[“Iya, Nak. Kami bahkan sudah di rumah sekarang.”] Sahutan di seberang sana membuat Radit mengembuskan napas lega. Bagaimana tidak. Luka kehilangan karena kepergian mendiang Dinda masih sangat menyesakkan dada. Apalagi mendengar kabar buruk tentang putrinya sendiri. Dunianya bisa saja runtuh seketika.[“Maaf ya, Nak. Papa saja yang panik makanya langsung mengabari kalian. Ternyata Ayra hanya demam karena efek imunisasi tadi sore.”] Terdengar suara omelan setelahnya. Tentu saja Mama Tiara yang memprotes sikap ceroboh pria paru baya tadi. Kini Amanda dan Radit saling menoleh tanpa suara. Sama-sama menyimpan perasaan tenang usai mendapatkan pencerahan dari pasangan suami istri tersebut.[“Syukurlah kalau Ayra baik-baik saja. Tolong jagain ya, Ma, Pa. Aku sama Manda lagi dalam perjalanan pulang.”] Radit pun menyerahkan ponsel yang ia genggam barusan pada sang empu. Kemudian kembali fokus pada kemudinya lagi.“Ya udah ya. Aku tutup teleponnya dulu,
Pagi-pagi sekali seisi kamar sudah dihebohkan oleh suara tangis Ayra. Sementara dua orang dewasa di sana terus saja berdebat. “Kau saja yang tidur seperti orang mati. Kalau saja Ayra bisa bicara, dia pasti membelaku. Dasar payah!” ketus Amanda yang berusaha menenangkan bayi mungil di gendongannya. Radit mendengkus pelan. “Aku minta maaf. Sumpah. Suaramu tidak terdengar.” “Alasan. Kau terlalu banyak bicara. Baru satu malam saja sudah terbukti gagal.” “Hei! Namanya juga belum terbiasa.” Radit masih membela diri. “Mungkin dia haus makanya nangis terus.” Amanda memicingkan matanya. Memberi kode lewat gerakan dagu agar Radit melihat botol susu yang masih berisi susu di dalam boks bayi. “Dia menolak. Tidak pipis juga kok. Entahlah,” erangnya hampir frustrasi. “Sini, Sayang. Papa yang gendong ya?” Tangan Radit sudah terjulur di depan Amanda. Namun, Ayra malah menggerak-gerakkan kakinya. Membuat sepasang suami istri itu kebingungan sendiri. “Hah. Kita pangg
Amanda lantas memandang Radit dan papanya secara bergantian. Menanti jawaban yang ke luar dari mulut kedua pria itu.“Aku belum sempat bicara dengan Manda, Pa,” ucap Radit akhirnya. Penuturan barusan membuat Tuan Yuda mengangguk paham. Dia dan sang istri kemudian pamit terlebih dahulu dari sana. Membiarkan pasangan tersebut mengambil waktu untuk mengobrol. Di sinilah keduanya sekarang. Kamar Amanda yang sudah sah menjadi milik Radit juga. Hanya sayang sampai detik ini tubuh dan hati wanita cantik yang merupakan istrinya itu masih belum bisa disentuh sama sekali.“Apa yang ingin kau katakan?” tanya Amanda langsung pada intinya. Dia menatap lekat Radit yang juga memandang ke arahnya.Radit meng
