Mendengar hal itu Verdi hanya bisa menatap pilu. Wanita di depannya adalah orang yang pernah membuatnya jatuh hati, yang pernah menolong karirnya, idealis, cantik, pintar. Lalu mengapa begitu cepat berubah dan jatuh sedalam ini?
"Sebagai rekan satu almamater, elo tau IPK gue termasuk yang terbaik. Gue bisa ngomong tiga bahasa, dan dua perusahaan yang gue masukin sebelumnya semua perusahaan Multi National Asing. Dengan prestasi begitu, elo pikir gue sulit untuk dapet kerjaan? Nggak! Tapi yang namanya dijebak tetap aja dijebak. Kalo gue tuntut dia, itu sama aja bunuh diri karena gue nggak punya bukti sama sekali."
Verdi melempar pandangan ke samping. Pikirannya kosong. Bingung apa yang harus dikatakan atau dilakukan.
"Elo bisa tolong gue, Ver?"
Verdi menghembuskan nafas keras. "Menolong bagaimana?"
"Tolonglah. Gue... khilaf. Gue akan akhiri ini semua. Gue janji."
Sentuhan jemari Renty di punggung tanga
"You're sure he's not bluffing?"Pertanyaan dari Rajha dijawab Renty dengan gelengan sambil menyatakan bahwa ia meyakini ucapan Verdi tidaklah sekedar menggertak."How do you know?""Tentu saja aku mengetahuinya. Ia menyebut persis nomor kamar yang kita pilih, nama hotel, dan jam kita check in, Sanjay."Rajha, ekspatriat dari Asia Selatan, sang GM yang kerap dipanggil nama panggilannya oleh Renty sebagai Sanjay memegangi pipi dengan satu tangan. Suatu kebiasaan kalau ia sedang berpikir serius. Renty telah menceritakan semuanya. Menceritakan tentang terlihatnya mereka berdua di kamar hotel."Renty, bisa kau cari apa saja kesalahan mereka berdua selama ini?" tanyanya dalam bahasa Inggris berlogat India yang kental dan terdengar janggal. “Aku mau jegal dia kalau kamu bisa memberiku alasan kuat untuk melakukannya.”Renty mengeluarkan sebungkus rokok, mengeluarkan sebatang da
Pak Parjo terperanjat, sekaligus menangkap kepanikan serta kemarahan dalam suara Verdi. Karena Rania melintas di sampingnya, dalam keingintahuan yang luar biasa, ia mengejar sampai keduanya bertemu di muka pintu lift.“Ada apa, bu?”Rania diam. Wajahnya memerah.“Lah, si ibu mau pulang? Koq udah bawa laptop segala?”“I-iya.”“Kenapa emangnye?”“Nggak apa-apa,” Rania menyahut gugup. Sudut matanya mengerling ke ruang yang tadi dilewatinya. Lift berdenting dan pintu terbuka.“Permisi, Pak.”Rania memburu ke arah lift. Sial. Walau sudah berdenting, pintu lift ternyata hanya terbuka separuh. Itu membuatnya tak bisa secepatnya meninggalkan tempat.“Lift yang nomor 2 ini emang udah beberapa kali begitu.”Rania tidak menanggapi. Tak lama kemudian pintu lift membuka sepenuhnya. Rania lan
Waktunya ternyata tepat karena ketika sudah berada di tempatnya yang baru, si 'pemilik' barisan pertama yang adalah Edwin atasannya, baru saja memasuki ruangan."Kuperhatiin beberapa hari ini kamu ke pabrik terus," Verdi bertanya lagi. Setengah berbisik tentunya.Merasa tak perlu menanggapi, Rania hanya mengangguk kecil sambil mulai melihati email-email yang masuk melalui iPad yang ia bawa."Kamu tahu kan dua minggu lagi departemen aku dengan kamu akan ikut ke Korea untuk sesi Operation Gathering dan langsung nyambung ke Thailand untuk sesi lain?"Tentu saja Rania mengetahui. “Ya. Dan Carl juga ikut kan? Aku dah tau.”Yang dimaksud Rania adalah Carl Heleyoroupulakis, yang akan menjadi pembicara di siang itu untuk memperkenalkan sistim baru. Walau tak ikut ke Thailand orang itu memang akan ikut terbang menuju Seoul sebelum kembali ke negara asalnya, Yunani. Ia adalah Chief Finance Executive yang berbasis pada
