"Siapa dia?" tanya Malik, saat saling berhadapan dengan Arsenio.Tatapan Arsenio yang meneduhkan, tapi mengandung makna tersirat itu, membuat siapa pun yang menatap maniknya akan merasa seperti diperhatikan setiap detiknya. Seolah tidak ada satu pun hal, yang bisa lepas dari pandangannya. "Perkenalkan, namaku Arsenio."Pemuda tiga puluh tahun itu, tanpa ragu mengulurkan tangan kanan, menyebutkan nama, meskipun tidak lengkap. Sengaja. Demi keamanan. "Dia adalah kekasihku, Kak." Elisha menimpali sambil merangkul pinggang Arsenio mesra. "Bukankah, kekasihmu dulu adalah Felix?" tanya Malik sembari melipat kedua tangan di dada, sejurus dengan tatapan tajam mengarah pada Arsenio, dari ujung rambut hingga ujung kaki.Arsenio mengepalkan tangan kanannya ketika nama Felix disebut. "Tidak! Aku dan Felix hanya berteman saja. Lagi pula, sejak awal aku memang sudah berkencan dengan Arsenio. Hubungan kami sudah berjalan satu tahun lebih. Benarkan, Sayang?"Elisha melirik sepintas pemuda tampan
"Selamat pagi, Tuan." Seorang wanita empat puluhan tahun, menyapa seramah mungkin."Pagi. Buatkan aku, secangkir kopi. Antarkan ke ruanganku. Cepat!" titah Leonardo, yang baru saja keluar dari kamarnya. Kemeja hitam yang tidak dikancing dan sedikit digulung, celana panjang, arloji melingkar di lengan kiri. Rambut yang sudah tertata rapi dan aroma parfum khas laki-laki. Oh, sungguh penampilan luar biasa. Siapa pun yang melihatnya pasti terpana akan paras tampannya. "Baik, Tuan." Wanita itu mengangguk. Kemudian bergegas pergi ke dapur untuk membuatkan secangkir kopi favorit Leonardo.Sementara, Leonardo memasuki ruangan kerja pribadi, yang di mana seluruh barang-barang berharga, tersimpan di sana. Acap kali digunakan untuk pertemuan dan rapat.Leonardo duduk, kemudian membuka laptopnya. Dilihat itu, layar laptop. Kesepuluh jarinya bermain indah di atas keyboard. Raut wajahnya begitu serius sampai tidak berkedip, saat membaca beberapa laporan yang masuk.Beberapa menit telah berlalu. Pe
Arsenio pun duduk bersebelahan dengan ayah biologisnya untuk pertama kali semasa hidupnya. Sangat canggung. Arsenio kesulitan mencari topik pembicaraan, sehingga ia memilih untuk melihat keluar jendela saja. Namun, tidak dengan Alexander Guan."Kamu tahu bukan, bahwa perusahaan kita sedang mengembangkan game terbaru?" tanya Alexander Guan membuka pembicaraan, guna mencairkan suasana yang canggung itu."Iya, Ayah. Aku sudah mengetahuinya sejak awal aku masuk ke perusahaan. Bastian sudah menjelaskan semuanya dan aku hanya mempelajarinya saja," jawab Arsenio santai sambil melipat kedua tangan di dada.Bastian menjadi pengemudi, sedangkan Cale duduk di sebelahnya."Bagus, kalau kau cepat belajar. Ayah senang karena kembalinya dirimu ke Keluarga Guan, membawa dampak baik. Beberapa saham kita terus saja naik, itu berkat kerja kerasmu dalam beberapa waktu terakhir."Alexander Guan melontarkan kalimat pujian dan ditanggapi dengan sebuah senyuman manis dari Arsenio.Perlahan tapi pasti, suas
