya.Gibran hanya mengangguk, setelah itu ia beranjak meninggalkan kamar istrinya. Sementara itu, Alya bergegas masuk ke dalam kamar mandi untuk membersihkan diri. Hari ini Alya akan pergi ke rumah orang tuanya untuk mengurus masalah yang kini menimpanya.Dua puluh menit kemudian, Alya sudah siap untuk pergi. Wanita berambut panjang itu beranjak keluar dari kamar, ia melangkahkan kakinya menuruni anak tangga. Setibanya di bawah terlihat Ratna dan Safira tengah ribut di dapur, sementara Gibran sudah berangkat ke kantor."Heh mau kemana kamu?" tanya Rat
Penyesalan memang selalu datang terlambat, karena jika diawal itu namanya pendaftaran. Kini Gibran hanya bisa meratapi nasibnya, istri pergi, saham yang sudah kurang lebih satu tahun ia kelola kini diambil kembali. Rasanya Gibran ingin menangis, mungkin jika hanya saham yang diambil, ia masih bisa terima. Namun, Alya juga ikut pergi, terlebih sang istri dalam keadaan hamil.Selama setahun menantikan buah hati, setelah terwujud, justru Gibran tidak bisa memilikinya, karena sang istri memilih untuk pergi. Andai ia tidak menuruti keinginan ibunya, mungkin kejadiannya tidak akan seperti sekarang ini. Mungkin saat ini Gibran tengah berbahagia karena kehamilan Alya."Gibran, sekarang apa yang akan kamu lakukan?" tanya Ratna.Gibran menggelengkan kepalanya. "Nggak tahu, Ma. Alya sudah pergi ninggalin aku."Ratna menghembuskan napasnya. "Untuk apa kamu memikirkan dia, biarkan saja dia pergi. Yang perlu kamu pikirkan adalah, bagaimana caranya kit
Kini Gibran sudah ada di kantor, ia pun langsung mengecek ke gudang. Seketika tubuhnya luruh ke lantai, semua barang-barang habis dilalap oleh dijago merah. Tidak ada yang tersisa sedikitpun, entah berapa kerugian yang harus Gibran tangung."Bisa-bisa perusahaan ini bangkrut," ucap salah satu pegawainya."Iya, entah berapa kerugian yang harus, pak Gibran tanggung," sahut yang lain."Iya, malah bisa-bisa kita nggak gajian, untuk menutupi ini semua," timpal yang lain lagi."Hus, jangan keras-keras. Kalau, pak Gibran denger bagaimana, dia kan lagi berduka," sergah yang lain. Sontak mereka diam.Setelah itu Gibran bangkit, ia menatap semua pegawainya yang masih berkumpul di depan gudang. Setelah itu Gibran menyuruh mereka untuk kembali bekerja, meski terlihat jika mereka tidak memiliki semangat untuk kerja."Anton, kapan kejadiannya?" tanya Gibran."Satu jam sebelum para karyawan datang, Pak," jaw
Keesokan harinya, Gibran datang ke rumah orang tua Alya, berharap istrinya itu mau mencabut gugatannya itu. Setibanya di sana, Gibran memarkirkan mobilnya, setelah itu ia pun turun. Pria dengan balutan kemeja berwarna merah maroon mengedarkan pandangannya.Rumah nampak sepi, bahkan jika dilihat rumah sudah lama tak berpenghuni. Halaman kotor, banyak tumbuh rumput liar. Kondisi rumah juga tak terawat, semenjak menikah dengan Alya, ia memang jarang ke mertuanya itu. Mungkinkah jika mereka pindah."Kenapa rumahnya sepi, apa mereka pindah. Tapi rumah ini sepertinya sudah lama tidak berpenghuni, lalu Alya kemana," gumam Gibran. Ia mendesah kecewa, sudah jauh-jauh datang, tapi hasilnya nihil."Huft, nomor Alya nggak aktif lagi," gumamnya, seraya menelpon nomor istrinya.Hampir satu jam Gibran menunggu, tapi hasilnya nihil. Lelah menunggu, akhirnya Gibran memutuskan untuk pulang, ia tidak tahu harus mencari kemana istrinya itu. Namun, tib
Seminggu telah berlalu, sejak pertemuannya dengan Alya di resto waktu itu. Kini Gibran mulai berpikir jika anak yang Alya kandung bukanlah anaknya. Rasanya sulit untuk menerima kenyataan itu, dan mungkin Gibran juga sudah termakan oleh perkataan Safira.Kini Gibran tidak peduli lagi dengan perceraian itu, bahkan dirinya tidak akan mempersulit jalannya sidang nanti. Saat ini Gibran memilih fokus pada perusahaannya yang terancam bangkrut. Gibran sudah berusaha untuk mencari bantuan, tapi hasilnya tetap sama.Sudah lebih dari dua puluh perusahaan, yang ia ajak untuk kerja sama, agar bisa menyelamatkan perusahaan miliknya. Namun hanya penolakan yang Gibran terima, rasanya ia seperti kehilangan harga diri. Hendak meminjam uang ke bank, tapi hasilnya juga sama, tidak ada bank yang mau meminjamkan uang.Gibran tidak tahu harus berbuat apa lagi, otaknya berasa ingin pecah. Terlebih saat melihat kelakuan Safira dan ibunya, yang seperti tidak memiliki pe