"Permisi, dik," kata seorang ibu."Permisi, nak," kata rekan sang ibu.Edwin terlihat tak suka dengan panggilan-panggilan itu. Tapi kedua orang wanita itu mungkin tak bermaksud mengejek saat berucap demikian karena mereka hanya melihat Edwin dari arah belakang. Verdi sampai harus setengah mati menahan tawa melihat adegan itu. Rania tak bereaksi apapun karena melihat bahwa kini atasannya memelototi dirinya karena tak mau Rania menertawainya.Dengan muka memerah Edwin melangkah lebih cepat menuruni anak tangga demi supaya tidak bersama Rania dan Verdi.Setelah merasa orang itu sudah agak jauh, barulah Verdi dan Rania melanjutkan perjalanan menuruni anak tangga kembali. Di lantai-lantai sesudahnya mereka juga bertemu orang-orang di lantai tersebut yang juga langsung menuruni tangga."Kamu tahu kenapa aku masih berharap bahwa ini hanya alarm yang salah?"Rania menggeleng."Kita sudah turun empat lantai. Tapi kenyataannya dar
Selama mendengar penjelasan itu, hati Rania berdebar. Ia tidak menyangka bahwa kelemahannya yang paling besar sudah diketahui atasannya.“Selama ini aku ragu apakah kamu memang pantas bekerja bersamaku di perusahaan ini atau nggak. Ada begitu banyak perbedaan dan dalam hal tertentu aku nggak setuju dengan caramu. Dengan gayamu yang aku nilai sombong dan sok tahu, misalnya, itu kentara sekali. Dalam kasus klepto, aku kaget dan sedikit kecewa karena berarti kamu selama ini menyimpan kesalahan kamu. Keterlaluan kamu itu. Kamu ingin menutupi bau bangkai dengan menimbun dengan dedaunan saja dan kamu pikit itu cukup? Dasar memalukan.”Rania mengangkat kepala dan menatap Edwin. Harapannya untuk bertahan di perusahaan, kini menjadi tandatanya besar. Edwin meminta Rania menyerahkan kembali laporan yang tadi berada di tangannya.“Dan laporan ini,” kata Edwin yang memegangi dengan kedua tangan sambil menatap Rania, “aku nggak per
Dan rasa sakit itulah yang menemani ketika dalam diamnya ia membiarkan Rania dalam kesibukan mengambil barang-barangnya di lantai. Tak tersisa sedikit pun rasa kasihan atau keinginan menolong. Ia hanya ingin Rania menderita. Sekecil apapun penderitaan itu. Ia merasa lebih baik berdiri di depan pintu lift dan menunggui sampai terbuka untuk kemudian pergi meninggalkan tempat itu.Tapi pintu lift memang tak segera terbuka. Verdi harus menunggui sampai kemudian Rania yang masih merasa jengkel akhirnya menunggui juga di depan lift. Keduanya kini berdampingan di sana sampai kemudian calon pengguna lain berdatangan.Pintu lift yang ditunggui oleh Verdi terbuka dan ia pun segera masuk. Tak dinyana para calon pengguna cukup banyak. Akibatnya tubuh Rania terdorong sampai akhirnya ia menempati bagian paling belakang dalam ruang lift.Dari antara kerumunan orang Rania melihat bahwa lampu untuk lantai dimana ia hendak menuju ke sana, belum menyala. 
