Tengah malam itu, udara terasa lebih berat dari biasanya. Langkah kaki Zera terdengar pelan di sepanjang koridor mansion, setiap detik terasa lambat seperti jam pasir yang hampir habis. Dinding-dinding batu dingin, biasanya terasa akrab, kini tampak seolah menyerap setiap percik kepercayaan yang tersisa antara dirinya dan Dante. Jantungnya berdegup tak beraturan, tidak karena ancaman di luar sana, tapi karena tatapan yang baru saja Dante berikan.Langkahnya terhenti sejenak di depan pintu besar yang mengarah ke ruang pertemuan utama. Di balik pintu itu, Dante sedang duduk, tangan kanannya menggenggam erat sandaran kursi, sementara tangan kirinya mengetuk-ngetuk pelan, ritmenya tak beraturan—tanda ketegangan yang begitu jelas bagi siapa pun yang mengenalnya.Zera menahan napas, bibirnya sedikit gemetar, tidak yakin harus mengatakan apa saat masuk nanti. Namun, dia tahu, semakin lama dia berdiri di luar, semakin dalam jurang yang tumbuh di antara mereka. Menguatkan dirinya, dia akhirnya
Saat malam semakin larut, suasana mansion yang tegang kini berpindah ke sebuah gudang tua yang tersembunyi jauh dari pusat kota. Lampu remang-remang berpendar di sudut-sudut ruangan, menciptakan bayangan yang bergerak samar, seperti mengejek ketegangan yang menggantung di udara. Zera, terikat di kursi dengan tangan dan kaki yang dililit tali, mencoba menenangkan dirinya. Dia tahu, dalam situasi seperti ini, panik hanya akan membuat segalanya lebih buruk.Tiba-tiba, suara pintu yang terbuka dengan kasar menarik perhatiannya. Seorang pria bertubuh kekar masuk, diikuti oleh beberapa orang bersenjata. Pandangan Zera berusaha tenang, meskipun napasnya sedikit memburu. Dari ujung matanya, dia bisa melihat pistol di tangan pria itu, berkilat dalam cahaya redup.“Kau benar-benar masalah besar, Zera,” pria itu berkata dengan suara kasar, berjalan perlahan ke arahnya. Wajahnya dingin, dan senyum kecil yang menakutkan terukir di bibirnya. “Sayang sekali Dante tak bisa sampai di sini tepat waktu.
Dante berdiri di samping Nathaniel dengan wajah penuh ketegangan. Mata hitamnya menatap Zera yang masih berlutut di samping tubuh Nathaniel, air mata jatuh membasahi pipinya. Sementara Zera terus bergumam, menyalahkan dirinya tanpa henti, perasaan marah yang berkobar di dada Dante semakin sulit ia tahan. Suaranya akhirnya pecah, menembus kesunyian yang menggantung di ruangan."Cukup!" Dante berseru, suaranya keras dan penuh emosi. Ia melangkah maju, mendekati Zera dengan napas terengah-engah, seolah ia berada di ambang ledakan yang tak terhindarkan. "Berhenti menyalahkan dirimu, Zera! Ini bukan hanya tentangmu!"Zera tersentak mendengar suara Dante yang tajam itu. Dia mendongak, menatap Dante dengan mata yang penuh kesedihan dan ketidakpahaman. Namun, meskipun Dante berkata demikian, di dalam dirinya, rasa bersalah itu seperti duri yang terus menusuk hatinya. Tangan Zera bergetar ketika ia kembali meremas tangan Nathaniel, seolah mencoba menguatkan diri dari kenyataan yang menyakitkan
