Langit di atas Samphantawong District sore itu nampak mendung ketika kendaraan special utility vehicle yang dikemudikan keluar dari basement gedung untuk kemudian melintas di salah satu jalan utama kota. Nichaon yang mendampingi Verdi, Rania dan Vonny selama kunjungan kerja di Thailand terampil sekali mengemudi. Wanita lajang dengan kecantikan Thai yang khas itu lantas menawarkan diri.
“You still have time in Bangkok before you catch up the last flight to Jakarta,” katanya dalam bahasa Inggris dengan logat Thai yang khas, “mau menghabiskan waktu dimana?”
“Itu terserah Rania atau Vonny. Aku masih akan stay dua hari lebih lama di sini,” kata Verdi.
Rania tidak keberatan tentunya dengan acara jalan-jalan yang ditawarkan. Tapi Vonny nampak tidak sehat sejak menyantap sepuluh tusuk sate belalang tadi siang.
“Bagaimana, Vonny? Perutmu su
“What’s up, Khun Verdi?” Nichaon yang tidak mengerti perbincangan lagi-lagi menanyai Verdi.“Khun Vonny is not well. She prefers to stay at hotel and Khun Rania will accompany her.”“How about you?“ Nichaon memperlambat kecepatan ketika mereka mendekati ramp, pintu keluar-masuk tol. “Khun Verdi, kamu masih punya sisa waktu dua hari di Bangkok karena masih ada tugas yang perlu kita bahas besok dan lusa.”“I know.”Nichaon mengibas rambut, melirik dan tersenyum penuh arti ke arah Verdi. Rambut ikalnya tertiup desau angin dari jendela mobil yang kurang tertutup rapat. Baik Vonny maupun Rania seperti mendapat impresi bahwa Nichaon sengaja memamerkan kecantikan alami yang ia miliki di depan Verdi.“Will you accompany me?”‘Nah, seperti sudah kuduga, tawaran itu datang juga,” Vonny m
Tapi… ah. Ketajaman logika Rania boleh saja memiliki pendapat demikian. Namun kebenaran selalu mencari jalannya sendiri. Terlebih jika kebenaran itu bermetamorfosis tanpa sanggup direka oleh waktu dan tak bisa dibatasi oleh ruang. Ia bisa tampil begitu saja tanpa bisa terprediksi, di dalam hati, di suatu momen yang tak terduga. Kehadirannya mungkin bisa saja tampil sekelebat melebihi kecepatan suara. Tapi itu bisa lebih dari cukup untuk meruntuhkan benteng ego siapapun. Buktinya, semakin Rania memungkiri, semakin kuat perasaan aneh nan misterius itu mencengkeram. Kebenaran semacam itu sungguh mencabik logika, merajam akal budi.Entah sejak kapan, sosok Verdi mulai menempati ruang kosong hatinya. Dari sekedar perasaan hormat, bertransformasi menjadi respek, dan ternyata malah terus mewujud bentuk kekaguman. Ia ingin berhenti sampai di batas itu saja. Itu sudah cukup. Namun perjalanan waktu membuktikan bahwa ia sepertinya gagal mempertahankannya dimana lamb
Jari-jari Vonny lincah menekan tombol telpon.Terdengar dering dua kali sebelum kemudian gagang telpon di ujung sana diangkat seseorang."Ran, aku dengar suara pintu dibanting.""Lantas?""Itu bukan kamu kan?"Untuk sesaat Rania tak tahu apakah perlu menjawab jujur atau bagaimana. Vonny rupanya mendengar jelas suara pintu yang ia banting tepat di muka Verdi!"Kenapa kamu berpikir begitu? Aku... aku nggak apa-apa."Vonny terdengar lega."Kirain kamu kena apa-apa. Dijahili orang, dirampok, atau diperkosa."“Dasar lebay.”“Idiiiih, dengan postur semlohay seperti kamu, siapa laki-laki yang nggak punya kepikiran kea rah sana. Wueee.”"Aduh kamu itu. Udah ku bantu masih bisa ngeledek. Udah ah. Aku nggak apa-apa koq. Anyway, terima kasih untuk perhatiannya.""Ya udah, aku lanjutin istirahat lagi ya."Klek.
