"Nggak apa-apa sih. Cuma kaki kiri lecet, betis kanan tergores, tangan kanan dan kiri pegal linu, bahu memar, dengkul sakit, paha nyeri dan kepala nyutnyutan. Puas?"
Verdi langsung menyadari kebodohannya karena sindiran tadi. Walau Rania ‘lebay’ ia tetap tak menyangka bahwa kondisi Rania lumayan parah walau tentunya tak seperti yang ia tadi katakan.
"Tadi kamu bilangnya nggak apa-apa."
"Kamu tuh nggak ngerti bahasa cewek ya? Peristiwa ini nggak akan terjadi kalau kamu nggak jadi sok pinter dengan nyetir forklift."
"Peristiwa ini nggak akan terjadi kalau kamu nggak nginjak kakiku. Sudahlah, jangan bikin cerita lagi. Kalau kamu tanya apakah aku salah, ya, aku salah. Dan aku benar-benar minta maaf. Aku serius kepingin nolong kamu."
Sengatan di bahu membuat Rania memeganginya sambil menggigit bibir sembari mendesis keras.
"Perlu aku urut?"
Ditawari bantuan seperti itu, Rania malah
"Ver, kamu koq bisa mengerti LC sejauh itu?"Pertanyaan Rania tidak dijawab Verdi yang kini tengah mengamat-amati kondisi forklift dan efek tabrakan yang ditimbulkannya."Kamu belajar tentang perdagangan internasional dari mana?"Jawaban masih belum meluncur keluar dari mulut Verdi. Pria itu seolah menemukan mainan baru dengan mengamati seksama tiang yang rusak karena kecelakaan yang baru saja terjadi."Koq dicuwekin?"Bukannya menjawab pertanyaan itu, Verdi malah memberi isyarat agar Rania mendekat ke arahnya."Kamu bisa kemari sebentar?"Masih dengan kaki sedikit nyeri, Rania mendekat."Lihat," Verdi menunjuk tiang yang tertusuk forklift. "Tiang kayu gudang ternyata bagian tengahnya bolong dan jadi sarang rayap. Bolong seperti ini jadi potensi tikus masuk.”Verdi menjumput seekor dari ratusan rayap di permukaan
Info bahwa Rania berhasil mencapai jenjang karier sebagai manajer di sebuah perusahaan multi nasional asing ternyata sama sekali tidak menarik bagi rekannya, para emak-emak penggosip tadi.“Jangan ngoyo ngejar karier, bilang sana.”“Aku sih lebih suka punya momongan daripada soal karier.”“Teman-temanmu seperti aku udah punya momongan. Kamu mau tunggu berapa lagi?”“Bujuklah puterimu, Mbakyu. Siapa tau dia mau tuh kawin cepat.”Saat Lidya memberikan dalih lebih lanjut, segera saja ia diterjang pernyataan dan pertanyaan lain dari tiap-tiap mereka.“Kalo udah lewat kepala tiga, udah susah lho nyari calon suami.”“Aku tau anakmu cantik. Tapi jangan pasang harga tinggi juga, Mbakyu.”“Sama anakku aja. Pendi udah 26 tahun, cocok tuh.”“Kesibukan karier nggak selalu bagus lho.”