Hari-hari berlalu dalam kebisuan yang semakin mencekam. Kegelapan yang menyelimuti kamar Zera semakin pekat, seiring dengan kondisi mentalnya yang terus memburuk. Bahkan dokter mulai khawatir bahwa Zera tak lagi mampu berkomunikasi dengan dunia di sekitarnya. Dante, yang biasanya penuh kendali, kini tak bisa lagi menyembunyikan kecemasan dan amarah yang perlahan membara.Setiap kali dia masuk ke dalam kamar Zera, perasaan tak berdaya meremas hatinya. Zera yang dulu kuat, mandiri, dan penuh semangat, kini hanya bayangan dari dirinya yang dulu. Ia terbaring lemah di tempat tidur, menatap kosong ke langit-langit, seolah-olah semua yang ada di dunia ini telah menghilang dari pikirannya.Dante berdiri di ambang pintu, memperhatikan dari jauh dengan rahang mengatup kuat. Amarah dan frustrasinya mendidih di dalam dada. Setiap usaha yang ia lakukan untuk membangkitkan Zera selalu menemui kegagalan. Tak ada jawaban, tak ada reaksi. Seolah-olah Zera telah benar-benar menutup diri, terperangkap
Malam itu terasa lebih sunyi dari biasanya. Di sudut kamar, Dante, yang biasanya penuh kendali dan kekuatan, kini tampak benar-benar lemah. Wajahnya pucat dan matanya tak lagi memancarkan kegigihan yang biasa. Nafasnya tersengal-sengal, tubuhnya goyah, dan sebelum ia sempat menyadari apa yang terjadi, tubuhnya ambruk ke lantai dengan suara keras. Pelayan-pelayan yang mendengar segera berlari masuk, terkejut melihat pria yang biasanya begitu kuat kini tak sadarkan diri. Mereka segera memanggil bantuan, tapi di tengah kepanikan itu, seorang pria tua yang tampak tenang melangkah masuk ke kamar. Dialah Zeus, kepala pelayan yang sudah melayani keluarga Dante selama bertahun-tahun.Zeus mendekati Dante, memeriksa denyut nadinya, dan menghela napas panjang. “Dia akhirnya mencapai batasnya,” gumamnya pelan, matanya beralih pada Zera yang masih duduk terpaku di tempat tidurnya, seolah tak terpengaruh dengan semua kekacauan di sekelilingnya.Zeus, dengan langkah yang tenang, berbalik dan mende
Pagi itu, suasana di mansion masih sepi, hanya terdengar suara burung-burung dari kejauhan dan desir angin yang lembut membelai dedaunan. Zeus, seperti biasanya, membawa secangkir teh ke kamar Zera. Sudah lebih dari seminggu sejak ia memulai rutinitas ini, dan meskipun Zera telah menunjukkan sedikit perubahan, langkahnya masih panjang. Namun, Zeus tetap sabar.Saat ia membuka pintu kamar, pemandangan di depannya menghentikan langkahnya seketika.Di sana, di dekat balkon, berdiri sosok Zera. Tubuhnya yang kurus dan pucat kini menghadap ke luar, memandang pagi yang baru. Tangannya sedikit menggantung di sisi tubuhnya, dan rambutnya yang kusut bergerak lembut tertiup angin yang masuk dari celah pintu balkon yang terbuka. Zeus tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Untuk pertama kalinya sejak kejadian itu, Zera telah bangkit dari tempat tidurnya dan berjalan ke balkon—sesuatu yang tak pernah ia harapkan terjadi dalam waktu dekat.Zeus, yang biasanya tenang, merasa jantungnya berdetak l
Zera berdiri di tengah ruangan dengan tatapan kosong, meski ia tampak tenang di luar, Dante tahu ada badai di dalam dirinya. Tiba-tiba, Zera angkat suara, mengejutkan Dante dan semua orang di mansion yang diam-diam memperhatikan dari kejauhan.“Aku... tidak ingat kapan terakhir kali aku merasa hidup.” Suara Zera serak, lemah, namun ada sesuatu yang tajam di dalamnya. “Rasanya... seperti berjalan dalam kabut. Semuanya begitu berat. Dan Nathanael... dia, dia yang terakhir...”Zera berhenti sejenak, menelan ludah dengan susah payah. Dante, yang selalu sigap melindunginya, kini hanya bisa diam, mendengarkan. Ia tahu Zera sedang membuka diri untuk pertama kalinya setelah sekian lama.