Bab 1
“Sudah berapa kali saya katakan, saya tidak suka Anda menemui Davina, Pak Abyasa! Kenapa Anda terus saja mengganggunya?” Elsa berseru dengan suara tertahan. Wanita itu baru pulang dari rumah makan yang baru dirintisnya, tetapi langsung mendapati seorang lelaki tengah menemani Davina di teras rumah.
Lelaki yang duduk lesehan sambil mendengarkan segala celoteh gadis kecil usia tiga tahunan, mendongak dan langsung tersenyum lebar mendapati Elsa sudah berdiri di belakangnya.
Saking asyik menemani Davina bermain, Abyasa tidak menyadari jika wanita yang ditunggunya sudah pulang. Lelaki tersebut bahkan tidak mendengar suara mobil masuk halaman.
“Hai, sudah pulang?” tanyanya berdiri menyambut Elsa.
Elsa mendengus seraya membuang pandangan. Entah sudah berapa puluh kali ia mengatakan kepada lelaki itu agar tidak membawakan mainan untuk puteri kecil buah cintanya dengan mendiang David-mantan suaminya yang meninggal beberapa bulan lalu. Namun, nyatanya Abyasa selalu melakukan hal yang sama. Alasannya karena ia menyukai Davina yang cantik dan lucu.
Dengan melewati Abyasa, Elsa langsung menghampiri gadis kecil yang bersorak riang. Wajah mungil itu tampak semringah menyadari dirinya datang. Elsa berjongkok sebelum memeluk dan menciumi Davina.
“Vivi, nenek di mana, Sayang? Vivi masuk dulu, ya. Main sama nenek di dalam.”
Gadis kecil kerkuncir dua melepaskan pelukan sang ibu, sebelum mengacungkan sebuah boneka cantik bergaun indah.
“Vivi lagi main boneka sama Papa Aby, Ma. Lihat, bonekanya cantik, kan? Secantik Vivi. Papa Aby yang beliin, Ma,” ujarnya polos dengan lidah cadelnya. Tubuh mungilnya berjingkrak menandakan hatinya senang. Namun itu sukses membuat kedua bola mata Elsa membola sempurna.
“Papa?” gumam wanita itu tak percaya.
“Iya, Ma. Vivi mau Papa Aby jadi papaku. Papa Aby juga mau kok, jadi papaku. Boleh ya, Ma?” Gadis kecil memasang wajah penuh harap.
Serta-merta Elsa mendongak ke arah lelaki bercambang yang berdiri menjulang di hadapannya. Lelaki yang sejatinya ingin ia hindari seumur hidup. Namun, dengan tidak tahu malu terus menempelinya. Kini, bahkan menggunakan Davina untuk mengusik hidupnya.
Elsa berdiri kasar setelah menghela napas, kemudian mengambil Davina ke dalam gendongan hingga menjatuhkan boneka dari tangan mungilnya.
“Vivi sama nenek dulu, ya,” ucapnya seraya ingin membawa putri kecilnya ke dalam. Namun, tanpa terduga Davina menggelinjang, menolak digendong. Anak itu meronta minta diturunkan.
“Vivi mau main sama Papa Aby, Ma. Vivi nggak mau masuk!” Gadis kecil meronta dan menangis. Tangannya terulur seolah ingin meraih Abyasa yang berdiri mematung di belakang sana.
Elsa tidak mempedulikan tangisan Davina. Ia membawa paksa sang anak masuk dan memberikan kepada sang ibu yang berlari tergopoh-gopoh.
“Kenapa Vivi?” tanya wanita paruh baya bepostur mirip Elsa.
“Sudah berapa kali aku bilang, Bu? Jangan biarkan laki-laki itu mendekati Davina!” Elsa menekan suara, berusaha mengendalikan emosi yang ingin meledak. Namun, tidak mungkin berteriak meluapkan kekesalan terhadap Abyasa di depan sang ibu dan anak semata wayangnya.