Derai tawa pecah seketika. Dari mulanya senyuman, tawa kecil, sampai berubah menjadi tawa terpingkal-pingkal. Suasana berubah lega, tak lagi menakutkan atau mengkhawatirkan. Kalau pun ada bencana, itu hanyalah sebuah luka biasa berupa lecet berukuran sangat kecil yang tak meninggalkan luka menganga di kedalaman hati. Tawa lepas keduanya meruntuhkan tembok kekakuan yang selama ini terbangun.“Aku heran. Bukannya kamu dengan Khun Nichaon rencananya mau dinner bareng sehabis mengantar aku dan Vonny?”Diingatkan seperti itu membuat Verdi berpikir sejenak sebelum kemudian tersenyum lebar.“Ooo, aku mengerti.” Ia bangun dan lantas berdiri tegak yang kemudian diikuti Rania.“Tapi ajakan Nichaon bukanlah ajakan makan malam. Kami batalkan. Dia malah meminta untuk aku menemaninya kembali ke kantor.”“Kembali ke kantor? Buat apa?”“Astaga, kamu nggak lupa kan bahwa ada pengiri
"Bagaimana keadaannya?”“Kondisinya membaik tapi ia belum ingin makan banyak. Aku malah sekarang balik memikirkan dirimu.”“Hidungku?”“Ya.”“Nggak apa-apa. Obat antiseptik yang tadi aku beli sudah cukup. Kamu sendiri bagaimana?””Rania mengerutkan kening. “Aku nggak paham maksud pertanyaanmu.”“Obat yang kamu pakai untuk mengurut aku, akan jadi dipakai kan?”Rania tertawa keras. Verdi menyusul dalam rentang waktu sedetik kemudian. Suasana sepi malam hari di lobby yang mereka lintasi membuat tawa mereka terdengar begitu keras.“Maaf kalau aku membanting pintu keras sampai hidungmu terluka.”Verdi merapatkan jaket yang memang ia kenakan sejak tadi. “Boleh percaya boleh nggak, aku nggak keberatan hidungku harus terluka lagi kalau harus melihatimu dulu dengan keadaan seperti tadi.”
"Wai a yu samai, nah?"Rania menaikkan alis mata. Ia sama sekali tak menangkap artinya. Yang ia tahu, akhiran kata 'nah' itu semacam 'sih' atau 'lho' atau 'euy' dalam bahasa Sunda. Tak memiliki arti dan hanya sekedar kebiasaan. Sepertinya bahasa Inggris yang diucapkan orang Indonesia masih lebih jelas dibandingkan jika diucapkan orang Thailand! Di luar dugaan, Verdi ternyata mengerti apa yang diucapkan orang itu."Do you mean why we smile?"Verdi dan Rania nyaris terlonjak ketika orang itu mengucap "yes" dengan keras dan mengagetkan."We are smiling because we are happy in Bangkok," jawab Verdi.Jawaban tadi membahagiakan pria itu. "Yu hepi? Gut nah. Guuut..."“Yes, it is good,” Verdi menimpali.Pengalaman bergaul yang unik, pikir Rania. Apalagi yang menunggunya setelah ini?Tak butuh lama sebelum kapal kemudian bersandar di dermaga tujuan
“Ya, ya, ya. Jadi untuk saat ini tolong lupakan mesin penerjemah sialan yang sukses membuat aku malu besar itu, OK? Sekarang, kuminta tolong kamu kenakan jaket ini.”Rania tidak protes saat Verdi kembali memasang jaket itu. Saat di paskan di bahu dan Verdi menutup ekstra hati-hati di retsletingnya, ada getar aneh menyengat dari dalam dirinya.Jelas sekali Verdi tidak memanfaatkan keadaan itu untuk secara pura-pura tidak sengaja menyentuh bagian-bagian tubuh tertentunya. Namun kendati sentuhan demikian tidak terjadi, Rania merasa aneh sendiri. Deru nafas Verdi karena sangat dekat dengan dirinya beserta sentuhan-sentuhan kecil yang hanya sekedar menyentuh bahu, punggung atau lengannya terasa meninggalkan sengatan misterius yang terasa kuat menggetarkan kedalaman sanubari.Setelah selesai memasang dan mematut jaket, Verdi lantas melihati Rania dari berbagai sisi dan khususnya dari arah depan. Jaket dengan bahan semi kulit dan
