Mas Rendra tampak terkejut untuk kalimatku tentang Clara. Wanita yang keberadaanya tentu tidak mungkin terhapus begitu saja dari memori meski mas Rendra suamiku.Kebersamaan kami yang baru hitungan bulan, tentu tidak mampu menyamarkan kenangan apapun yang ia miliki bersama Clara yang sudah terjalin bertahun-tahun.Itu adalah hal mustahil, 'saat aku pun mengingat tiap momen kebersamaan ku bersama Santo meski kami sudah terpisah selama empat tahun.'Setarakah perumpamaan kami?Rasanya itu tidak penting, karena aku yang tangannya mas Rendra remas, sadar waktu yang ia lewati bersama Clara itu berarti dalam hidup keduanya.Hanya saja, takdir berkata berbeda.Kehadiranku, perubahan rasa yang mas Rendra miliki, perasaan keluarga kami pun orang-orang yang terlibat dalam hidup Clara dan mas Rendra ... 'rasanya begitu banyak faktor internal dan eksternal yang sudah terjadi dan membuatku duduk di hadapan mas Rendra detik ini.'Bertahun-tahun membina kasih yang dipercayai akan berakhir dengan ik
'Adikku sakit apa?'Tanya polos bocah perempuan yang mata bulatnya menatapi Santo membuat suasana sunyi beberapa saat.Dua wanita paruh baya yang berkunjung pun saling melirik tanpa kata, sampai tangan sang ibu mengusap kepala Mala yang terus menata adikku penasaran."Mas santo pusing, kepalanya yang sakit." Jawab Bu Bandriah melirikku, seolah ingin membaca wajah macam apa yang sedang kuperlihatkan saat aku tidak mengalihkan pandangan dari putrinya."Oh... cepet sembuh ya, Mas. Biar bisa main lagi sama aku," ucap bocah ceria nan cerewet itu pada adikku yang mengangguk, memperlihatkan senyum di antara wajahnya yang ronanya berkurang dan makin pucat."Mau gue ambilin selimut?" kata Arka lalu berdiri saat Santo mengangguk lemah."Thanks ya, Bro.""Anytime," balas Arka masuk ke dalam rumah setelah mengusap kepala Rama yang memperhatikan dalam diam. Bocah lelaki irit kata itu seolah sedang membaca situasi. "Saya misi ke kamar mandi dulu ya, Neng," ucap Bu Indri yang berdiri dan menyusul A
Langkahku terhenti. Menatapi tiga tubuh tak sadarkan diri yang terbaring dengan tangan dan kaki terikat di atas lantai dapur.Dan gerakan tanganku yang ingin menyentuh Santo, diam di udara untuk peringatan yang tertuju padaku."Jangan lakukan hal tak berguna."Seketika aku menoleh pada pemilik suara berat yang muncul dari pintu samping. Meski wajahnya tertutup kain, tatapan mata yang tampak tersenyum itu begitu sinis, membuatku yang diam di tempat berusaha mengingat suara yang terdengar tidak asing di telinga."Pak ... Bram?"Kaget. Itu adalah gambaran dari sorot mata yang memperhatikan diriku dari tempatnya berdiri.Dan sosok yang tak bisa menyembunyikan keterkejutannya dari balik kain penutup wajah yang hanya meninggalkan mata, terdiam.Sampai suara tawa yang keras terdengar dari belakang tubuhnya disertai tepukan tangan."Ha ha ha!" Nampak begitu terhibur suara tawa yang kukenali itu menggema dalam rumahku yang jadi sangat sepi dengan udara yang terasa mengancam. "Sudah kubilang
