Waktu berlalu dengan cepat. Persidangan pun dimulai. Kali ini Sabrina datang dengan sangat semringah. Dia terus tersenyum mengamati semua orang. Membuat Arum sudah pasrah. Dia tidak akan pernah melihat Pandu terbebas, dan terlepas dari semua tuduhan yang sudah menderunya. Namun, kini Arum hanya bisa melihat bagaimana nanti Pandu dengan nasibnya hari ini.Kedua mata Arum kembali melebar ketika Pandu memasuki ruangan dan melambai ke arahnya. Mereka saling menatap walaupun dari kejauhan. Kerinduan meluap begitu saja. Walaupun hanya dengan pandangan, mereka terus saling memandang dengan tatapan hangat. Ingin sekali mendekat dan memeluk satu sama lain. Mengungkapkan perasaan cinta, serta bersentuhan. Tapi apalah daya. Semua itu tidak bisa dilakukan."Apa yang harus aku lakukan melihat suamiku seperti ini? Bahkan dia bisa saja di penjara selama belasan tahun. Tetapi aku akan tetap menunggunya. Walaupun kulitku nanti akan berkerut. Aku akan hidup selamanya, sampai kapanpun. Sampai maut memis
Kesaksian Joko membuat semua yang berada di dalam persidangan makin terkejut. Terutama Pandu bisa tersenyum mendengar pernyataan Joko dengan jelas. Dia sudah mengatakan kebenaran yang seharusnya diketahui oleh semua orang. Kini dia tidak akan pernah tersudut kembali dengan semua tuduhan palsu yang sudah ditetapkan kepadanya. Apalagi Arum semakin tersenyum, bahkan meneteskan air mata bahagia mendengar pengakuan Joko yang bisa membebaskan Pandu. Dari jeratan hukum yang bisa membuatnya sangat sengsara berada di dalam penjara selama puluhan tahun.Pengacara Sabrina tidak terima. Dia melakukan keberatan kepada hakim karena Joko tidak memiliki bukti apa pun dengan pernyataannya barusan."Pak Hakim. Saya keberatan. Dia tidak memiliki bukti dan itu hanya keluar dari mulutnya. Bisa saja dia mendapatkan tekanan dan sogokan untuk memberi pengakuan palsu kepada semua orang," ucapnya dengan tegas membuat Joko berdiri, membuktikan hasil tes kehamilan Sabrina yang sudah dia dapatkan saat mengantar S
Sarman mengangkat tangannya. Dia akan menyerang Joko yang masih saja bersaksi di tengah persidangan. Bahkan jalannya yang sangat cepat, tidak bisa membuat beberapa polisi mencegahnya.Wojo spontan mengarahkan tangannya kepada beberapa pesuruh yang masih duduk di belakangnya, untuk segera mendekat. Dengan cepat pesuruh itu berlari dan mencegah Sarman. Namun, Sarman terus meronta."Hentikan! Aku tidak akan pernah membuat dia bebas. Padahal kami sudah memberikan yang terbaik kepadanya. Kehidupan dan semuanya. Dia sudah menjadi pengkhianat dan tidak pantas untuk hidup!" teriak Sarman semakin kencang. Membuat semua semakin resah. Pandu tidak ambil diam. Dia juga berdiri dan berlari mendekati Sarman. Kemudian berusaha untuk melepaskan pistol yang berada digenggamannya.Sarman terus meronta. Beberapa polisi dan pesuruh Wojo sedikit menghindar karena Sarman terus mengarahkan pistol itu. Mereka sangat takut jika terkena lesatan pelurunya."Jangan pernah melakukan ini, Tuan. Anda akan mendapatk
Letusan suara peluru terdengar begitu kencang. Semua orang yang berada di dalam tempatku melihatnya. Mereka menyorot tajam Arum dan Selena yang berpelukan, hingga selang beberapa detik tubuh mereka terjatuh di lantai.Mereka semakin terpaku saat melihat darah mengalir di salah satu tubuh mereka. Arum yang saat itu terisak, masih bergetar memeluk Selena. Begitupun juga dengan Selena yang menatap Arum. "Tidak!" Wojo berlari mendekati mereka. Begitu juga dengan Pandu."Selena ... tidak!" teriak Wojo saat menariknya dan melihat ternyata peluru itu mengenai perut Selena. Dengan cepat Wojo mengarahkan tangan pada para pesuruhnya untuk mengangkat Selena dan membawanya ke mobil agar segera menuju ke rumah sakit."Cepat bawa istriku! Kita harus menuju ke rumah sakit. Kita tidak boleh terlambat. Aku tidak ingin kehilangan istriku," ucapnya dengan cukup keras. Para pesuruh itu segera mengangkat tubuh Selena. Wojo berdiri dengan bersimbah darah. Dia menatap Sarman dan mendekatinya. Lelaki itu ya
