"Jadi ini adalah rencana kalian untuk menjebakku, ah?" Tatapan dingin mengisyaratkan keseriusan. Bahkan hembusan napasnya mengandung kemarahan dan dendam dalam satu waktu. Leonardo bergeming begitu juga dengan Malik, masih duduk santai di tempatnya sambil menikmati tontonan gratis yang tersaji. Kedatangannya memang untuk melihat-lihat saja. Namun, anak buah yang dibawa tidaklah main-main. Di kepung dari segala arah, tidak mematikan akal Tuan Muda dari keluarga Guan itu. Arsenio bergeming sambil menghitung jarak setiap anggota Setan Merah dan Kampak Kembar yang mengepung.Setiap incinya tidak luput dari perhatian. Satu per satu data bermunculan. Arsenio tersenyum miring dan bersorak kemenangan dalam hati, saat mendapati bahwa musuh yang ada di depan mata hanyalah mafia kelas rendah. Skill dan stamina mereka bukan apa-apa. Meski senjata yang mereka bawa laras panjang. Beberapa menit memindai data, "Sekarang!" Teriakan terdengar ambigu.Gerakan tanpa keraguan, Arsenio balik menggengga
"Tidak akan kubiarkan kau keluar dari tempat ini hidup-hidup!" Malik menghadang bersama beberapa anak buahnya yang bersenjata.Arsenio menahan tawa, "apa kau yakin, mampu menahanku lebih lama di sini?"Belum sempat Malik mengartikan sepenuhnya kalimat itu, Arsenio sudah lebih dulu berlari cepat ke arahnya. Kemudian telentang karena lantai yang dipijak begitu licin, memudahkan Arsenio meluncur meski tanpa alat sekalipun. Persis film-film di layar lebar. Ketika jarak hanya beberapa jengkal saja, Arsenio memutar kedua kakinya cepat. Kemudian berdiri dengan stabil. Di waktu bersamaan, dia melayangkan pukulan serta tinju kepada setiap anak buah Malik.Saking kerasnya pukulan dan tinju, mengakibatkan mereka kehilangan konsentrasi.Senjata yang dibawa seolah hanya hiasan belaka karena kenyataannya, tidak ada satu pun dari mereka yang berhasil menarik pelatuk. Gerakan bela diri Arsenio yang lincah, cepat dan mengandung banyak tenaga dalam, membuat mereka kesulitan menghindar. Ada yang mencob
Beberapa menit sebelum insiden mobil menerobos pembatas jalan dan terjun bebas ke sungai yang ada di bawahnya."Pergi kemana mereka?!" Sekuat tenaga dan pantang menyerah, Leonardo mengejar Arsenio yang sudah lebih dulu melarikan diri itu.Ingatan serta penglihatan yang dimiliki begitu tajam, sehingga ia hafal plat nomor mobil yang Arsenio dan Bastian kendarai. Kemampuan Leonardo dalam mengendarai mobil tidak kalah hebat, hampir menyamai pembalap F1, padahal tidak ada darah pembalap mengalir dalam raga. Leonardo menyalip kendaraan demi kendaraan di depannya tanpa kesulitan. Kecepatan mobilnya menembus angka 100 km/jam. Padahal kondisi jalanan malam ini cukup ramai. Leonardo tidak merasa risih sama sekali. Setiap incinya sudah diperhitungkan."Itu, mereka!" Leonardo berseri-seri karena setelah beberapa menit berlalu dan bergelut dengan jalanan beraspal Sky Blue City, ia melihat mobil Arsenio melaju cukup kencang juga.Leonardo tidak melepaskan kemudinya. Namun, ia juga tidak mengalihk