Arsenio membawa Elisha menuju restoran tempatnya bekerja dulu. Elisha sedikit berkeringat. Ia ingat betul, apa yang telah terjadi di restoran itu dulu. Hinaan terhadap Arsenio, tetapi dia malah mendapatkan rasa malu yang sulit dilupakan begitu saja.Bahkan Felix pun mendapatkan hinaan juga hari itu. Wajahnya babak belur akibat mendapatkan pukulan keras dari Arsenio."Ayo, Sayang! Kita sudah sampai." Arsenio mengulurkan tangannya, untuk mengandeng sang wanita cantik itu."Apa kamu yakin ingin makan di sini? Bisakah kita cari restoran lain saja?" Elisha ragu untuk meraih tangan Arsenio, mengingat ia, telah menorehkan memori buruk terhadap Arsenio. "Tentu saja aku yakin. Memangnya, kenapa kalau kita makan di sini? Aku ingin sekali bertemu mantan bosku di sini. Lagi pun, makanan di sini tidak terlalu buruk." Arsenio berkata dengan penuh rasa percaya diri.Dia tersenyum penuh kemenangan setelah melihat raut wajah Elisha yang berkeringat dan pucat. Seperti seseorang yang kehilangan banyak
Hari berikutnya, yang dinanti-nanti tiba juga. Distrik Sentiong, kilometer 45. Malik dan beberapa anak buahnya sedang berjibaku memasukkan senjata ke kotak besar berlapis baja itu."Pastikan, semuanya tidak ada yang tertinggal!" tegas Malik, memacu semangat anak buahnya."Baik, Bos!" Mereka menjawab serentak dengan semangat api membara di dalam raga.Setiap dua bulan sekali, Malik akan mengirimkan persenjataan ke Distrik Karang Cetak. Satu persatu, kotak mulai terisi penuh dengan senjata sesuai rencana. Bukan hanya persenjataan saja yang menjadi pengiriman hari ini. Ada batang-batangan emas dengan berat 50 kilogram per batang, akan dikirimkan hari ini juga. Total ada satu ton emas dan lima ratus senjata api yang akan dikirim ke Distrik Karang Cetak. Jumlahnya lebih besar dari pengiriman sebelumnya.Butuh waktu satu jam untuk mengemasi semuanya. "Apa semuanya sudah rapih? Pastikan, tidak ada emas dan senjata yang tertinggal!" teriak Malik untuk memastikan."Semuanya sudah siap, Bos.
"Bagiamana, keadaanmu sekarang? Siapa yang sudah melakukan ini semua, membuatmu harus berakhir begini?"Elisha yang mendapat kabar bahwa Malik diserang dan dilarikan ke rumah sakit terdekat pun, langsung datang menjenguk. Jarak bukan jadi masalah. Kini Elisha sudah duduk tepat di samping Malik yang terbaring lemas tak berdaya di ranjang empuk rumah sakit.Elisha tidak bisa menyembunyikan kecemasannya. Saudara kandung mana, yang tidak khawatir melihat kakak kesayangannya mengalami kecelakaan?"Aku baik. Hanya luka kecil saja," balas Malik bernada candaan."Kecil apanya? Kakak hampir kehilangan nyawa, seandainya tidak buru-buru mendapatkan pertolongan pertama," omel Elisha bercampur cemas.Malik terkekeh kecil, lalu mengacak-acak puncak rambut adik tersayangnya itu. "Aku baik. Jangan mencemaskanku berlebih seperti itu. Tidak ada yang bisa melukaiku. Percayalah!""Tidak bisa dilukai bagaimana? Kau sendiri berkahir di rumah sakit sekarang." Elisha sedikit menggembungkan pipinya dan melipa
[NEW QUEST][Berlatih bela diri dan tingkatkan terus skill serta stamina.][Hadiah kejutan menantimu]***Arsenio sejak pagi-pagi buta, sudah berada di ruang gim. Melakukan olahraga kecil. Terlebih dahulu dia melakukan pemanasan. Melemaskan otot-otot yang tegang.Dirasa otot-ototnya sudah lemas dan lentur, barulah Arsenio mencoba angkat besi. Mulai dari beban yang kecil hingga yang paling berat 100 kilogram. Tentu dengan pengawasan pelatih dan Bastian di sana. Setelah puas angkat beban berat guna membentuk otot-otot lengan dan perut, kini Arsenio beralih berlari-lari kecil di atas treadmill. Keringan bercucur deras di wajah dan seluruh tubuhnya. Aroma yang tercium memacu semangat Arsenio demi menaklukkan misi kali ini. "Ini, minum Anda, Tuan Muda." Bastian menyodorkan segelas jus alpukat yang menjadi favorit Arsenio.Tiga puluh menit berlalu. Arsenio pun mengistirahatkan tubuhnya. Duduk di kursi bersantai sambil mengelap keringat menggunakan handuk kecil. "Terima kasih." Arsenio me
