"Kamu mau melahirkan, Nay?""HPL-ku masih sepuluh hari lagi." "Ini air ketuban. Kamu mau melahirkan." "Aku tidak tau ...." "Pasti gara-gara kamu terlonjak duduk tadi mempercepat kontraksi." Gara-gara dua kecoa yang diselundupkan ke baju bayi. Kurang ajar kerjaan orang jahil. "Kita ke rumah sakit sekarang." Aku berteriak memanggil Mbok Rum yang sigap datang. Dia khawatir dan sama mengira Naya akan melahirkan."Ikut dengan saya, Mbok." "Baik, Tuan." Mbok Rum bergegas membuka pintu mempersilakan kami lewat. "Mau aku gendong?" Naya berjalan lambat sekali sambil menahan sakit. "Gak usah, berat. Aku masih bisa jalan.""Aku sanggup gendong kamu.""Enggaa." Aku terus memapahnya merangkul. Simbok membantu membuka pintu mobil. Aku mendudukkan Naya dan memasangkan sealt belt. Kemudian berlari kecil memutar di depan untuk masuk duduk di kursi kemudi. Terakhir Simbok di belakang. Kami menuju RS terdekat dengan diiringi kecemasan Mang Ujang di post security. Perawat dan dokter UGD sigap m
"Assalamualaikum." "Wa'alaikumsalam ... Kak Masdi, Kak Rita?" Naya sumringah melihat siapa yang datang. Ada kakak laki-lakinya beserta istri. Aku yang sedang menyentuh kepala anak kami yang dalam pangkuannya, lekas beranjak menyambut dan menyalami. Mempersilakan untuk mendekati Naya. Mereka sudah kuberi tahu sebelumnya. "Alhamdulillah, bayi sudah lahir selamat. Maafin Kakak baru ke sini." "Gak apa-apa. Nay, seneng Kak Masdi ke sini." "Kami cuma jenguk aja ke sini, gak bawa macam-macam." Ujar Rita. Padahal dia membawa tentengan makanan dalam plastik yang langsung ditaruhnya di meja. "Dijenguk sama uwaknya bayiku sudah cukup kok. Makasih banget." Kehadiran mereka membuat Naya semakin terhibur setelah melalui rasa sakit yang teramat. Aku sendiri tidak berharap banyak. "Iya, terpenting sudah keluar selamat dan sempurna." Rita semakin mendekat dan menyentuh baby boy-ku. "Lucu sekali. Ganteng." "Iya, dong. Kayak Papanya."Semuanya menoleh ke arahku. Dua iparku itu sama-sama tertawa k
Selama berjalan Evelyn terus menggandeng tanganku. Sudah kulepas begitu lagi. Hingga kami sampai di ruangan Naya berada, kulepas lagi dia dengan paksa di depan pintu sebelum masuk. "Aku tidak mau istriku melihat ini." Kutekankan ucapan itu padanya. Aku tidak main-main. "Pergi dari sini kalau kamu ngeyel." "Jangan usir aku dong, Sen. Kita sudah sampai sini. Aku juga mau kenal sama istrimu." "Menjauhlah. Jaga jarak denganku." "Oke." Evelyn mundur. Aku merebut tasku darinya kemudian membuka pintu. Ada pemandangan tak enak dilihat. Firman merangkul Nayaku. Membantunya duduk. "Lepasin istri gue." Tidak sudi dia menyentuhnya. "Gue cuma nolongin. Tadi, Naya hampir jatuh.""Kenapa bisa?" Kudorong dada Firman. Selalu seperti itu alasannya setiap kepergok. Naya memanggilku. Wajahnya tampak ketakutan. Pasti bedebah ini sudah macam-macam. Aku lekas menghampirinya. "Kamu gak apa-apa?" "Jangan tinggalin, aku ...." "Aku di sini." Bahunya kusentuh. Tas berisi baju sudah kuletakkan. Bayi k
Pagi-pagi sekali Mak Paraji yang diundang Mama datang ke rumah. Emak-emak memakai ciput rajut di kepala, dan daster lebar itu sedang memandikan Gathan di bak mandi bayi. Tangannya piawai memegangi bayi telanjang tanpa takut-takut lagi. Gathan menangis saat tubuhnya sedikit di angkat dari air, dibalikkan jadi telungkup di telapak tangan Mak Paraji itu. Aku tersenyum, lucu sekali. "Cup, cup, cup. Bentar lagi ya, ganteng. Biar bersih, wangii." Sambil membasuh dengan tangan satunya Si Mak berceloteh. Sabun yang merata diusapkan ke punggung juga shampoo di kepala Gathan terbilas. Aku jongkok, ikut membasuh."Pak ...." "Lanjutkan saja, Mak.""Iya." Putraku masih saja menangis dengan suara kencang. Dia seperti kedinginan, padahal mandi air hangat. Si Mak telaten dan sabar membersihkan sisa sabun. "Sayang, sayang ... sabaar. Nanti juga biasa ... Cup, cuup." Baby Gathan selesai dimandikan. Sedang dipakaikan baju dan diselimuti bedongan. Beres, diserahkan pada Naya untuk diberi asi. Sed