“Kenapa kamu hanya pertimbangan masalah duit? Apa-apa selalu fokus hanya ke soal duit.” Nada Nurul terdengar sengit.“Memang itu yang paling penting. Habis apa lagi?” Ditya membalas tak kalah sengit. “Di kantor posisiku malah terancam gara-gara kasus Rania.”Mendengar nama itu, mata Nurul memerah. Kasus klepto yang dijadikan alasan bagi Ditya untuk menekan Rania sudah tidak ada gunanya. Atas prestasi dan kontribusi nyata yang sudah dilakukan Ever Foods sudah memberikan jawaban bahwa mereka tetap menerima Rania. Kasus ini begitu memedihkan hati bagi Nurul karena membuka kedok betapa busuknya Aditya itu sebetulnya dan pria itu pun juga otomatis tak bisa lagi melakukan blackmail atau ancaman atas Rania.Aditya alias Ditya itu busuk. Semakin berjalannya waktu ia semakin menemukan kenyataan pahit itu. Namun yang lebih pahit dari itu ialah mengapa ia tetap masih mau bersama dengan pria itu. Sebeg
Saat itu pesawat sudah berada di landas pacu, berhenti sesaat untuk menunggu aba-aba take off. Sebuah hentakan terjadi ketika pesawat mengeluarkan daya terkuat untuk terbang. Hal ini membuat donat yang hendak dilahap oleh Rania terjatuh dari tangan dan mengotori mulut dan baju.Spontan Renty mengeluarkan selembar tisyu basah. Saat pesawat sudah mengudara dan situasi kembali stabil ia menawarkan diri untuk membersihkan mulut Rania. Lagi-lagi Rania terperangah. Sebelum ia mengiyakan Renty sudah menyapu dengan lembut mulut Rania yang berlepotan coklat dengan tisyu di tangannya.*Setiap periode tertentu, selama dua hari, grup perusahaan Ever Foods se-Asia Pasifik mengadakan sebuah konvensi tahunan di sebuah negara untuk membahas strategi bisnis di tahun berikutnya. Beberapa manajer serta direktur dari berbagai divisi dari tujuh negara berkumpul dan kali ini pertemuan bisnis diadakan di Seoul, Korea Selatan.
“Sayang, aku sekarang ngerti. Kamu sebetulnya tadi itu sedang dijebak oleh Renty. Dia dengan rekannya adalah orang yang nyusupin barang haram itu ke dalam tas kopermu.” Rania tak bisa berkata apa-apa. Mulutnya ternganga lebar dengan mata membelalak sembari menggeleng-geleng kepala. Mama Lidya tak kurang terkagetnya. “Saat dia sendirian, dia ngelakuin aksinya. Seperti yang kamu cerita saat dini hari itulah dia mem-finalisasi rencananya. Mungkin saat itulah dia dikirimi paket narkoba dari temannya yaitu ganja dan segala macam obat haram itu. Mungkin juga Renty adalah penggunanya. Tidak tertutup kemungkinan ke arah itu. Saat pagi harinya ketika kamu nggak di kamar, dia sisipkan itu di bagian tas koper. Mungkin dengan membuat robekan kecil di koper kamu yang memang hanya berbahan kain. Sayangnya, rencana itu gagal. Ada Tuhan yang jagain kamu. Kamu dibuat mengalami peristiwa buruk yang bikin tas koper kamu robek dan barang haram yang disisip di dalamnya terjatuh. Paket itu lantas kamu bua
