Sudah lebih dari sepuluh menit Rania berjalan kaki bersama Verdi menyusuri trotoar yang dipadati orang dan pedagang kaki lima. Ia agak heran juga bahwa Verdi bersikap beda dengan saat mereka masih di parkiran gedung. Pria itu kini tidak banyak berbicara.
"Kamu keberatan jalan kaki bareng aku?"
Pertanyaan itu mengagetkan Verdi. "Ah nggak."
"Kamu keliatan lagi banyak pikiran."
"Tahunya?"
"Kamu ngejawab setelah aku nanyain kamu tiga kali."
Ucapan itu mengagetkan Verdi. "Masa' sih? Pertanyaan yang sama?"
Ketika Rania mengangguk, Verdi jadi merasa bersalah. Pergolakan batin karena melihat pemandangan di lantai tiga sebuah hotel rupanya membuat ia tidak menyadari bahwa Rania telah sekian kali menanyainya. Ia harus secepatnya melupakan apa yang tadi ia lihat karena ia bisa saja salah lihat. Verdi juga sadar bahwa ia perlu membuat alasan yang tepat kenapa bisa sampai mengabaikan Rania.
“A
Berhasil. Rania terselamatkan tanpa mereka berdua terjatuh.“Kamu nggak apa-apa?”Rania yang masih nampak pucat hanya mengangguk.“Nggak luka?”“Nggak. Aku hanya malu.”“Malu?”“Ya.”“Kenapa?”“Verdi,” Rania bicara lamat-lamat, “kamu memeluk aku di tengah keraramaian.”Verdi tersadar dan buru-buru melepas pelukannya sehingga mereka kini kembali berdiri di atas trotoar.“Maaf,” kata Verdi yang nampak sedikit malu.Beberapa orang sekitar mereka memang melihat kelakuannya tadi. Beberapa tersenyam-senyum dan ada pula yang menggeleng-geleng kepala. Seperti halnya Verdi, Rania juga nampak kikuk.“Dasar ojek,” Rania merutuk kecil. Matanya mencari-cari motor yang tadi hampir mencelakainya. Tapi motor tadi memang tidak lagi nampak.Mendengar gerutuan tadi,
Rania mengerenyitkan kening. Saat turut melihat ke arah bawah, ia terperangah. Rania seketika mengerti mengapa Verdi harus menunggu ia memunggunginya.“Kakimu nggak apa-apa?”“Nggak,” katanya.Verdi mengangguk, berbalik badan, dan melangkah semakin menjauh. Saat melintas sebuah pangkalan ojek, dua dari salah seorang pengojek menegurnya dengan logat Betawi yang kental.“Lah, lah, lah. Itu ceweknya koq ditinggalin gitu aje, Oom?“Verdi berhenti melangkah sembari menoleh ke si penanya. “Memang kenapa?”“Koq kenape? Ya, jangan dong. Koq ente tega banget sama cewek sendiri.”“Cewek? Bukan, kami hanya teman.”“Bukan? Oh… bagus lah kalo ente masih inget bini di rumah,” pengojek kedua menimpali dengan logat Betawi yang tak kalah kentalnya.Kepala Verdi mendadak pening. Kedua pengojek ini sok tahu betul sih.
