84Kedua bola mata Abyasa melebar sempurna saat teringat siapa pemilik mobil tersebut. Terlebih saat terlihat langsung sosok yang paling ia benci berada dalam mobil itu, melambaikan tangan yang dibalas pula dengan lambaian tangan Elsa.Darahnya mendidih seketika. Emosinya meluap. Bagaimana bisa Elsa pergi dengan Adrian tanpa meminta izinnya dulu?Abyasa gegas memarkirkan mobilnya, dan langsung menyusul masuk. Elsa sendiri diyakininya sudah lebih dulu tiba di ruangannya. Bahkan lift yang yang membawanya ke lantai lima dirasa sangat lamban bergerak lantaran dada Abyasa sudah sesak dijejali amarah.Lelaki itu tidak menghiraukan Moza yang menyapa dan mengangguk hormat. Ia ingin segera tiba di ruangannya. Dadanya semakin bergolak saat tak mendapati Elsa di dalam ruangan.Abyasa ingin menelepon Moza untuk menanyakan keberadaan Elsa, saat pintu ruangan diketuk dan akhirnya dibuka.Lelaki itu menolah cepat dengan wajahnya yang sudah memerah. Kemudian menyongsong Elsa yang baru saja menutup pi
85“Angkat telepon di sana saja, tidak perlu keluar. Atau kau tidak ingin aku mendengar obrolanmu dengan laki-laki?”Deg.Elsa mengernyit dengan dada terasa dipukul sesuatu. Apa maksud lelaki itu? Apa Abyasa sedang menuduhnya?Lagi-lagi wanita itu menekan amarah. Ia tidak boleh terpancing. Karenanya hanya menarik napas panjang sebelum menerima panggilan itu. Bahkan sengaja me-loudspekers agar bos yang bersumpah ingin ia tinggalkan ikut mendengarnya.“Halo, Sayang. Ada apa?” Elsa bicara di telepon setelah menetralkan perasaannya. Posisinya sengaja membelakangi Abyasa dengan sedikit menyandar di mejanya.Kedua bola mata Abyasa nyaris loncat dari rongganya demi mendengar sapaan pertama Elsa. Namun, lekas memicing saat terdengar jawaban di seberang sana.“Mama, kapan pulang? Masih lama, ya?”“Masih, Sayang. Kenapa? Vivi nggak nakal kan, di rumah?”“Ndak dong, tanya aja Mbak Sustel. Vivi Cuma mau makan es klim.”“Es krim? Hmmm, kalau minta Mbak Suster belikan bagaimana? Atau Mama kirim pak
86“Papa mana, Ma?”Elsa menggigit bibirnya dengan kuat. Walaupun sepanjang perjalanan pulang sudah menyiapkan mental untuk menjelaskan dan menghibur Davina jika mereka bisa pergi berdua tanpa Abyasa, nyatanya saat sudah ditodong langsung seperti ini, ia harus berperang dengan hatinya.Sebenarnya semua bisa berjalan lancar. Sejak awal mereka berniat pergi berdua. Jika saja Abaysa tidak menghubungi dan berjanji kepada Davina untuk menemaninya, anak itu tidak akan bertanya apalagi menagih. Sayangnya, lelaki itu dengan yakinnya berjanji. Namun lihatlah, janji yang akhirnya harus diingkarinya karena kedatangan wanita itu.Sakit di hati Elsa kini, bukan karena Abyasa bersama wanita lain, tetapi karena meliat Davina yang kecewa lantaran Abyasa mengingkari janjinya. Ia bersumpah andai bisa, ingin menghilangkan Abyasa dari ingatan Davina dan membawa sang anak pergi jauh.“Papa Aby masih kerja, Sayang. Kita berangkat berdua saja, ya,” hiburnya seraya memeluk tubuh sang anak dan mendaratkan kec