Kini Alya sudah ada di rumah sakit, Yulia terus mondar-mandir di depan ruangan di mana putrinya berada. Khawatir, panik, dan takut menjadi satu, Yulia hanya bisa berdo'a agar Alya baik-baik saja. Selang beberapa menit, Gunawan datang, pria berkemeja putih itu melangkah tergesa-gesa menghampiri sang istri."Bagaimana keadaan Alya, Ma?" tanya Gunawan. Raut wajahnya terlihat begitu khawatir."Mama nggak tahu, Pa. Dokter belum keluar," jawab Yulia dengan air mata yang terus menetes."Kita berdo'a saja, semoga putri kita baik-baik saja." Gunawan merengkuh tubuh istrinya agar merasa lebih tenang.Selang sepuluh menit, pintu ruangan terbuka, seorang dokter keluar, melihat itu Gunawan dan Yulia bergegas bangkit dan berjalan menghampiri dokter tersebut. Mereka berharap semoga keadaan Alya baik-baik saja."Bagaimana keadaan putri kami, Dok?" tanya Gunawan."Untuk saat ini kondisinya belum stabil, dan luka yang dider
Hari demi hari telah berganti, bahkan bulan pun demikian. Proses perceraian antara Alya dan Gibran berjalan dengan lancar, Gibran sama sekali tidak mempersulit jalannya sidang. Dan sekarang mereka hanya tinggal menunggu sidang terakhir, di mana mereka akan benar-benar resmi bercerai.Sementara itu, Safira masih mendekam dipenjara, Gibran dan Ratna datang menjenguknya setiap tiga hari dalam seminggu. Gibran sempat kecewa karena Safira sudah mengaku jika dirinya yang telah menabrak Alya dengan sengaja.Namun semuanya sudah terjadi, Gibran berharap setelah keluar dari penjara Safira dapat berubah. Lalu, untuk Alya, sampai detik ini ia ingin sekali menemui Safira, tetapi kedua orang tuanya melarang. Alya boleh menemui Safira, setelah resmi bercerai dengan Gibran. Yulia dan Gunawan khawatir, kalau mereka akan memanfaatkan keadaan.Saat ini Alya tengah duduk santai di taman samping rumah. Tanaman bunga yang beraneka warna dan jenis, menambah in
Kini mereka berkumpul di rumah Gunawan, sudah saatnya Gibran dan Ratna tahu siapa Alya yang sesungguhnya. Gunawan akan menceritakan kepada mereka tanpa menutupinya sedikitpun. Rasanya Gibran sudah tidak sabar ingin mendengar kebenarannya, ia tidak menyangka jika ada rahasia besar di balik pernikahannya."Gibran, apa kamu siap mendengarnya?" tanya Gunawan, untuk memastikan."Siap, Om." Gibran mengangguk. Ekor matanya selalu melirik ke arah Alya."Baik, dua puluh tiga tahun yang lalu, Yulia melahirkan seorang putri yang sangat cantik, yaitu Alya. Saat itu usiamu baru enam tahun, tetapi karena rasa iri Ratna, dia membuang Alya saat usianya baru satu bulan. Karena Ratna bukan hanya saja iri, tapi cemburu lantaran yang menikahinya bukan aku, melainkan adikku, Indra." Gunawan menghela napas."Ratna pernah mengutarakan perasaannya terhadapku. Namun, aku lebih memilih Yulia, mungkin itu yang membuat Ratna membuang Alya. Beruntung, ada sepa
Waktu terus bergulir, setelah melewati hari demi hari, hingga bulan demi bulan. Kini penantian Alya dan Reyhan telah terbayar, tepat pukul tujuh pagi Alya melahirkan seorang putri yang sangat cantik. Wajahnya sangat mirip dengan Alya, tetapi hidung dan matanya mewarisi ayahnya."Lihat, Sayang. Wajahnya mirip banget sama kamu, cantik." Reyhan menggendong putrinya dan duduk di sebelah istrinya."Tapi hidung sama mata mirip sama kamu," ucap Alya seraya memandangi wajah putrinya."Iya lah, kan papanya tampan," sahut Reyhan dengan penuh percaya diri."Ish, biasa aja kok," balas Alya. Seketika Reyhan mencubit gemas hidung istrinya."Ih, sakit tahu." Alya memegangi hidungnya, dengan bibir cemberut."Nggak usah cemberut, jelek tahu." Reyhan mengacak-acak rambut panjang istrinya.Selang beberapa menit, pintu ruangan terbuka terlihat Yulia dan Widya masuk ke dalam. Kedua wanita itu segera menghampiri cu