Mimpi...Hanya itu yang bisa kugambarkan saat mataku melihat tawa sepasang suami istri yang sedang bermain dengan bocah lelaki yang wajahnya saja membuatku rindu.Ketiganya tertawa, terlihat menikmati waktu dalam kebersamaan, memamerkan keharmonisan yang terasa tidak asing.Dan rasa tidak asing itu, membuatku seolah tidak bisa bernafas, pun penuh harap agar salah satu dari mereka menyadari kehadiranku!Tapi, ayah dan ibu hanya memperhatikan Santo yang tidak akan mampu melindungi dirinya sendiri.Tapi, apa yang bisa dilakukan bocah yang bahkan belum berusia dua tahun itu? jangankan melindungi diri sendiri, menopang badan bulatnya saja membuat kaki adikku yang masih berlatih berjalan itu, gemetaran."Anak ayah sudah mau jalan-jalan, ya?""Mau kemana? Gunung? Laut? Atau taman hiburan?"Bahkan, suara keduanya terdengar antusia. Mengawasi adikku agar tidak jatuh lalu mengangis."Ayah... Ibu..." Panggilku begitu lirih. Bahkan telingaku sendiri tidak mendengar, apalagi telinga dua orang dew
Di dalam dapur yang aroma gasnya begitu pekat, aku memastikan suara yang menyapa pendengaran.Tidak ingin melewatkan apapun!Terutama suara langkah kaki ataupun percakapan yang kuharap tidak akan kudengar.Tidak dari Calista, tidak dari pak Bram, juga tidak dari dua orang lain yang datang bersama mereka yang salah satunya memberiku pukulan sampai aku pingsan, lalu melewatkan apa yang sudah terjadi pada Santo. Karena baik pak Mizan maupun mbak Imah tetap dalam posisi yang sama. Setelah yakin tidak ada tanda-tanda kehadiran orang lain kecuali kami yang tubuhnya diikat dalam ruangan yang bau gasnya memenuhi paru-paru, aku berusaha menarik tanganku ke depan.Tapi, butuh waktu beberapa lama karena ikatan tambang yang cukup tinggi di pergelangan tangan, terasa sulit sampai aku harus menekuk tubuh lebih ke dalam, supaya tangan terikatku bisa melewati bokong.Tapi, aku tidak boleh menyerah. Pun, tidak ingin menyerah!Atau kami semua akan keracunan gas di dalam dapur yang jendela dan pintunya
"Sungguh, Mbak. Aku baik-baik saja."Seolah tahu aku bahkan tidak bisa berbohong dengan sekedar menunjukan anggukan, Santo yang mengangkat tangan saja butuh usaha keras menyentuh pipiku.Menunjukkan senyum diantara bibir keringnya yang pucat dan kering."Ui-ku jadi cengeng, ya."Mataku yang entah sejak kapan terasa perih, menjatuhkan tetes pertamanya. Meloloskan rasa yang bahkan tidak ingin kugambarkan saat adikku yang dilukai saat kesadaranku direnggut, berusaha menghiburku!Bocah lelaki yang setiap ia datang dalam mimpi saja mampu membuatku rindu ini, menggenggam tanganku yang menyentuh tangannya.Menyatukan jemari kami saat aku menjadikan pahaku sebagai bantal Santo yang entah sudah dipukuli sebanyak apa setelah aku pingsan.Aku yang kehilangan sadar, tidak mampu bertanya karena aku yakin di balik pakaiannya itu, kulit Santo pasti menyisakan luka yang sama dengan wajahnya sekarang. Memar dan biru!"Mbak...""Ya, Mbak di sini, Nang." Aku mengusapi kepala adikku yang kepalanya kupan
"Apa makan siangmu dan Runi tidak berjalan lancar?"Tanya yang serupa bisikan, membuat lelaki gagah yang sejak duduk diantara wajah-wajah penuh harap jika apa yang mereka usahakan tidak hanya akan jadi sampah, mengetuki meja."Atau, kau hanya ingin pamer karena sudah rindu pada istrimu yang kembali mengajak makan siang bersama?"Tak urung kalimat lanjutan Alan yang pelan diperdengarkan membuat bibir Narendra Hadinata tersenyum meski tipis, karena lelaki paruh baya yang datang dengan tawaran kerja sama sedang menatap ke arahnya. Seolah sedang memastikan jika Narendra Hadinata menangkap tiap kalimat dalam rapat atau tidak."Terimakasih sudah mengingatkan."Balasan Narendra Hadinata yang tidak hanya bos tapi juga teman, membuta Alan kembali duduk tegak."Sungguh apa yang terjadi padamu, Ren? Kau yang selalu tenang bahkan terlihat sangat ingin kabur dari kursi lalu berlari pulang."Kali ini Rendra menutupi tawa pelannya dengan berpura-pura batuk. Sampai tidak ada yang menyadari kecuali Al