"Ada apa ini? Mengapa kalian berkumpul di sini?"Pertanyaan tersebut, sontak membuat panik semua orang. Terutama Arsenio, baru saja keluar dari rumah sakit dua hari yang lalu, kini sudah mengalami cidera lagi. Entah bagaimana reaksi sang ayah setelah melihatnya?Alexander Guan memasuki ruangan dengan dibantu Cale karena beliau duduk di kursi roda. Pria paruh baya itu, baru saja pulang setelah perjalanan bisnis beberapa hari terakhir.Raut wajah Alexander Guan, seketika berubah tatkala melihat Arsenio bertelanjang dada, tepat di belakangnya ada Bastian, serta beberapa kotak obat tergeletak di atas meja, menimbulkan pertanyaan besar di benak."Apa yang terjadi?" Pertanyaan yang sama lolos begitu cepat dari mulut Alexander Guan. Semua tertunduk kecuali Arsenio."Ayah ... Ayah sudah pulang." Langkahnya tertatih-tatih dan terseok tanpa dibantu Bastian karena ia yang meminta, lalu menghampiri Alexander Guan yang berjarak lima meter di sana. "Mengapa jalanmu seperti orang pincang?"Pertany
"Bagaimana bisa, notifikasi itu muncul berbarengan dengan aku menyatakan perang kepada Malik di hadapan Ayah?" Pertanyaan yang mengusik pikiran. Namun, coba untuk dilupakan sejenak.Tubuh yang sudah sangat lelah, terasa lebih segar saat berendam dalam air hangat. Pikiran coba dinetralisir supaya lebih tenang."Ah, rasanya segar sekali ..." Arsenio berdecak sambil memejamkan mata. Merasakan setiap sistem sarafnya mulai kendur. Bukan apa-apa, pertarungan di Casino, sungguh menguras tenaga dan pikiran. Kondisi yang memang belum pulih sepenuhnya, serta jam terbang yang belum banyak, menjadi kendala besar. Salah satunya saat melompat dari lantai lima hotel Berlian. Arsenio membuka matanya. Mengubah posisi menjadi duduk dan bersandar. Teringat satu hal yang tiba-tiba mengusik isi kepala. "Mengapa notifikasi soal Casino itu, tidak ada? Seharusnya aku mendapatkan hadiah karena sudah menang?"Keningnya mengerut sehingga ada beberapa guratan di wajah. "Apa sistemnya eror?"Bukan itu saja yang
Di tempat terpisah, sesaat setelah Malik menghubungi Alexander Guan. "Kau mendengarnya sendiri bukan? Aku sudah melakukan apa yang kau perintahkan. Jadi, lepaskan adikku sekarang juga!" tegas Malik, sambil melempar ponselnya ke atas meja. Geram disertai marah. Tatapan nanar itu, diarahkan pada sosok pemuda tiga puluh tahun yang tak memiliki hati dan perasaan.Leonardo beringsut dari sofa, mengeluarkan ponsel dari saku celana. Kemudian menekan satu kontak dari ribuan nomor yang tersimpan.[Cepat, lepaskan gadis payah itu!]Leonardo begitu saja mengakhiri sambungan telponnya. "Kau dengar? Aku sudah meminta anak buahku untuk melepaskan adik tersayangmu itu." Dia berkata dengan nada mengejek.Malik mengepalkan sebelah tangannya. Leonardo melirik dan tersenyum miring. "Ingat! Kerja keras kita belumlah selesai sampai di sini. Aku bisa melakukan lebih dari ini, jika kau berani berkhianat!" ancamnya, sebelum akhirnya melenggang pergi dari ruangan tersebut. Malik masih terpaku di posisinya.