Satu bulan telah berlalu, pukul sebelas malam Alya terbangun dari tidurnya, tangan kanannya meraba sebelahnya yang kosong. Detik itu juga, kelopak mata Alya terbuka sempurna, wanita hamil itu bangkit dan menelisik sudut kamarnya mencari sosok suaminya."Mas, Mas, Mas Reyhan!" teriak Alya. Lalu bangkit dari tempat tidur."Mas." Alya kembali berteriak."Iya, Sayang sebentar!" teriak Reyhan dari ruang kerjanya.Selang lima menit Reyhan masuk ke dalam kamar, terlihat jika istrinya tengah mondar-mandir tak jelas. Reyhan berjalan menghampiri istrinya, seketika Alya memeluk tubuh suaminya. Reyhan merasa jika ada sesuatu yang sang istri inginkan."Ada apa, hem?" tanya Reyhan."Mas, aku pengen makan martabak telor," jawab Alya. Seketika Reyhan menghela napas, sudah diduga."Sayang ini .... ""Aku pengennya sekarang, Mas. Kalau nolak nanti anak kamu ileran, mau." Alya memotong ucapan suaminya.&nb
Satu tahun telah berlalu, pernikahan Alya dan Reyhan semakin hari semakin romantis. Setiap bahtera rumah tangga pasti ada saja rintangannya, dan mungkin saat ini mereka tengah menikmati indahnya menjalin hubungan pernikahan.Sementara itu, Silvi yang dulu mengejar-ngejar cinta Reyhan, kini dia menyerah, rasanya percuma mencintai pria yang sudah beristri. Bahkan kini Silvi memilih untuk rujuk dengan Dony---suaminya demi putri mereka.Berbeda dengan Andin, kini wanita itu tengah mendekam di balik jeruji besi, lantaran untuk menebus perbuatannya. Ternyata, setelah diselidiki mobil yang menabrak Alya adalah mobil milik Andin. Wanita itu sengaja karena merasa sakit hati, lantaran Reyhan lebih memilih Alya.Setahun sudah, Gibran meninggalkan istri serta putrinya, yang masih sangat membutuhkannya. Gibran meninggal lantaran kecelakaan saat hendak menjemput ibunya, dan sebelum Gibran menghembuskan napas terakhirnya, ia berpesan jika kornea matanya akan
Kini mereka sudah berkumpul di rumah sakit, Reyhan dan ibunya, serta kedua orang tua Alya kini mereka ada di ruang rawat Alya. Wanita berambut panjang itu kini terbaring tak berdaya, dengan beberapa alat medis yang menempel di tubuhnya.Reyhan tidak menyangka jika kejadian buruk kembali menimpa sang istri. Terlalu banyak penderitaan yang Alya alami, Reyhan merasa jika dirinya belum mampu menjadi suami yang baik dan berguna untuk Alya. Untuk kejadian ini, Gunawan dan Reyhan sudah melaporkannya kepada pihak polisi, semoga pelaku segera ketemu.Sementara itu, Gibran merasa bersalah, gara-gara menolong Kania, kini Alya yang harus menanggung semuanya. Gibran berharap tidak terjadi sesuatu yang buruk pada Alya. Meski sekarang Alya bukan lagi istrinya. Namun, bagaimanapun wanita itu pernah menjadi bagian dari hidupnya, pernah menemani hidupnya."Al, kamu pasti bisa melewati semua ini. Maafkan aku, gara-gara kamu menolong Kania, kini kamu yang harus me
Reyhan terdiam mendengar permintaan Silvi, lagi-lagi ia melirik istrinya. Namun, Alya membalasnya dengan tatapan tajam, melihat tatapan istrinya. Ia sudah paham jika Alya melarang dirinya untuk pergi. Lagi pula, Reyhan juga tidak akan bertindak konyol. Untuk bekerja saja, ia memilih mengalah."Silvi maaf, aku tidak bisa. Kamu lihat sendiri kan, aku rela tidak kerja demi bisa menjaga Alya. Jadi tidak mungkin aku ninggalin istriku ini, kamu kan bisa meminta tolong sama orang lain." Reyhan menolak permintaan Silvi. Jujur, ia merasa kurang suka dengan sikap wanita itu yang terlalu berlebihan."Kamu tega ngomong seperti itu, Rey aku .... ""Silvi, aku sudah membantumu untuk bisa lepas dari Doni, dan mendapatkan hak asuh atas putri kalian. Tapi untuk yang ini, tolong kamu meminta bantuan pada orang lain. Jangan semuanya kamu bergantungkan kepadaku, aku sekarang sudah menikah, aku harus bisa menjaga hati istriku." Reyhan memotong ucapan Silvi. Hal ini benar
