David terperanjat kaget melihat Riana ada di depan pintunya. Sementara itu, perempuan yang ada di atas pangkuannya tetap duduk santai. Seolah tak terjadi apa-apa.Tergesa-gesa Riana mengambil kembali kotak makanannya yang menggelinding ke dalam ruangan. "Ma-maaf," pinta Riana sambil menundukkan badan lalu berbalik bergegas keluar ruangan."Nona, tak usah buru-buru. Kemarilah," panggil si perempuan itu.Perlahan Riana mematung. Tak bisa berkutik. Seluruh tubuhnya menjadi kaku."Iya. Duduk saja," beritahu David.Ucapan David pastinya adalah perintah absolut yang harus ditepati. Sambil berdoa dalam hati, Riana berbalik kembali menghadap David. Pandangannya masih menunduk. Hanya sekali saja Riana berani mengintip. Itupun ketika si perempuan seksi itu berbisik di telinga David. Entah apa yang dibisikkannya."Duduk kataku!" hardik David."I-iya. Iya," dengan langkah robot Riana berjalan dan duduk di hadapan David. Si perempuan itu tersenyum menatap Riana."Namamu siapa?" tanya si perempuan
"Risa! Apa-apaan ini semua? Sejak kapan kamu memasangnya?" selidik Jo saat Risa baru saja duduk di hadapannya."Jo, bukankah kamu terlalu tidak sopan padaku? Harusnya kamu menanyaiku ingin minum apa kan? Aku jadi kecewa. Padahal susah payah kuluangkan waktuku untuk berkunjung ke apartemenmu," Risa menyilangkan kaki kanannya lalu menyalakan rokok mint kesukaannya.Tangan Jo bergerak menyambar rokok yang baru akan dinyalakannya. Diremasnya rokok itu sebelum dibuang di tempat sampah."Haaah!" keluh Risa."Jangan merokok di tempatku. Ini apartemenku. Bukan apartemenmu," lanjut Jo sambil mengambilkan segelas jus jeruk untuk Risa."Minum," Jo meletakkan gelas jus itu di atas meja lalu duduk di seberang Risa."Kamu kolot sekali Jo. Apa salahnya sih merokok?" keluh Risa."Paru-parumu bisa rusak. Kamu juga bisa susah hamil.""Kalau kamu mau menghamiliku, aku akan berhenti. Gimana?" Risa bangkit dari duduknya lalu melangkah duduk di pangkuan Jo. “Kita bisa mulai lagi Jo. Masih ada waktu buat ru
Refleks David menggerakkan bibirnya memagut bibir Riana lebih dalam. Tangannya pun bergerak mendorong badan Riana hingga tubuh perempuan itu bersandar di jok mobil. Dengan lembut David melanjutkan lumatannya dan membuka perlahan bibir Riana yang mendesah karena desakan bibirnya yang memburu untuk saling bersatu padu."Mmmmh …." desah Riana tapi David masih melanjutkan perjalanannya untuk menyecap dan menikmati bibir Riana. David bisa merasakan beda kakunya lidah Riana saat lidahnya berusaha mengajak untuk saling bertaut dalam irama."Da…vid…." ujar Riana dengan napas naik turun saat David sudah benar-benar melepaskan bibirnya. Wajah Riana sangat merah karena ciuman yang memburu dan sangat intens barusan. Wajah kemerahan Riana sangat menggoda. Namun, David memutuskan untuk menyudahinya."Kamu yang mulai duluan tadi," ujar David sambil melepaskan pegangannya dari bahu Riana.Jantung Riana masih berdetak tak karuan. Wajahnya begitu memanas. Masih terasa hembusan hangat napas David di sel