87 Abyasa meraih tangan mungil Davina, kemudian diciumnya punggung tangan itu. “Sayang, Papa benar-benar minta maaf, ya. Papa menyesal nggak bisa ikut nemenin Vivi. Papa janji nanti akan meluangkan waktu buat anter ke mana aja Vivi mau.” Lagi, Abyasa berjanji dengan memasang wajah menyesalnya. Namun, di luar sangkaan, Davina menggelengkan kepala setelah menatap singkat mata sang ayah sambung. “Ndak usah, Pa. Vivi udah puas kemalin sama Mama.” Sang lelaki mengerjap banyak. “Itu kan, sama Mama. Nanti sama Papa. Kalau perlu kita jalan berdua saja. Vivi sama Papa. Mama nunggu di rumah saja.” Lagi Davina menggeleng dengan lemah dan sorot mata yang tidak bersemangat. “Ndak usah.” Alis Abyasa bertaut. “Kenapa, Sayang? Vivi marah ya, sama Papa?” Abyasa bertanya dengan lembut. Davina menggeleng entah untuk ke berapa kalinya. “Tapi Vivi kelihatan marah sama Papa.” “Kata Mama Vivi kan, ndak boleh malah. Vivi anak baik, ndak boleh banyak minta. Ndak boleh lepotin Papa. Ndak boleh gang
88Abyasa mencoba menghubugi nomor Puput begitu duduk di dalam mobil. Pertemuannya dengan Barata tidak berlangsung lama, setelah bicara sambil bersantap menu yang bahkan tidak banyak dipesan karena waktu mereka terbatas, keduanya segera berpamitan.Berkali-kali lelaki itu menghubungi nomor Puput, tetapi tak membuahkan hasil. Hanya jawaban operator yang menyapanya. Namun, permintaan Barata untuk meyakinkan gadis itu agar mau kembali dan melanjutkan studynya, bagai hutang yanga harus ia tunaikan karena merasa berhutang budi kepada Barata.Abyasa mengembus napas panjang sebelum melajukan mobilnya kembali menuju kantor. Karena menghubungi puput tidak membuahkan hasil, akhirnya ia memutuskan berhenti meneleponnya. Nanti saja ia usahakan lagi, karena entah kenapa ia merasa jika gadis itu memang akan menyambanginya. Hanya saja jika benar ia bertemu Puput, ia berharap semua tidak akan memperburuk hubungannya dengan Elsa dan Davina.Tak dipungkiri pikiran dan hati Abyasa saat ini tengah gundah
89Abyasa mengusap wajah dengan kasar berkali-kali. Frustrasi. Elsa belum ada kabar. Sementara Puput ada di rumahnya. Memaksa masuk pula. Dan ia tidak mungkin menyuruh orang untuk mengusirnya. Hujan sudah turun membasahi kota Jakarta sejak beberapa saat lalu. Tegakah ia menyuruh Puput pergi dari rumahnya?Ponsel di tangannya berdering lagi, kali ini nomor ayah mertuanya yang tertera di sana. Pria paruh baya itu pasti mengkhawatirkan anaknya.Abyasa menarik napas panjang berkali-kali sebelum menerima panggilan.“Apa sudah ada kabar dari anak Ayah?” Fadli langsung menodongnya dengan pertanyaan inti begitu panggilan terhubung. Bahkan tanpa salam seperti biasa. Sangat kentara jika ada kekhawatiran dan kekecewaan dalam nada suaranya.Abyasa memejam. Seperti dugaannya, sang ayah mertua langsung menanyakan keberadaan Elsa yang ia pun belum tahu kabarnya. Si lelaki menelan ludah yang terasa pahit, sebelum mejawab.“Belum, Pak. Aku belum menemukan Elsa,” ujarnya juga dengan memejam. “Bagaimana
90“Elsa ….” Abyasa berjongkok di dekat tubuh yang masih bersimpuh di atas pusara. Sebelah tangannya mengguncang tubuh Elsa yang terlihat menggigil. Sebelah lagi tetap memegang gagang payung yang kini menaungi bukan hanya dirinya, tetapi juga Elsa.Abyasa merapatkan tubuhnya, kemudian kembali menyentuh dan mengguncang tubuh sang wanita yang diam saja hingga menciptakan kerutan di kening sang lelaki.“Elsa.” Lagi Abyasa mengguncang tubuh itu hingga kecurigaan menyelimuti. Kenapa Elsa diam saja?Abyasa akhirnya menarik dan membalikkan tubuh yang bahkan tidak bergerak sejak tadi. Kedua mata lelaki itu membola saat mendapati Elsa yang terkulai lemas. Tanpa berpikir panjang, lelaki itu membuang payung yang sejak tadi ia pakai menaungi dirinya dan Elsa.Payung besar pun langsung terbang tersapu angin begitu pemiliknya menghempaskan dan beralih meraih tubuh yang lemah terkulai. Abyasa membawa tubuh itu dalam pelukan tanpa mempedulikan kondisinya yang basah kuyup. Dengan panik, tangannya mene