Gejolak amarah dalam diri Aditya jelas tak mudah dihilangkan.“Sekali lagi kamu bilang bahwa aku ini bajingan, awas. Mungkin aku bajingan, tapi tanpa aku kamu tidak ada apa-apanya. Kamu akan rasakan manfaatnya. Aku tidak pernah seterhina itu.”Selanjutnya Ditya melangkah masuk ke dalam rumah sembari tetap memegangi lengan Rania. Langkah-langkah panjang pria itu membuat Rania sampai melangkah terseret-seret ke dalam rumahnya sendiri. Ditya membuka pintu rumah dan melangkah masuk diikuti Rania. Pintu kemudian tertutup sampai tak lama kemudian mereka masuk ke dalam kamar dimana cahaya lampu kamar menampilkan bayangan siluet keduanya di gorden.Bayangan kedua orang itu berhadapan dimana Ditya nampak marah dan berkata-kata sambil menunjuk-nunjuk Rania yang terlihat gentar. Suara kemarahan Ditya hanya terdengar sangat lamat dan Rania sesekali menggeleng dan mengangguk. Dalam keadaan sesenggukan, beberapa saat kemud
“Nah, gitu dong. Terus kembali ke soal LC. Buat aku untuk so..al... LC..."Ucapan Rania tertahan sejenak karena rasa nyeri yang mendadak menyergap. Sakit akibat jatuh dari forklift tempo hari kumat lagi. Verdi yang melihat itu spontan menawarkan bantuan yang sayangnya langsung ditampik oleh Rania."Lihat kamu nahan sakit, aku selalu merasa bersalah.""Nggak segitunya lah. Aku sudah ke klinik dan kata dokter paling-paling juga sembuh dalam 1-2 hari ini.""Bener?""Bener. Cuma sakit kecil di tangan, kepala dan pundak. Itu aja."Verdi menarik nafas panjang. “Apa itu penyebabnya kamu kemarin gak angkat telpon aku?”Rania terkesiap. Ia tahu ada panggilan telpon semalam dari Verdi. Ia abaikan karena…..ah, dasar Aditya sialan. Ia merutuk dalam hati.“Gak apa-apa kalo kamu gak mau cerita.”Rania tersenyum kecut.*Rapat antar empat departemen yang ber
Pintu lift menuju lantai atas terbuka. Saat Verdi melangkah masuk dan pintu lift siap menutup, sebuah suara memanggilnya.“Tunggu!”Spontan Verdi menekan tombol dan pintu kembali terbuka. Seseorang melangkah masuk. Ketika orang itu mengucap terima kasih, Verdi hanya mengangguk. Ia lalu kembali menekan tombol hingga pintu lift menutup.Saat pintu lift menutup itulah, pantulan orang di belakang Verdi jadi terlihat jelas. Ternyata itu Rania yang kemudian menyapanya dari belakang.“Hai.”Disapa demikian, Verdi membalik tubuh. Keduanya kini berhadapan. Verdi juga jadi tahu bahwa di ruangan lift ada seorang lain. Seorang pria sedikit tambun yang saat ia melihat orang itu raut wajah Verdi berubah. Ia mengenali orang itu sebagai orang dari sebuah perusahaan pelayaran yang pernah ia lihat di mall Jayakarta bersama Renty."Terima kasih buat masukanmu," ucap Rania tulus.Verdi berpikir sejenak. "Ini kasus bahan baku yang
Selama lebih dari empat bulan bekerja di tempat itu Rania semakin menyadari bahwa penting untuk meng-iya-kan saja apa yang dikatakan atasan. Ini berlaku bukan hanya bagi dirinya tapi juga bagi semua orang yang memiliki atasan di perusahaan itu, jika mereka masih ingin periuk nasi, atau tepatnya rice cooker, mereka tetap berasap. Aneh memang, tapi mencari info lebih lanjut dengan menyelidiki secara detil tentang suatu permasalahan kerap dianggap sebagai sikap mbalelo, melawan. Rania juga mendapati bahwa mereka yang memiliki posisi cukup tinggi dan dapat bertahan lama di perusahaan ternyata karena mereka umumnya memiliki sikap yang sama: membebek. Mengikuti apa saja kata atasannya tanpa perlu bertanya.Itu sebabnya ketika Edwin menampik untuk menjawab pertanyaannya, Rania belajar untuk meng-iya-kan saja. Tak perduli jika itu akan sedikit mengusik nuraninya yang protes atas ketidakberesan yang terjadi.Semenit s
