Setelah mengurus administrasi dan membayar uang mukanya, Mama pun segera ditangani. Usai operasi, Mama masih membutuhkan waktu untuk bisa sadar kembali. Kini, Mama suah dipindahkan ke ruang perawatan kelas satu."Kopi, Pah." Aku menyodorkan satu cup coffe pada Papa yang baru bangun tidur."Kamu sudah salat subuh?" tanya Papa setelah menyeruput kopi tersebut."Sudah. Ini tadi mampir ke kantin sehabis dari musala." Aku duduk di kursi samping brankar Mama."Kamu sudah pikirkan dari mana sisa uang yang akan kita bayarkan, Mal?"Aku menggeleng."Apa kita perlu pinjam uang pada orang lain? Nanti Papa coba hubungi teman dan kerabat kita. Siapa tahu mereka bisa bantu.""Jangan, Pah! Mereka pasti tid
"Karin," gumamku lagi dengan senyum dan bibir yang bergetar.Semakin lama, langkah ini semakin cepat. Setetes air mata kebahagiaan luruh tanpa bisa kubendung.Ini bukan mimpi! Ini nyata! Karinku masih hidup!"Sayang."Hampir saja aku berlari dan menghambur memeluknya jika tak mendengar suara pria dari arah belakang.Sayang?Semakin Karin dekat, semakin terlihat jelas kalau ia bukan sedang memberikan senyum itu kepadaku."Mas." Ia tersenyum. Senyum yang begitu kurindukan. Sayang, ia malah memberikan senyum itu pada pria dengan kemeja polos biru dan celana panjang hitam. Lengan panjangnya ia gulung hingga siku. Terlihat sekali ia bukan pria biasa kalau dinilai dari penampilannya.Aku spontan menepi perlahan dengan tungkai kaki yang terasa lemas.
Aku kembali ke supermarket dan langsung dimarahi habis-habisan karena pergi begitu saja tanpa izin. Tidak masalah karena itu memang benar. Jadi, aku membiarkan mereka memarahi sesukanya.Perasaan ini jauh lebih sedih dan kacau setelah mengetahui Karin masih hidup, tapi dia bahkan tidak sudi untuk melihat wajah ini. Karin bahkan bersandiwara tidak mengenaliku. Mungkin, dia melakukan itu untuk membalas semua sakit hatinya.Aku pulang dengan lesu dan itu membuat Papa menatapku dengan kening berkerut."Assalamu'alaikum.""Wa'alaikumsalam. Kenapa kamu?" tanya Papa yang sedang menemani Mama menonton televisi."Tidak apa-apa, Pah." Aku terus berjalan melewati ruang keluarga menuju dapur dan minum."Kamu sudah makan malam belum?"
POV Karin🍒🍒🍒Kami memutuskan pergi makan siang di luar sekalian mampir berbelanja kebutuhan di supermarket. Sementara aku belanja, Mas Fandi meminta izin pergi ke rumah rekan kerjanya yang tidak terlalu jauh bersama anak kami. Ia berkata akan menjemputku lagi saat belanjanya sudah selesai.Benar saja. Tidak lama kemudian, ia menjemput lagi setelah kukirimkan pesan kalau sudah selesai membeli semua kebutuhan. Namun, ada satu kejadian yang membuatku heran dan tidak nyaman.Di parkiran supermarket, ada pria yang memandangku lekat. Bahkan, matanya memerah dan menangis. Ia juga memanggil-manggil dengan sebutan Karin. Entah siapa wanita yang dimaksud.Mengerti dengan ketidaknyamananku, Mas Fandi segera mengajak kami pergi meninggalkan pria aneh tersebut. Namun, tanpa disangka ternyata ia menggejar bahkan menghalangi jalan k