“We gonna make it?”“Absolutely, Mister.” Rania mencondongkan wajahnya ke samping wajah Verdi. “Dan udah terbukti kamu masih tetap joss.”Verdi terbahak lagi. Apalagi kini Rania menatap dengan gerak alis dan tatapan laiknya seorang wanita yang nakal hendak mengajak bercinta. Benar-benar sudah tak ada lagi duka di wajah itu seperti ketika ia baru saja tiba.*Kebahagiaan kedua Rania alami ketika ia dan Verdi tiba di kendaraan mereka. Rupanya ada Mama di sana yang menunggui. Dan yang membuat Rania terkaget adalah bahwa Mama di sana dengan seorang bayi lucu dalam pelukannya.Cerita kemudian mengalir satu demi satu baik dari Mama maupun dari Verdi. Tentu saja porsi terbesar cerita ada pada Mama yang secara runut menceritakan keajaiban yang ia alami. Mungilnya sang bocah membuat Rania jatuh cinta seketika. Permintaan Mama untuk ia merawat bersama-sama diterima de
Hanya ada bahagia tak terperi. Saat Surabaya sudah makin tenggelam dalam malam bahagia seolah bertumpukan satu per satu menimpa hidup Rania. Dimulai dari ketika ia disambut oleh senyum Verdi di pintu keluar bandara.Ah, beda dengan hampir tiga tahun lalu di pelataran parkir perkantoran di Jakarta ketika cinta menggebu membuat Verdi berani memeluk dirinya berlama-lama di tengah keramaian, situasi itu tak terjadi lagi saat ini. Namun tentu saja itu bukan masalah besar bagi Rania. Cinta Verdi atas dirinya tak perlu diragukan lagi karena toh tak semua orang wajib mewujudkan dan melampiaskan rasa itu dengan cara ekspresif.Verdi memeluk. Sebentar. Namun sangat hangat. Dan betapa Rania merindukan pelukan pria terhebat yang ia bisa miliki itu. Pengalaman mengerikan yang dirancang seorang perempuan jahat bernama Renty gagal terwujud. Dan ia yakin itu terjadi karena doanya yang tulus yang menyertai perjalanan.“Kenapa nangi
Penjelasan itu terasa cukup bagi Rania. Ia mengambil tasnya kembali dan memutuskan tidak perlu bertanya lagi. Jam dinding di salah satu sisi ruangan menunjukkan waktu bahwa ia harus sesegera mungkin menuju ruang tunggu pesawat. Para petugas X-Ray tadi menunjukan sikap hormat ketika Rania bergegas pergi.Sepuluh menit kemudian ketika pesawat yang ditumpangi sudah take off, Rania masih terus memikirkan pengalaman aneh yang terjadi. Ketika ia melihat seorang anak kecil pada bangku di depannya membuka bungkus kemasan biskuit berwarna biru tua, seketika ia teringat sesuatu. Ia teringat pada bungkus berukuran sama dan warna yang sama yang ia buang di tempat sampah bandara. Bungkusan yang menurut pengemudi taksi daring yang ia naiki terjatuh dari koper akibat ada bagian koper yang robek karena terbentur bagasi mobil. Bulu kuduk Rania meremang.Tidak perlu menjadi seorang jenius dengan sederet gelar untuk mengetahui apa yang terjadi. Ia nyaris
Urusan check in sudah selesai. Dengan alasan bahwa koper yang dibawa Rania adalah koper kecil yang akan dibawa masuk dalam bagasi kabin pesawat, Rania melangkah ke arah ruang tunggu pesawat. Namun saat melewati security-check, ia kaget karena detektor X-Ray berbunyi. Ia melihat sekitar. Tak ada penumpang pesawat lain. Artinya detektor berbunyi saat melakukan scanning atas koper miliknya.‘Maaf, ibu boleh minggir sebentar?”Ajakan seorang ibu petugas bandara tadi membuat Rania sedikit gugup. Para penumpang lain mulai berdatangan ketika Rania menurut.“Maaf, boleh kopornya dibuka?”Rania merutuk dalam hati atas gangguan kecil yang dialami. Namun ia menenangkan diri sendiri karena menurutnya ini bukan pengalaman pertama ia diminta seperti itu. Itu sebabnya dengan tersenyum ia mengikuti permintaan petugas itu dan membuka koper setelah mengisikan nomor kode koper.Dibantu seorang pe