Rania mendekat. "Aku bukan cenayang tapi aku melihat kegundahan di matamu mengenai perusahaan. Kamu seperti berhenti berharap. Janganlah seperti itu.""Maksudmu?""Aku mungkin tidak terlalu religius. Tapi kurasa ada saat-saat dalam hidup dimana kita betul-betul berpasrah pada keadaan. Kita tidak bisa berbuat apa pun tanpa campur tangan Yang Di Atas sana."Sesaat Verdi tidak bereaksi. Namun tak lama kemudian ia mengangguk setuju."Thanks for your advice," katanya sambil menatapi cermat seorang gadis remaja Thailand yang tengah menaruh dupa di tempat persembahyangan pada sebuah sudut jalan. Kekhusukannya tidak terganggu kendati banyak orang berlalu-lalang di belakangnya. Verdi menghela nafas dalam-dalam dan dengan cepat Rania menangkap sesuatu di mata Verdi.“Kamu seperti cemas?”Verdi tak bereaksi beberapa lama sebelum akhirnya memberikan jawabnya. “Memang.”“Kenapa?&rd
“Sayang, aku sekarang ngerti. Kamu sebetulnya tadi itu sedang dijebak oleh Renty. Dia dengan rekannya adalah orang yang nyusupin barang haram itu ke dalam tas kopermu.” Rania tak bisa berkata apa-apa. Mulutnya ternganga lebar dengan mata membelalak sembari menggeleng-geleng kepala. Mama Lidya tak kurang terkagetnya. “Saat dia sendirian, dia ngelakuin aksinya. Seperti yang kamu cerita saat dini hari itulah dia mem-finalisasi rencananya. Mungkin saat itulah dia dikirimi paket narkoba dari temannya yaitu ganja dan segala macam obat haram itu. Mungkin juga Renty adalah penggunanya. Tidak tertutup kemungkinan ke arah itu. Saat pagi harinya ketika kamu nggak di kamar, dia sisipkan itu di bagian tas koper. Mungkin dengan membuat robekan kecil di koper kamu yang memang hanya berbahan kain. Sayangnya, rencana itu gagal. Ada Tuhan yang jagain kamu. Kamu dibuat mengalami peristiwa buruk yang bikin tas koper kamu robek dan barang haram yang disisip di dalamnya terjatuh. Paket itu lantas kamu bua
“We gonna make it?”“Absolutely, Mister.” Rania mencondongkan wajahnya ke samping wajah Verdi. “Dan udah terbukti kamu masih tetap joss.”Verdi terbahak lagi. Apalagi kini Rania menatap dengan gerak alis dan tatapan laiknya seorang wanita yang nakal hendak mengajak bercinta. Benar-benar sudah tak ada lagi duka di wajah itu seperti ketika ia baru saja tiba.*Kebahagiaan kedua Rania alami ketika ia dan Verdi tiba di kendaraan mereka. Rupanya ada Mama di sana yang menunggui. Dan yang membuat Rania terkaget adalah bahwa Mama di sana dengan seorang bayi lucu dalam pelukannya.Cerita kemudian mengalir satu demi satu baik dari Mama maupun dari Verdi. Tentu saja porsi terbesar cerita ada pada Mama yang secara runut menceritakan keajaiban yang ia alami. Mungilnya sang bocah membuat Rania jatuh cinta seketika. Permintaan Mama untuk ia merawat bersama-sama diterima de
