"Arka, aku akan menikah malam ini," ucapku tersendat.
Aku menghela napas. Akhirnya keluar juga kata-kata itu dari mulutku meski dengan mulut yang bergetar. Mataku memanas dan bulir bening yang sejak tadi kutahan akhirnya luruh juga membasahi pipi.
"Hei, kenapa kamu malah menangis? Iya, kita memang akan menikah, tapi tidak malam ini karena sekarang baru lamaran. Kamu sudah nggak tahan untuk menjadi istriku, ya?" Arka tersenyum.
Aku memejamkan mata. Senyum itu lah yang selalu kurindukan selama ini. Namun, setelah ini tidak akan ada lagi.
"Begini, Sayang. Malam ini aku lamar kamu dulu dan setelah itu kita baru akan menentukan tanggal pernikahannya kapan," ucap Arka.
"Iya, Nak. Kami sebagai orang tua juga sudah setuju dengan pilihan Arka. Bagi kami, kamu adalah wanita yang baik sehingga cocok dengannya," sahut Bu Lurah--ibunya Arka dengan mengulas senyum manis.
Aku memandang keduanya secara bergantian. Rasa bersalah tiba-tiba menyeruak dalam dada. Mereka datang di saat yang tidak tepat.
Aku beralih menatap orangtua Wiji yang hanya menyimak pembicaraan kami. Mungkin mereka sedang memberi kesempatan padaku untuk menyelesaikan masalahku terlebih dahulu.
Arka mengulurkan tangan dan hendak meraih tanganku, tetapi aku segera menarik tanganku dan menyembunyikan di balik punggung agar lelaki itu tidak dapat menyentuhku.
"Arka, malam ini aku akan menikah, tetapi bukan denganmu melainkan dengan lelaki itu?" Aku menunjuk ke arah Wiji, yang sejak kedatangan Arka, hanya diam membisu. Mungkin, belum ingin ikut campur lebih dalam.
"Apa? Kamu bercanda, kan, Ndah?" Arka berkata dengan nada tinggi.
Aku menggeleng dan semakin terisak, berulang kali kuseka air mata yang terus membasahi pipi ini.
"Endah, dengarkan aku! Jangan main-main! Jangan bercanda! Lihat, malam ini aku datang bersama kedua orang tuaku untuk melamarmu seperti keinginanmu," kata Arka serius. "Maaf, aku sengaja tidak memberi tahumu terlebih dahulu karena sebenarnya aku ingin membuat kejutan,"
"Maaf, aku nggak bisa, Ar. Aku akan menikah dengan Wiji malam ini juga," ucapku sendu.
"Jadi, benar, kamu mau menikah dengannya?" Arka menunjuk Wiji. Dapat kulihat sorot matanya yang berkilat.
"Benarlah, masa boong. Endah memang akan menikah dengan lelaki jelek itu karena mereka berdua sudah ketahuan telah berbuat mes*m di warung," timpal Kak Sitha dengan tangan bersedekap.
"Apa? Tega kamu, ya, Ndah? Padahal selama ini aku begitu percaya sama kamu, tetapi ternyata, ah ....!" Arka melotot hingga kelopak matanya itu seperti hendak keluar dari tempatnya.
Aku menggeleng.
"Aku nggak pernah melakukan seperti apa yang kalian tuduhkan." Aku meradang. Dadaku terasa panas seperti terbakar.
Aku masih membela diri, tidak terima Kak Sitha mengatakan seperti itu terus, bahkan Arka juga percaya dengan ucapan Kak Sitha.
"Sudahlah, Ndah. Nggak perlu banyak drama. Aku sering lihat cowok jelek ini memang sering ke sini dan kalian ini memang sangat akrab. Pantas saja tadi perasaanku tidak enak dan mendadak ingin ke warung, ternyata sepandai-pandainya tupai melompat akhirnya jatuh juga. Kalian pasti sudah melakukan hal seperti tadi tidak hanya sekali, kan? Jangan-jangan keperawananmu sudah direngggut oleh lelaki ini, hah?" teriak Kak Sitha.
Tanganku terangkat dan hendak menampar wanita yang sedarah denganku itu, tetapi dengan cepat Wiji menahannya.