“Lihatlah, laki-laki itu bahkan sudah berhasil mempengaruhi Vivi, hingga tidak mau menurut padaku,” lanjut Elsa putus asa.
“Maaf, tadi Ibu mau mengangkat jemuran, Sa. Sudah mendung, takut keburu hujan. Jadi, Vivi Ibu titipkan sama Pak Abyasa.” Ibunya memasang wajah menyesal.
Elsa memejam sebentar sebelum menarik napas panjang.
“Ya sudah, aku mau menemui dia dulu, titip Davina ya, Bu. Jangan biarkan dia ke depan lagi.” Setelah berkata demikian dan menyerahkan tubuh Davina, Elsa berniat menemui Abyasa kembali. Namun, cekalan tangan sang ibu, membuatnya urung melangkah.
“Kenapa, Bu?” Kening Elsa berkerut.
“Tidak bisakah kau memberi satu kesemapatan lagi untuk Pak Abyasa, Sa?”
“Maksud Ibu?” Kening Elsa semakin berkerut. Ia mencurigai sesuatu.
Satu embusan napas kasar keluar dari mulut Irma. “Ibu lihat Pak Aby sangat tulus, Sa. Dia sangat menyesali perbuatannya di masa lalu, dan dia sudah menunjukkan kesungguhannya memperbaiki diri. Tidakkah kau ingin memberinya kesempatan?”
Elsa kembali memejam. Mendengar ucapan sang ibu semakin menumbuhkan kebencian kepada Abyasa. Ia sangat yakin jika lelaki itu sudah berhasil menyebarkan racunnya, hingga semua keluarganya berpihak kepadanya.
“Lihatlah, ia bukan hanya berhasil mengendalikan Davina. Tapi ia juga sudah sukses mempengaruhi Ibu agar berpihak padanya dan menentangku. Ini yang aku takutkan sejak awal, Bu. Makanya aku selalu mewanti-wanti Ibu agar tidak menerima dia jika aku tidak di rumah.” Elsa semakin putus asa. Wanita itu mengangkat kedua tangannya seolah ingin meremas kepala walaupun pada akhirnya hanya mengepal di kedua sisi telinga.
“Sudahlah, aku ke depan dulu, Bu,” ujarnya akhirnya dengan lembut.
Namun, lagi-lagi Irma menahan tangan sang anak. Ada perubahan sangat kentara di wajahnya. Sesuatu ingin dikatakannya, tetapi terlihat ragu.
“Sa …,” ujarnya akhirnya.
Elsa mendekatkan kepala memindai wajah sang ibu. “Ada apa, Bu? Apa ada yang serius?”
Sang ibu berkedip lemah. “Tadi ibu mertuamu ke sini.”
Elsa melebarkan bola mata. “Lalu?”
“Dia ketemu dan bicara dengan Pak Aby.”
Elsa menelan ludah dengan susah payah.
“Pak Aby berterus terang kepada ibu mertuamu ingin menikahimu lagi.”
Elsa bergeming dengan wajah memucat.
“Ibu mertuamu murka, Sa. Berteriak-teriak di teras memaki Pak Aby. Sesumbar jika kamu tidak akan menikah dengan laki-laki lain selain dengan kakak iparmu. Dia juga bilang jika pun kamu menikah lagi, hanya akan naik ranjang.”
Elsa memejam kuat, apa yang ia takutkan pun terjadi.
“Ibu mertuamu juga menyebut sore ini akan datang lagi bersama pengacara.”
“Pengacara?” Elsa bertanya dengan napas yang mulai tersengal.
“Ya, ia akan mengambil rumah ini dan semua aset mendiang suamimu karena kamu sudah berani dekat dengan laki-laki lain padahal kita baru memperingati seratus hari kepergian David.”
“Tapi, Bu. Aku tidak ingin menikah dengan laki-laki mana pun. Aku bahkan marah melihat lelaki itu terus-terusan datang.” Telunjuk bergetar Elsa menunjuk teras di mana Abyasa masih di sana.