“Setiap kali aku mencoba melangkah maju, ada sesuatu yang menarikku kembali. Seperti dinding yang tak terlihat... Aku merasa terkunci, Dante. Aku terkunci di dalam diriku sendiri,” lanjutnya, suaranya gemetar meski matanya masih menatap kosong ke depan.Dante menatapnya dengan dalam, mencoba memahami setiap ka
Begitu Valeria keluar dari ruangan, suasana kembali hening. Zera masih berdiri di tempatnya, namun wajahnya tiba-tiba terlihat pucat. Napasnya mulai terdengar lebih berat, dan tubuhnya mulai kehilangan keseimbangan."Zera!" Dante bergerak cepat ke arahnya, namun terlambat.Tubuh Zera ambruk, jatuh ke lantai dengan suara yang terdengar lembut namun mengejutkan semua orang di ruangan itu. Dante langsung berlutut di sampingnya, wajahnya tegang penuh kekhawatiran. "Zeus, panggil dokter sekarang!" suaranya terdengar tegas, hampir seperti perintah yang tidak bisa dibantah.Zeus, yang juga tampak terkejut, segera bergegas keluar untuk memanggil dokter. Tak butuh waktu lama, dokter yang biasanya menangani Zera bergegas masuk ke ruang tamu, wajahnya penuh keseriusan.Dante mengangkat Zera dengan hati-hati dan membawanya ke kamar. Sesampainya di sana, dokter langsung memeriksa kondisi Zera dengan teliti. Semua orang terdiam, menunggu penilaian dokter dengan rasa cemas. Sementara itu, Dante ber
Zeus melangkah dengan tenang, tatapannya penuh perhatian ketika ia melihat Dante dan Zera berdiri berdekatan. Untuk sesaat, senyum lembut terukir di bibirnya, menyaksikan bagaimana Dante—yang biasanya keras dan dingin—begitu lembut saat berada di samping Zera. Namun, di balik senyum itu, hati Zeus penuh keraguan. Informasi yang baru saja ia dapatkan tentang Zera bisa mengguncang hubungan yang sedang berkembang di antara mereka.Zeus berhenti beberapa langkah dari pasangan itu. Matanya menangkap bayangan kehangatan di antara mereka, dan dia merasa berat untuk mengganggu momen ini. Tapi sebagai tangan kanan Dante, dia tidak bisa berbohong atau menahan informasi yang penting. Dengan napas dalam, dia memutuskan untuk memanggil Dante."Tuan..." suara Zeus pelan, nyaris seperti bisikan, namun cukup untuk membuat Dante menoleh ke arahnya.Dante, yang masih dalam dekapan Zera, menatap Zeus dengan alis yang sedikit terangkat, menyiratkan pertanyaan tanpa perlu kata-kata. Namun, sebelum Dante b
Zeus mendengarkan dengan tenang, angin malam membawa aroma dedaunan yang segar, namun suasana terasa berat. Zera mengusap wajahnya, menatap langit seolah berharap menemukan jawaban di antara bintang-bintang yang tersebar di sana. “Aku merasa... kosong,” gumamnya, suaranya nyaris terserap angin. Zeus tidak segera merespons, membiarkan keheningan mengambil alih untuk sejenak. Ia menunggu, memberikan Zera ruang untuk berbicara lebih banyak jika ia mau. Ketika kata-kata itu tidak datang, Zeus akhirnya bersandar ke belakang, menatap dedaunan yang berayun di atas mereka.“Kosong seperti apa?” tanya Zeus akhirnya, suaranya rendah namun penuh perhatian.Zera menggigit bibirnya, matanya terpaku pada tangan yang kini menggenggam erat tepi bangku kayu. “Seperti... seolah aku kehilangan diriku. Sejak Dante masuk ke hidupku, aku terus berjuang melawan ketakutan. Aku tahu siapa dia. Aku tahu apa yang dia lakukan. Tapi entah kenapa, meski aku ingin menjauh, aku tak bisa...” Matanya mulai berkaca-ka