Urusan di BPOM, sebuah lembaga pemerintah selaku pengawas obat dan makanan, sudah hampir selesai. Rania sedang turun dari tangga ketika sebuah suara memanggilnya."You?" Rania terheran melihat keberadaan Verdi."Lagi ngurus penerbitan nomor registrasi BPOM." Seperti dapat membaca pikiran Rania, Verdi langsung menjelaskan alasan keberadaannya."Oh.""Kamu sendiri ngapain?""HC.""Ngurus Health Certificate? Sertifikat Kesehatan untuk produk apa?""Wafer," jawab Rania singkat sebelum menyambung. "Blueberry."Mereka melangkah menyusuri koridor dengan beberapa petugas berlalu-lalang di sekitar mereka."Habis ini ke mana?""Pulang.""Ini baru jam 14.30 siang. Atau kamu mau kerja remote, jarak jauh dari rumah?"Sambil menatap lurus ke depan, Rania mengangguk. Dan Verdi yang melihat Rania enggan berkata-kata dan h
"Tokoh kunci? Lebay ah."Rania tersenyum yang kemudian diikuti Verdi. Pria itu merasa situasi hati Rania pada pagi menjelang siang itu membaik. Jauh berbeda saat mereka di BPOM kemarin. Ia lantas mempersilahkan Rania agar duduk untuk melanjutkan berbagai topik."Tapi kamu jangan ge-er dulu, Ver. Biarpun kamu itu tokoh kunci bukan berarti kamu nggak punya kelemahan."Topik itu dinilai menarik. Verdi mendengarkan dengan penuh minat ketika Rania menyerahkan laporan yang tadi ia minta."Aku ulangi. Biasanya selama ini aku merem kalau menandatangani PTS kalo sudah ada tandatangan kamu. Tapi yang satu ini yaitu yang berkaitan dengan ekspor percobaan sebanyak satu palet biskuit krim strawberry ke New Zealand, aku tolak."Verdi mencibir maklum. "Alasannya?""Aku prihatin dengan kemasannya yang ditulis di PTS itu terbuat dari kayu. Asal kamu tahu, New Zealand itu punya aturan ekspo
“Sayang, aku sekarang ngerti. Kamu sebetulnya tadi itu sedang dijebak oleh Renty. Dia dengan rekannya adalah orang yang nyusupin barang haram itu ke dalam tas kopermu.” Rania tak bisa berkata apa-apa. Mulutnya ternganga lebar dengan mata membelalak sembari menggeleng-geleng kepala. Mama Lidya tak kurang terkagetnya. “Saat dia sendirian, dia ngelakuin aksinya. Seperti yang kamu cerita saat dini hari itulah dia mem-finalisasi rencananya. Mungkin saat itulah dia dikirimi paket narkoba dari temannya yaitu ganja dan segala macam obat haram itu. Mungkin juga Renty adalah penggunanya. Tidak tertutup kemungkinan ke arah itu. Saat pagi harinya ketika kamu nggak di kamar, dia sisipkan itu di bagian tas koper. Mungkin dengan membuat robekan kecil di koper kamu yang memang hanya berbahan kain. Sayangnya, rencana itu gagal. Ada Tuhan yang jagain kamu. Kamu dibuat mengalami peristiwa buruk yang bikin tas koper kamu robek dan barang haram yang disisip di dalamnya terjatuh. Paket itu lantas kamu bua