"Saya bahkan tidak ingat ada orang asing masuk ke dalam rumah, Mas."Mbak Imah yang matanya sudah sembab kembali basah. Ia yang duduk di samping sang ayah bahkan duduk dengan tidak nyaman mengingat apa yang sudah ia alami hari ini."Saya sedang menjahit rok." Airmata tergenang yang kembali tercipta dihapusnya lalu kembali berucap, "yang saya ingat, ada orang yang mendekap saya dan kesadaran saya hilang. Bangun-bangun saya sudah ada di dapur, diikat tangan dan kaki, dan mbak Seruni yang ...Tahu Mbak Imah masih terguncang, Rendra mengangguk. Ia paham, wanita yang ikut dengannya untuk tinggal bersama Seruni tidak mungkin baik-baik saja meski tidak melihat siapa yang masuk ke dalam rumah dengan niat buruk.Ia tahu, mbak Imah dan pak Mizan yang masih terguncang, mengatakan kebenaran.Kebenaran yang tidak dibantah oleh Seruni.Kenapa? Entahlah. Siapa yang bisa membaca wajah minim ekspresi Seruni yang tidak ingin menjauh dari bocah yang kini dibaringkan di atas brankar dengan kesadaran yan
Di dalam kamar yang memperdengarkan deburan ombak, aku berbaring di bawah selimut tanpa sehelai benangpun.Hembusan nafas mas Rendra yang pakaiannya pun tergeletak di atas ubin, menyapaiku yang menarik nafas dalam saat melihat senyum di wajahnya terlihat begitu tak bersalah sudah meninggalkan banyak tanda kepemilikan di tubuhku yang ia peluk."Aku sangat rindu padamu, Runi."Entah sudah sebanyak apa kalimat itu ia ucapkan padaku yang tubuhnya terasa lemas. Pun, ditinggali banyak tanda yang akan membekas.Tapi, lelaki yang hasratnya sudah terpenuhi ini tahu di tempat mana ia harus meninggalkan tanda kepemilikan agar anak-anak kami tidak akan bertanya.Satu Minggu meninggalkannya bersama anak-anak, menghadirkan rasa yang sama, "aku juga rindu padamu, Mas."Mas Rendra menarik tubuhku makin rapat, tidak meninggalkan sekat saat kulit kami sudah begitu menempel.Keajaiban.Aku tidak pernah percaya pada kalimat itu.Tapi, aku yang sudah dinyatakan mati mampu bangun setelah mendengar tangis d
****Dunia akan adil sebagaimana kita memandangnya. Sementara sang waktu tidak akan pernah menunggu siapapun. ***"Pelan-pelan.""Ng!""Jan belisik juga.""Ng!"DUA BOCAH KECIL berjingkat-jingkat tanpa alas kaki, menyusuri lorong dan saling memperingatkan supaya tak berisik dengan suara pelan.Tidak satupun dari keduanya menyadari ada tubuh besar yang mengikuti mereka dari belakang dan memperhatikan dua bocah nakal yang sama sekali tak menoleh kebelakang. Hanya terus menatap tempat yang kedua bocil itu tuju.Dengan tak kalah pelan, salah satu anak kembar identik yang berdiri di depan menurunkan engsel."Pelan-pelan, EV.""Iya, tau. Ini udah pelan, AV." jawab yang di depan tak kalah berbisik, seolah takut ada telinga lain selain milik keduanya tahu apa yang mereka bicarakan."Gimana? papa masih tidul ga?" tanya yang di belakang."Gak keliatan, Av," jawab bocah yang melongokkan kepalanya ke dalam, melihat kasur besar yang tertutup selimut."Papa kenapa gak ngolok, si? jadi gak ketahua
Entah kenapa, aku yang sedang membetulkan selimut mas Rendra ingin berlama-lama memandang wajah lelapnya.Seolah aku yang duduk di pinggir kasur, benar-benar ingin menyimpan wajah damai mas Rendra