Arum bersama Saras dan Ardi yang berada di sebelah Wojo, berusaha untuk menenangkannya. Dengan cepat Ardi menarik Wojo dan mengajaknya ke pojok ruangan. "Sudahlah, kita akan membalas mereka. Tapi tidak untuk sekarang. Simpan dulu emosimu. Kau harus berdoa agar istrimu selamat. Itu yang harus kau pikirkan," ucap Ardi mendapatkan tampisan Wojo."Untuk apa aku harus tenang? Aku benar-benar sangat marah, Ardi. Aku tidak akan pernah memaafkan mereka, dan aku sudah melayangkan ke dalam perang. Mereka akan aku habisi, sangat ... perlahan. Begitu juga dengan semua usaha mereka dulu. Yah, aku selalu menghentikan aksiku karena aku melihat Arum. Sekarang, aku tidak mau melihat siapa pun. Entahlah itu harus bertarung dengan darah, aku tidak peduli," jawab Wojo segera pergi dari hadapan Ardi."Apa yang sudah dia katakan, Ardi? Aku mohon, hentikan dia. Aku tidak ingin masalah semakin rumit. Selena memang tertembak. Tapi itu tidak sengaja. Aku tahu perasaannya sangat sakit. Mungkin aku akan mengala
Pandu terus berpikir. Dia tidak ingin terjadi suatu hal buruk kepada keluarganya. Apalagi kekuasaan Wojo sangat tinggi. Dia bisa melakukan apa pun dalam sekejap. Perkataan Ardi barusan, seketika itu juga membuat jantungnya berdebar kencang. Apalagi Pandu mengetahui jika ayahnya memiliki penyakit jantung."Aku tidak akan pernah membiarkan hal buruk terjadi kepada keluargaku, Ardi. Aku harus menemui ayahku dan mengatakan, jika dia harus mencegah pertarungan ini. Dia tidak akan pernah menang melawan Wojo, Ardi," ucap Pandu sangat resah. Dia terus menepuk-nepuk jantungnya yang semakin berdetak hebat."Apakah kau bisa melakukannya? Sementara Romo selalu keras kepala dengan sikapnya itu. Semua ini bisa terselesaikan jika kau berpisah dengan Arum, Pandu. Kau tahu sendiri bagaimana Romo menentang hubungan kalian dan menciptakan semua keributan ini. Dia rela membuatmu terjebak dalam jebakkan Sabrina, demi kasta yang selalu dia pegang teguh itu."Pandu memegang kepalanya. Dia terus menggeleng d
Dengan deraian air mata, Arum berlari terus mencegah Wojo yang berjalan bersama amarahnya. Apalagi tangan kanannya sudah memegang sebuah senjata api yang siap untuk melesat kapan saja. Arum tidak ingin terjadi pertumpahan darah sekali lagi. Dia harus mencegah itu semua. Dengan cepat Arum melangkah, hingga tangannya mengulur dan menarik pundak Wojo. Yang membuat langkah lelaki itu terhenti."Romo. Aku mohon. Hentikan pertumparan darah ini. Aku sangat paham dengan apa yang menjadi perasaanmu. Kehilangan seseorang yang kau cintai, pasti akan menyakitkan. Bahkan tidak ada yang bisa mengobatinya. Tapi, aku mohon. Jangan biarkan dirimu terpendam dengan amarah. Sekali lagi hentikan ini semua, Romo. Aku mohon," ucap Arum kemudian bersujud di hadapan Wojo yang masih diam menatapnya dalam tegang."Wojo. Aku meminta maaf untuk keluargaku. Aku mohon. Dengarkan apa kata istriku ini. Tidak boleh terjadi genderang perang. Tidak boleh! Kau harus menghentikan. Aku sangat mohon kepadamu. Kau adalah lel
Pandu bersama Arum masih saja terdiam. Dia tidak bisa mencegah Wojo untuk mengurungkan niatnya pembalasan dendam itu yang akan segera dilaksanakannya."Kita harus bertemu dengan ayahmu Pandu. Kita harus menuju ke hotel itu. Ayo! Kita sudah kehabisan waktu. Kita tidak bisa menunggu lagi," ucap Arum kemudian berjalan cepat menuju ke dalam hotel, saat mobil Ardi sudah sampai di parkiran hotel tempat Romo menginap.Mereka berdua berjalan dengan tergesa-gesa. Sementara Ardi mengikutinya dari belakang. Mereka ingin sekali menyelesaikan masalah ini. Semua masalah yang semakin pelik terjadi.Keberuntungan memihak kepada mereka. Petugas hotel memberitahukan di mana letak kamar kedua orang tua Pandu. Seolah-olah Romo memang ingin menemui Pandu. Dia berjalan cepat menuju kamar orang tuanya sambil menahan hatinya yang bergejolak."Tunggu!" cegah Ardi membuat Pandu dan Arum tidak jadi mengetuk pintu kamar Romo."Apa pun yang terjadi kalian tetap harus sabar. Jangan pernah emosi karena aku tidak in