Beberapa hari telah berlalu. Kondisi Arsenio pun telah pulih sepenuhnya. Kejadian di Hotel Berlian, akan menjadi pembelajaran sangat berarti bagi Tuan Muda Keluarga Guan itu.Melompat dari ketinggian, bukanlah cara yang ampuh untuk meloloskan diri. Akan tetapi, jika sudah sangat mendesak, tidak salahnya untuk dicoba. Hari ini Arsenio memilih outfit santai. Kaos polos lengan pendek warna hitam, celana yang panjangnya hanya sebatas lutut warna coklat muda. Sedangkan Bastian, kali ini pun berpenampilan cukup berbeda. Mungkin biasanya, kemeja putih, jas hitam dan celana panjang, selalu melekat di tubuh Bastian, tapi untuk sekarang, Arsenio ingin Bastian bergaya santai. Kemeja lengan pendek, tapi celana tetap panjang. "Sepuluh hari berlalu, bagaimana kabar All Star Group sekarang? Kapan Ayah membuka All Star Group lagi?" tanya Arsenio santai sambil menyeruput secangkir kopi, tepat di tepi kolam renang. "Tuan Alex, masih belum mengatakan apa-apa soal membuka kembali gedung All Star Grou
"Mau pergi kemana kamu, buru-buru sekali?" tanya Alexander Guan penasaran, ketika melihat Arsenio menuruni anak-anak tangga dengan langkah tergesa-gesa. Pakaiannya pun sangat rapi, seakan ada acara penting yang harus dihadiri. Namun, saat berada di ujung anak tangga, Arsenio bungkam dan gelagapan. Bola matanya bergerak cepat ke kiri dan kanan. Seolah sedang berusaha menyembunyikan sesuatu."Kenapa diam? Sebenarnya kamu mau pergi kemana? Di mana Bastian? Mengapa tidak bersama kamu?" cecar Alexander Guan meradang, lantaran tidak ada sepatah katapun yang terucap dari mulut putra semata wayangnya itu.Bastian yang selalu menempel di sisi Arsenio, memang tidak menunjukkan batang hidungnya. Alexander Guan, mempertanyakan hal tersebut. "Saya di sini, Tuan." Bastian datang dari arah belakang. Langkahnya terhenti satu meter dari Arsenio dan yang lainnya. Sebelum Arsenio bisa menjawab, Bastian sudah lebih dulu berkata. Pembawa Bastian yang tenang, tidak memudahkan seseorang untuk bisa meneb
Hari berikutnya. Arsenio menaklukkan X One di Bandara internasional, yang hendak melarikan diri ke luar negeri. Di hari itu juga, Organisasi yang selama ini dipimpin X One pun ditaklukkan. Mereka tidak bisa berkutik lantaran pemimpin mereka telah ditangkap.Pada akhirnya, Arsenio pun menjadi penguasa Tiga Wilayah Bagian, seperti yang telah kakeknya janjikan. Sebagaimana seharusnya, pewaris utama keluarga Guan, yang akan memimpin Tiga Wilayah Bagian. Sejak hari itu, Arsenio mulai berbenah. Dia membentuk Organisasi Naga Merah yang lebih kuat lagi, kokoh dan sedikit berbeda dari yang dipimpin Alexander Guan sebelumnya.Arsenio membuat banyak perubahan di mana-mana. Berkat kontribusinya itu, semua orang di Tiga Wilayah Bagian tersenyum. Tidak ada yang tidak mengenal Arsenio sekarang.Arsenio pun mulai mempersiapkan pernikahannya dengan Anindira. Tepat dua bulan setelah Luke Mallory tiada. Pernikahan yang telah nantikan itu akan segera terwujud.Satu hari sebelum pernikahan. Malam harinya
"Kejutan!" Suara Elsa begitu nyaring dan sangat melekat di telinga Arsenio.Siapa yang menduga, bom yang dimaksud Luke Mallory sebelum ia menghembuskan napas terakhirnya, adalah Elsa. Arsenio tidak habis pikir. Jika ia tahu, mungkin gadis itu sudah berpindah dunia kemarin. "Ada apa dengan ekspresimu, Kak? Apa kau terkejut melihatku seperti ini?" sambungnya berpura-pura polos, seolah tak terjadi apa-apa.Dia memah pandai bermain sandiwara. Kemarin Elsa berlagak layaknya seseorang yang sangat menderita. Mampu, menarik simpati Arsenio dan yang lainnya. Namun, sekarang? Elsa seperti serigala yang menyusup ke dalam gerombolan domba, lalu siap menerkam mereka.Arsenio bergeming. Dia terlalu cepat untuk mempercayai seseorang tanpa mencari tahu asal usulnya lebih jauh. Sampai akhirnya ia berada di ujung jurang karena rasa kepercayaannya itu, tapi semua ini tidak bisa ia sesali terus menerus. "Kenapa kau diam, Kak? Bukankah kau selalu saja banyak bicara ini dan itu? Kau terus saja berkata, b