“Iya, tapi ibu mertuamu tahunya kamu kembali menjalin hubungan dengan Pak Aby. Sementara Bu Dinar maunya kamu menikah dengan kakak iparmu. Sepertinya kamu dalam masalah, Sa. Bu Dinar hanya akan memberimu dua pilihan. Menikah dengan kakak iparmu, maka semua peninggalan David aman, atau kamu boleh menikah dengan orang lain, tapi semua harta David termasuk Davina akan mereka ambil.”
Elsa kembali memejam. Kemarahan terhadap Abyasa semakin membumbung. Abyasa membuat ibu mertuanya salah faham. Lelaki itu membuat semua menjadi runyam. Padahal, selama ini Elsa sedang berusaha meyakinkan ibu mertuanya jika ia tidak akan menikah lagi dalam waktu dekat, karena David baru saja pergi. Kini semua menjadi runyam karena ulah Abyasa.
Elsa berjalan menuju teras dengan langkah-langkah kasar. Kekesalan terhadap lelaki itu tidak dapat disembunyikan.
“Pak Abyasa, apa maksud Anda mengatakan kepada ibu mertua saya, kita akan menikah?” Wanita itu langsung mendamprat Aby begitu tiba di hadapannya.
“Sungguh saya tidak mengerti dengan jalan pikiran Anda. Kenapa Anda terus mengusik hidup saya? Tidakkah Anda punya rasa malu sedikit saja? Setelah apa yang Anda lakukan di masa lalu, Anda masih saja membuat hidup saya rumit. Padahal saya baru ditinggalkan suami!” Elsa emosional, suaranya bahkan bergetar walaupun tidak keras.
Abyasa yang menyadari betapa luka yang ia ciptakan dulu begitu dalam hingga sulit bagi Elsa memaafkannya, hanya bisa menatap nanar sebelum akhirnya menunduk.
“Maaf,” ucapnya lemah. Penyesalan tersirat jelas.
Elsa ingin membuka mulutnya saat dari luar pagar terdengar suara gemuruh yang sangat berisik. Serta-merta ia mengalihkan pandangan hingga terlihat serombongan pria dan wanita memasuki pekarangan rumahnya, dengan wanita paruh baya berjalan paling depan dan bicara berapi-api.
“Lihatlah mereka, Pak RT dan warga semua!” teriak seseorang yang berjalan paling depan. Telunjuknya mengarah Elsa dan Abyasa.
“Padahal anak saya baru saja meninggal. Tapi istrinya sudah membawa laki-laki lain ke rumah anak saya. Saya yakin mereka sudah berbuat tidak senonoh karena laki-laki itu datang hampir setiap hari!”
Bab 2“Apa yang Mama pikirkan? Kenapa harus membawa Pak RT dan warga ke sini?” Elsa bertanya dengan air mata berlinang. Hatinya sakit diperlakukan seperti pasangan mesum seperti ini. Warga menggerebek dirinya dan Abyasa. Belum lagi teriakan mereka yang mengatai dirinya janda gatal, murahan, penggoda Om-om senang, dan masih banyak masih lagi.“Itu buat efek jera saja agar kamu tidak membawa lagi laki-laki ke rumah ini. Ingat Elsa, ini rumah peninggalan anakku. Aku tidak suka kau pakai untuk berbuat mesum.” Wanita bertubuh tambun dan rambut hampir memutih semua bicara dengan wajah merengut. Tidak ada raut bersalah atau iba mengingat sejak tadi Elsa terus menangis setelah ditegur ketua RT dan diteriaki warga.“Mama bicara apa? Aku tidak pernah membawa laki-laki masuk rumah ini. Apalagi sampai berbuat mesum. Demi Tuhan Ma, bahkan sakit karena ditinggalkan Bang David masih terasa, aku tidak ingin berurusan dengan yang namanya laki-laki lagi.” Masih di antara tangisan, Elsa menjelaskan.“Ta