"Cukup, Mbak. Jangan kotori tanganmu untuk menampar kakakmu," ucap Wiji.
Aku menatap lelaki yang akan menjadi suamiku ini dengan tangan masih dalam pegangannya. "Aku nggak terima dengan apa yang dibilang Kak Sitha karena itu fitnah. Wiji, ayo katakan kalau diantara kita tidak pernah terjadi apa-apa." Aku semakin terisak.
"Percuma, Mbak. Mereka tidak akan percaya dengan apa yang kita katakan. Hanya Sang Maha Pencipta yang tahu kebenarannya," ucap Wiji.
Perlahan tangan ini ia lepas.
"Sudah, Pak. Ayo nikahkan mereka berdua sekarang juga agar aku bisa mendapatkan Arka. Iya, kan?" Kak Sitha tersenyum.
Lalu, Kak Sitha mendekati Arka dan menggoyangkan lengannya.
"Maksudmu apa?" Lelaki yang menjadi pujaan hatiku itu mendelik.
"Masa kamu tidak paham apa maksudku? Kamu ke sini, kan, mau melamar Endah?" tanya Kak Sitha.
"Iya, lantas?" Arka mengerutkan dahi.
"Tetapi Endah malah akan menikah dengan orang lain. Dari pada kamu pulang dengan tangan kosong, lebih baik kamu melamarku saja, ya?" Kak Sitha mengedipkan mata dan menggoyangkan lengan Arka.
Aku membuang muka. Sungguh pemandangan yang sangat menyakitkan. Sepertinya Kak Sitha memang sengaja menjatuhkanku agar bisa mendapatkan Arka.
"Lihat, Ndah. Aku dan Arka cocok, kan? Aku cantik dan Arka ganteng. Pas banget." Wanita yang selalu dimanja bapak itu menggelayut di lengan lelaki yang selama ini kuimpikan untuk menjadi suami itu.
"Enggak, Kak. Dia milikku." Aku menjulurkan tangan dan ingin meraihnya, tetapi lagi-lagi tangan ini ditahan Wiji.
"Endah, kamu ini jelek dan yang pantas untuk bersanding denganmu itu adalah dia bukan Arka." Kak Sitha masih menempel di lengan Arka meski lelaki itu berusaha untuk menjauh.
"Arka, sepertinya apa yang dikatakan wanita ini benar. Kita tidak mungkin membatalkan acara lamaran ini karena kita sudah mengundang keluarga besar dan mereka sudah tahu kalau kamu akan melakukan lamaran malam ini," sahut ibunya Arka. "Kalau memang Endah tidak jadi kamu lamar, sebaiknya kamu lamar saja kakaknya. Ibu lihat dia ini lebih cantik dari pada Endah." Wanita itu menepuk pundak Arka.
Aku menghela napas. Betapa mudahnya ia berubah pikiran.
"Tetapi, Bu .... Arka menoleh pada wanita yang yang memakai banyak perhiasan itu.
"Sudahlah, ibu setuju kamu menikah dengannya. Kalian sangat cocok." Wanita itu menyatukan tangan Arka dan Kak Sitha.
Aku memejamkan mata melihat pemandangan yang menyesakkan dada ini dan tanpa sadar tanganku menggenggam erat tangan Wiji.
Kulihat bapak dan ibu tersenyum bahagia melihat Kak Sitha berjabat tangan dengan Arka.
"Aku tidak pernah cinta dengan Sitha, Bu, karena yang kucintai adalah Endah, tetapi melihat kenyataan ini sepertinya aku memang harus melupakan Endah." Arka menunduk.
"Apakah itu artinya kamu mau nikah sama aku?" tanya Kak Sitha.
"Ya, kenapa aku baru sadar kalau kamu lebih cantik daripada Endah, ya?" Arka menggaruk kepala yang kuyakin itu tidak gatal.
Kugenggam tangan Wiji semakin erat seiring dengan rasa sakit di hati ini yang semakin bertambah. Pupus sudah harapanku untuk bersanding dengan Arka.
"Baiklah, aku rela untuk menikah dengan Wiji sekarang juga!"