Kania membuka pintu utama rumahnya, dan detik itu juga, matanya membulat sempurna. Saat melihat seorang wanita dan anak kecil sudah berdiri di depan pintu. Ia tidak menyangka jika dia bisa nekat datang ke rumahnya."Kamu, mau ngapain datang ke sini?" tanya Kania. Sorot matanya menunjukkan rasa tak suka pada wanita yang ada di hadapannya itu. Yang tak lain adalah mantan istri Gibran.Safira tersenyum. "Aku ke sini ingin bertemu dengan mas Gibran. Memangnya kenapa.""Sayang, siapa yang datang?" tanya Gibran seraya berjalan menghampiri istrinya.Sontak Gibran terkejut, saat melihat mantan istrinya yang tengah bertamu ke rumahnya. Sebisa mungkin Gibran bersikap seperti biasa, ia masih ingat seperti apa kelakuan Safira yang sesungguhnya. Kebohongan yang sudah diperbuat oleh Safira, masih terus berputar di benaknya."Ada urusan apa kamu ke sini?" tanya Gibran seraya berjalan mendekati Kania istrinya."Aku ke sini cuma
Dokter itu terdiam seraya menatap pria yang ada di hadapannya. "Maaf, kami .... "Reyhan semakin merasa panik dan khawatir, saat dokter yang menangani istrinya menggantung ucapannya. Reyhan hanya bisa berdoa semoga istri serta calon anaknya dalam keadaan baik. Meski kemungkinan besar, itu tidak mungkin terjadi."Tolong jelaskan, Dok," ujar Reyhan."Kami harus melakukan tindakan operasi, karena detak jantung bayi yang ada di dalam perut istri, Bapak lemah," jelas Dokter Irma.Bagai disambar petir di siang hari, mendengar hal itu, persendian Reyhan berasa lemas. Haruskah ia kehilangan calon anaknya, haruskah Alya mengalami hal buruk itu untuk kedua kalinya. Reyhan tidak biasa membayangkan jika itu sampai terjadi."Tolong lakukan yang terbaik untuk istri dan calon anak kami, Dok." Reyhan pasrah, apa pun yang akan terjadi nantinya. Reyhan hanya bisa berdo'a, semoga keajaiban terjadi."Baik, kalau begitu, Bapak ikut
Waktu terus bergulir, hubungan Alya dan Reyhan semakin hari semakin romantis. Saat ini Reyhan tengah menikmati perannya sebagai seorang suami dan calon ayah butuh ekstra kesabaran dalam menghadapi sikap istrinya yang berubah-ubah. Tak jarang, Reyhan harus mempunyai stok kesabaran yang cukup banyak.Seperti malam ini, saat Reyhan tengah sibuk dengan pekerjaannya. Alya terus saja mengganggunya, entah itu meminta di pijit kakinya, dan masih banyak lagi. Beruntung, Reyhan termasuk orang yang penyabar, tetapi orang juga mempunyai batas kesabaran."Sudah ya, aku selesein kerjaan dulu, biar nanti tinggal nemenin kamu tidur," ujar Reyhan seraya bangkit dari duduknya."Tapi jangan lama-lama," sahut Alya."Iya, nggak lama kok." Reyhan mencolek hidung istrinya. Setelah itu ia beranjak menuju meja kerjanya.Baru saja Reyhan menjatuhkan bobotnya di kursi, tiba-tiba Alya sudah memanggilnya lagi. Reyhan menghela napas, entah apa lagi
Alya tidak menyangka jika Gibran bisa senekat itu, bukankah pria itu tengah berada di atas pelaminan. Namun kenapa tiba-tiba Gibran ada di toilet, mungkinkah pria itu mengikuti mantan istrinya. Takut terjadi fitnah, Alya mengibaskan tangan mantan suaminya itu."Sayang, aku .... "Plak, satu tamparan mendarat tepat di pipi kanan Gibran. "Aku nggak suka dengan cara kamu yang seperti ini. Ingat, kita sudah tidak ada hubungan apa-apa lagi. Dan satu hal, kamu sudah menikah, bagaimana perasaan Kania, jika melihat suaminya masih saja menggoda mantan istrinya.""Alya, aku tidak rela kamu bahagia dengan pria lain. Aku masih sangat mencintai kamu, tolong kembali lagi padaku. Aku janji akan .... "Plak, Alya kembali menampar pipi mantan suaminya itu. "Hubungan kita sudah berakhir, dan semua ini terjadi juga karena ulah kamu. Aku bahagia menikah dengan mas Reyhan, dia pria baik, tegas, dan punya pendirian."Gibran terdiam mendengar penuturan mantan istri