DOOOORRRR ...Peluru itu melesat cepat dan tepat mengenai sasaran hanya dalam hitungan detik saja."Tembakan yang luar biasa, Tuan Muda. Anda semakin hebat saja dalam menembak," puji Bastian tulus."Ah, kau ini bisa saja, Bastian. terima kasih pujianmu. Sebenarnya, aku masih belum sepenuhnya menguasai senjata ini." Arsenio melepaskan pengaman telinga, mata dan sarung tangan yang melekat di tubuhnya. "Senjata yang kugunakan sekarang jenis baru dan daya tembakan yang dihasilkan pun sungguh luar biasa. Aku tidak yakin, jika di luar akan mampu mengimbangi kekuatannya."Arsenio juga menyerahkan senjata api jenis FN 200, yang baru saja ia gunakan itu, kepada Bastian."FN 200 memang jenis terbaru, Tuan Muda. Jenis ini belum banyak di pasaran. Tuan Alex membeli ini beberapa bulan lalu dan baru menggunakannya satu kali, sebelum ia jatuh sakit," terang Bastian. Arsenio mengangguk pelan sambil membuka mulutnya membentuk huruf o kecil."Oh iya, apakah, Tuanku ingin minum sesuatu?" tawar Bastia
Hari berikutnya. Arsenio menaklukkan X One di Bandara internasional, yang hendak melarikan diri ke luar negeri. Di hari itu juga, Organisasi yang selama ini dipimpin X One pun ditaklukkan. Mereka tidak bisa berkutik lantaran pemimpin mereka telah ditangkap.Pada akhirnya, Arsenio pun menjadi penguasa Tiga Wilayah Bagian, seperti yang telah kakeknya janjikan. Sebagaimana seharusnya, pewaris utama keluarga Guan, yang akan memimpin Tiga Wilayah Bagian. Sejak hari itu, Arsenio mulai berbenah. Dia membentuk Organisasi Naga Merah yang lebih kuat lagi, kokoh dan sedikit berbeda dari yang dipimpin Alexander Guan sebelumnya.Arsenio membuat banyak perubahan di mana-mana. Berkat kontribusinya itu, semua orang di Tiga Wilayah Bagian tersenyum. Tidak ada yang tidak mengenal Arsenio sekarang.Arsenio pun mulai mempersiapkan pernikahannya dengan Anindira. Tepat dua bulan setelah Luke Mallory tiada. Pernikahan yang telah nantikan itu akan segera terwujud.Satu hari sebelum pernikahan. Malam harinya
"Kejutan!" Suara Elsa begitu nyaring dan sangat melekat di telinga Arsenio.Siapa yang menduga, bom yang dimaksud Luke Mallory sebelum ia menghembuskan napas terakhirnya, adalah Elsa. Arsenio tidak habis pikir. Jika ia tahu, mungkin gadis itu sudah berpindah dunia kemarin. "Ada apa dengan ekspresimu, Kak? Apa kau terkejut melihatku seperti ini?" sambungnya berpura-pura polos, seolah tak terjadi apa-apa.Dia memah pandai bermain sandiwara. Kemarin Elsa berlagak layaknya seseorang yang sangat menderita. Mampu, menarik simpati Arsenio dan yang lainnya. Namun, sekarang? Elsa seperti serigala yang menyusup ke dalam gerombolan domba, lalu siap menerkam mereka.Arsenio bergeming. Dia terlalu cepat untuk mempercayai seseorang tanpa mencari tahu asal usulnya lebih jauh. Sampai akhirnya ia berada di ujung jurang karena rasa kepercayaannya itu, tapi semua ini tidak bisa ia sesali terus menerus. "Kenapa kau diam, Kak? Bukankah kau selalu saja banyak bicara ini dan itu? Kau terus saja berkata, b