detik ini.Jika tidak ingat pada Aji yang sudah lapar, aku pasti akan duduk lama sampai mataku puas menatap lelaki gagah yang memang butuh istirahat lebih ini, "terimakasih," ucapku mengecup bibir mas Rendra pelan. Meninggalkan gelitik ringan yang membuat mas Rendra makin erat memeluk guling sebagai pengganti diriku, "aku pergi dulu, Mas." Pamitku. "Kita mau sarapan apa, Mbak?"Aji meraih tanganku yang terjulur, jemarinya erat menggenggam tanganku yang sekali lagi menoleh pada kamar yang pintunya kututup. "Kamu mau apa?" tanyaku yang rasanya masih ingin mencuri pandang sesaat saja pada tubuh lelap mas Rendra, seolah tubuhku tidak ingin menjauh darinya. Sungguh, rasa yang tidak biasa. "Mbak lagi pingin makan bubur.""Bubur ayam?"Aku mengangguk, masuk ke dalam lift bersama beberapa orang ya
'Memaksakan diri?'Mas Rendra menegakkan duduknya lalu menatapku."Mungkin bapak dan ibu akan terluka saat mengetahui bahwa amarahnya ternyata salah sasaran. Yuli dan keluarganya hanya orang-orang yang dilibatkan karena keserakahan juga ketakutan dari keluarga bapak sendiri yang merasa terancam." Aku tahu, mas Rendra yang lurus menatap manik mataku tidak ingin menggurui."Tapi, setiap orang harus mempertanggung jawabkan apa yang sudah mereka lakukan, Runi."Dan aku yang diam tidak menemukan pembelaan."Apalagi, sepupu-sepupumu melibatkan gadis yang mereka lecehkan lalu menciptakan kebohongan buruk yang berpengaruh panjang, Runi. Dan kurasa, mereka bahkan tidak menyesali kerusakan yang sudah mereka ciptakan, bukan?"Aku bahkan tidak berkedip saat mas Rendra nampaknya bisa menebak aku yang hanya diam membenarkan ucapannya.Sepupu-sepupuku, mereka bisa hidup tanpa rasa bersalah.Jangankan merasa bersalah, mereka justru terlihat lega saat tahu Yuli memilih kematian.Mereka bertiga seolah
"Mereka bilang, aku nakal," bibir tipis Aji mulai bergetar menahan tangis, "aku... aku gak bisa ketemu mbah kalau aku nakal, Mbak."Tidak mungkin bocah nakal yang baru kehilangan kakeknya ini baik-baik saja untuk kalimat yang diucapkan dengan tatapan tajam dan teriakan.Meski tidak mengenal siapa ayah dan ibu kandungnya, kalimat mereka pasti menyisakan bekas yang tidak mungkin bisa Aji abaikan.Aku yang kembali melihat luka dalam mata Aji menarik nafas dalam, menyentuh pipi bocah nakal yang entah sudah sebanyak apa air matanya tumpah sejak kakeknya mati.Dan bertemu dengan orang tua yang baru kali ini datang, nyatanya, justru membuat Aji berdiri ketakutan di pojok dapur."Anak kecil nakal itu hal biasa, Aji," kuusap mata sembab Aji yang tergenang air, "yang tidak biasa itu, orang dewasa yang berteriak terlalu keras saat anaknya nakal, tapi, hanya berteriak dan tak melakukan apapun."Aku menunjukan senyum pada bocah yang menatap begitu lekat, mencerna tiap kata yang kuucap, "lagipula,
'Aji...'Aku langsung berdiri dari tempatku duduk. Menatap bocah lelaki yang pandangannya pun tertuju padaku. Sementara tangannya menggenggam kuat celana panjang yang ia kenakan.Tubuhku bergerak lebih cepat dari otak. Menghampiri bocah yang berdiri mematung.Namun, saat langkah kakiku sudah dekat, ia berlari begitu saja. Melewatiku tanpa kata."Aji!" panggilku, "kamu tau Mbak tak bisa lari mengejarmu, bukan?"Bocah lelaki yang sudah membuka pintu itu berhenti. Menatapku.Sorot matanya ... 'kurasa aku bahkan menahan nafas tanpa kusadari.'Aji anak yang pintar, ia juga anak yang peka."Mbak ... apa Mbak benci padaku?"Ia bahkan terlihat menahan tangis. Sementara getar dalam suaranya seolah sembilu yang menusuk tepat pada jantungku yang masih keras berdetak. "Apa Mbak terlihat seperti orang yang membencimu, Aji?"Aji yang terus menatap, kuat memegang engsel pintu. Ia jadi sangat diam. Juga membisu. Meski aku yakin banyak yang sedang bocah nakal itu pikirkan."Jika jawabanmu tidak, ke