“Kita sudah sampai.” Radit mengatakannya sembari menepikan mobil yang ia kendarai. Lantas segera keluar dan membuka pintu pagar rumah setinggi bahu orang dewasa tersebut. Hingga kemudian pria itu kembali dan melajukan kendaraan roda empat tadi hingga tiba di garasi. Jantungnya berdetak tidak karuan mengingat banyak momen manis yang mulai menyambangi pikiran. Kenangan bersama mendiang Dinda muncul tanpa kompromi begitu saja. Barulah ia sadar bahwa hatinya masih belum tertata dengan baik. Terus apa? Mana mungkin dia mengusir wanita yang sudah dinikahi hanya karena terus dibayangi masa lalu.“Apa kami sudah boleh turun?” tanya Amanda yang lekas membuyarkan lamunannya.Radit pun terkesiap dan segera mengangguk mengiyakan. Tangannya menyambar kunci rumah yang berada di atas dashboard dengan sedikit gemetar. Beruntung tak ada yang melihat karena Amanda sudah keluar bersama dengan Sus Rini yang sedang menggendong Ayra.“Mungkin di dalamnya sedikit berantakan karen
Radit buru-buru menjatuhkan rokoknya. Menginjak benda panjang seukuran jari telunjuk yang menjadi hiburan singkatnya itu dengan gerakan cepat. Lantas kemudian menunduk seraya menghapus kasar jejak air mata yang masih menggenangi pipinya saat ini. Sementara Amanda yang sekarang sudah ada di sebelahnya masih belum bersuara. Hanya diam sembari menatap rerumputan yang mulai basah oleh rintik hujan. Semesta seolah tahu bagaimana kondisi sepasang suami istri yang masih meredam pilu di hati masing-masing.“Rumah ini hanya dua bulan kami huni.” Radit mulai bercerita.Kepalanya mendongak sesaat lalu memandang lurus apa yang ia lihat. Ruang tengah. Entah mengapa terlintas bayangan di mana dirinya dan mendiang Dinda berpelukan ketika momen pertama masuk rumah baru kala itu.“Semenjak Dinda hamil dan sering mual muntah kami memutuskan tinggal di rumah papa mama sampai dia melahirkan.” Radit melanjutkan ucapannya. “Aku tak pernah mengira kalau akhirnya dia tidak akan k
Amanda pun langsung memasang wajah mode angry bird andalannya usai mendengar kalimat barusan. Gadis itu menatap Radit dengan sengit.“Emmm … jangan salah paham dulu,” ringis Radit kemudian. “Maksudnya bukan begitu. Ada yang ingin aku diskusikan berdua denganmu. Supaya tidak mengganggu Ayra, jadi lebih baik dia tidur di kamarnya saja.” Penjelasan tadi membuat Amanda membungkam mulutnya lagi. Kemudian dia bergerak untuk memastikan bahwa putri mungil di pangkuan suaminya sudah tertidur lelap.“Baringkan dia. Hati-hati,” bisik Amanda dengan suara yang amat pelan. Radit mengangguk. Perlahan dia mengangsurkan tubuh Ayra ke dalam boks. Berniat hendak melabuhkan kecupan di dahi putrinya, tetapi yang terjadi malah di luar dugaan.“SSHH!!” Keduanya kompak mendesis saat dahi mereka saling bertubrukan. Ternyata Amanda juga ingin melakukan hal serupa. Alhasil mereka sekarang saling mengelus area kening masing-masing.CUP!“Good night, Sayang,” gumam Amanda
“Nah, kebetulan ada istri saya juga. Jadi silakan masuk dulu, Bi.” Radit segera menyingkir dari ambang pintu. Membuat Amanda bisa melihat dengan jelas siapa yang menjadi lawan bicara suaminya tadi. Tampak seorang perempuan paruh baya tengah tersenyum seraya membungkukkan badan.Amanda mendekat meskipun dirinya merasa gerah hendak lekas menuju kamar. “Siapa?”“Calon asisten rumah tangga yang diceritakan sama Sus Rini kemarin,” jawab Radit kemudian.“Oh,” ucap Amanda pelan. Sama sekali terlihat tidak begitu peduli dengan penuturan barusan. Namun, dia masih mengangguk sopan sebelum akhirnya pamit pada perempuan tadi untuk segera melipir ke kamar. Mana dia tahu ternyata langkahnya malah disusul oleh Radit. Tepat saat akan menyambar handuk suaminya it