Tangan Riana gemetar hingga ponselnya jatuh. Untung Jo dengan sigap menangkapnya."Ada apa Riana?" Jo menatap bingung Riana."Antar aku balik Jo. Sekarang," pinta Riana."Tapi masih hujan gini? Tunggu sebentar lagi ya? Sampai gerimisnya reda. Habis itu kita lari ke mobil buat pulang," saran Jo.Riana terduduk lemas. Tak mengomentari ucapan Jo. Melihat Riana seperti itu mengingatkannya saat dirinya memutuskan rencana pertunangan mereka empat tahun lalu. Ekspresi yang sama. Badan gemetar dan tatapan kosong.Apa yang sedang terjadi Riana? tanya batin Jo sendu. Jo berharap ini tidak berhubungan David. Aku nggak bisa biarin Riana suka dengan orang itu, tekad Jo.Riana sendiri masih berusaha menenangkan diri. Berusaha tak percaya dengan apa yang didengarnya. Bagaimana mungkin orang seperti David akhirnya berakhir dalam sebuah kecelakaan pesawat? Haruskah dirinya bahagia? Karena artinya hutang ayahnya tak perlu dia lunasi?Nggak! Jangan mati David! Aku belum bayar semua hutangku! Rafa nanti
Riana langsung berlari memeluk David yang sedang menikmati pemandangan salju turun di balik kaca bening beranda resto hotel. Hatinya sangat lega melihat David ada di hadapannya."David! Kamu masih hidup rupanya! Syukurlah," Riana memeluk erat David."Hei Kamu apa-apaan sih?" David kaget Riana akan bersikap seperti ini padanya. Awalnya dia mengira Riana akan senang saat tahu dirinya mati dalam kecelakaan pesawat. Nyatanya, gadis itu malah memeluk tubuhnya dengan pandangan berkaca-kaca penuh kelegaan."Aku belum bayar hutangku ke kamu David! Jangan mati! Rafa nanti gimana?" tangis Riana pun pecah. Dirinya sudah tak sanggup pura-pura tegar lagi.David perlahan mengusap-usap kepala Riana. "Aku masih hidup kok. Udah. Buruan berhenti nangis," tutur David lembut.Riana tersadar akan sikapnya. Segera Riana melepaskan pelukannya lalu menghapus air mata yang masih tersisa di pelupuk matanya. David menuntun Riana agar duduk di kursi yang sudah dipesan. Dia juga menyodorkan tisu agar Riana bisa m
"Da-david….," panggil Riana tergagap. Hatinya berdebar-debar tak karuan."Apa?""Kita beneran sekamar?""Iya. Ada dua kasur. Kamu pilih aja yang kamu suka," David melepaskan jaketnya lalu meletakkannya di gantungan baju.Riana langsung berlari mengecek kebenaran ucapan David. Hatinya lega karena ucapan David benar."Tapi kenapa ada dua kasur? Malam sebelumnya kamur tidur sama siapa?," Ekor mata Riana terus mengikuti kemana arah David pergi."Gia," jawab David singkat. Laki-laki itu tampak mengambil bathrobe dan handuk lalu masuk ke dalam kamar mandi.Sambil melepas jaket, Riana memandangi kamar yang disewa David. Sangat luas memang. Ada mini pantry buat masak juga. Sesaat mata Riana sangat mengantuk. Mulutnya pun sudah menguap lebar. Perlahan dia pun merebahkan diri di kasur dan terlelap.David yang baru selesai mandi, mendengus melihat Riana yang sudah mendengkur di kasur. "Dia nggak mau cuci muka dulu apa? Mana nggak pake selimut lagi? Kepalanya juga nggak dibantalin," omel David s