91“Tante Puput ndak boleh deket-deket Papa. Itu kulsi Mama.” Terdengar suara cempreng tetapi cadel milik anak semata wayangnya.Puput? Davina bicara dengan Puput? Apa wanita itu ada di sini?Elsa memejam sebentar, sebelum kembali melanjutkan langkah. Sesuatu terasa mengusik hatinya, membayangkan jika benar wanita itu ada di sini. Ia masih berharap pendengarannya salah. Davina hanya salah menyebut nama. Namun, kenyataannya memang seperti itu. Di sana, di ruang makan nan luas rumah Abyasa, ada wanita bernama Patricia yang Abyasa memanggilnya dengan sebutan Puput. Dan dari sekian banyak kursi makan di ruangan itu, kenapa wanita itu malah memilih kursi yang biasa ia duduki? Kursi yang sejak kedatangannya ke rumah itu, Abaysa memintanya duduk di sana setiap kali makan. Kursi yang biasanya memang diduduki seorang istri.Apa Puput ingin mengambil posisinya? Atau memang Abyasa yang menyuruhnya duduk di sana?Elsa menelan ludah yang mendadak pahit. Semua kalimat Abyasa tadi siang terngiang ke
138“Ka-mu beneran mau sama dia?” Elsa bertanya ragu dengan telunjuk menunjuk rendah Mahesa. Tatapan sangsi ia lemparkan antara Mahesa dan Nadia berganti-gantian.“Hei, pertanyaanmu itu, Kakak ipar. Memangnya kenapa denganku? Aku ini ganteng, lebih ganteng dari suamimu. Aku juga masih muda, paling tidak lebih muda dari suamimu. Aku juga punya pekerjaan mapan, walaupun tidak lebih tinggi jabatannya dari suamimu. Wanita yang aku pilih akan menjadi wanita yang sangat beruntung karena di luar sana ada banyak wanita yang aku tolak. Lalu, kenapa kalau wanita cantik ini juga memilihku?”Mahesa bertolak pinggang. Terlihat raut tersinggung yang sengaja dibuat-buat. Sejatinya ia tidak bisa marah terhadap Elsa walaupun cintanya berkali-kali ditolak wanita itu. Ia bahkan rela bermusuhan dengan kakaknya sendiri dan menghancurkan nama baiknya sendiri untuk melindungi Elsa. Namun, Mahesa menyadari jika perasaan tidak bisa dipaksakan, sebaik apa pun ia terhadap Elsa, tidak dapat membuat wanita itu ja
137“Vivi mengganggu saja,” omel Elsa pelan seraya menyusupkan wajah di sisi leher Abyasa.Mereka baru saja menyelesaikan satu ronde percintaan panas malam ini saat pintu kamar diketuk dan pengasuh mengantar Davina yang menangis mencari ayah sambungnya. Untung saja mereka telah selesai hingga walaupun lelah dan sedikit terganggu, setidaknya tidak ada lagi yang mengganjal.Abyasa tersenyum. Tangannya mengusap kepala Elsa yang terbenam di salah satu sisi lehernya. Sementara yang sebelah lagi memeluk tubuh Davina yang juga memeluknya. Bahkan cegukan sisa isaknya masih terdengar sesekali.Tadi pengasuh mengantar Davina ke sana dalam kondisi nangis kejer. Mungkin sudah nangis lama akibat dilarang ke kamar orang tuanya.“Sabar, nanti kalau Vivi sudah pulas lagi kita lanjut babak dua, ya.” Abyasa berbisik nakal. Sesuangguhnya ia pun masih ingin mengulang lagi dan lagi. Bayangkan, selama bertahun-tahun hasrat itu terkubur karena trauma mendalam, kini setelah kembali masih harus ditahan.Mengh