Hanya ada bahagia tak terperi. Saat Surabaya sudah makin tenggelam dalam malam bahagia seolah bertumpukan satu per satu menimpa hidup Rania. Dimulai dari ketika ia disambut oleh senyum Verdi di pintu keluar bandara.Ah, beda dengan hampir tiga tahun lalu di pelataran parkir perkantoran di Jakarta ketika cinta menggebu membuat Verdi berani memeluk dirinya berlama-lama di tengah keramaian, situasi itu tak terjadi lagi saat ini. Namun tentu saja itu bukan masalah besar bagi Rania. Cinta Verdi atas dirinya tak perlu diragukan lagi karena toh tak semua orang wajib mewujudkan dan melampiaskan rasa itu dengan cara ekspresif.Verdi memeluk. Sebentar. Namun sangat hangat. Dan betapa Rania merindukan pelukan pria terhebat yang ia bisa miliki itu. Pengalaman mengerikan yang dirancang seorang perempuan jahat bernama Renty gagal terwujud. Dan ia yakin itu terjadi karena doanya yang tulus yang menyertai perjalanan.“Kenapa nangi
Penjelasan itu terasa cukup bagi Rania. Ia mengambil tasnya kembali dan memutuskan tidak perlu bertanya lagi. Jam dinding di salah satu sisi ruangan menunjukkan waktu bahwa ia harus sesegera mungkin menuju ruang tunggu pesawat. Para petugas X-Ray tadi menunjukan sikap hormat ketika Rania bergegas pergi.Sepuluh menit kemudian ketika pesawat yang ditumpangi sudah take off, Rania masih terus memikirkan pengalaman aneh yang terjadi. Ketika ia melihat seorang anak kecil pada bangku di depannya membuka bungkus kemasan biskuit berwarna biru tua, seketika ia teringat sesuatu. Ia teringat pada bungkus berukuran sama dan warna yang sama yang ia buang di tempat sampah bandara. Bungkusan yang menurut pengemudi taksi daring yang ia naiki terjatuh dari koper akibat ada bagian koper yang robek karena terbentur bagasi mobil. Bulu kuduk Rania meremang.Tidak perlu menjadi seorang jenius dengan sederet gelar untuk mengetahui apa yang terjadi. Ia nyaris
Urusan check in sudah selesai. Dengan alasan bahwa koper yang dibawa Rania adalah koper kecil yang akan dibawa masuk dalam bagasi kabin pesawat, Rania melangkah ke arah ruang tunggu pesawat. Namun saat melewati security-check, ia kaget karena detektor X-Ray berbunyi. Ia melihat sekitar. Tak ada penumpang pesawat lain. Artinya detektor berbunyi saat melakukan scanning atas koper miliknya.‘Maaf, ibu boleh minggir sebentar?”Ajakan seorang ibu petugas bandara tadi membuat Rania sedikit gugup. Para penumpang lain mulai berdatangan ketika Rania menurut.“Maaf, boleh kopornya dibuka?”Rania merutuk dalam hati atas gangguan kecil yang dialami. Namun ia menenangkan diri sendiri karena menurutnya ini bukan pengalaman pertama ia diminta seperti itu. Itu sebabnya dengan tersenyum ia mengikuti permintaan petugas itu dan membuka koper setelah mengisikan nomor kode koper.Dibantu seorang pe