“O gitu? Kamu puasa Senin – Kamis?”“Begitulah?”“Buat apa? Buat supaya sukses bisnis?”“Bukan.”“Buat dapet jodoh?”“Gak lah.”“Terus? Tujuannya apa?”“Buat ngurusin badan.”Wajah innocent alias tak berdosa yang ditunjukan oleh James sukses membuat Terry tertawa. Walau tawa kecil bagi James ini langkah bagus. Hati Terry yang gembira merupakan pintu masuk untuk diskusi yang sebentar lagi dilakukan akan berjalan kondusif dan hangat. Ia masuk ke dalam gerai, mengambil kopi, biskuit, kue, serta menyelesaikan pembayaran dan menemui Terry kembali di tempatnya semula.“Nih, silahkan nikmati,” katanya sembari mulai meletakkan roti dalam bungkusan plastik beserta kopi dalam kemasan botol plastik mungil ke depan Terry.Saat belum lagi menaruh semua, mendadak dari kanton
Dunia pekerjaan umumnya memang seperti itu. Banyak pegawai oportunis. Banyak orang bersifat hipokrit alias munafik. Pegawai oportunis merupakan orang-orang pemanfaat kesempatan ketika ada peluang mendapat tambahan pemasukan atau promosi. Perkara apakah itu terjadi dengan cara menginjak kepala orang lain, mereka tak peduli. Sedangkan pegawai hipokrit adalah mereka yang selalu mengiyakan apa kata atasan walau apa yang diperintahkan sebetulnya sampah atau tak ada gunanya.Perhatiannya kini tertuju pada Renty. Ia heran karena gadis itu berkali-kali terlihat gelisah di tempatnya. Gerak-geriknya seperti mencerminkan ada sesuatu yang salah yang sebentar lagi terjadi. Dari tempat dirinya duduk, posisi Renty hanya dua meter saja. Karena itulah ketika Renty bergerak, pasti akan sangat ketahuan oleh dirinya.‘Apa penyebab kegalauannya?’ tanyanya dalam hati.*Memiliki cucu di usia yang
Di sebuah sudut hotel yang sepi, Renty menelpon seseorang.“Dit, lu punya ecstasy atau apa gitu?”“Lho, sebetulnya lu mau nyimeng atau pake ecstasy?”“Gue udah liat kopernya. Sulit kalo mau disisip daun kayak ganja. Jadi gue nyari yang bentuknya lebih praktis. Mungkin shabu atau pil ecstasy. Lu ada kan?”“Gue ada paket shabu.”“Ada berapa paket?”“Lima. Tapi shabu lagi mahal.”“Sialan! Kirim lima-limanya kesini sekarang juga. Lu pikir gue gak sanggup bayar, hah?”“Sebetulnya...”“Ah banyak omong. Lu juga mau ancurin hidup Rania kan? Nah, gue juga mau. Dan kesempatan hanya ada hari ini. Setelah ini gak ada lagi karena Sanjay udah mau didepak.”Ucapan Renty itu benar. Mau tidak mau ia harus pergi sekarang juga sekali pun waktu menunjukkan dini hari.
Rania menerima telpon yang ternyata datang dari petugas hotel. Ia berbicara sebentar sebelum kemudian menutup telpon.“Aku keluar sebentar. Mau ke lobby.”“Ada perlu apa?”“Kata petugas konter ada titipan barang untuk aku.”Renty tersenyum ketika Rania hilang di balik pintu yang tertutup. Rencana yang tersimpan lama di benaknya mulai ia realisassikan saat itu juga. Secepat mungkin ia memeriksa koper yang Rania miliki. Ia melihat dan memperhatikan di beberapa titik. Di sisi kiri, kanan, depan, belakang, atas, bawah. Sampai kemudian ia memutuskan bahwa ada satu sudut di dalam koper yang secara rahasia bisa ia sisipkan sesuatu di dalamnya.*Kasus penemuan bayi di bak sampah semakin menimbulkan sensasi dengan banyaknya masyarakat yang mendatangi rumah Mama Lidya. Mbak Titiek, mbak Noni, dan beberapa tetangga sudah menemaninya dengan setia.