Dante berbalik, siap melangkah kembali ke kamar, pikiran masih berputar tentang apa yang baru saja terjadi. Namun, langkahnya terhenti ketika ia melihat sosok Zera berdiri di ujung lorong. Wajahnya tampak pucat, matanya memancarkan tatapan yang sulit diartikan. Ada ketakutan, tetapi juga sesuatu yang lebih dalam—seolah ia tengah berjuang dengan perasaannya sendiri.“Zera...” Dante memanggil lembut, suaranya bergetar sedikit. Ia berharap bisa menghiburnya, memberikan rasa aman setelah semua yang terjadi. Namun, saat ia melangkah mendekat, Zera mundur selangkah, jarak di antara mereka semakin melebar. Dante tidak menyadari betapa mengenaskannya penampilannya. Darah mengalir dari tangannya, membasahi pakaiannya, dan beberapa tetes mengotori rambutnya. Di tengah semua itu, Zera melihat sosok yang pernah ia kagumi, tapi juga sosok yang kini menyebarkan ketakutan dalam hatinya. Mungkin, dia adalah ketua organisasi mafia, namun Zera belum sepenuhnya menyadari betapa berbahayanya Dante seba
Dante berjalan dengan langkah berat menuju ruangan di mana Zera berada. Pikiran tentang apa yang baru saja ia dengar dari Zeus masih berputar-putar di kepalanya. Ia tahu harus segera bicara dengan Zera, tapi setiap kali mencoba merangkai kata, hatinya menjerit ketakutan. Apa yang harus ia katakan? Bagaimana ia bisa mempertanyakan sesuatu yang begitu besar tanpa menghancurkan kepercayaan yang telah mereka bangun?Saat Dante memasuki ruangan, ia melihat Zera duduk di tepi ranjang, terlihat tenang, tapi ada sesuatu di matanya yang tak bisa ia sembunyikan. Ia tahu Dante membawa beban berat. Seolah membaca gelagat dari wajahnya, Zera menatapnya tanpa kata, senyum tipis tergambar di wajahnya.“Ada yang ingin kau tanyakan, kan?” suaranya lembut, seolah ia sudah siap menerima apapun yang akan keluar dari mulut Dante.Dante mendekat, tapi bibirnya tak kunjung terbuka. Kata-kata yang ingin ia sampaikan tersangkut di tenggorokannya. Bagaimana ia bisa menuduh seseorang yang telah banyak memberiny
Di ruangan kantornya yang remang, Dante duduk di belakang meja besar, memandang tumpukan berkas yang seolah menambah beban pikirannya. Setelah insiden sebelumnya dengan Zera, pikirannya tak pernah benar-benar tenang. Simbol tato di tubuh Zera masih menjadi misteri yang tak kunjung terpecahkan, dan dia tahu sesuatu yang jauh lebih besar sedang berlangsung di balik layar.Pintu ruangan terbuka pelan, memperlihatkan sosok Gael, tangan kanannya yang selalu bisa diandalkan. Raut wajahnya serius, tanda bahwa dia membawa kabar penting."Dante," Gael memulai dengan suara rendah dan tenang. "Aku punya informasi baru."Dante menegakkan duduknya, sorot matanya mengisyaratkan keseriusan. "Apa yang kau temukan?"Gael mendekat, meletakkan beberapa dokumen di atas meja, dan menarik napas dalam sebelum mulai menjelaskan. "Kami berhasil menemukan beberapa petunjuk terkait simbol tato di tubuh Zera. Ada keterkaitan kuat dengan organisasi yang dulunya dikenal melakukan eksperimen rahasia pada manusia."