Aku mengusap air mata yang terus mengalir dengan jari tangan. Aku pasrah dengan takdir ini. Sekali lagi kupandang Kak Sitha yang terus menempel di tubuh Arka. Melihat Arka yang menggenggam erat tangan Kak Sitha, membuatku semakin yakin untuk menerima Wiji. Dengan begini, aku jadi tahu kalau ternyata Arka adalah orang yang tidak teguh pendirian. "Bagaimana kalau pernikahan kalian kita adakan barengan saja." Bapak yang dari tadi diam saja akhirnya angkat bicara. "Enggak mau, biarkan Endah menikah lebih dulu sekarang juga agar ia bisa pergi secepatnya dari sini dan aku bisa memiliki Arka seutuhnya. Sudah muak melihatnya setiap hari." Kak Sitha masih menggelayut manja di lengan Arka. Tanganku mengepal ke bawah mendengar ucapan Kak Sitha barusan. Bisa-bisanya ia bilang muak melihatku setiap hari. Kalau boleh jujur seharusnya aku yang muak punya kakak kandung perempuan seperti dia yang layak disebut benalu bagiku. Tidak sadarkah ia kalau selama ini akulah yang sudah membuatnya bisa ma
Aku berdiri dan mengambil paksa gelang itu dari tangan Kak Sitha yang masih saja mencerocos menanyakan gelang itu asli atau tidak. "Sepertinya Ibu tidak perlu memberikan jaminan." Kuletakkan gelang itu di tangan ibu mertua. "Kenapa?" tanya Kak Sitha. "Uangnya aku kembalikan saja." Kuambil uang dari Wiji yang ia pinjam dari Arka. "Enggak bisa begitu, Ndah. Uang mahar ini sudah menjadi hakmu karena seorang suami wajib memberikan mahar pada istrinya meskipun jika tidak mampu pernikahan ini tetap sah. Karena ini uang kamu, sekarang uang ini menjadi milik Bapak. Lumayan, bisa beli rokok dan nongkrong bersama teman-teman," kata bapak. Aku menggeleng saat melihat bapak mengambil uang sejuta yang tadi kuulurkan pada Kak Sitha dan menggunakan lembaran itu untuk mengipasi wajahnya. Aku hanya bisa mengelus dada melihat tingkah bapak. Dari dulu tidak pernah berubah, suka menghamburkan uang hanya untuk membeli benda yang hanya dapat ia nikmati sendiri itu. Bahkan, lebih baik tidak makan dari
"Kenapa?" "Kalau aku pulang dengan mobil ini, lalu bagaimana dengan motor kesayanganku." Mas Wiji hendak membuka pintu untuk keluar mobil, tetapi ayahnya malah tertawa. "Kalau hanya masalah itu gampang, Papa bisa telepon Pak Juned." Aku terkesiap saat melihat ayah mertua mengeluarkan ponsel dari saku bajunya. Sebuah benda ajaib yang menjadi impian semua orang dan hanya bisa kulihat di televisi. Jangankan menyentuh atau memilikinya, melihat secara langsung saja ini adalah untuk pertama kalinya. Ayah mertua yang kuketahui bernama Pak Aditya kembali masuk ke dalam mobil setelah menelepon yang entah siapa untuk mengambil motor Mas Wiji. "Kamu nggak usah khawatir, motor kamu aman. Heran aku sama, Ji, punya mobil, tetapi malah lebih suka bawa motor, mending kalau motornya bagus mengkilap. Lah ini motornya aja jelek," ucap Pak Aditya dengan tangan tetap fokus mengemudi. "Ini bukan masalah bagus atau jelek, Pa. Yang paling penting itu kenangannya. Dan yang membuatku nyaman, dengan motor