Arsenio berlari ke ruang perawatan. Dia mendapat kabar bahwa Elsa telah sadar. Dia bersyukur karena operasi pengangkatan cip itu berhasil. Bruk ...Pintu dibuka secara kencang, hingga menciptakan suara nyaring, sontak membuat dua gadis di dalamnya tersentak kaget."Arsenio ...""Kak Arsenio ..."Keduanya menyebut nama sang pria di waktu bersamaan. Terdengar kompak. Arsenio bernapas lega setelahnya. Lantaran dua wanita yang ia sayangi, ternyata baik-baik saja.Terutama saat melihat senyuman Anindira, selalu membuat hatinya tenang. "Kalian baik-baik saja bukan?" tanya Arsenio pada keduanya. "Iya, Kak Arsenio."Anindira ingin menjawab juga. Namun, dia kalah cepat dengan Elsa yang sudah lebih dulu berucap. Anindira pun hanya diam dan menunggu giliran ia berkata.Pandangan Arsenio lurus pada Anindira dan begitu juga senyuman. Ya, meskipun tangannya mengelus kepala Elsa."Lantas bagaimana dengan Kak Arsenio? Apa kakak berhasil menyelamatkan teman-temanku? Aku mendengar cerita Kak Anindir
"Kapan pengirimannya?" Terlihat Luke Mallory sedang berada di sebuah ruangan, lebih disebut sebagai gudang karena banyak tumpukan kardus terbengkalai di sana.Jaring laba-laba menjadi penghias di setiap sudut ruangan. Lubang angin pun sudah tertutup debu yang sangat tebal.Lantai yang dipijak pun bukan dari keramik, melainkan masih lapisan pasir. "Pengirimannya akan dilakukan sore ini, Bos. Ketua Bulan Darah, yang akan mengantarnya sendiri," jawab salah satu anak buahnya, tertunduk ke bawah."Bagus. Para investor kita sudah banyak menanyakan soal anak-anak itu, yang akan mereka pekerjaan sebagai penari di club-club malam."Luke Mallory tersenyum sinis. Mengayunkan kakinya santai sambil menyesap sepuntung rokok yang hendak habis."Lantas, apa kalian sudah mendapatkan informasi tentang Arsenio?"Tiba-tiba dia membahas soal Tuan Muda keluarga Guan itu. Setiap saat dirinya tidak bisa tidur, terus saja terbayang-bayang bajah pemuda tiga puluh tahun, yang telah membunuh Leonardo. "Kami be
"Sebenarnya, Kak Arsenio ini, siapa? Mengapa kakak bisa masuk ke rumah besar itu? Memangnya rumah itu, milik kakak juga?"Pertanyaan Elsa, sontak membuat Arsenio menghela napas berat. Sebenarnya dia ingin menyembunyikan identitasnya yang tidak lain adalah Pewaris Utama Keluarga Guan, dari Elsa. Namun, sepertinya keadaan yang telah memaksa ia untuk berkata jujur."Rumah mewah itu milik ayahku. Sebenarnya aku ini, pewaris utama keluarga Guan. Arsenio Bagas Guan. Putra satu-satunya Alexander Guan," beber Arsenio ragu. Dia tidak yakin momentumnya pas untuk mengungkapkan identitas. Elsa menatapnya sangat lama dan tanpa kata, seolah kalimat tadi adalah mantra yang mengutuknya menjadi patung batu. "Elsa?" Panggilan Arsenio menyadarkan gadis cantik dua puluh tahun itu, dari diamnya. "Mengapa sejak awal Kak Arsenio tidak jujur padaku?" Elsa mengubah posisi duduknya yang semula sedikit menghadap Arsenio, kini melihat keluar jendela."Aku tidak suka orang yang berkata bohong," sambungnya kesa
Arsenio pun kembali ke rumah. Kemarin malam ia tidak pulang karena menemani Elsa. "Tuan Muda. Kemana saja Anda kemarin malam?" tanya Bastian, yang langsung mencecar. "Tuan, terus mencari Anda. Mengapa ponsel Anda tidak aktif? Sebenarnya pergi kemana Anda, Tuan Muda?"Arsenio menghela napas panjang, "ada hal yang sedang kuurus. Sekarang aku minta padamu untuk mencari informasi tentang Organisasi Bulan Darah.""Bulan Darah?" Bastian menautkan sebelah alisnya. "Bukankah organisasi itu sudah hilang. Lantas, untuk apa, Anda mencari informasi tentang mereka lagi?""Aku akan jelaskan nanti. Sekarang, aku ingin menemui ayah. Di mana Ayah?" "Tuan Alexander ada di ruangannya." Setelah mendengar kalimat itu, Arsenio buru-buru menaiki anak-anak tangga, menuju lantai dua.Arsenio pun langsung masuk ke ruangan itu tanpa mengetuk pintunya lebih dulu."Ayah," kata Arsenio terkesan buru-buru."Arsenio. Kemana saja kamu, Nak?" tanya Alexander Guan cemas. Sampai bangu dari tempat duduknya. "Aku ber