136“Mas, kasihan ya, Mbak Lina. Dia dicerai saat mengandung hanya gara-gara Bang Adrian cemburu buta.”Malam ini Elsa menyandarkan kepalanya di dada sang suami. Mereka menikmati malam yang mengembuskan udara hangat di balkon kamar. Davina sudah lama terlelap berbantalkan salah satu paha Abyasa. Sementara di sisi lainnya, Elsa menempelinya dengan posesif.Tangan sang wanita sejak tadi tak diam. Terus saja memainkan bulu-bulu yang tumbuh di sepanjang rahang sang suami. Bulu-bulu yang rasanya baru kemarin ia cukur, kini sudah mulai mengintip lagi melalui posri-pori kulit sang suami.Sesuatu yang paling disukainya sejak dulu. Bahkan di hari pertama pernikahan pura-pura mereka, ia tidak tahan untuk tidak menyentuh bagian tubuh Abyasa yang satu itu. Dulu, bahkan Abyasa sampai mengamuk karena kelancangannya.“Bang Adrian memang keterlaluan. Menceraikan setelah sebelumnya menuduh dengan keji. Dipisahkan dari anaknya selama enam tahun memang hukuman yang paling pantas. Karena akhirnya ia meny
135“Maaf, Elsa. Sebenarnya Abang datang ke sini, untuk menyerahkan ini.” Adrian bicara setelah mendapat kesempatan. Tangannya menyodorkan sebuah map di atas meja.Mata Elsa yang masih nyalang, mengikuti gerakkan tangan Adrian hingga pupil matanya terfokus di map yang sangat familier baginya.“Ini milik Vivi, dan selamanya akan menjadi milik Vivi,” ujar Adrian lagi.Elsa mengalihkan pandangan dari map ke wajah lelaki yang sangat berbeda dengan kemarin. Jika kemarin penuh emosi dan meluap-luap. Tidak mau kalah setiap kali berdebat, bahkan terus saja bersitegang dengannya dan Abyasa. Namun kini terlihat sangat tenang dan teduh. Ia bahkan menunggu Elsa selesai meluapkan amarahnya. Ia hanya diam menyimak sampai Elsa lelah sendiri.“Maaf, seharusnya Abang melakukan ini sejak dulu. Seharusnya Abang tidak membiarkan kamu dan Vivi keluar dari rumah kalian. Rumah peninggalan David adalah hak Vivi, hak kamu juga. Tidak seharusnya kalian terlunta-lunta di luar sana sebelum kamu kembali menikah k
134Elsa mengusap sudut bibir Abyasa dengan tisu. Ia baru saja selesai menyuapi pria yang lagi-lagi sikap manjanya berlipat-lipat jika sedang sakit. Namun, tidak apa. Kali ini Elsa melayaninya dengan Ikhlas. Diurusnya lelaki itu dengan segenap hati walaupun ia jadi seperti mengurus dua bayi.Untunglah Davina tidak terlalu rewel. Meski harus mendapat perhatian lebih karena jiwanya masih terguncang atas semua peristiwa yang menimpanya. Namun, Davina termasuk anteng dan tidak banyak menuntut. Lebih sering berbaring memeluk Abyasa bahkan hingga tertidur. Seolah meminta perlindungan, gadis kecil itu sering berteriak jika tengah teringat kejadian kemarin. Dengan memeluk sang ayah sambung, ia seolah merasa tenang.Kebiasaan barunya saat akan tidur adalah memeluk ayah sambungnya itu, Abyasa tidak akan meninggalkannya hingga ia terlelap. Walaupun tubuhnya pun belum sepenuhnya pulih, Abyasa akan merelakan dirinya dan mengutamakan kenyamanan Davina.Keduanya melirik pintu kamar karena seseorang
133Kengerian tercipta saat mobil Porsche putih yang melesat cepat itu akhirnya melanggar tubuh kecil Irma dan menerbangkannya cukup jauh hingga mendarat di sebuah pot bunga besar setelah sebelumnya juga menghantam pohon palm di halaman.Elsa bahkan hanya bisa melebarkan mata dengan kedua tangan menutupi telinganya. Mulutnya tidak dapat mengeluarkan suara sedikit pun saking tidak percaya dengan yang baru saja terjadi di depan matanya.Tubuhnya lemas bagai dilolosi tulangnya, ambruk bersamaan tubuh Irma yang juga mendarat di paving. Elsa tidak tahu lagi apa yang ia rasakan saat ini. Dunia terasa berputar di matanya. Jungkir balik dan melayang-layang. Semua abu-abu dan hampir gelap saat teriakkan nyaring dari suara yang dikenalnya menyapa telinga.“Mama ….”Elsa menggelengkan kepala dengan kuat demi mendengar suara yang sumpah demi apa pun sangat dirindukannya. Segenap kesadaran yang beberapa detik lalu hampir terbang karena tak percaya dengan pandangannya, kini berusaha ia hadirkan lag