“Kau gila ya, hah!?” Amanda menatap tajam Radit yang sedang melipat tangannya di depan dada. “Kenapa kau bisa mempekerjakan orang seperti Bi Asih?”“Kenapa?” ulang Radit yang kemudian menghela napas pelan. “Bukannya tadi aku serahkan keputusan padamu? Jadi jangan salahkan aku, Manda.” Amanda menggertakkan giginya lalu meraup wajah dengan kedua telapak tangan. Lantas memandangi langit-langit kamar untuk mengambil jeda sebelum kembali melanjutkan ucapannya.“Tadinya aku pikir pengalaman kerja saja cukup untuk menjadi pertimbangan,” gerutunya. “Sekarang? Lihatlah! Bi Asih bahkan sedang menyiapkan sarapan untuk kita.”“Kau menyesal?”“Terus? Menurutmu apakah aku harus bersorak? Begitu, heh??” Amanda malah balik bersungut-sungut.“Tenanglah. Bi Asih aman. Dia sempat depresi dan dirawat di sana. Itu sudah lama sekali. Setelahnya dia bekerja sebagai asisten rumah tangga hingga sekarang bersama kita. Tidak membahayakan. Hanya saja … dia sedikit aneh terkadang. Begitu yang aku de
Radit tahu bahwa semua yang terjadi adalah kehendak Yang Kuasa. Namun, entah mengapa sulit sekali menyiapkan diri untuk kemungkinan terburuk. Sungguh pengalaman pamit saat menyambut kelahiran Ayra dulu masih membekas jelas di dalam ingatannya. “Kalau Bapak mau ke luar dari sini silakan. Operasi akan segera dimulai,” kata seorang perawat kemudian. Tidak. Radit tak akan mau meninggalkan Amanda yang sedang berjuang melahirkan para buah cinta mereka. Pria itu bangkit lalu berjalan perlahan ke sisi sang istri. Kini kedua mata mereka saling bertemu pandang seolah sedang berbicara dari hati ke hati. Operasi pun dimulai. Efek anastesi mulai berjalan sehingga Amanda tak lagi bisa merasakan sayatan demi sayatan yang perlahan mulai membuka kulit perutnya. Sementara Radit terus melantunkan do’a di dalam kalbu. Memohon pada Tuhan agar orang-orang yang dicintainya selamat dan tidak kekurangan sesuatu apapun. “Aku mencintaimu, Sayang.” Amanda mengatakann
Tadinya Radit yang sudah terserang bucin akut pada Amanda sangat khawatir begitu melihat orang yang ada di hadapan mereka saat ini. Namun, rasa cemas pun perlahan sirna usai menyaksikan sendiri betapa wanitanya tidak lagi ingin menghindar.“Nama anak cantiknya siapa?” tanya Amanda sambil tersenyum. Bayi perempuan usia satu tahunan yang ada di pangkuan mamanya itu menggeliat kecil. Lantas tersenyum malu dan tampak salah tingkah.“Nama aku Aulia, Tante.” Adalah Tisa selaku sang mama yang menjawab pertanyaan barusan. Tak lama kemudian Amanda mengulurkan tangannya dan disambut dengan kecupan oleh si bayi. Membuat Ayra yang tadi duduk anteng di baby chair-nya mendadak berontak. Kelakuan calon kakak dari anak-anak kembar Amanda tersebut menjadi perhatian para orang dewasa di sekitarnya.“Ni Mama Aia!!” pekik Ayra dengan mata yang sudah melirik sinis. Dia bahkan menggeleng saat Radit hendak memperkenalkannya pada putri Tisa dan Andre itu.“Ya ampun!