Aku masih mematung di depan pintu, kagum melihat rumah yang begitu besar dan mewah ini. Rumah ini sangat besar, satu ruangan di rumah ini lebih besar dari rumahku di desa secara keseluruhan. "Ayo, masuk!" Pinta Mas Wiji sedikit menyeret tanganku. Tampak papa dan mama mertua sudah duduk di sofa berwana biru dengan aneka makanan dan minuman di sana. "Kalian sudah bangun? Maaf, tadi sengaja tidak kami bangunkan karena kelihatannya kalian nyaman banget pelukan di dalam mobil. Duduk sini!" Mama mertua menepuk sofa kosong di sampingnya. Pipiku menghangat dan sudah pasti terlihat merah. Aku malu dibilang nyaman dalam pelukan lelaki yang sebelumnya asing bagiku. Tadi aku benar-benar pusing. Ya, aku memang wong ndeso yang jarang naik mobil, bahkan tidak pernah. Masih untung tadi hanya pusing dan kliyengan serta keluar keringat dingin dan tidak sampai muntah akibat mabuk kendaraan. "Maaf, Ma, sepertinya kita langsung ke kamar aja. Endah capek." Mas Wiji menuntunku yang masih memegangi kepal
"Kenapa foto ini bisa ada di sini? Ini aku, kan?" Kuambil fotoku yang sedang melayani pelanggan di warung itu dan mengangkatnya ke udara. "Iya, maaf. Aku sudah mengambil gambar kamu tanpa izin. Ia menggaruk tengkuknya." Kamu marah?" tanya lelaki yang sudah resmi menjadi suamiku itu. "Marah, tetapi sedikit, toh, aku juga tidak rugi." Kuamati dengan seksama wajah dalam foto yang terlihat lelah itu. "Terima kasih, ya, berkat foto itu aku jadi bersemangat. Aku merasa seolah-olah kamu menemaniku." "Seharusnya kamu bilang kalau mau ambil foto sehingga aku bisa dandan dulu dan tersenyum saat difoto, bukan seperti itu. Tuh lihat, mukanya aja kusam dan terlihat berminyak karena berkutat dengan wajan penggorengan dan berhadapan dengan minyak panas seharian. Rambut juga diikat asal serta hanya memakai kaus oblong longgar. Kalau kamu bilang mau ambil gambarku, aku bisa mandi dulu kalau perlu memakai baju paling bagus yang kupunya." Kuletakkan kembali foto itu ke tempat semula. Mas Wiji ters
Aku terdiam dan meremas jari tanganku sendiri. Tidak mungkin aku memaksa lelaki yang ternyata anak orang kaya bukan kaleng-kaleng ini menikahiku secara resmi. Aku sadar siapa diri ini saat sudah berada di sini. Ternyata aku dan Mas Wiji bak langit dan bumi. Benar kata papa mertua, nikah siri memang diperbolehkan, tetapi biasanya merugikan pihak istri karena tidak ada bukti tertulis sehingga tidak punya kekuatan hukum. Si istri tidak bisa menuntut apa pun jika terjadi sesuatu di kemudian hari. Ah, aku jadi teringat dengan bapak dan ibu di desa yang selalu bilang kalau seorang gadis tamatan SMA sepertiku jodohnya adalah orang miskin. Beda dengan Kak Sitha yang sarjana sehingga jodohnya pasti orang kaya yang bisa membanggakan keluarga. Rasa perih kembali menjalar di ulu hati jika ingat diri ini yang selalu dibandingkan dengan kakak sendiri. "Jadi, sudah jelas, ya, kalau kita tidak akan menikah secara resmi dulu. Kita masuk kamar, yuk. Kamu pasti capek." Mas Wiji menggenggam tanganku
"Endah, ini ada beberapa baju untuk kamu, dipakai, ya, semoga kamu suka?" Mas Wiji mengulurkan beberapa paperbag. Ia baru saja pulang dengan mengendarai si 'pitung'. Sebuah motor yang membuat ia dibenci semua orang karena suaranya yang membuat sakit telinga. Aku mengambil satu paperbag berwarna ungu dan membukanya, sebuah gaun berwarna cokelat muda dengan hiasan pita samping. Aku ternganga, belum pernah punya baju sebagus ini. "Apakah ini benar untukku?" tanyaku masih tidak percaya. Tanganku mengusap gaun yang bahannya lembut dan nyaman di kulit. Ini adalah baju terbaik yang pernah kumiliki, saat masih di desa, aku jarang beli baju baru karena lebih sering pakai baju bekasnya Kak Sitha. "Kenapa? Nggak suka?" Mas Wiji mengedipkan mata. "Apakah pantas gaun sebagus ini menempel di tubuhku? Kasihan gaunnya, kan?" Dahiku berkerut. "Ada-ada saja kamu ini, Ndah. Ayo buka bajumu sekarang dan ganti dengan yang ini!" Mas Wiji membalik tubuhku dan menarik kaus oblong yang kukenakan. "Aku