Triiiiing.... Triiiiing.... Triiiiing....Riana tergagap kaget. Hampir saja dia melempar hapenya sendiri. Nada dering cempreng hapenya membuatnya kaget."Halo, Bu?" Riana langsung mengangkat telepon dari ibunya."Riana, kamu kapan balik dari Jepang?""Kenapa Bu?""Itu kemarin ditanyain Dokter Jo.""Hah? Jo? Ngapain? Kok tau rumah?""Taulah. Kan dia temenmu. Dia main seharian kemarin. Masakin Ibu sama bantu bersih-bersih rumah. Seneng banget rasanya. Kayak udah punya mantu," cerita ibu Riana penuh kebahagiaan."Bu, lain kali kalau dia ke rumah, suruh pulang aja kalau nggak ada Riana. Ya?""Nggak ah. Dia kan rajin. Enak diajak ngobrol juga. Nggak ada kamu juga tetep Ibu suruh masuk ke rumah.""IBU!" Riana jadi kesal sendiri dengan ibunya."Ibu suka dia Riana. Nggak masalah kalau kamu terima dia," tutur ibu Riana."Nanti deh Bu dibicarain lagi. Dah Bu," Riana menutup teleponnya. Bisa-bisanya Jo bergerak secepat ini mendekati ibunya. Padahal, dulu Jo anteng-anteng aja. Tak pernah ribut me
CTAK!"ADUH!" Riana langsung memegang dahinya yang kesakitan karena jentikan jari David. Tak berhenti sampai di situ, David menarik pipi kirinya."David! Hentiin!" Riana memukul-mukul tangan David."Makanya pake sarung tangan kalau keluar," beritahu David sambil melepaskan cubitannya. Sebenarnya dia cukup gemas dan ingin mengecup bibir Riana. Tapi dia berusaha menahannya dan hasilnya malah mengganggu gadis itu."Iya! Iya! Nanti aku beli.""Bagus," David terdiam sesaat. “Mau main ski? Dekat sini ada arenanya dan nggak mahal.""Mau!" teriak Riana antusias setelah mendengar embel-embel frasa "nggak mahal".David pun mengajak Riana menuju resort ski Fujiten yang memang terkenal di area sekitaran Danau Kawaguchiko. Di sana, mereka bisa bermain ski sepuasnya."Kalau nggak bisa, kamu main di kids playground aja," celetuk David membuat Riana sedikit dongkol. Resort Ski Fujiten ini memang menyediakan area Kids Playground untuk pengunjung yang hanya ingin mainan salju saja."Kamu kan bisa ajari
"Pagi, Rafa!" Riana menyapa dengan hangat. Jalan pagi berdua dengan David membuat mood Riana naik drastis.Rafa yang baru keluar kamar tertegun menatap mamanya yang tampak bersemangat. Sudah hampir sebulanan mamanya tampak lesu seperti orang tak ingin hidup. Kata Mbok Shinta, itu karena adiknya tak jadi lahir. Calon adiknya di perut mamanya menghilang dan gara-gara itu mamanya jadi sedih.Mendengar kabar itu, Rafa juga sedih. Tapi, mamanya sudah sangat sedih. Jadi, dia memutuskan untuk tidak tampak bersedih dan melakukan kegiatan sehari-hari dengan lebih mandiri. Intinya, Rafa bertekad lebih mandiri dan tidak bergantung pada mamanya agar tidak menambah duka dan beban pikiran mamanya."Udah mandi? Mau Mama mandiin?" tanya Riana dengan senyum cerah."Mama lagi seneng ya?" tanya balik Rafa. Hatinya ingin memastikan mamanya memang baik-baik saja.Riana tersipu malu sambil memegangi pipinya," Hehehe, senenglah. Kan lihat Rafa pagi ini."Rafa semakin melongo dengan tingkah aneh mamanya itu.