Evelyn menyudahi sejenak ciuman panasnya. "Aku sudah mencampurkan sesuatu dalam minumanmu." Aku terperangah mendengar itu. Oh, shit!Tak memberi kesempatan, Evelyn cepat menurunkan bajunya lalu menarik kembali kepalaku dibenamkan di dadanya. "Aku tau kamu mendambakan ini."Hatiku menolak, tapi tubuh menyambut hebat. Meremass dan menghisap rakus apa yang ada. Benar-benar sudah hilang kewarasan. Desahnya semakin membuatku menggila. Baju, sabuk, dan resleting kubuka sendiri dengan tak sabaran. Tubuh Evelyn kubalikkan di meja menjadi membungkuk. Rok span pendek itu kusingkap dan menarik kencang dalaman dengan sekali hentakkan. Evelyn mengerang menikmati saat aku berhasil melakukan penyatuan. Wajahnya menengadah saat rambut panjangnya kutarik menyesuaikan gerakkan. ***Rasa sesal menyelimuti sesudahnya. Betapa ceroboh diri ini. Evelyn sudah nekat. Dia menjebakku membuat tidak bisa menahan diri. Pengaruh obat yang dicampurkannya memegang kontrol warasku. Amat menyiksa dan butuh pelampi
Terlihat Naya di ruang makan. Pelan kudekati dia yang sedang membuat roti isi. Begitu di belakangnya langsung kupeluk. "Astagfirullah ... kaget." "Kamu sudah pulih, ya, udah bisa bikin sesuatu di sini.""Udah dua minggu, masa diem aja di tempat tidur. Kesel. Lagian, cuma bikin ginian doang gampang gak berat." Tapi, kamu keberatan dulu saat belum hamil. Jangankan menyiapkan sarapan menemaniku saja malas. Aku membatin seraya mengeratkan pelukan. "Kamu gak perlu repot-repot nyiapin ini buat aku." "Pede, aku sedang mempersiapkan sarapan sendiri kok.""Tapi, ada dua piring. Berarti buat aku satukan, mana mungkin buat Simbok." Bibirnya mengulum senyum. "Iya ... ayo, sarapan dulu." "Makasih, Sayang." Kukecup sekilas pipinya kemudian duduk. Menyambar roti pada piring langsung memakan begitu saja."Minum dulu, baru makan." "Kata siapa? Makan dulu baru minum.""Maksudku minum sedikit buat membasahi tenggorokkan.""Sudah minum kok begitu bangun tidur tadi, di kamar. Sekarang tinggal lang
"Pergi!""Aku tidak akan pergi dulu, apalagi suamimu baru datang." Evelyn menoleh ke arahku. "Kasian, baru pulang kerja kena lemparan barang. Untung aku menghindar. Aku jadi tidak berdarah seperti itu." Vas bunga itu hendak dilemparkan padanya tapi mengenaiku. Entah apa yang sudah dia katakan pada Naya hingga membuatnya lepas kendali. Tak peduli darah menetes, kuhampiri perempuan itu. "Untuk apa kamu ke sini? Beraninya!" "Memberitahu sesuatu." Kedua tanganku terkepal. Evelyn, jahanam! Perlahan melirik Naya. Pandangannya tak lagi sama. Menatapku murka .... "Nay?" "Jangan mendekat!" Dia mencegah aku yang ingin mendekatinya. "Dia bukan temanmu. Kamu sudah berbohong sama aku. Kalian juga masih ada hubungan.""Aku dan Evelyn sudah putus kontak sejak lama, Nay.""Aku sudah tahu semuanya.""Nay, maafkan aku. Dia memang mantan istriku, tapi kami--" "Kamu lupa kejadian di kantor?" Evelyn menyela. Aku meliriknya sinis. "Jangan ngarang kamu.""Benar kan? kita sudah bermesraan di ruang