Ponselku berdering sebagai pertanda ada panggilan masuk dan setelah kulihat dari Mas Wiji. Aku terlonjak kegirangan karena ini untuk pertama kalinya ia meneleponku. "Halo, Ndah. Kamu baik-baik saja dan masih setia menunggu kepulanganku, kan?" Kata-kata itu sama dengan yang ia kirimkan melalui pesan selama ini dan jawabanku juga selalu sama bahwa aku baik-baik saja dan akan selalu menunggu kepulangan suamiku yang sedang pergi ke mana dan entah untuk urusan apa. "Maaf, ya, Ndah, aku tidak bisa menemani kamu untuk menghadiri pesta pernikahan Sitha karena sudah kupastikan aku belum sampai di rumah nanti," "Memangnya masih berapa lama kamu berada di sana untuk menyelesaikan urusan itu, Mas?" tanyaku was-was. "Semoga secepatnya aku bisa pulang. Sekali lagi aku minta maaf karena tidak bisa menemanimu ke acara pernikahan kakakmu dan mantan pacarmu itu." "Enggak apa-apa, Mas. Aku juga tidak berniat untuk ke sana karena sudah pasti hanya akan membuat keributan.""Jaga dirimu baik-baik, ya
Sintya sudah tidak pernah datang lagi mengganggu kami. Yang paling menbuatku lega adalah hari ini ia akan melangsungkan pernikahan dengan Irgi. Setelah orang tuanya meninggal, memang hanya Irgi yang selalu datang ke rumahnya. Awalnya hanya karena kasihan, tetapi lama-lama tumbuh benih-benih cinta di antara keduanya. Ya, cinta terkadang datang dengan orang yang tidak pernah kita duga sebelumnya, seperti Irgi yang pada akhirnya berhasil mendapatkan cinta Sintya. "Selamat menempuh hidup baru, Sin. Semoga bahagia selalu," ucapku sambil menjabat tangan Sintya yang mengenakan gaun pengantin berwarna putih itu. Wanita itu terlihat sangat cantik. Sintya dan Irgi baru saja melangsungkan pernikahan yang diadakan secara sederhana. Tamu undangan yang datang juga tidak banyak karena hanya keluarga inti saja. "Aku janji tidak akan pernah mengganggu kalian berdua lagi," ucap Sintya dengan tangan menggelayut manja di lengan lelaki yang baru saja dah menjadi suaminya. Mas Wiji tertawa," Kenapa? S
"Mas kamu punya utang padaku," ucapku saat kami baru saja selesai makan malam bersama. "Utang apa?" "Utang penjelasan dari mana saja tadi? Apalagi ditelepon juga susah. Memangnya ke mana dan sedang apa sehingga harus ponselnya dimatikan segala? Kamu nggak ada niat untuk mengkhianati aku, kan, Mas?" tanyaku lirih. Mas Wiji tersenyum, "Enggak usah curiga, aku nggak mungkin akan mengkhianatimu. Tadi aku ke rumah Sintya dan mengenai ponselku yang mati, tadi kehabisan baterai, belum sempat untuk charge.""Apa? Ke rumah Sintya?" Aku tersedak mendengar ucapannya kali ini. Entah apa lagi yang sudah direncanakan dan dilakukan Sintya sehingga dia berhasil membuat suamiku datang ke rumahnya apalagi sampai harus mematikan ponselnya. Bukan hanya aku yang kaget, mama juga." Buat apa lagi kamu ke rumah penipu itu, Ji. Mama sudah peringatkan berulang kali agar tidak berhubungan lagi dengan wanita itu kalau tidak mau terjerat rayuannya. Kamu harus fokus dengan kesehatan Endah yang sedang hamil,"