"MENGURUSNYA!?"Suara keras bapak yang entah tahu darimana niatanku dan mas Rendra pada Aji, terdengar menggema dalam ruangan luas yang ubinnya memantulkan cahaya lampu.Ia memandangku dan Mas Rendra bergantian, sementara Ibu yang duduk di sampingnya meminta bapak untuk tenang"Sabar Pak, sabar." Pinta ibu yang mengusap lengan bapak."Tidak, Bu." Tapi, bapak yang sudah terlanjur emosi tidak ingin mendengar. "Aku tidak akan pernah setuju."Begitu tegas pengucapan bapak kali ini. Seluruh pembawaannya benar-benar menolak apa yang akan aku dan mas Rendra lakukan. Dan sorot matanya yang kembali menatap kami tidak menyimpan ruang untuk sekedar diskusi."Kau tentu tidak lupa pada apa yang telah keluarganya lakukan pada adikmu, bukan? Pada kita semua." Dan ucapan bapak membuat ibu terdiam. Tidak lagi memintanya bersabar.Aku yang tangannya mas Rendra genggam bahkan bisa melihat luka dalam mata ibu. Wanita yang melupakan anak laki-lakinya setelah Yuli yang datang meminta pertanggung jawaban me
"Besok siang atau sore mungkin kami baru bisa ke rumah, Pak.""Baik, Mbak Runi, besok saya ngomong sama si Iyah buat nyiapin baju-bajunya Aji.""Terimakasih, Pak Naim.""Sama-sama, Mbak, bisa kangen ini saya sama Aji," ucap pria yang tawanya terdengar dari sambungan telpon."Nanti kita bicarakan itu juga, Pak, saya mungkin butuh tenaga tambahan di rumah juga mbak Iyah kalau mau ikut.""Saya mau, Mbak." Tanpa berpikir pak Naim langsung menjawab, "nanti saya coba omongkan juga sama si Iyah, pas telepon tadi sore dia masih nangis karena dipisahkan dari Aji." Ucapan pak Naim membuat mas Rendra menoleh padaku, "iya, Pak Naim, terimakasih dan selamat istirahat.""Selamat istirahat juga, Mbak Runi."Setelah ponsel yang sambungannya terputus aku letakkan di sofa, kusenderkan kepala pada dada mas Rendra, menatap kamar berisi bocah nakal yang sudah berpindah posisi. "Aku sampai lupa membawa ponselku."Mas Rendra yang menunduk menatapku, tatapannya sedikit berubah.Cerita pak Naim tentang oran
"Kamu nemenin mbak Runi ya."Aji yang erat memeluk leher mas Rendra hanya menurut saat mas Rendra yang membuka pintu belakang, menurunkannya dari gendongan."Masuklah," mas Rendra mengusap lenganku yang juga menurut, masuk lalu duduk di samping bocah nakal yang menatap rumah yang keributannya teredam saat mas Rendra menutup pintu."Kemarilah," ucapku pada bocah nakal yang mengalihkan pandangan dari rumah tempat ia dan pak Alif menjalani hari.Empat tahun, bocah berumur sepuluh tahun ini sudah tinggal di rumah yang entah keributannya akan berakhir kapan. Tapi aku yakin, Aji lebih mengingat rumah ini daripada rumah tempat ia dan Yuli tinggal."Tidak apa."Hanya itu kalimatku pada Aji yang mendongak, memelukku erat sampai pandangannya menoleh pada mas Rendra yang menyamankan duduk di belakang kemudi, "malam ini kita nginep di hotel dulu." Mata Aji yang sembab terpejam sesaat untuk usapan mas Rendra pada kepalanya, "kasian mbak Runi kalau kita langsung pulang. Iya kan?"Senyum yang mas Re