"Naila," panggilnya lembut, tapi aku bergeming. Tetap berbaring miring dengan mata terpejam. Meski tak ada air mata, tapi rasanya hati ini perih.Tak berselang lama, kasur di belakangku sedikit bergoyang. Sudah pasti Mas Fandi kini ikut berbaring. Untuk beberapa saat, tak ada pergerakan atau pun suara. Aku masih menunggu. Hingga pada akhirnya, tepukan lembut menyentuh pundak ini."Kamu marah padaku karena pulang larut lagi?""Bukan itu," jawabku lirih."Lalu?"Aku menghela napas berat lalu mengubah posisi tidur menghadapnya. "Aku hanya merasa, semakin lama Mas semakin menjauh dariku. Apa aku telah membuat kesalahan?""Kenapa kamu berpikir seperti itu? Kamu tidak pernah melakukan kesalahan apa pun, Nay. Jangan berpikir yang tidak-tidak!" Ia hendak mengusap kepalaku, tapi urung dilakukannya. Mas Fandi malah kemb
"Pah, ada yang perlu aku beritahu pada Papa," kataku sembari mengambil posisi duduk di teras.Papa yang tengah menyuapi Mama menoleh lalu meletakkan mangkuk di dekat gelas yang ada di meja bulat kecil."Soal apa?""Karin masih hidup, Pah."Papa terdiam sejenak lalu menggeleng. "Istighfar, Malik. Sudah lama Karin pergi. Seharusnya kamu sudah bisa mengikhlaskannya. Tidak baik terus-terusan berhalusinasi seperti itu. Raih masa depanmu. Jangan terus meratapi masa lalu. Jadikan saja pelajaran untuk ke depannya."Aku tersenyum. "Aku sudah tahu kalau Papa tidak akan percaya kata-kataku. Tapi keyakinanku selama ini sekarang terbukti, Pah. Allah mengabulkan doa dan harapanku," ujarku lalu mengotak-atik ponsel dan menyodorkannya pada Papa. "Lihatah dengan jelas."Papa menerima ponsel, memicingkan mata demi meyakinkan ap
"Nanti akan saya jelaskan. Boleh saya bicara berdua sebentar dengan putra bapak?"Papa menoleh padaku, tatapannya meminta jawaban atas permintaan Dokter Fandi. Aku pun mengangguk."Baiklah. Silakan, Dokter." Papa tersenyum ramah. "Papa tunggu di luar, ya."Aku mengangguk, membiarkan Papa pergi dengan raut wajah bingungnya. Sesaat sebelum pintu ditutup, ia sempat melihat kembali ke belakang. Wajar ia begitu karena belum tahu kalau Dokter Fandi ini suami baru Karin."Terima kasih atas kebaikannya. Aku akan secepatnya mengganti uang dokter," ujarku sungkan."Tidak perlu. Saya ikhlas membantu. Fokuskan saja dengan kesembuhanmu. Untungnya, pergelangan kakimu tidak terlalu parah. Mungkin sekitar enam mingguan sudah sembuh," jawabnya sembari berjalan ke sisi brankar."Kenapa Dokter ingin membantuku? Kita bahkan tidak
Bertepatan dengan aku yang selesai berbicara dengan Marco, Papa masuk. Tangannya menjinjing satu kantong plastik putih."Apa itu, Pah?""Roti. Nanti kan Papa pulang dulu, besok pagi baru ke sini lagi. Makanya, Papa belikan roti takutnya kamu lapar kalau malam," ujarnya sembari meletakkan kantong plastik tersebut di nakas. "Dokter Fandi bicara apa saja? Cukup lama juga, ya. Papa sampai pegal tunggu di luar tadi.""Iya. Dokter Fandi banyak bercerita tentang Karin.""Karin? Kenapa Dokter Fandi bisa tahu tentang Karin?" Papa terlihat heran."Dokter Fandi itu pria yang selama ini kusangka suami barunya, tapi ternyata bukan.""Maksudmu? Dia suami barunya Karin?" tanya Papa memastikan."Aku memang