Arsenio berlari ke ruang perawatan. Dia mendapat kabar bahwa Elsa telah sadar. Dia bersyukur karena operasi pengangkatan cip itu berhasil. Bruk ...Pintu dibuka secara kencang, hingga menciptakan suara nyaring, sontak membuat dua gadis di dalamnya tersentak kaget."Arsenio ...""Kak Arsenio ..."Keduanya menyebut nama sang pria di waktu bersamaan. Terdengar kompak. Arsenio bernapas lega setelahnya. Lantaran dua wanita yang ia sayangi, ternyata baik-baik saja.Terutama saat melihat senyuman Anindira, selalu membuat hatinya tenang. "Kalian baik-baik saja bukan?" tanya Arsenio pada keduanya. "Iya, Kak Arsenio."Anindira ingin menjawab juga. Namun, dia kalah cepat dengan Elsa yang sudah lebih dulu berucap. Anindira pun hanya diam dan menunggu giliran ia berkata.Pandangan Arsenio lurus pada Anindira dan begitu juga senyuman. Ya, meskipun tangannya mengelus kepala Elsa."Lantas bagaimana dengan Kak Arsenio? Apa kakak berhasil menyelamatkan teman-temanku? Aku mendengar cerita Kak Anindir
"Kapan pengirimannya?" Terlihat Luke Mallory sedang berada di sebuah ruangan, lebih disebut sebagai gudang karena banyak tumpukan kardus terbengkalai di sana.Jaring laba-laba menjadi penghias di setiap sudut ruangan. Lubang angin pun sudah tertutup debu yang sangat tebal.Lantai yang dipijak pun bukan dari keramik, melainkan masih lapisan pasir. "Pengirimannya akan dilakukan sore ini, Bos. Ketua Bulan Darah, yang akan mengantarnya sendiri," jawab salah satu anak buahnya, tertunduk ke bawah."Bagus. Para investor kita sudah banyak menanyakan soal anak-anak itu, yang akan mereka pekerjaan sebagai penari di club-club malam."Luke Mallory tersenyum sinis. Mengayunkan kakinya santai sambil menyesap sepuntung rokok yang hendak habis."Lantas, apa kalian sudah mendapatkan informasi tentang Arsenio?"Tiba-tiba dia membahas soal Tuan Muda keluarga Guan itu. Setiap saat dirinya tidak bisa tidur, terus saja terbayang-bayang bajah pemuda tiga puluh tahun, yang telah membunuh Leonardo. "Kami be
"Sebenarnya, Kak Arsenio ini, siapa? Mengapa kakak bisa masuk ke rumah besar itu? Memangnya rumah itu, milik kakak juga?"Pertanyaan Elsa, sontak membuat Arsenio menghela napas berat. Sebenarnya dia ingin menyembunyikan identitasnya yang tidak lain adalah Pewaris Utama Keluarga Guan, dari Elsa. Namun, sepertinya keadaan yang telah memaksa ia untuk berkata jujur."Rumah mewah itu milik ayahku. Sebenarnya aku ini, pewaris utama keluarga Guan. Arsenio Bagas Guan. Putra satu-satunya Alexander Guan," beber Arsenio ragu. Dia tidak yakin momentumnya pas untuk mengungkapkan identitas. Elsa menatapnya sangat lama dan tanpa kata, seolah kalimat tadi adalah mantra yang mengutuknya menjadi patung batu. "Elsa?" Panggilan Arsenio menyadarkan gadis cantik dua puluh tahun itu, dari diamnya. "Mengapa sejak awal Kak Arsenio tidak jujur padaku?" Elsa mengubah posisi duduknya yang semula sedikit menghadap Arsenio, kini melihat keluar jendela."Aku tidak suka orang yang berkata bohong," sambungnya kesa