“Serius,“ tandasnya sembari naik ke atas motor dan siap menghidupkan motor kembali.Rania mendekap tangan di dada. Menatap Verdi tanpa ekspresi.“Alasan untuk kamu diculik cukup kuat lho. Kamu cantik.“Rania berpikir keras di dalam hatinya. Minum apa sih pria itu sampai berubah menjadi perayu kampungan seperti itu?“Tuhhh kan kamu nggak percaya,“ cetus Verdi.Rania mengangguk-angguk walau ia merasa ada alasan yang nampaknya menggelikan.“Jadi kalau denganmu keadaannya lebih baik?” tanyanya kemudian.Verdi kembali hanya tersenyum-senyum. “Ya begitulah.”“Ada pilihan lain?”“Rasanya nggak.”Uh! Rania gemas. Tapi Verdi benar. Ia memang tidak punya pilihan kecuali mau melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki sekian kilometer.“Dijamin aku nggak ngebut,” katanya lagi.Ran
Suara klakson sepeda motor terdengar.Rania terkaget. Rencananya untuk mengganti baju dan mengurangi polesan make-up serta-merta dibatalkan. Ini karena sudah sepuluh menit sejak ia tadi masuk ke dalam rumah dan itu sudah pasti menimbulkan pertanyaan pada diri Verdi mengapa ia belum juga keluar. Verdi pasti tak mau mengambil resiko jika ia ternyata malah tertidur! Sembari menuju teras rumah, tak henti-hentinya ia menggeleng kepala atas keanehan sikapnya.Saat pintu gerbang di depan terkuak, Rania terkejut melihat pemandangan di depannya.Verdi tengah duduk di sebuah bangku penjual mie tek-tek yang nampaknya baru ia panggil. Sepiring nasi goreng di tangannya masih mengepulkan asap. Asyik sekali ia menyantap sehingga dirinya baru menyadari kehadiran Rania setelah ia berada sangat dekat.Rania teringat sesuatu. Ini sudah pukul sepuluh malam. Ya, tidak seharusnya Verdi makan selarut ini karena itu pasti mengganggu kesehatan
Saat menumis, air mata Rania terasa begitu pedih sehingga mau tidak mau ia harus membutuhkan bantuan Verdi untuk menyeka air mata yang sempat keluar.“Perih?“ tanya Verdi saat melihat air mata Rania siap bergulir di ujung matanya.Rania hanya mengangguk.“Aku nggak bawa tisyu atau saputangan,“ kata Verdi perlahan sebelum kemudian melap air mata tadi dengan buku jari telunjuknya.“Maaf,“ katanya nyaris tanpa suara.Hati Rania berdesir. Sebuah perasaan aneh melambung, naik, membuncah, dan menggoncang emosi. Getaran jutaan syarafnya serta-merta melepas hormon endorfin. Merasuk hingga ke alam bawah sadar, membangkitkan sensasi bahagia. Saat Verdi tadi menyatakan maaf, Rania hanya kembali mengangguk tanpa nada protes. Ia lantas kembali bekerja mengaduk-aduk nasi goreng yang jauh dari selesai.Verdi berpura-pura tidak tahu ketika sebuah senyum kecil mengembang di w
Rania tak pernah menduga akan mengalami peristiwa seperti malam ini. Sebuah petualangan kecil, biasa, tak berarti. Namun semua kesederhanaan tadi nyata-nyata menghasilkan endorfin dalam skala masif yang bak tsunami mampu menggetarkan hingga ke setiap sel terkecil dalam tubuhnya.Perang antara logika dan perasaan dalam diri Rania masih terus berkecamuk. Entah sampai kapan. Entah siapa pemenangnya.*“O shiiitttt!”Rania yang makan siang bersama Vonny di meja makan pantry, baru saja mulai menikmati santapannya ketika ia terhenti karena mendengar suara tadi. Ia menoleh ke sumber suara. Ia heran melihat Renty sudah ada di depan pintu ruang pantry. Terlebih heran lagi karena wanita itu menatap dirinya dengan tatapan kaget dan tidak suka.“Kenapa, Renty?”Renty tidak menjawab. Akibat teriakannya sendiri beberapa orang yang ada