Bab 3“Bagaimana ini bisa terjadi? Bagaimana kondisi Bapak?” Dengan jantung yang terasa berhenti berdetak, Elsa menatap nanar sang ibu yang pucat dan gemetar.“I-bu tidak tahu, Sa. Orang-orang di sana hanya bilang Bapak terjebak. Tidak sempat keluar.” Gagap dan gemetar, ibunya menjawab.Bahkan Elsa tidak sempat menetralkan detak jantung. Ia meminta sang ibu membawa Davina untuk ikut ke rumah sakit. Pun dengan Dinar yang akhirnya ikut serta.Sepanjang perjalanan menuju rumah sakit, Elsa mengendalikan mobil dengan tangan gemetar dan hati kacau. Ia takut terjadi sesuatu dengan sang ayah. Tak dapat dibayangkan jika sampai tak tertolong.“Elsa, hati-hati bawa mobilnya. Kamu mau kita celaka?” Dinar yang duduk di kursi belakang terus mengomel karena beberapa kali mobil mereka hampir bersenggolan dengan pengendara lain. Belum lagi pejalan kaki yang hampir tertabrak karena Elsa menerobos lampu merah.Davina yang terpaksa dibawa pun terus menangis ketakutan karena sang ibu mengemudi dengan pani
Bab 4“Apa tidak ada jalan lain, Dokter?” Sekuat tenaga Elsa menegarkan hati yang padahal sudah pecah berserakan. Ayahnya adalah kaki-kakinya selama ini. Ayahnya yang membantu mendirikan rumah makan itu. Apa lagi setelah ini? Setelah berita kehilangan asetnya, kini ia juga harus dihadapkan kenyataan jika sang ayah harus kehilangan kakinya. Hati Elsa benar-benar hancur.Pria berjas putih dengan kacamata bertengger rendah di tulang hidungnya menggeleng lemah. Tanpa dokter menerangkan apa pun lagi, Elsa sudah sangat mengerti apa yang terjadi. Luka sang ayah sangat serius.Ayahnya terjebak di lantai dua. Tidak bisa keluar karena lantai satu sudah penuh api. Semua jendela dan pintu di lantai dua tertutup rapat dan terkunci karena Fadli berniat pulang setelah memeriksa semua ruangan. Ledakan besar membuat ia panik dan berlari ke bawah. Nahas sesuatu yang sudah terbakar jatuh menimpa tubuhnya hingga kedua kakinya ikut terbakar. Dan setelah beberapa lama, tim damkar baru bisa mengevakuainya.
Bab 5“Aku akan membantumu mengusut kasus ini sampai tuntas, Elsa.” Abyasa yang masih menggendong Davina, menegaskan.“Jika kau tidak suka, anggap saja ini untuk keluargamu. Untuk Davina dan kedua orang tuamu,” lanjutnya saat sadar sorot tidak suka di mata Elsa.“Aku hanya ingin keadilan untuk kalian. Karena ini bukan murni kecelakaan. Ini kesengajaan.” Suara Abyasa lembut dan meyakinkan.Elsa membuang muka. Walaupun sangat marah dengan Abyasa, tetapi tak ayal perkataan lelaki itu mengusik hatinya. Kesengajaan? Ada dalang di balik kebakaran itu? Siapa yang sudah tega melakukan kepadanya?Elsa memang belum bersedia memberi keterangan apa pun terhadap petugas kepolisian. Selain masih sangat shock, kondisi sang ayah yang urgent membuatnya harus mendahulukan keselamatnya. Urusan dengan polisi bisa diurus belakangan. Karyawan yang meninggal di tempat pun, belum ia lihat kondisinya.“Kesengajaan?” Dinar yang menyusul, menyela. Keningnya berkerut dalam. “Apa maksudnya dengan kesengajaan?”Ab