Arsenio pun kembali ke rumah. Kemarin malam ia tidak pulang karena menemani Elsa. "Tuan Muda. Kemana saja Anda kemarin malam?" tanya Bastian, yang langsung mencecar. "Tuan, terus mencari Anda. Mengapa ponsel Anda tidak aktif? Sebenarnya pergi kemana Anda, Tuan Muda?"Arsenio menghela napas panjang, "ada hal yang sedang kuurus. Sekarang aku minta padamu untuk mencari informasi tentang Organisasi Bulan Darah.""Bulan Darah?" Bastian menautkan sebelah alisnya. "Bukankah organisasi itu sudah hilang. Lantas, untuk apa, Anda mencari informasi tentang mereka lagi?""Aku akan jelaskan nanti. Sekarang, aku ingin menemui ayah. Di mana Ayah?" "Tuan Alexander ada di ruangannya." Setelah mendengar kalimat itu, Arsenio buru-buru menaiki anak-anak tangga, menuju lantai dua.Arsenio pun langsung masuk ke ruangan itu tanpa mengetuk pintunya lebih dulu."Ayah," kata Arsenio terkesan buru-buru."Arsenio. Kemana saja kamu, Nak?" tanya Alexander Guan cemas. Sampai bangu dari tempat duduknya. "Aku ber
Entah mengapa, Arsenio merasa ingin berlama-lama di tempat ini. Seolah sesuatu sedang menunggunya dan takdir ingin dirinya menemukan itu.Arsenio pun mengunjungi ayahnya dan mengatakan bahwa ia akan pulang setelah makan siang. Sesaat setelah itu, Arsenio melihat sesuatu yang membuat aliran darahnya mendidih lagi. "Hei, kalian yang berkelahi di sana! Apa yang kalian lakukan di depan umum seperti ini?!" "Ayo cepat pergi!!" ucap seorang pelaku mendorong rekannya untuk kabur dari sana.Arsenio berseru. Namun, sebelum ia bisa melanjutkan aksinya, dua pria yang lagi-lagi sedang mengeroyok anak kecil itu, pergi. Kali ini bukan gadis yang Arsenio selamatkan sebelum."Hei kalian--Ck!!" Arsenio berdecak dengan kepalan tangan meninju udara. Tindakannya itu, mendapat teguran dari dua pria berseragam keamanan. Dari yang Arsenio lihat, sepertinya mereka sedang melakukan patroli rutin. "Kau?! Lagi-lagi membuat keributan di sini, apa tak kapok?!" ucap salah seorang petugas keamanan itu yang ter
Hari berikutnya. Arsenio pun melaju dengan kecepatan tinggi dengan motornya. Sudah cukup lama ia tidak berpacu di atas kuda besinya itu. Semenjak menjadi Tuan Muda keluarga Guan, ia tidak lagi mengendarai motor.Arsenio membelah keramaian kota Sky Blue City. Menyalip kendaraan yang ada di depannya dengan mudah.Setelah berpacu kecepatan di jalanan selama tiga puluh menit, Arsenio pun menghentikan laju motornya tepat di depan gerbang pemakaman keluarga. Arsenio turun dari motor, tidak lupa dia membawa satu buket bunga mawar putih yang sangat indah dan harum.Arsenio berjalan memasuki makam dan berhenti tepat di samping pusaran yang bertuliskan nama Clarissa di atasnya. Dia membuka kacamata hitam yang sedari tadi melekat di wajahnya. "Selamat pagi, Bu. Maafkan Arsenio yang baru mengunjungi ibu lagi."Arsenio meletakkan buket bunga itu di atas makam Clarissa. Sekuat tenaga dia memendung emosi, yang coba menerobos pertahanannya."Ibu suka mawar putih bukan? Kali ini Arsenio bawakan mawa
Satu Minggu berikutnya. Kondisi Arsenio telah pulih sepenuhnya. Bastian pun mengajak Arsenio untuk menemui anak-anak di tempat sosial, yang dibangun oleh Alexander Guan.Arsenio berjalan santai sambil melihat-lihat sekelilingnya, yang dipenuhi suara tawa anak-anak. Koridor ini, mengingatkan Arsenio pada sekolah dasarnya dulu. Hanya saja, saat ia bersekolah tidak ada tawa yang seperti ini. Setiap kali dirinya berjalan, maka teman-teman sebayanya langsung menghindar. Seolah dirinya monster yang tidak pantas untuk didekati. Melihat anak-anak bisa tertawa lepas tanpa beban, meskipun tidak memiliki orang tua, membuat Arsenio merasa tenang. Ada kebahagiaan yang sulit ia gambarkan dalam lembaran kata-kata. Setidaknya di tempat ini, mereka tidak merasa kesepian. "Tuan Alexander Guan membangun tempat ini, tepat satu bulan setelah meninggalnya Nyonya Clarissa. Tuan Alexander Guan, sangat terluka saat itu, terlebih lagi dia harus berpisah dengan putranya, yaitu Anda, Tuan Muda. Sebelum memban