“O gitu? Kamu puasa Senin – Kamis?”“Begitulah?”“Buat apa? Buat supaya sukses bisnis?”“Bukan.”“Buat dapet jodoh?”“Gak lah.”“Terus? Tujuannya apa?”“Buat ngurusin badan.”Wajah innocent alias tak berdosa yang ditunjukan oleh James sukses membuat Terry tertawa. Walau tawa kecil bagi James ini langkah bagus. Hati Terry yang gembira merupakan pintu masuk untuk diskusi yang sebentar lagi dilakukan akan berjalan kondusif dan hangat. Ia masuk ke dalam gerai, mengambil kopi, biskuit, kue, serta menyelesaikan pembayaran dan menemui Terry kembali di tempatnya semula.“Nih, silahkan nikmati,” katanya sembari mulai meletakkan roti dalam bungkusan plastik beserta kopi dalam kemasan botol plastik mungil ke depan Terry.Saat belum lagi menaruh semua, mendadak dari kanton
Dunia pekerjaan umumnya memang seperti itu. Banyak pegawai oportunis. Banyak orang bersifat hipokrit alias munafik. Pegawai oportunis merupakan orang-orang pemanfaat kesempatan ketika ada peluang mendapat tambahan pemasukan atau promosi. Perkara apakah itu terjadi dengan cara menginjak kepala orang lain, mereka tak peduli. Sedangkan pegawai hipokrit adalah mereka yang selalu mengiyakan apa kata atasan walau apa yang diperintahkan sebetulnya sampah atau tak ada gunanya.Perhatiannya kini tertuju pada Renty. Ia heran karena gadis itu berkali-kali terlihat gelisah di tempatnya. Gerak-geriknya seperti mencerminkan ada sesuatu yang salah yang sebentar lagi terjadi. Dari tempat dirinya duduk, posisi Renty hanya dua meter saja. Karena itulah ketika Renty bergerak, pasti akan sangat ketahuan oleh dirinya.‘Apa penyebab kegalauannya?’ tanyanya dalam hati.*Memiliki cucu di usia yang
Di sebuah sudut hotel yang sepi, Renty menelpon seseorang.“Dit, lu punya ecstasy atau apa gitu?”“Lho, sebetulnya lu mau nyimeng atau pake ecstasy?”“Gue udah liat kopernya. Sulit kalo mau disisip daun kayak ganja. Jadi gue nyari yang bentuknya lebih praktis. Mungkin shabu atau pil ecstasy. Lu ada kan?”“Gue ada paket shabu.”“Ada berapa paket?”“Lima. Tapi shabu lagi mahal.”“Sialan! Kirim lima-limanya kesini sekarang juga. Lu pikir gue gak sanggup bayar, hah?”“Sebetulnya...”“Ah banyak omong. Lu juga mau ancurin hidup Rania kan? Nah, gue juga mau. Dan kesempatan hanya ada hari ini. Setelah ini gak ada lagi karena Sanjay udah mau didepak.”Ucapan Renty itu benar. Mau tidak mau ia harus pergi sekarang juga sekali pun waktu menunjukkan dini hari.
Rania menerima telpon yang ternyata datang dari petugas hotel. Ia berbicara sebentar sebelum kemudian menutup telpon.“Aku keluar sebentar. Mau ke lobby.”“Ada perlu apa?”“Kata petugas konter ada titipan barang untuk aku.”Renty tersenyum ketika Rania hilang di balik pintu yang tertutup. Rencana yang tersimpan lama di benaknya mulai ia realisassikan saat itu juga. Secepat mungkin ia memeriksa koper yang Rania miliki. Ia melihat dan memperhatikan di beberapa titik. Di sisi kiri, kanan, depan, belakang, atas, bawah. Sampai kemudian ia memutuskan bahwa ada satu sudut di dalam koper yang secara rahasia bisa ia sisipkan sesuatu di dalamnya.*Kasus penemuan bayi di bak sampah semakin menimbulkan sensasi dengan banyaknya masyarakat yang mendatangi rumah Mama Lidya. Mbak Titiek, mbak Noni, dan beberapa tetangga sudah menemaninya dengan setia.