Sebuah kebenaran yang terasa pahit akan terasa jauh lebih pahit manakala pengalaman itu coba dihindari. Bersikap seolah tak ada, bisa menimbulkan permasalahan pelik di masa yang akan datang.Dengan pemahaman itulah Rania memberanikan diri meminta waktu bertemu secara empat mata dengan Nurul di sebuah tempat yang Rania tetapkan. Bagi Nurul, ini adalah suatu kesempatan karena ia pun merasa bahwa Rania seperti berjarak setelah resmi ditetapkan sebagai manajer.Namun yang membuat dirinya dikejar rasa penasaran ialah mengapa Rania hanya meminta waktu berbicara dengan dirinya saja yang otomatis Ditya tak akan ikut serta.“Ini mungkin kebenaran paling pahit yang aku pernah sampaikan pada orang sebaik kamu, Nurul.”Kalimat pembuka itu keluar dengan lancar begitu saja dari mulut Rania. Sebuah kalimat yang menohok tapi Nurul mau mencoba untuk dengan sabar mendengarkannya terlebih dahulu sampai kemudian Rania mengizinkannya be
"Sudahlah, pokoknya perbaikan segera gue bikin.""Kapan?""Secepatnya, Ver.""Tentukan waktu yang fix. Jangan ngambang.""Kalo nggak mau?"Raut wajah Verdi mengeras. "Apakah elo merasa begitu penting sehingga dengan seenaknya bisa ngobok-obok aturan yang sudah ada? Elo kan bertanggungjawab dengan pekerjaan yang elo hadapi. Siapa lagi yang bikin kalau bukan elo? Jangan suka cuwek begini. Itu sikap jelek yang bakal bikin elo terkucil. Ujung-ujungnya bakal makin banyak orang-orang yang nggak suka dan bikin gosip yang aneh-aneh tentang elo."Untuk sesaat Renty menelungkupkan wajahnya ke meja. "Mungkin elo bener. Gue emang nggak semangat lagi kerja di sini.""Sejak kapan elo jadi lebay begini?"Sekarang Renty berdiri tegak di kursinya. Menatap tajam ke arah lawan bicaranya."Sejak kapan? Sejak elo nutup pintu hati terhadap gue!"Ketegasan Verdi sirna seketika. "Kenapa kit
“Sayang, aku sekarang ngerti. Kamu sebetulnya tadi itu sedang dijebak oleh Renty. Dia dengan rekannya adalah orang yang nyusupin barang haram itu ke dalam tas kopermu.” Rania tak bisa berkata apa-apa. Mulutnya ternganga lebar dengan mata membelalak sembari menggeleng-geleng kepala. Mama Lidya tak kurang terkagetnya. “Saat dia sendirian, dia ngelakuin aksinya. Seperti yang kamu cerita saat dini hari itulah dia mem-finalisasi rencananya. Mungkin saat itulah dia dikirimi paket narkoba dari temannya yaitu ganja dan segala macam obat haram itu. Mungkin juga Renty adalah penggunanya. Tidak tertutup kemungkinan ke arah itu. Saat pagi harinya ketika kamu nggak di kamar, dia sisipkan itu di bagian tas koper. Mungkin dengan membuat robekan kecil di koper kamu yang memang hanya berbahan kain. Sayangnya, rencana itu gagal. Ada Tuhan yang jagain kamu. Kamu dibuat mengalami peristiwa buruk yang bikin tas koper kamu robek dan barang haram yang disisip di dalamnya terjatuh. Paket itu lantas kamu bua