Seminggu setelah penolakan lamaran itu, aku masih merasakan sedih dan kecewa. Namun, perasaan itu tidak kutunjukkan pada siapa pun termasuk pada Papa. Naila pun bekerja seperti biasa setelah sempat izin dua hari. Aku masih tidak menyerah mendekatinya. Dia masih sering kupanggil ke ruangan untuk mengerjakan tugas kecil hanya agar bisa melihatnya lebih leluasa.Hingga pada akhirnya, kesabaran dan doaku membuahkan hasil. Tiba-tiba Naila datang ke ruangan dan mengatakan sesuatu yang tidak diduga-duga. Dia menerima lamaranku yang membuat senyum bahagia langsung merekah menghiasi wajah ini. Papa dan kedua adikku pun turut senang dan dengan semangatnya membantu mempersiapkan pernikahan kami.Kami juga meminta alamat adik dari mendiang ayahnya, dan akan menjemput dia nanti untuk menjadi wali nikah."Ciee, yang sebentar lagi jadi peng
POV KAMAL🍁🍁🍁Semakin hari, ketertarikanku pada Naila semakin nyata. Diam-diam aku sering memperhatikan dari kejauhan. Bahkan terkadang memanggilnya ke ruangan hanya untuk alasan yang tidak terlalu penting. Beda hal dengan perasaanku pada Angelina yang semakin terkikis dan hilang begitu saja."Pak Kamal!"Aku yang sedang berjalan menuju parkiran pun, mau tak mau berhenti dan menoleh ketika Angelina mengejar, lalu berdiri di depanku."Ada apa?""Maaf, Pak. Boleh saya minta waktu sebentar? Ada sesuatu yang mau saya bicarakan."Aku melirik jam tangan, lalu mengangguk."Bicaralah." 
POV KAMAL 🍁🍁🍁 Hari ini aku berangkat lebih awal dari biasanya ke kantor. Faisal sendiri sedang pergi ke luar kota. Kami memang bergantian mengurus cabang perusahaan di sana. Sementara, akhir-akhir ini Papa yang sering jatuh sakit kami larang untuk ke kantor. Aku yang sedari tadi memandang keluar jendela mobil pun langsung menegakkan posisi duduk, ketika melihat gadis bernama Naila sedang berjalan kaki. Kalau dilihat dari data pribadi, usianya hanya berbeda satu tahun di atas Ayesha. "Pak Galih, tolong menepi sebentar," titahku pada sopir. "Iya Pak." Pak Galih memutar kemudi, dan menghentikan mobil tepat di bawah pohon. Melihat dia semakin mendekat ke mobil ini, akhirn
"Semua bekalnya sudah disiapkan, Bi?" tanya Ayesha seraya mendekati Bi Murti di meja makan."Sudah, Non. Ini sedang bibi masukin semua ke kotak.""Terima kasih, ya, Bi.""Sama-sama, Non Ayesha. Hati-hati."Ayesha mengangguk dan tersenyum, lalu mengambil kotak berukuran besar yang didalamnya terdapat banyak bekal."Ayo, Pah!" Dia merangkul lenganku, lalu kami berjalan bersama menuju pintu depan.Namun, baru maju beberapa langkah, aku sudah terhenti lagi seiring napas yang tertahan."Kenapa, Pah?" Ayesha menatap khawatir.Aku masih terdiam karena untuk menarik napas saja rasanya sakit."Pah?"Aku menoleh dan tersenyum."Papa tidak apa-apa," jawabku setelah rasa sakit di dada berangsur menghilang."Papa jangan bohong. Papa kenapa?" rengek
POV MALIK🍁🍁🍁"Papa."Aku yang baru selesai meminum obat pun menoleh pada Kamal yang berjalan mendekat."Sudah pulang, Nak. Ada masalah di kantor?""Tidak ada, Pah. Semua baik-baik saja," ujarnya, lalu duduk sampingku. "Papa katanya sesak napas.""Sudah tidak, kok.""Pasti Papa kepikiran Mama lagi, kan?"Aku diam menunduk."Pah ...." Kamal menyentuh pundakku. "Mama sudah lama pergi, Pah. Mama sudah tenang. Jangan terus diratapi.""Papa hanya rindu." Mataku memanas saat mengatakan itu.Kamal merangkul dan mengusap lenganku."Kita semua juga rindu, Pah," lirih Kamal, "tapi Papa harus tetap sehat. Mama juga pasti sedih kalau Papa sakit karena memikirkan Mama terus."Aku mengangguk. "Maafkan Papa. Papa sulit mengont