“We gonna make it?”“Absolutely, Mister.” Rania mencondongkan wajahnya ke samping wajah Verdi. “Dan udah terbukti kamu masih tetap joss.”Verdi terbahak lagi. Apalagi kini Rania menatap dengan gerak alis dan tatapan laiknya seorang wanita yang nakal hendak mengajak bercinta. Benar-benar sudah tak ada lagi duka di wajah itu seperti ketika ia baru saja tiba.*Kebahagiaan kedua Rania alami ketika ia dan Verdi tiba di kendaraan mereka. Rupanya ada Mama di sana yang menunggui. Dan yang membuat Rania terkaget adalah bahwa Mama di sana dengan seorang bayi lucu dalam pelukannya.Cerita kemudian mengalir satu demi satu baik dari Mama maupun dari Verdi. Tentu saja porsi terbesar cerita ada pada Mama yang secara runut menceritakan keajaiban yang ia alami. Mungilnya sang bocah membuat Rania jatuh cinta seketika. Permintaan Mama untuk ia merawat bersama-sama diterima de
Hanya ada bahagia tak terperi. Saat Surabaya sudah makin tenggelam dalam malam bahagia seolah bertumpukan satu per satu menimpa hidup Rania. Dimulai dari ketika ia disambut oleh senyum Verdi di pintu keluar bandara.Ah, beda dengan hampir tiga tahun lalu di pelataran parkir perkantoran di Jakarta ketika cinta menggebu membuat Verdi berani memeluk dirinya berlama-lama di tengah keramaian, situasi itu tak terjadi lagi saat ini. Namun tentu saja itu bukan masalah besar bagi Rania. Cinta Verdi atas dirinya tak perlu diragukan lagi karena toh tak semua orang wajib mewujudkan dan melampiaskan rasa itu dengan cara ekspresif.Verdi memeluk. Sebentar. Namun sangat hangat. Dan betapa Rania merindukan pelukan pria terhebat yang ia bisa miliki itu. Pengalaman mengerikan yang dirancang seorang perempuan jahat bernama Renty gagal terwujud. Dan ia yakin itu terjadi karena doanya yang tulus yang menyertai perjalanan.“Kenapa nangi
Penjelasan itu terasa cukup bagi Rania. Ia mengambil tasnya kembali dan memutuskan tidak perlu bertanya lagi. Jam dinding di salah satu sisi ruangan menunjukkan waktu bahwa ia harus sesegera mungkin menuju ruang tunggu pesawat. Para petugas X-Ray tadi menunjukan sikap hormat ketika Rania bergegas pergi.Sepuluh menit kemudian ketika pesawat yang ditumpangi sudah take off, Rania masih terus memikirkan pengalaman aneh yang terjadi. Ketika ia melihat seorang anak kecil pada bangku di depannya membuka bungkus kemasan biskuit berwarna biru tua, seketika ia teringat sesuatu. Ia teringat pada bungkus berukuran sama dan warna yang sama yang ia buang di tempat sampah bandara. Bungkusan yang menurut pengemudi taksi daring yang ia naiki terjatuh dari koper akibat ada bagian koper yang robek karena terbentur bagasi mobil. Bulu kuduk Rania meremang.Tidak perlu menjadi seorang jenius dengan sederet gelar untuk mengetahui apa yang terjadi. Ia nyaris
Urusan check in sudah selesai. Dengan alasan bahwa koper yang dibawa Rania adalah koper kecil yang akan dibawa masuk dalam bagasi kabin pesawat, Rania melangkah ke arah ruang tunggu pesawat. Namun saat melewati security-check, ia kaget karena detektor X-Ray berbunyi. Ia melihat sekitar. Tak ada penumpang pesawat lain. Artinya detektor berbunyi saat melakukan scanning atas koper miliknya.‘Maaf, ibu boleh minggir sebentar?”Ajakan seorang ibu petugas bandara tadi membuat Rania sedikit gugup. Para penumpang lain mulai berdatangan ketika Rania menurut.“Maaf, boleh kopornya dibuka?”Rania merutuk dalam hati atas gangguan kecil yang dialami. Namun ia menenangkan diri sendiri karena menurutnya ini bukan pengalaman pertama ia diminta seperti itu. Itu sebabnya dengan tersenyum ia mengikuti permintaan petugas itu dan membuka koper setelah mengisikan nomor kode koper.Dibantu seorang pe