Tidurku terjaga saat mendengar tangis Gathan. Lekas duduk. Bayi itu menjerit-jerit di balik selimut. Aku melihat ke sampingnya, tidak ada Naya. Ke mana dia? Gathan pasti ingin minum susu lagi. Aku meraih botol susunya yang kosong. "Tunggu, Papa buatkan dulu." Beranjak ke nakas. Di sana sengaja sudah kusediakan dus susu dan termos mini. Jaga-jaga saat butuh tidak perlu ke luar ruangan. Dengan gerakan cepat aku menyeduh susu, dicampur air mineral dingin sedikit supaya tidak terlalu panas. Bisa hangat dan pas untuk diminumnya. "Ini, Sayang. Cup, jangan nangis lagi." Susu kuberikan. Gathan menyedotnya lahap. Aku mende-sah lelah sambil terus memegangi botol, menunggu dia kenyang dan tidur kembali. "Maafin kecerobohan Papa. Kamu jadi jauh dari Mama." Kukecup pipinya pelan saat dia sudah lelap. Membenarkan selimutnya sebentar, lalu meninggalkan keluar. "Gathan baik-baik aja kan, Tuan?" Mbok Rum berdiri resah di depan pintu. Sejak kapan dia di situ? "Mbok gak tidur?""Simbok denger." Di
Suaranya ...."Evelyn?" "Ya, sayang. Ini aku." Keterkejutanku berusaha dinetralkan. Bukankah ini yang ditunggu-tunggu? Dia akhirnya menghubungiku juga. Aku berdehem pelan, sebisa mungkin tenang. "Ada apa?" "Tumben gak marah atau ngelarang saat kutelfon?" Sengaja kutanya baik-baik. "Ada perlu apa, Eve?" Kuulangi lagi pertanyaan itu ketimbang menanggapi keheranannya."Cuma kangen." "Mau ketemu?" "Ap-appa?" Dia tergagap pelan seperti tak menyangka. "Kalau gak mau yaudah." "Mau dong!" Sudut bibirku tersenyum miring. Perempuan itu perlu sedikit dibaiki. Memang maunya bertemu.Kami memutuskan dinner privat room. Hanya aku berdua dengannya. Evelyn tampak sumringah. Dia makan dengan lahap. Sedikit aneh, bukankah perempuan hamil di trimester pertama tidak selera makan? Aku tidak mau mempedulikan itu, mencoba tersenyum sambil mengiris steak sapi dan memakannya perlahan. "Kamu kangen juga sama aku kan?" Evelyn meminum air di gelas ramping berkaki satu. Makanannya sudah tandas. Kemudi
Aku dan mama mengintip dari balik pintu yang membuka sedikit, melihat Naya bersama seorang psikolog perempuan. Mereka duduk berhadapan. Entah mendapat pertanyaan apa, istriku menggeleng pelan sambil menunduk dalam. "Sudah, biarkan saja." Mama mengajak pergi. Aku mengikutinya. "Semoga konsultasi sama psikolog itu bisa membantu." Aku pun berharap begitu. Kami duduk tidak jauh dari kamar Naya berada. Menanti Psikolog itu selesai. Ingin mengetahui bagaimana hasilnya. "Semalam kamu habis dari mana, pulang malam sekali?""Ada perlu." "Kamu jangan lama-lama meninggalkan istrimu.""Untuk kebaikan Naya kok." Aku tersenyum ingat wajah takut Firman. Tidak mungkin aku senekat itu untuk melukai. Ternyata baru digertak begitu saja dia sudah kalah. "Gue belum kawin. Lo jangan apa-apain otong guee." Dia terus merengek saat aku tidak lantas menjauh dari bawahnya. "Gue bilang gue bakal ngaku!" Ingin menyemburkan tawa, tapi kutahan. Tetap memasang wajah serius, guna bisa mendapatkan info dariny
"Ya ampun, Tuan. Wajah Tuan kenapa?" Mbok Rum tampak panik saat membukakan pintu rumah."Awas, Mbok." Tidak menjawabnya langsung menerobos masuk membawa Naya digendongan tanganku."Ya ampun, Non Naya." Dia mengikut di belakang. Tangis Gathan terdengar, seakan ingin menyambut kedatangan mamanya. Tangis bahagia atau sedih, entah. Mungkin dua-duanya. "Urusi Gathan.""Ya, Tuan." Langkah Simbok yang ingin memasuki kamar bersamaku berputar arah. Di tempat tidur kubaringkan Naya langsung menyelimutinya. Meraba keningnya yang hangat. Dia demam. "Nay?" Dia tidak terusik. Apa aku harus hubungi dokter? Terdiam sejenak mempertimbangkan. Baiknya dikompres saja dulu mengingat waktu yang tidak memungkinkan. Aku keluar lagi untuk menyiapkan kompresan. Gathan sudah tidak rewel di tangan Simbok. Kembali ke kamar membawa wadah berisi air dan handuk kecil. Kain itu kuperas menempelkannya di kening Naya. Dia harus makan dan minum obat saat sudah bangun. Aku terdiam sesudahnya. Sudut bibirku perih.