Ketenangan yang baru saja tercipta terasa rapuh, seolah permukaan tenang air yang menyembunyikan badai besar di bawahnya. Zera masih merasakan detak jantungnya yang berdebar keras, namun pelukan hangat Dante memberinya rasa aman yang pelan-pelan menenangkan dirinya. Dia menyadari bahwa meskipun ketakutan dan kekacauan masih mengintai di balik pikirannya, ada kekuatan dalam kehadiran orang-orang di sekelilingnya.Zeus, yang telah terluka namun tetap berdiri dengan kokoh, memberi Zera dorongan yang tak terucap melalui tatapannya. Zera memandang Dante sejenak, lalu menundukkan kepala, bibirnya bergetar.“Aku tidak tahu bagaimana kalian bisa terus bersikap baik padaku...” gumam Zera lirih, matanya tertuju ke tanah. "Setelah apa yang kulakukan."Dante memeluknya lebih erat sejenak, lalu menatap langsung ke matanya. “Kau tidak sendirian dalam ini, Zera. Kau hanya butuh waktu, dan kami akan ada di sini untukmu, apa pun yang terjadi.”Namun, di balik kata-kata lembut dan pelukan yang menenan
Di tengah keriuhan medan pertempuran, Zera tiba-tiba terhenti, tubuhnya terasa dingin seakan es menyusup ke dalam pembuluh darahnya. Napasnya tersengal, seperti ada sesuatu yang mencekik tenggorokannya. Matanya terbelalak saat pandangannya berputar, tak lagi fokus pada musuh di depannya. Suara-suara keras di sekitarnya mulai memudar, dan yang tersisa hanyalah dengungan pekat di kepalanya.Ingatan-ingatan kelam dari masa lalu yang telah lama dia pendam seolah menyeruak ke permukaan, menghantamnya tanpa ampun.“Zera!” Dante memanggilnya, nadanya penuh peringatan. Namun, Zera tak mampu mendengarnya. Tangannya gemetar, pandangannya liar. Tiba-tiba, tanpa ia sadari, tangannya meraih pistol yang tergantung di pinggangnya. Ia mengangkatnya, gemetar, matanya tak lagi melihat Dante sebagai seseorang yang dikenalnya. Di matanya, yang berdiri di depannya sekarang adalah sosok mengancam, seseorang dari masa lalu yang ingin menghancurkannya.“Jangan dekati aku!” Zera berteriak, suaranya penuh ke
Zera berdiri diam, menatap Dante yang menunggu di depannya. Udara malam terasa dingin, tetapi lebih dingin lagi keheningan yang menyelimuti mereka berdua. Perlahan, Zera menarik napas panjang, seolah mencoba menenangkan dirinya sebelum berbicara.“Ada banyak yang kau tak tahu tentangku, Dante,” ucap Zera dengan suara pelan namun penuh makna. Matanya beralih menatap langit malam yang dipenuhi bintang. “Dan… mungkin tak perlu kau ketahui semuanya.”Dante tetap diam, menunggu Zera melanjutkan, dengan sabar meski rasa ingin tahunya semakin kuat.Zera menggenggam pagar balkon dengan erat, seolah mengambil kekuatan dari dinginnya besi di tangannya. “Aku… bukan hanya seseorang yang dijual oleh keluarganya untuk melunasi utang, bukan hanya seseorang yang tersesat di dunia gelap ini. Aku…” dia terhenti sejenak, menelan ludah, “Aku adalah bagian dari sesuatu yang lebih besar, sesuatu yang kelam.”Dante masih mendengarkan tanpa menginterupsi, hanya matanya yang menajam, mencoba menangkap setiap
Dante duduk di samping tempat tidur Zera, menatap wajahnya yang pucat dalam diam. Malam telah berganti menjadi pagi, namun mata Dante tak kunjung terpejam. Dia telah menghabiskan beberapa hari terakhir mencari jawaban tentang Zera, dan meskipun banyak teka-teki yang mulai terkuak, Dante merasa ini bukan saatnya untuk membahasnya.Zera belum sepenuhnya sadar sejak pingsan tiba-tiba di ruang tamu. Dante tahu kondisinya lebih dari sekadar fisik—ada luka yang lebih dalam, yang tidak bisa disembuhkan dengan perawatan medis semata. Maka, ia menyingkirkan segala kekhawatiran dan informasi tentang tato itu, menguburnya sementara demi satu tujuan: melihat Zera pulih.Suara lembut dari angin yang menerpa tirai membuat suasana kamar terasa sunyi dan damai. Dante mengambil tangan Zera yang terkulai di samping tubuhnya, menggenggamnya dengan hati-hati, seolah takut menghancurkan sesuatu yang rapuh. “Zera,” bisiknya, meskipun tahu mungkin Zera tidak akan mendengarnya. “Aku di sini.”Dia tidak meng