“Sayang, masih lama?” Radit yang sedang mengemudi menoleh sekilas ke arah istrinya lalu menjawab, “Sebentar lagi kita akan sampai. Sabar ya, Sayang.” Amanda mengangguk. Wanita cantik itu tersenyum manis walaupun dalam keadaan mata yang masih tertutup sejak mereka meninggalkan rumah tadi. Hingga hampir setengah jam kemudian mobil yang dikendarai Radit pun berhenti. Pria itu bergegas membuka sabuk pengaman dirinya dan sang istri. “Apa aku boleh buka penutup matanya?” tanya Amanda yang sudah tak sabaran. “Jangan dulu,” jawab Radit yang seketika menggenggam erat tangannya. “Kita melangkah perlahan agar kau tak tersandung. Hati-hati.” Amanda bergumam pelan seraya menganggukkan kepala. Dia terus melangkah sesuai tuntunan sang suami hingga berhenti beberapa saat kemudian. “Apa sudah bisa dimulai, Pak?” tanya seseorang yang berdiri di kejauhan. Radit mengangguk. Pria itu kemudian mengambil posisi di belakang sang istri lalu membuka ikatan penutup mata tadi. “Silakan, Sayang.” Kini k
Satu harian ini Amanda jadi misuh-misuh sendiri di dalam kamar. Wanita cantik tersebut hanya keluar untuk mengisi perut atau sesekali melihat keadaan Ayra. Tentu saja dia masih kesal karena sang suami pergi tanpa mau mengajaknya. Padahal apa yang dikatakan Radit tadi ada benarnya. Dia mungkin akan kelelahan karena aktifitas mereka yang sangat padat hingga malam hari. Meskipun begitu, tetap saja hati kecil Amanda tidak terima. Jadilah dia cemberut sekarang.TOK TOK!!“Masuk aja. Enggak dikunci kok,” kata Amanda yang mematut diri di depan cermin. Beberapa detik kemudian Bu Ningsih muncul sembari menggendong Ayra yang sudah terlelap. Ibu mertuanya itu masuk lalu merebahkan sang cucu di atas ranjang.“Ibu dan Tiara mau keluar ya. Ayra samamu dulu.”Amanda langsung manyun. Kenapa mereka juga tak mau mengajaknya? Atau paling tidak berbasa-basi. “Kalian mau ke mana, Bu?”“Si Tiara minta ditemenin ke supermarket. Beli buah-buahan katanya,” jawab Bu Ni
“Jangan mancing-mancing.” Amanda menjauhkan kepalanya dari Radit lalu melirik sebal pria yang sudah mengulum senyum itu. Tentulah ia tahu apa maksud dari serangan kecil barusan. “Boleh aku bicara jujur?” Radit masih saja mengeluarkan jurus jitunya. Apalagi kalau bukan menggoda Amanda. “Apa?” “Kau semakin cantik dan seksi,” bisik Radit sembari mendekatkan tubuh mereka kembali. “Semuanya padat dan berisi.” “Berhentilah membual,” desis Amanda saat tangan nakal itu sudah mulai menjalar ke mana-mana. “Ini masih pagi dan situasinya enggak tepat.” Namun, Radit yang sudah terbakar gairah sepertinya tidak peduli. Dia malah semakin bersemangat untuk menggempur tubuh sang istri. Pertarungan di atas ranjang pun menggantikan olahraga paginya kali ini. Bunyi kecipak dan ayunan lembut yang mereka ciptakan sendiri menjadi suara yang begitu memabukkan. Bahkan ketika ledakan cinta didapat, keduanya masih ingin menggapai momen itu kembali. Sayangnya gagal karena pintu kamar sudah terbuka seba