6“Aku malah curiga kebakaran yang menimpa restoranku ada hubungan dengan Mama.” Elsa membalas sinis.Mata Dinar melebar sempurna, bahkan seolah ingin loncat dari rongganya. Wajahnya merah padam dengan otot pelipis terlihat berdenyut. Wanita paruh baya itu ingin menyerang Elsa, tetapi dengan sigap Adrian menghadangnya. Memeluk sang ibu dan menenangkannya agar tidak terjadi keributan lain.“Ma, sudahlah. Jangan tambah masalah lagi. Kasihan Elsa, lihat ia bahkan butuh pengobatan karena penyerangan wanita tadi.”“Itu salahnya sendiri kenapa ia tidak becus, tidak perhatian terhadap karyawannya. Dan memang benar apa yang dikatakan wanita tadi, jika Elsa bodoh. Untuk apa mendirikan lagi restoran baru, padahal restoran peninggalan David sudah cukup untuk menghidupi dirinya dan Davina,” sergah Dinar yang sibuk ingin melepaskan diri.“Sudah, sebaiknya Mama diam dulu untuk saat ini. Elsa baru saja tenang. Vivi juga ketakutan, kan? Jangan buat mereka semakin menderita,” ujar Adrian lagi bijak.“
7“Ma, aku mohon sudahi semua.”Sore ini Elsa sengaja mendatangi rumah sang ibu mertua setelah proses operasi sang ayah dinyatakan lancar. Walaupun pria paruh baya yang hampir seluruh tubuhnya dipenuhi luka bakar itu belum sadarkan diri, tetapi setidaknya dokter menyatakan masa kritisnya telah lewat.Elsa bisa meluangkan waktu untuk mengurus kasus yang tiba-tiba saja menimpa Abyasa.Lelaki itu ditangkap polisi di sekitar rumah sakit dengan alasan yang tidak masuk akal. Dalang kebakaran rukonya, juga penculikan anak. Padahal Abyasa tengah mengasuh Davina saat itu. Dan Davina sendiri sangat riang bermain ditemani laki-laki itu.Belakangan Elsa tahu jika sang ibu mertua yang melaporkan Abyasa ke polisi. Sangat tidak masuk akal. Hanya karena tidak ingin ia menikah dengan laki-laki itu, sang ibu mertua sampai membuat laporan palsu. Ya, palsu menurut Elsa karena Abyasa tidak pernah menculik Davina sama sekali. Anak itu sangat senang jika bersama Abyasa. Saat penangkapan kemarin, gadis kecil
8“Apa yang Mama lakukan?” Adrian yang beberapa detik lalu hanya mematung, gegas mengambil tas Elsa. Lalu memasukkan barang-barang yang dibuat berantakan oleh sang ibu kembali ke dalam tas.Sementara Elsa yang masih kaget dan tidak percaya dengan yang baru saja terjadi, masih bediri dengan wajah pias dan jantung yang bekerja lebih cepat. Semua terjadi begitu cepat, hingga ia tak bisa berubuat apa-apa. Matanya mengerjap setelah beberapa lama, kedua tangan memegangi dada di mana di dalamnya ramai berbagai perasaan yang berbaur.“Ma, kembalikan semua milik Elsa. Ini tidak benar.” Adrian maju setelah barang-barang yang semula berserakan di lantai telah kembali berada di dalam tas. Kemudian menadahkan tangan, meminta sang ibu mengembalikan semua yang sudah dirampasnya dari dompet Elsa.Alih-alih menuruti permintaan Adrian, Dinar melipat kedua tangan di dada. Salah satu ujung bibirnya terangkat, hingga menciptakan lengkungan sinis di sana.“Enak saja, Mama tidak akan mengembalikan semuanya.