“We gonna make it?”“Absolutely, Mister.” Rania mencondongkan wajahnya ke samping wajah Verdi. “Dan udah terbukti kamu masih tetap joss.”Verdi terbahak lagi. Apalagi kini Rania menatap dengan gerak alis dan tatapan laiknya seorang wanita yang nakal hendak mengajak bercinta. Benar-benar sudah tak ada lagi duka di wajah itu seperti ketika ia baru saja tiba.*Kebahagiaan kedua Rania alami ketika ia dan Verdi tiba di kendaraan mereka. Rupanya ada Mama di sana yang menunggui. Dan yang membuat Rania terkaget adalah bahwa Mama di sana dengan seorang bayi lucu dalam pelukannya.Cerita kemudian mengalir satu demi satu baik dari Mama maupun dari Verdi. Tentu saja porsi terbesar cerita ada pada Mama yang secara runut menceritakan keajaiban yang ia alami. Mungilnya sang bocah membuat Rania jatuh cinta seketika. Permintaan Mama untuk ia merawat bersama-sama diterima de
Hanya ada bahagia tak terperi. Saat Surabaya sudah makin tenggelam dalam malam bahagia seolah bertumpukan satu per satu menimpa hidup Rania. Dimulai dari ketika ia disambut oleh senyum Verdi di pintu keluar bandara.Ah, beda dengan hampir tiga tahun lalu di pelataran parkir perkantoran di Jakarta ketika cinta menggebu membuat Verdi berani memeluk dirinya berlama-lama di tengah keramaian, situasi itu tak terjadi lagi saat ini. Namun tentu saja itu bukan masalah besar bagi Rania. Cinta Verdi atas dirinya tak perlu diragukan lagi karena toh tak semua orang wajib mewujudkan dan melampiaskan rasa itu dengan cara ekspresif.Verdi memeluk. Sebentar. Namun sangat hangat. Dan betapa Rania merindukan pelukan pria terhebat yang ia bisa miliki itu. Pengalaman mengerikan yang dirancang seorang perempuan jahat bernama Renty gagal terwujud. Dan ia yakin itu terjadi karena doanya yang tulus yang menyertai perjalanan.“Kenapa nangi
Penjelasan itu terasa cukup bagi Rania. Ia mengambil tasnya kembali dan memutuskan tidak perlu bertanya lagi. Jam dinding di salah satu sisi ruangan menunjukkan waktu bahwa ia harus sesegera mungkin menuju ruang tunggu pesawat. Para petugas X-Ray tadi menunjukan sikap hormat ketika Rania bergegas pergi.Sepuluh menit kemudian ketika pesawat yang ditumpangi sudah take off, Rania masih terus memikirkan pengalaman aneh yang terjadi. Ketika ia melihat seorang anak kecil pada bangku di depannya membuka bungkus kemasan biskuit berwarna biru tua, seketika ia teringat sesuatu. Ia teringat pada bungkus berukuran sama dan warna yang sama yang ia buang di tempat sampah bandara. Bungkusan yang menurut pengemudi taksi daring yang ia naiki terjatuh dari koper akibat ada bagian koper yang robek karena terbentur bagasi mobil. Bulu kuduk Rania meremang.Tidak perlu menjadi seorang jenius dengan sederet gelar untuk mengetahui apa yang terjadi. Ia nyaris
Urusan check in sudah selesai. Dengan alasan bahwa koper yang dibawa Rania adalah koper kecil yang akan dibawa masuk dalam bagasi kabin pesawat, Rania melangkah ke arah ruang tunggu pesawat. Namun saat melewati security-check, ia kaget karena detektor X-Ray berbunyi. Ia melihat sekitar. Tak ada penumpang pesawat lain. Artinya detektor berbunyi saat melakukan scanning atas koper miliknya.‘Maaf, ibu boleh minggir sebentar?”Ajakan seorang ibu petugas bandara tadi membuat Rania sedikit gugup. Para penumpang lain mulai berdatangan ketika Rania menurut.“Maaf, boleh kopornya dibuka?”Rania merutuk dalam hati atas gangguan kecil yang dialami. Namun ia menenangkan diri sendiri karena menurutnya ini bukan pengalaman pertama ia diminta seperti itu. Itu sebabnya dengan tersenyum ia mengikuti permintaan petugas itu dan membuka koper setelah mengisikan nomor kode koper.Dibantu seorang pe