Amanda refleks melebarkan kelopak matanya saat merasakan nyeri di bagian perut. Begitu juga dengan Radit yang baru menyadari sang putri sudah terbangun."Mama Aia!!""Iya, Sayang. Kenapa malah mukul tangan papa sih? Perut mama juga kena jadinya." Radit mengomel sembari melihat ke arah istrinya."Enggak pa-pa," ucap Amanda yang kemudian mendudukkan diri. Lantas dia tersenyum pada Ayra yang sudah cemberut. "Anak mama kenapa ya kok main pukul-pukul lagi? Katanya sayang sama papa juga, kenapa begitu, hmm?""Mama Aia!!"Gadis kecil itu malah menatap tajam sang papa. Seolah memberitahu bahwa Amanda hanya miliknya saja. Sementara kini Radit hanya menjadi pendengar kedua ibu dan anak tersebut yang mulai berbicara.Kini dengan suara lembutnya Amanda menjelaskan bahwa sikap Ayra barusan salah. Tak ada nada bicara meninggi ataupun rasa kesal yang tertangkap di wajah istri cantiknya tersebut. Membuat Radit semakin kagum pada wanitanya itu."Lain kali ngomongnya baik-baik ya, Sayang," kata Amanda
“Kau ini kenapa sih?? Istri lagi hamil kok malah dibuat stress. Maumu apa, hah??” Radit menggeleng pelan dengan kepala yang sudah tertunduk. Tak berani menatap wajah sang ibu yang sedang mengomel itu. Sementara Mama Tiara hanya diam sembari memandang keduanya secara bergantian.“Aku hanya mencemaskannya,” kata Radit dengan suara lirih. “Aku enggak pernah menyangka jika Manda hamil anak kembar. Itu sangat berisiko.” Ya. Bukannya Radit tidak bahagia, tetapi rasa khawatir yang ada pada dirinya melebihi apapun saat ini. Sungguh kepingan memori buruk perihal wafatnya sang istri terdahulu mulai menari-nari di dalam kepala.Melihat wajah gelisah itu, Bu Ningsih berdecak pelan lalu menarik kursi hingga dia dan Radit kini saling berhadapan. Satu tangannya menyentuh pundak anak semata wayangnya tersebut.“Relakan apa yang sudah terjadi. Ibu tahu kalau kau takut Manda mengalami kejadian serupa seperti yang lalu bukan?” tanyanya yang membuat Radit lekas mengiyakan. “Se
“Dokter ‘kan enggak cuma satu aja. Ada banyak pilihan dan menurutku … ini yang terbaik. Dia juga lebih pro ke persalinan normal.” Radit mengatakannya sambil tersenyum. Tidak lagi marah karena pembicaraan tentang Dinda kembali menjadi topik mereka walaupun memang bukan disengaja.“Ya sudah kalau gitu,” kata Amanda kemudian.“Atau kau sudah punya pilihan dokter sendiri, hem?” tanya Radit sembari memelankan laju kendaraannya.Amanda menggeleng cepat sebagai jawaban. “Aku ‘kan sudah lama sekali enggak balik ke sini. Jadi ya terserah kau saja kita mau ke mana.”“Siapa tahu ada saran dari teman atau rekan di sosial media,” gumam Radit.“Enggak sih. Temanku dulu cuma Tisa dan sekarang malas rasanya dekat sama siapapun juga. Lagian sudah ada suami dan anak-anak. Cukup kok buatku.” Keterangan barusan membuat Radit semakin menyadari bahwa wanita di sampingnya ini memang introvert sedari lama. Dulu saat dia sedang bersama mendiang Dinda pun, Amanda terlihat acuh tak a
Ada yang janggal. Itulah yang disimpulkan Amanda sekarang. Dia tak bisa bertanya pada Radit lantaran suasana tidak mendukung. Terlebih lagi Ayra mulai merengek lantaran ingin sekali berada di pangkuannya.“Ya udah iya. Sebentar ya, Sayang,” kata Radit pada sang putri. Dia pun mulai menepikan kendaraan lantas ke luar dari mobil.“Mu mama!!”Ayra sudah tak sabaran. Tangan dan kakinya yang sibuk meronta-ronta. Membuat Mama Tiara yang memangku jadi sedikit kewalahan. Hingga beberapa detik gadis kecil itu tersenyum saat sang papa sudah mengambil alih dan meletakkan tubuhnya di tempat yang ia inginkan.“Gimana, Sayang? Udah nyaman?” tanya Radit setelah memundurkan tempat duduk Amanda. Menyisakan jarak yang sedikit jauh agar kedua kaki istri cantiknya bisa bergerak dengan lebih leluasa.“Sudah,” jawab Amanda sekenanya. Barulah Radit kembali melajukan mobil seperti sedia kala. Sementara Ayra sudah tampak kegirangan karena berada di pangkuan mamanya.“Ana, Ma?”“Iya