9“Pemilik rumah? Siapa maksud kalian?” Elsa menatap tajam semua orang itu dengan kening yang berkerut. Pun dengan Adrian yang sudah menyusul.“Aku pemilik rumah ini. Ini rumah suamiku. Aku bahkan bisa menunjukkan surat-surat resminya.” Elsa nyolot. Tentu saja ia tidak terima tiba-tiba diusir dari rumahnya sendiri. Oleh orang-orang asing pula yang ia yakin mereka bodyguard. Terlihat dari perawakannya yang mirip satu sama lain.“Kami tidak perlu mengatakannya. Silakan pergi dari sini. Kami sudah membereskan barang-barang Anda semua.” Salah satu dari mereka yang menjadi perwakilan menunjuk beberapa koper yang ditumpuk asal.“Enak saja kalian bicara. Aku pastikan tidak akan pergi dari rumah ini. Aku bahkan bisa mempolisikan kalian atas tindakan ini!” Elsa mulai tersulut emosi. Lelah jiwa raga membuatnya cepat terpancing. Wanita itu ingin merangsek masuk, mencoba menembus para pengawal itu. Sayangnya mereka tidak memberi jalan, bahkan salah satunya ingin menyentuh tangan Elsa untuk ditari
138“Ka-mu beneran mau sama dia?” Elsa bertanya ragu dengan telunjuk menunjuk rendah Mahesa. Tatapan sangsi ia lemparkan antara Mahesa dan Nadia berganti-gantian.“Hei, pertanyaanmu itu, Kakak ipar. Memangnya kenapa denganku? Aku ini ganteng, lebih ganteng dari suamimu. Aku juga masih muda, paling tidak lebih muda dari suamimu. Aku juga punya pekerjaan mapan, walaupun tidak lebih tinggi jabatannya dari suamimu. Wanita yang aku pilih akan menjadi wanita yang sangat beruntung karena di luar sana ada banyak wanita yang aku tolak. Lalu, kenapa kalau wanita cantik ini juga memilihku?”Mahesa bertolak pinggang. Terlihat raut tersinggung yang sengaja dibuat-buat. Sejatinya ia tidak bisa marah terhadap Elsa walaupun cintanya berkali-kali ditolak wanita itu. Ia bahkan rela bermusuhan dengan kakaknya sendiri dan menghancurkan nama baiknya sendiri untuk melindungi Elsa. Namun, Mahesa menyadari jika perasaan tidak bisa dipaksakan, sebaik apa pun ia terhadap Elsa, tidak dapat membuat wanita itu ja
137“Vivi mengganggu saja,” omel Elsa pelan seraya menyusupkan wajah di sisi leher Abyasa.Mereka baru saja menyelesaikan satu ronde percintaan panas malam ini saat pintu kamar diketuk dan pengasuh mengantar Davina yang menangis mencari ayah sambungnya. Untung saja mereka telah selesai hingga walaupun lelah dan sedikit terganggu, setidaknya tidak ada lagi yang mengganjal.Abyasa tersenyum. Tangannya mengusap kepala Elsa yang terbenam di salah satu sisi lehernya. Sementara yang sebelah lagi memeluk tubuh Davina yang juga memeluknya. Bahkan cegukan sisa isaknya masih terdengar sesekali.Tadi pengasuh mengantar Davina ke sana dalam kondisi nangis kejer. Mungkin sudah nangis lama akibat dilarang ke kamar orang tuanya.“Sabar, nanti kalau Vivi sudah pulas lagi kita lanjut babak dua, ya.” Abyasa berbisik nakal. Sesuangguhnya ia pun masih ingin mengulang lagi dan lagi. Bayangkan, selama bertahun-tahun hasrat itu terkubur karena trauma mendalam, kini setelah kembali masih harus ditahan.Mengh