Entah mengapa, Arsenio merasa ingin berlama-lama di tempat ini. Seolah sesuatu sedang menunggunya dan takdir ingin dirinya menemukan itu.Arsenio pun mengunjungi ayahnya dan mengatakan bahwa ia akan pulang setelah makan siang. Sesaat setelah itu, Arsenio melihat sesuatu yang membuat aliran darahnya mendidih lagi. "Hei, kalian yang berkelahi di sana! Apa yang kalian lakukan di depan umum seperti ini?!" "Ayo cepat pergi!!" ucap seorang pelaku mendorong rekannya untuk kabur dari sana.Arsenio berseru. Namun, sebelum ia bisa melanjutkan aksinya, dua pria yang lagi-lagi sedang mengeroyok anak kecil itu, pergi. Kali ini bukan gadis yang Arsenio selamatkan sebelum."Hei kalian--Ck!!" Arsenio berdecak dengan kepalan tangan meninju udara. Tindakannya itu, mendapat teguran dari dua pria berseragam keamanan. Dari yang Arsenio lihat, sepertinya mereka sedang melakukan patroli rutin. "Kau?! Lagi-lagi membuat keributan di sini, apa tak kapok?!" ucap salah seorang petugas keamanan itu yang ter
Hari berikutnya. Arsenio pun melaju dengan kecepatan tinggi dengan motornya. Sudah cukup lama ia tidak berpacu di atas kuda besinya itu. Semenjak menjadi Tuan Muda keluarga Guan, ia tidak lagi mengendarai motor.Arsenio membelah keramaian kota Sky Blue City. Menyalip kendaraan yang ada di depannya dengan mudah.Setelah berpacu kecepatan di jalanan selama tiga puluh menit, Arsenio pun menghentikan laju motornya tepat di depan gerbang pemakaman keluarga. Arsenio turun dari motor, tidak lupa dia membawa satu buket bunga mawar putih yang sangat indah dan harum.Arsenio berjalan memasuki makam dan berhenti tepat di samping pusaran yang bertuliskan nama Clarissa di atasnya. Dia membuka kacamata hitam yang sedari tadi melekat di wajahnya. "Selamat pagi, Bu. Maafkan Arsenio yang baru mengunjungi ibu lagi."Arsenio meletakkan buket bunga itu di atas makam Clarissa. Sekuat tenaga dia memendung emosi, yang coba menerobos pertahanannya."Ibu suka mawar putih bukan? Kali ini Arsenio bawakan mawa
Satu Minggu berikutnya. Kondisi Arsenio telah pulih sepenuhnya. Bastian pun mengajak Arsenio untuk menemui anak-anak di tempat sosial, yang dibangun oleh Alexander Guan.Arsenio berjalan santai sambil melihat-lihat sekelilingnya, yang dipenuhi suara tawa anak-anak. Koridor ini, mengingatkan Arsenio pada sekolah dasarnya dulu. Hanya saja, saat ia bersekolah tidak ada tawa yang seperti ini. Setiap kali dirinya berjalan, maka teman-teman sebayanya langsung menghindar. Seolah dirinya monster yang tidak pantas untuk didekati. Melihat anak-anak bisa tertawa lepas tanpa beban, meskipun tidak memiliki orang tua, membuat Arsenio merasa tenang. Ada kebahagiaan yang sulit ia gambarkan dalam lembaran kata-kata. Setidaknya di tempat ini, mereka tidak merasa kesepian. "Tuan Alexander Guan membangun tempat ini, tepat satu bulan setelah meninggalnya Nyonya Clarissa. Tuan Alexander Guan, sangat terluka saat itu, terlebih lagi dia harus berpisah dengan putranya, yaitu Anda, Tuan Muda. Sebelum memban