132“Ayo kita kembali ke rumah itu.” Abyasa berusaha bangkit, tapi gegas Elsa menahan. Sang suami masih terlihat kesakitan.“Kamu masih harus istirahat, Mas.” Elsa menggeleng sembari menahan tangan sang suami. Tatapan nanar bercampur haru berpendar di mata basahnya.“Elsa, keselamatan Vivi jauh lebih penting dari kesehatanku. Ayo kita kembali ke sana.”“Tidak, Mas. Kamu istirahat saja dulu, aku yang akan ke sana.”“Kamu?”“Iya. Ada ibu, sopir dan orangnya Pak Sudradjat yang menemani.”Abyasa menggeleng seraya tetap bangkit. “Kita pergi sama-sama. Di sini pun aku tidak akan bisa istirahat. Selain mengkhawarirkan Vivi, aku juga akan mengkhawatirkanmu, Elsa.”Elsa menggigit bibirnya. Sungguh ia tidak tahu apa yang harus dipikirkannya saat ini, tidak tega membiarkan Abyasa harus pergi di saat terluka, tapi juga keselematan Vivi sangat penting. Ia takut terjadi sesuatu dengan anak itu mengingat cerita sang ibu yang menyebut sang anak dikuasai anak majikannya yang autis.Akhirnya walaupun d
131Kening Elsa berkerut dalam, matanya memicing tajam. Ditatapnya tak percaya wanita yang memiliki garis wajah sama dengannya itu. Serius. Tidak terlihat gurat canda atau sedang berbohong.“Apa maksud Ibu? Jangan bercanda, Bu. Jangan membuat kepalaku semakin mendidih. Ibu tahu kan, kalau saat ini aku sedang sangat down.”“Ibu tidak bercanda, Elsa. Ibu memang yang membawa Vivi dari kolam renang kemarin.”Hening. Baik Elsa atau Irma tidak bersuara pasca kalimat Irma yang diucapkan dengan sangat serius barusan. Untuk beberapa lama Elsa larut dalam berbagai perasaan yang tak dapat digambarkan bahkan oleh dirinya sendiri.Apa ia harus percaya dengan kalimat sang ibu barusan? Tapi jika dipikir-pikir, bagaimana ibunya tahu Davina hilang sedangkan mereka baru saja bertemu lagi. Jika memang benar sang ibu melakukannya, kenapa? Apa motifnya?Benar dugaannya, kemuncukan Irma di sini disertai banyak misteri.Perlahan Irma yang sedari tadi hanya menatap kosong ke depan, mengalihkan pandangan ke a
130“Ibu?” Elsa bergumam lirih dengan tatapan memicing tak percaya melihat sosok wanita paruh baya berpostur mungil yang tengah berdebat dengan laki-laki yang seharian ini terus membuntuti dirinya dan Abyasa.Untuk beberapa lama ia mematung di tempatnya. Mencoba mencerna apa yang tengah terjadi hingga saat ia bisa menguasai dirinya, kakinya gegas mendekat.Sebelum Elsa tiba, wanita yang masih berdebat sudah menyadari kehadirannya, hingga ia yang menyongsong.“Elsa ….” Pekiknya seraya menghambur memeluk tubuh Elsa dengan kuat hingga nyaris terseret mundur beberapa langkah.Elsa mengerjap bingung. Sungguh, ia merindukan sang ibu yang sebenarnya sejak kecil mereka tidak hidup bersama dan baru bertemu saat ia menjadi istri David. Namun, entah kenapa saat dipertemukan dalam keadaan seperti ini, ia malah bingung seolah tidak suka bertemu lagi. Baginya, ada banyak misteri di balik pertemuan tak terduga ini.“Elsa, aku yakin jika ibumu ini yang sudah membawa Vivi. Buktinya ia tiba-tiba saja d