136“Mas, kasihan ya, Mbak Lina. Dia dicerai saat mengandung hanya gara-gara Bang Adrian cemburu buta.”Malam ini Elsa menyandarkan kepalanya di dada sang suami. Mereka menikmati malam yang mengembuskan udara hangat di balkon kamar. Davina sudah lama terlelap berbantalkan salah satu paha Abyasa. Sementara di sisi lainnya, Elsa menempelinya dengan posesif.Tangan sang wanita sejak tadi tak diam. Terus saja memainkan bulu-bulu yang tumbuh di sepanjang rahang sang suami. Bulu-bulu yang rasanya baru kemarin ia cukur, kini sudah mulai mengintip lagi melalui posri-pori kulit sang suami.Sesuatu yang paling disukainya sejak dulu. Bahkan di hari pertama pernikahan pura-pura mereka, ia tidak tahan untuk tidak menyentuh bagian tubuh Abyasa yang satu itu. Dulu, bahkan Abyasa sampai mengamuk karena kelancangannya.“Bang Adrian memang keterlaluan. Menceraikan setelah sebelumnya menuduh dengan keji. Dipisahkan dari anaknya selama enam tahun memang hukuman yang paling pantas. Karena akhirnya ia meny
135“Maaf, Elsa. Sebenarnya Abang datang ke sini, untuk menyerahkan ini.” Adrian bicara setelah mendapat kesempatan. Tangannya menyodorkan sebuah map di atas meja.Mata Elsa yang masih nyalang, mengikuti gerakkan tangan Adrian hingga pupil matanya terfokus di map yang sangat familier baginya.“Ini milik Vivi, dan selamanya akan menjadi milik Vivi,” ujar Adrian lagi.Elsa mengalihkan pandangan dari map ke wajah lelaki yang sangat berbeda dengan kemarin. Jika kemarin penuh emosi dan meluap-luap. Tidak mau kalah setiap kali berdebat, bahkan terus saja bersitegang dengannya dan Abyasa. Namun kini terlihat sangat tenang dan teduh. Ia bahkan menunggu Elsa selesai meluapkan amarahnya. Ia hanya diam menyimak sampai Elsa lelah sendiri.“Maaf, seharusnya Abang melakukan ini sejak dulu. Seharusnya Abang tidak membiarkan kamu dan Vivi keluar dari rumah kalian. Rumah peninggalan David adalah hak Vivi, hak kamu juga. Tidak seharusnya kalian terlunta-lunta di luar sana sebelum kamu kembali menikah k
134Elsa mengusap sudut bibir Abyasa dengan tisu. Ia baru saja selesai menyuapi pria yang lagi-lagi sikap manjanya berlipat-lipat jika sedang sakit. Namun, tidak apa. Kali ini Elsa melayaninya dengan Ikhlas. Diurusnya lelaki itu dengan segenap hati walaupun ia jadi seperti mengurus dua bayi.Untunglah Davina tidak terlalu rewel. Meski harus mendapat perhatian lebih karena jiwanya masih terguncang atas semua peristiwa yang menimpanya. Namun, Davina termasuk anteng dan tidak banyak menuntut. Lebih sering berbaring memeluk Abyasa bahkan hingga tertidur. Seolah meminta perlindungan, gadis kecil itu sering berteriak jika tengah teringat kejadian kemarin. Dengan memeluk sang ayah sambung, ia seolah merasa tenang.Kebiasaan barunya saat akan tidur adalah memeluk ayah sambungnya itu, Abyasa tidak akan meninggalkannya hingga ia terlelap. Walaupun tubuhnya pun belum sepenuhnya pulih, Abyasa akan merelakan dirinya dan mengutamakan kenyamanan Davina.Keduanya melirik pintu kamar karena seseorang
133Kengerian tercipta saat mobil Porsche putih yang melesat cepat itu akhirnya melanggar tubuh kecil Irma dan menerbangkannya cukup jauh hingga mendarat di sebuah pot bunga besar setelah sebelumnya juga menghantam pohon palm di halaman.Elsa bahkan hanya bisa melebarkan mata dengan kedua tangan menutupi telinganya. Mulutnya tidak dapat mengeluarkan suara sedikit pun saking tidak percaya dengan yang baru saja terjadi di depan matanya.Tubuhnya lemas bagai dilolosi tulangnya, ambruk bersamaan tubuh Irma yang juga mendarat di paving. Elsa tidak tahu lagi apa yang ia rasakan saat ini. Dunia terasa berputar di matanya. Jungkir balik dan melayang-layang. Semua abu-abu dan hampir gelap saat teriakkan nyaring dari suara yang dikenalnya menyapa telinga.“Mama ….”Elsa menggelengkan kepala dengan kuat demi mendengar suara yang sumpah demi apa pun sangat dirindukannya. Segenap kesadaran yang beberapa detik lalu hampir terbang karena tak percaya dengan pandangannya, kini berusaha ia hadirkan lag