POV KAMAL🍁🍁🍁"Ayo, Bang, pulang!" Faisal menemuiku di ruangan.Aku mengangguk, membereskan berkas di meja, lalu menyambar tas dan berjalan menghampirinya."Mampir ke toko kue dulu, ya. Beli bolu kesukaan Papa."Faisal mengangguk dan kami pun berjalan menuju lift."Ada urusan apa kamu sama gadis itu?""Gadis yang mana?""Naila, OB baru di kantor kita itu.""Oh ... aku hanya kasih amanah dari Papa.""Amanah apaan? Kok, aku tidak diberitahu?""Papa lupa kali.""Amanahnya apa memang?""Uan
POV KAMAL🍁🍁🍁"Permisi, Pak."Aku yang tengah menunduk memeriksa berkas-berkas pun mengangkat wajah mendengar seseorang masuk ke ruangan."Masuk!"Angelina—gadis berambut ikal sebahu itu tersenyum dan mengangguk, lalu mendekat ke sini. Diam-diam aku memiliki ketertarikan padanya. Bukan hanya karena cantik, tapi juga pintar."Ada apa?""Ini, Pak. Ada berkas yang harus Bapak tanda tangani." Angelina menyodorkan beberapa map di mejaku.Kuperiksa sebentar, lalu membubuhkan tanda tangan di sana dan memberikannya lagi."Ada lagi?""Tidak ada, Pak.""Ya sudah. Kamu bisa kembali ke ruanganmu.""Pak."Aku yang baru akan fokus dengan laptop pun mau tak mau menoleh lagi ketika dia memanggil.
"Di mana Ayesha, Bi?" tanyaku yang baru pulang dari kantor bersama Kamal."Di kamarnya, Tuan. Tadi, sih, sepertinya nangis.""Nangis kenapa?""Uhm— anu ... bibi kurang tahu. Tapi tadi Non Ayesha pas keluar dari kamar Den Faisal sudah nangis."Aku dan Kamal saling melempar pandang."Biar aku yang tanya ke mereka, Pah. Mungkin bertengkar lagi.""Tidak usah, Mal. Biar papa saja. Kamu mandi dan istirahat," kataku, lalu pergi ke kamar Ayesha yang berada di lantai atas juga, sama seperti kamar Faisal."Ayesha," panggilku seraya mengetuk pintu kamarnya.Masih belum ada jawaban."Buka pintunya dulu, Nak. Ayesha?""Sebentar, Pah!" sahutnya dari dalam.Tak berselang lama, Ayesha sudah berdiri di depanku sambil tersenyum manis seperti biasa. Jejak air mata di w
Hari demi hari telah berlalu. Kini, Ayesha sudah bukan lagi anak remaja. Tahun ini dia mulai masuk kuliah. Sementara, Kamal dan Faisal fokus mengurus perusahaan. Mereka mampu bekerjasama mengelola dengan baik beberapa perusahaan yang kubangun dari nol.Bahkan satu pun dari mereka belum ada yang menikah. Aku sudah mencoba mengajak bicara, tapi keduanya kompak berkata belum siap dan belum menemukan calon yang cocok.Aku bangga pada Karin. Dia benar-benar berhasil mendidik Kamal dan Faisal dengan sangat baik. Keduanya berpegang teguh pada nasehat mamanya yang melarang pacaran. Meski aku tahu, sudah lama Kamal diam-diam menaruh hati pada karyawan di kantor yaitu Angelina."Permisi, Pak."Aku yang tengah fokus pada layar laptop pun menoleh ketika Pak Lukman mengetuk pintu dan melongokkan kepalanya."Masuklah."Sudah dua hari aku menggantikan Kamal yang sejak kemar