Aku baru saja bangun dan kulihat ini sudah siang. Tadi sehabis salat Subuh tidur lagi meskipun aku tahu itu tidak baik bagi kesehatan, tetapi badanku terasa sakit semua. Benar kata mama, meskipun tidak meninggalkan bekas luka, tetapi setelah insiden belajar mengendarai mobil dan menabrak orang itu membuat badanku sakit semua. Ah, seharusnya aku menurut kata mama, badan pegal seperti ini harus dibawa ke tukang urut. Mas Wiji sudah rapi dengan kemeja berwarna krem. Hari ini ia akan ke kampus untuk bertemu dosen pembimbing terkait skripsi yang sedang ia tulis. "Belajar naik mobilnya nanti setelah aku pulang dari kampus, ya." Mas Eiji membungkuk dan mencium keningku. Aku masih berselimut dan enggan untuk bangun. Aku menggeleng, "Aku nggak mau belajar menyetir lagi, Mas. Takut nabrak orang lagi." "Dengar, ya, Sintya itu bukan tertabrak, tetapi memang sengaja menabrakkan diri. Jadi, itu bukan salahmu maupun salahku yang sudah mengajarimu." Mas Wiji menowel hidungku perlahan. "Aku teta
Mas Wiji segera membawa masuk wanita yang sudah tak sadarkan diri setelah beberapa saat itu. Beberapa orang datang membantu kami dan meminta kami untuk membawa korban ke rumah sakit. "Biarkan aku yang menyetir, Ndah," ucap Mas Wiji buru-buru. Aku mengangguk dan menuruti permintaan Mas Wiji agar aku duduk di belakang bersama sang korban yang merupakan mantan kekasih Mas Wiji. Ya, orang yang sudah kutabrak itu adalah Sintya. Entah sedang apa dia berada di sini dan kenapa harus menyeberang saat aku tengah belajar mengemudi. Ini hanyalah kebetulan kah? Mas Wiji mengemudikan mobil dengan kecepatan sedang menuju rumah sakit terdekat. Untunglah Sintya tidak mengalami luka yang cukup serius karena aku mengemudi dengan cukup pelan. Ia hanya terluka pada bagian pelipis dan tangan serta kaki yang lecet akibat terkena aspal jalanan. Mata Sintya perlahan terbuka, aku segera mendekatinya, "Maafkan aku, Sin." Aku menggengam jari tangannya yang tidak terdapat jarum infus. "Seharusnya aku yang m
Sintya pulang dengan menghentakkan kaki ke lantai cukup keras. Rasa kesal begitu terlihat dari raut wajahnya. Mas Wiji hanya menggeleng melihat wanita yang pernah ada di hatinya itu. "Kamu kenapa, Ndah? Kenapa mukanya pucat gitu? Jangan bilang kalau takut dengan ucapan Sintya tadi. Hayoo ngaku?" Mas Wiji mengusap kedua pundakku saat kami berdiri berhadapan. Ia cengengesan. "Ucapan yang mana?" "Tentang dia yang akan meminta bantuan dukun agar aku mau kembali padanya. Iya, kan?" Aku mengangguk samar. Tidak munafik jika apa yang dibilang Mas Wiji itu benar. Bukannya aku mau percaya dengan yang begituan di zaman modern seperti sekarang, tetapi kasus meminta bantuan jin agar pikiran seseorang menjadi condong pada target seperti itu memang ada. Mas Wiji tersenyum, lalu mengusap kedua pipiku, "Kamu nggak usah khawatir, sekuat apa pun Sintya mencoba membuatku kembali padanya, cintaku padamu tidak akan pernah goyah. Lagi pula, ia adalah wanita modern yang tidak akan melakukan hal konyol i
Mas Wiji menghela napas perlahan lalu mengamati wanita itu dari ujung kepala dari ujung kaki. Cantik, pasti pujian itu yang pantas diucapkan untuknya. Jantungku berdebar tidak karuan menanti kata-kata yang akan keluar dari mulut suamiku. Apakah aku harus pasrah saat cinta pertamanya datang lagi sekarang dan membiarkan cinta lama itu bersemi kembali? Tidak, aku tidak pernah merasa memisahkan mereka karena Mas Wiji datang saat ia sudah tidak punya ikatan lagi dengan wanita itu, bahkan ia bilang semua orang menjauhinya waktu itu. "Endah, dulu, aku sangat mencintai Sintya." Akhirnya kata-kata yang kutakutkan itu keluar juga dari mulut Mas Wiji. "Tentu saja dan aku juga sangat mencintai Wiji. Kami adalah pasangan yang paling serasi waktu itu. Wiji tampan dan aku cantik. Namun, sayang dia harus mengalami kecelakaan sehingga wajahnya rusak. Bukan salahku, kan, kalau aku harus meninggalkannya? Mana ada wanita yang mau punya pasangan jelek," ucap Sintya dengan percaya diri. Aku melirik ma