Dulu, saat bangun dari tidur, aku selalu takut melihat ke sisiku karena ada dirimu di sana. Aku sangat takut. Tiap kali berdua denganmu, jantungku seperti berhenti berdetak. Pikiranku selalu berdoa agar suatu saat bisa terlepas darimu.Nyatanya, setelah waktu berlalu. Aku malah berharap selalu bisa berada di sisimu. Hatiku selalu merasa lebih tenang, jika kamu bersamaku.Seperti saat ini. Waktu pagi datang. Kedua kelopak mataku terbuka. Aku langsung menoleh ke samping, mencarimu. Senyumku otomatis berkembang saat indera penglihatanku menangkap bayang dirimu ada di sisiku.Sudah banyak hal yang kami lalui bersama. Suka duka menjalani kehidupan sehari-hari yang terasa seperti naik roller coaster. Aneh. Sejujurnya aku takut naik roller coaster dan tentunya kehidupan seperti roller coaster saat bersama denganmu juga membuat jantungku tak bisa berdetak tenang barang sesaat. Namun, semuanya tak terasa menakutkan saat bersamamu.Memang ada kalanya kesedihan yang teramat menyakitkan membuatku
Ekor mata Riana melirik-lirik gugup ke arah David. Dia tak berani langsung menoleh. Apalagi sekarang adegan panas di layar sedang berjalan.Masih terus melirik-lirik, Riana pura-pura mengambil popcorn yang ada di antara dirinya dan David. Tentu dengan pikiran agar terlihat natural. Namun, jari-jarinya tak bisa menemukan tempat popcorn yang diinginkannya."Kok? Harusnya kan di sini?" gumam Riana. Niatnya pun berubah. Jari-jarinya bergerak menelusuri sekitaran tubuh David. Bodohnya, dia melakukannya sambil tetap melirik. Tidak langsung menoleh."Eh? Kok? Menonjol?" Riana terkaget lalu akhirnya menoleh. Tampak David sudah berdeham-deham saja menatap ke arahnya.Kedua mata Riana membelalak lebar. Gara-gara asal meraba saat mencari popcorn, jarinya malah memegang junior David. Bukan popcorn yang dia cari!"Maaf, David!" buru-buru Riana menarik kembali tangannya. Mukanya sangat panas. Bahkan, suhu dingin AC di bioskop tak bisa meredam hawa panas yang menjalari wajahnya. Yang bisa Riana laku
Sepulang dari menjenguk Risa, David mengajak Riana makan. Dia membelokkan mobilnya ke arah Cihampelas Mall."Kok ke mall?" Riana menatap David bingung."Ke Mujigae. Kamu suka korea-koreaan kan?""Hmm, iya sih. Tapi, kamu doyan?""Kalau sama kamu mah, apa saja bisa jadi enak. Yang penting kamu makannya banyak. Oke?" David membuka pintu mobil lalu keluar. Setelah itu, dia berlari ke tempat Riana berada untuk membukakan pintu mobil buat Riana."Makasih," Riana memegangi erat jemari David sambil melangkah keluar mobil.David terus menggandeng tangan Riana sampai tiba di tempat makan. Dia memesan hampir semua aneka makanan di buku menu yang disediakan oleh pramusaji."David! Siapa yang mau makan itu semua?" Riana melongok pada tab menu pemesanan yang diklik oleh David. Matanya membelalak melihat banyaknya makanan yang David pilih."Kamu. Tugasmu sekarang makan banyak," David menekan tombol order untuk mengakhiri pesanan.Riana terpaksa mengikuti ucapan David. Toh, orderan sudah terlanjur d
Entah ini sudah hari ke berapa aku berada di rumah sakit. Aku tak tahu. Atau mungkin tepatnya tak ingin tahu.Luka di tubuhku sudah mendingan. Seharusnya aku sudah bisa pulang ke apartemenku. Tapi, aku tak mau pulang. Tempat itu hanya akan mengingatkan pada kenangan-kenangan manis yang ternyata hanyalah tipuan. Memikirkannya saja membuat air mataku meleleh.Padahal, aku sudah sangat percaya. Kukira memang sudah benar-benar mau menerimaku. Nyatanya, dia hanya menipu dan merampas semua kenangan indah yang dia berikan padaku secara sepihak. Bahkan, janin dalam kandunganku ikut dia rampas. Betapa dia sangat tidak memiliki hati. Anak di kandunganku kan anaknya juga. Tapi kenapa dia tega melakukan itu? Membuat janin yang belum genap tiga bulan itu sirna dari dunia. Sungguh sangat jahat dirimu, Jo. Harusnya aku menyadari ini semua dari awal. Tapi, semua sudah terlambat. Dari awal, batin dan pikiranku sudah tertutupi oleh cinta butaku padamu, Jo. Jika saja… jika saja aku masih bisa berpikir j