“O gitu? Kamu puasa Senin – Kamis?”“Begitulah?”“Buat apa? Buat supaya sukses bisnis?”“Bukan.”“Buat dapet jodoh?”“Gak lah.”“Terus? Tujuannya apa?”“Buat ngurusin badan.”Wajah innocent alias tak berdosa yang ditunjukan oleh James sukses membuat Terry tertawa. Walau tawa kecil bagi James ini langkah bagus. Hati Terry yang gembira merupakan pintu masuk untuk diskusi yang sebentar lagi dilakukan akan berjalan kondusif dan hangat. Ia masuk ke dalam gerai, mengambil kopi, biskuit, kue, serta menyelesaikan pembayaran dan menemui Terry kembali di tempatnya semula.“Nih, silahkan nikmati,” katanya sembari mulai meletakkan roti dalam bungkusan plastik beserta kopi dalam kemasan botol plastik mungil ke depan Terry.Saat belum lagi menaruh semua, mendadak dari kanton
Dunia pekerjaan umumnya memang seperti itu. Banyak pegawai oportunis. Banyak orang bersifat hipokrit alias munafik. Pegawai oportunis merupakan orang-orang pemanfaat kesempatan ketika ada peluang mendapat tambahan pemasukan atau promosi. Perkara apakah itu terjadi dengan cara menginjak kepala orang lain, mereka tak peduli. Sedangkan pegawai hipokrit adalah mereka yang selalu mengiyakan apa kata atasan walau apa yang diperintahkan sebetulnya sampah atau tak ada gunanya.Perhatiannya kini tertuju pada Renty. Ia heran karena gadis itu berkali-kali terlihat gelisah di tempatnya. Gerak-geriknya seperti mencerminkan ada sesuatu yang salah yang sebentar lagi terjadi. Dari tempat dirinya duduk, posisi Renty hanya dua meter saja. Karena itulah ketika Renty bergerak, pasti akan sangat ketahuan oleh dirinya.‘Apa penyebab kegalauannya?’ tanyanya dalam hati.*Memiliki cucu di usia yang
Di sebuah sudut hotel yang sepi, Renty menelpon seseorang.“Dit, lu punya ecstasy atau apa gitu?”“Lho, sebetulnya lu mau nyimeng atau pake ecstasy?”“Gue udah liat kopernya. Sulit kalo mau disisip daun kayak ganja. Jadi gue nyari yang bentuknya lebih praktis. Mungkin shabu atau pil ecstasy. Lu ada kan?”“Gue ada paket shabu.”“Ada berapa paket?”“Lima. Tapi shabu lagi mahal.”“Sialan! Kirim lima-limanya kesini sekarang juga. Lu pikir gue gak sanggup bayar, hah?”“Sebetulnya...”“Ah banyak omong. Lu juga mau ancurin hidup Rania kan? Nah, gue juga mau. Dan kesempatan hanya ada hari ini. Setelah ini gak ada lagi karena Sanjay udah mau didepak.”Ucapan Renty itu benar. Mau tidak mau ia harus pergi sekarang juga sekali pun waktu menunjukkan dini hari.
Rania menerima telpon yang ternyata datang dari petugas hotel. Ia berbicara sebentar sebelum kemudian menutup telpon.“Aku keluar sebentar. Mau ke lobby.”“Ada perlu apa?”“Kata petugas konter ada titipan barang untuk aku.”Renty tersenyum ketika Rania hilang di balik pintu yang tertutup. Rencana yang tersimpan lama di benaknya mulai ia realisassikan saat itu juga. Secepat mungkin ia memeriksa koper yang Rania miliki. Ia melihat dan memperhatikan di beberapa titik. Di sisi kiri, kanan, depan, belakang, atas, bawah. Sampai kemudian ia memutuskan bahwa ada satu sudut di dalam koper yang secara rahasia bisa ia sisipkan sesuatu di dalamnya.*Kasus penemuan bayi di bak sampah semakin menimbulkan sensasi dengan banyaknya masyarakat yang mendatangi rumah Mama Lidya. Mbak Titiek, mbak Noni, dan beberapa tetangga sudah menemaninya dengan setia.