Mas Wiji masih tertawa, bahkan air matanya sampai berderai. Aku dan sang dokter hanya saling berpandangan. "Dokter, tolong lakukan sesuatu pada Mas Wiji." Aku memegang tangan dokter cantik itu lalu beralih mengusap pipi suamiku, "Maafkan aku, Mas, kalau sudah membuatku kecewa. Aku memang bukan wanita sempurna,"Aku menunduk dan mataku memanas hingga bulir bening meleleh membasahi pipi ini tanpa bisa kutahan lagi. Mas Wiji berhenti tertawa dan mengusap pundakku dengan lembut. Aku menghela napas perlahan dan mengembuskannya, lega, akhirnya suamiku berhenti tertawa. "Kamu ini bicara apa, to, Ndah? Kenapa bilang kalau kamu tidak sempurna?" tanya mama yang tiba-tiba sudah berada di antara kami. ia mengusap air mata yang terus membasahi pipi ini. "Aku nggak hamil, Ma. Itu artinya aku wanita yang nggak sempurna, kan?" tanyaku terisak. "Sstt, nggak boleh bilang seperti itu. Bagi kami, kamu adalah wanita sempurna yang dikirimkan Allah untuk keluarga kami." Mama menempelkan jari tangannya
Aku memejamkan mata saat melihat bapak dan ibu akhirnya pergi dari rumah ini meski harus dipaksa. Maafkan aku, Pak, Bu. Aku hanya hanya ingin hidup tenang bersama suamiku. Azan subuh berkumandang bersahutan sebagai panggilan dari Sang Maha Pencipta untuk para umatnya manusia agar bangun dari mimpi indah dan gegas melaksanakan kewajiban untuk menyembah-Nya. Aku sudah membuka mata, tetapi suamiku masih tertidur pulas. Sepertinya ia tidak mendengar azan subuh. Tidak heran jika ia harus membunyikan jam weker di sampingnya yang bertugas membangunkannya di waktu sesuai yang ia harapkan. Jam weker berbunyi nyaring dan Mas Wiji belum bangun juga, bahkan ia seperti tidak terganggu dengan bunyi yang menurutku berisik itu. Tanganku terulur melewati atas tubuh Mas Wiji karena jam weker terletak di sampingnya. Saat aku hendak mematikan jam itu, tangan Mas Wiji meraih tanganku dan mendekapnya erat. "Aku mohon jangan pergi, Ndah. Aku sangat mencintaimu," ucap Mas Wiji lirih dan aku baru sadar k
Dahiku mengernyit melihat bapak dan ibu masih memakai baju yang sama dengan yang kemarin, pun dengan Kak Sitha padahal resepsi pernikahan sudah terjadi dua hari yang lalu. "Kamu dan suamimu ke mana aja, Ndah? Dan itu kenapa kepala dibalut perban segala? Jangan bilang kalau setelah pulang dari acara resepsi itu kalian langsung ke hotel dan melakukan malam pertama di sana. Apakah itu bekas ciuman? Ya Tuhan, betapa garangnya suamimu itu, mencium istrinya aja sampai harus diperban seperti itu. Tetapi kenapa tangannya juga digendong? Jangan dijawab dulu, biar ku tebak, kamu berontak saat suamimu ingin meminta haknya sehingga dia terjatuh hingga tanganya terluka? Begitu, Ndah? Oh my God, itu adalah malam pertama yang horor bagiku." Kak Sitha tepuk jidat sambil menggelengkan kepala. "Aku dan Mas Wiji kemarin kecelakan dan harus dirawat di rumah sakit selama dua hari," ucapku dengan dada yang bergemuruh hebat mendengar ucapan Kak Sitha barusan. Apa yang ada di pikirannya sehingga bisa bila