Evelyn. Pasti dari dia. Mencoba menghubungi tapi nomornya sudah tidak aktif. Jika tahu akan ada pesan masuk darinya, tidak akan diberikan pada Naya. Akan kuperiksa lebih dulu. Ceroboh lagi. "Astaghfirullah, ya Allah ...." Naya luruh di lantai. Memegangi dada tersedu-sedu. "Sakit sekali."Aku harus bagaimana? "Nay?" Terpaksa mendekati dia lagi. "Aku bersumpah itu bukan anakku." "Tapi kamu sudah berzina dengannya."Kupeluk dirinya. Dia terus tersedu-sedu. Wajahnya kuangkat menyeka linangan air mata wujud sakit hati yang kembali menggelora. Mata indah itu terpejam tapi terus mengeluarkan cairan. "Akan aku buktikan semuanya." Membenamkan wajah itu kembali di dada. Menangislah sepuas hatimu. Mau memukulku juga tidak apa. Aku siap. Pantas menerima itu. Entah lelah atau terlalu larut dalam kesedihan Naya diam saja. Masih dalam keadaan terisak aku menggendongnya memindahkan di tempat tidur. Bantal yang berserak kuambil meletakkan di bawah kepalanya. Juga menutupi dengan selimut. Dia me
"Aku gak ngapa-ngapain kamu.""Pergi!""Tenang, Naya."Dia terus menggeleng-geleng sambil mempertahankan selimut menutupi dadanya. "Pergi, kamu." Dia melempar bantal. Dada yang tertutup melorot lagi. Aku memungut benda itu di lantai setelah mengenaiku. Meletakkan kembali di kasur. Naya beranjak turun membawa selimut. "Kamu mau ke mana, jangan pergi, Nay!" "Enggaa!" Dia berjalan tergesa menuju pintu. Aku mengejar. Dia keburu sudah membukanya. Tertegun saat didapatinya mama berdiri di depan."Ada apa?" Mama bertanya panik. Naya terisak. "Kenapa Naya?""Dia mau memperkosaku ...." Tangannya menunjuk ke belakang. Ke arahku. Mama seketika melotot padaku. Aku menggeleng tersudut. Istriku menyusut duduk di lantai. Selimutnya sedikit melorot menampakan separuh dada. Mama melihat itu. "Sendy." Mama bergumam geram. "Sudah mama peringatkan kenapa begitu lagi?!" "Salah paham, Ma.""Salah paham apa? Pasti kamu yang sudah buka bajunya, iya?!" "Engga, Ma." "Tidak ada gunanya menyangkal."