132“Ayo kita kembali ke rumah itu.” Abyasa berusaha bangkit, tapi gegas Elsa menahan. Sang suami masih terlihat kesakitan.“Kamu masih harus istirahat, Mas.” Elsa menggeleng sembari menahan tangan sang suami. Tatapan nanar bercampur haru berpendar di mata basahnya.“Elsa, keselamatan Vivi jauh lebih penting dari kesehatanku. Ayo kita kembali ke sana.”“Tidak, Mas. Kamu istirahat saja dulu, aku yang akan ke sana.”“Kamu?”“Iya. Ada ibu, sopir dan orangnya Pak Sudradjat yang menemani.”Abyasa menggeleng seraya tetap bangkit. “Kita pergi sama-sama. Di sini pun aku tidak akan bisa istirahat. Selain mengkhawarirkan Vivi, aku juga akan mengkhawatirkanmu, Elsa.”Elsa menggigit bibirnya. Sungguh ia tidak tahu apa yang harus dipikirkannya saat ini, tidak tega membiarkan Abyasa harus pergi di saat terluka, tapi juga keselematan Vivi sangat penting. Ia takut terjadi sesuatu dengan anak itu mengingat cerita sang ibu yang menyebut sang anak dikuasai anak majikannya yang autis.Akhirnya walaupun d
131Kening Elsa berkerut dalam, matanya memicing tajam. Ditatapnya tak percaya wanita yang memiliki garis wajah sama dengannya itu. Serius. Tidak terlihat gurat canda atau sedang berbohong.“Apa maksud Ibu? Jangan bercanda, Bu. Jangan membuat kepalaku semakin mendidih. Ibu tahu kan, kalau saat ini aku sedang sangat down.”“Ibu tidak bercanda, Elsa. Ibu memang yang membawa Vivi dari kolam renang kemarin.”Hening. Baik Elsa atau Irma tidak bersuara pasca kalimat Irma yang diucapkan dengan sangat serius barusan. Untuk beberapa lama Elsa larut dalam berbagai perasaan yang tak dapat digambarkan bahkan oleh dirinya sendiri.Apa ia harus percaya dengan kalimat sang ibu barusan? Tapi jika dipikir-pikir, bagaimana ibunya tahu Davina hilang sedangkan mereka baru saja bertemu lagi. Jika memang benar sang ibu melakukannya, kenapa? Apa motifnya?Benar dugaannya, kemuncukan Irma di sini disertai banyak misteri.Perlahan Irma yang sedari tadi hanya menatap kosong ke depan, mengalihkan pandangan ke a
130“Ibu?” Elsa bergumam lirih dengan tatapan memicing tak percaya melihat sosok wanita paruh baya berpostur mungil yang tengah berdebat dengan laki-laki yang seharian ini terus membuntuti dirinya dan Abyasa.Untuk beberapa lama ia mematung di tempatnya. Mencoba mencerna apa yang tengah terjadi hingga saat ia bisa menguasai dirinya, kakinya gegas mendekat.Sebelum Elsa tiba, wanita yang masih berdebat sudah menyadari kehadirannya, hingga ia yang menyongsong.“Elsa ….” Pekiknya seraya menghambur memeluk tubuh Elsa dengan kuat hingga nyaris terseret mundur beberapa langkah.Elsa mengerjap bingung. Sungguh, ia merindukan sang ibu yang sebenarnya sejak kecil mereka tidak hidup bersama dan baru bertemu saat ia menjadi istri David. Namun, entah kenapa saat dipertemukan dalam keadaan seperti ini, ia malah bingung seolah tidak suka bertemu lagi. Baginya, ada banyak misteri di balik pertemuan tak terduga ini.“Elsa, aku yakin jika ibumu ini yang sudah membawa Vivi. Buktinya ia tiba-tiba saja d