“O gitu? Kamu puasa Senin – Kamis?”“Begitulah?”“Buat apa? Buat supaya sukses bisnis?”“Bukan.”“Buat dapet jodoh?”“Gak lah.”“Terus? Tujuannya apa?”“Buat ngurusin badan.”Wajah innocent alias tak berdosa yang ditunjukan oleh James sukses membuat Terry tertawa. Walau tawa kecil bagi James ini langkah bagus. Hati Terry yang gembira merupakan pintu masuk untuk diskusi yang sebentar lagi dilakukan akan berjalan kondusif dan hangat. Ia masuk ke dalam gerai, mengambil kopi, biskuit, kue, serta menyelesaikan pembayaran dan menemui Terry kembali di tempatnya semula.“Nih, silahkan nikmati,” katanya sembari mulai meletakkan roti dalam bungkusan plastik beserta kopi dalam kemasan botol plastik mungil ke depan Terry.Saat belum lagi menaruh semua, mendadak dari kanton
Dunia pekerjaan umumnya memang seperti itu. Banyak pegawai oportunis. Banyak orang bersifat hipokrit alias munafik. Pegawai oportunis merupakan orang-orang pemanfaat kesempatan ketika ada peluang mendapat tambahan pemasukan atau promosi. Perkara apakah itu terjadi dengan cara menginjak kepala orang lain, mereka tak peduli. Sedangkan pegawai hipokrit adalah mereka yang selalu mengiyakan apa kata atasan walau apa yang diperintahkan sebetulnya sampah atau tak ada gunanya.Perhatiannya kini tertuju pada Renty. Ia heran karena gadis itu berkali-kali terlihat gelisah di tempatnya. Gerak-geriknya seperti mencerminkan ada sesuatu yang salah yang sebentar lagi terjadi. Dari tempat dirinya duduk, posisi Renty hanya dua meter saja. Karena itulah ketika Renty bergerak, pasti akan sangat ketahuan oleh dirinya.‘Apa penyebab kegalauannya?’ tanyanya dalam hati.*Memiliki cucu di usia yang
Di sebuah sudut hotel yang sepi, Renty menelpon seseorang.“Dit, lu punya ecstasy atau apa gitu?”“Lho, sebetulnya lu mau nyimeng atau pake ecstasy?”“Gue udah liat kopernya. Sulit kalo mau disisip daun kayak ganja. Jadi gue nyari yang bentuknya lebih praktis. Mungkin shabu atau pil ecstasy. Lu ada kan?”“Gue ada paket shabu.”“Ada berapa paket?”“Lima. Tapi shabu lagi mahal.”“Sialan! Kirim lima-limanya kesini sekarang juga. Lu pikir gue gak sanggup bayar, hah?”“Sebetulnya...”“Ah banyak omong. Lu juga mau ancurin hidup Rania kan? Nah, gue juga mau. Dan kesempatan hanya ada hari ini. Setelah ini gak ada lagi karena Sanjay udah mau didepak.”Ucapan Renty itu benar. Mau tidak mau ia harus pergi sekarang juga sekali pun waktu menunjukkan dini hari.
Rania menerima telpon yang ternyata datang dari petugas hotel. Ia berbicara sebentar sebelum kemudian menutup telpon.“Aku keluar sebentar. Mau ke lobby.”“Ada perlu apa?”“Kata petugas konter ada titipan barang untuk aku.”Renty tersenyum ketika Rania hilang di balik pintu yang tertutup. Rencana yang tersimpan lama di benaknya mulai ia realisassikan saat itu juga. Secepat mungkin ia memeriksa koper yang Rania miliki. Ia melihat dan memperhatikan di beberapa titik. Di sisi kiri, kanan, depan, belakang, atas, bawah. Sampai kemudian ia memutuskan bahwa ada satu sudut di dalam koper yang secara rahasia bisa ia sisipkan sesuatu di dalamnya.*Kasus penemuan bayi di bak sampah semakin menimbulkan sensasi dengan banyaknya masyarakat yang mendatangi rumah Mama Lidya. Mbak Titiek, mbak Noni, dan beberapa tetangga sudah menemaninya dengan setia.