"Tolong ke sini, Ma.""Naya sudah sadar?""Mama cepat ke sini.""Iya, iya, mama akan segera ke sana. Lagi kasih Gathan susu ini.""Kasih ke Mbok Rum.""Iyaa."Telepon bersama mama kumatikan. Mengusap wajah gusar sesudahnya. Naya bersama perawat sedang ditenangkan di dalam. Dia menjerit dan marah-marah. Sama sekali tidak mau kudekati. "Enggaa. Bajingan. Biadab. Pergi kamuu!" Dia mengusirku saat mengajaknya ke luar dari kamar mandi. Melemparkan apa yang ada di dekatnya. Aku terpaksa membiarkannya dulu. Memanggil perawat melalui interkom yang ada. Tidak lama perawat perempuan datang menghampiri Naya membujuknya. Sedangkan aku diperintahkan ke luar dulu. Aku hanya diam di luar tidak berani masuk juga tidak ingin pergi. "Kenapa, Sen?" "Ma." Aku lekas berdiri setelah menunggunya cukup lama. "Naya sudah sadar?""Iya, sudah lumayan lama.""Kok baru kasih tau mama.""Maaf." "Kok kamu gak menemani, kenapa dibiarkan sendiri?""Naya gak mau kutemani. Dia marah tau apa yang kulakukan padany
Tamparan keras mendarat di pipiku. Mama melakukannya sangat kencang. Dia marah mengetahui Naya melukai diri sendiri, mengetahui Evelyn datang ke rumah membawa kabar burung, dan tahu bekas merah di leher. Aku terus didesak hingga mengakui semuanya termasuk menyetubuhi Naya sebelum di bawa ke sini. "Kurang ajar kamu, Sen." Deru napas mama memburu. Tatapannya tajam melihatku.Pandanganku terlempar pada Naya yang belum membuka mata. "Maafin Sendy, Ma." "Bagaimana kalau Naya menyadari itu? Dia akan semakin terluka, Nak.""Sendy, nyesel.""Kamu memang dari dulu agak susah menahan hawa nafsu. Sampai terjerumus pergaulan bebas.""Tapi itu dulu, Ma. Sekarang engga. Aku hanya mencintai Naya.""Kalau cinta kamu tidak akan melakukan hubungan sepihak. Apalagi dalam keadaannya yang sedang nifas dan kacau." "Itu tidak akan terulang lagi." Mama mendengus. Kemudian melihat Naya menatap Iba. "Perempuan belum lama melahirkan itu sensitif. Dia sudah mendapat kabar sangat buruk di fase ini. Bisa mama
Tidurku terjaga saat mendengar tangis Gathan. Lekas duduk. Bayi itu menjerit-jerit di balik selimut. Aku melihat ke sampingnya, tidak ada Naya. Ke mana dia? Gathan pasti ingin minum susu lagi. Aku meraih botol susunya yang kosong. "Tunggu, Papa buatkan dulu." Beranjak ke nakas. Di sana sengaja sudah kusediakan dus susu dan termos mini. Jaga-jaga saat butuh tidak perlu ke luar ruangan. Dengan gerakan cepat aku menyeduh susu, dicampur air mineral dingin sedikit supaya tidak terlalu panas. Bisa hangat dan pas untuk diminumnya. "Ini, Sayang. Cup, jangan nangis lagi." Susu kuberikan. Gathan menyedotnya lahap. Aku mende-sah lelah sambil terus memegangi botol, menunggu dia kenyang dan tidur kembali. "Maafin kecerobohan Papa. Kamu jadi jauh dari Mama." Kukecup pipinya pelan saat dia sudah lelap. Membenarkan selimutnya sebentar, lalu meninggalkan keluar. "Gathan baik-baik aja kan, Tuan?" Mbok Rum berdiri resah di depan pintu. Sejak kapan dia di situ? "Mbok gak tidur?""Simbok denger." Di
"Pergi!""Aku tidak akan pergi dulu, apalagi suamimu baru datang." Evelyn menoleh ke arahku. "Kasian, baru pulang kerja kena lemparan barang. Untung aku menghindar. Aku jadi tidak berdarah seperti itu." Vas bunga itu hendak dilemparkan padanya tapi mengenaiku. Entah apa yang sudah dia katakan pada Naya hingga membuatnya lepas kendali. Tak peduli darah menetes, kuhampiri perempuan itu. "Untuk apa kamu ke sini? Beraninya!" "Memberitahu sesuatu." Kedua tanganku terkepal. Evelyn, jahanam! Perlahan melirik Naya. Pandangannya tak lagi sama. Menatapku murka .... "Nay?" "Jangan mendekat!" Dia mencegah aku yang ingin mendekatinya. "Dia bukan temanmu. Kamu sudah berbohong sama aku. Kalian juga masih ada hubungan.""Aku dan Evelyn sudah putus kontak sejak lama, Nay.""Aku sudah tahu semuanya.""Nay, maafkan aku. Dia memang mantan istriku, tapi kami--" "Kamu lupa kejadian di kantor?" Evelyn menyela. Aku meliriknya sinis. "Jangan ngarang kamu.""Benar kan? kita sudah bermesraan di ruang