Sudah seminggu lebih waktu berlalu sejak kejadian itu. Kejadian yang sangat memilukan. Bagiku dan Riana.Hari-hari kami di rumah jadi sepi. Riana lebih suka mengurung diri di kamar. Jarang makan. Wajahnya jadi lebih pucat dan tirus.Aku tahu. Ini pasti sangat berat untuknya. Ibunya sudah menginap di rumahku. Bahkan, Sena. Kubiarkan mereka menemani Riana. Karena kupikir, lingkungan yang lebih ramai, bisa membuat dirinya lebih ceria.Memang saat bersama orang lain, dia sudah bisa menanggapi dengan baik. Walau hanya beberapa patah kata dan senyum simpul. Menurut laporan psikolog yang tiap harinya kutugaskan untuk membantu terapi Riana, kondisi Riana memang masih membutuhkan proses. Dikarenakan Riana tipe perasa. Butuh waktu lebih lama menuntaskan rasa duka."Kira-kira ada alternatif lain tidak untuk membantunya?" tanyaku pada sang psikolog. Sejujurnya aku juga tak sanggup jika tiap malam mendengar Riana menangis sendirian. Hatiku selalu ikut teriris mendengarnya. Aku pun sudah tak bisa b
"David...." panggil Riana lemah."Iya, Sayang," David mencoba mencari wajah istrinya yang masih tersembunyi dalam dadanya. Tangannya bergerak mengusap-usap rambut dan pelipis istrinya."Rumah sakit…. Aku mau ke rumah sakit," rengek Riana. Tangannya meremas kaos polo David yang berwarna hitam pekat."Iya. Ayo," David langsung menggendong Riana keluar kamar. Riana menelusupkan kepalanya dalam dekapan dada David. Memang hatinya masih tak tenang karena obat yang baru ditelannya. Tapi, sudah ada David di sisinya. Bukankah semuanya akan berjalan baik-baik saja kan?"Bos, yang di luar sudah beres," Jono tampak tergopoh-gopoh menghampiri David."Jo di dalam. Jalankan sesuai perintahku tadi," pesan David."Iya, Bos," Jono menyanggupi perintah bosnya.David melangkah menuruni tangga. Dia berjalan membawa Riana masuk dalam mobil Jeep."Pak, ke rumah sakit terdekat," ujarnya pada sopir sewaan yang dari tadi menunggu."Siap, Bos," jawab sang sopir.Sepanjang perjalanan, David terus memangku Riana.
David terbangun dari kantuknya. Perjalanan panjang menuju lokasi Riana disekap membuatnya semakin lelah. Tanpa dia sadari, dirinya sudah terlelap begitu saja tadi."Jam berapa sekarang?" tanya David pada Joni yang ada di sisinya."Jam sembilan, Bos. Sekitar dua puluh menit lagi sampai," jelas Joni.Butuh waktu sehari penuh bagi David untuk mendapatkan lokasi Riana berada. David harus mencari info dari geng preman maupun kepolisian sekitar. Sangat beruntung, David belum pernah memiliki masalah dengan pihak kepolisian. Makanya, urusannya bisa berjalan lebih lancar dan bisa menemukan posisi Riana meski hanya berbekal plat nomor mobil saja.Jalan yang mereka lalui semakin lama kasar. Berulang kali ban mobil Jeep yang David kendarai seolah-olah meloncat melayang terbang saking terlalu sering bersentuhan dengan jalan bebatuan tak rata.David menatap ke belakang. Anak buahnya mengikuti dengan mobil di belakang. Dia kembali menoleh ke depan. Berulang kali dia menghembuskan napas penuh kegelis
Aku pikir aku mati. Ya. Saat ini kematian benar-benar dekat denganku. Malaikat pencabut nyawa ada di sisi. Walaupun aku sudah meraung-raung memohon, tak ada kepeduliannya yang tersisa untukku. Sebaliknya, mulutku malah dibungkam dengan lakban hitam.Hanya tangisku yang bisa kuandalkan. Entah sudah berapa liter air mata kucucurkan. Mataku pun sudah lelah. Tapi, hanya ini protes yang bisa kulakukan. Tak ada yang lain.Aku tak berdaya. Tak bisa melakukan apapun. Jo mengikatku begitu kencang. Tak mau menerima sedikit pun penjelasan dariku. Malah, dia meminumkan obat aneh padaku.Aku tak tahu obat apa itu. Tapi, dia memaksaku meminumnya. Jemarinya menjejalkan buliran pil berwarna putih itu ke dalam mulut dengan kasar. Aku berusaha untuk melawan, memuntahkannya. Tapi, jari-jarinya mendorong masuk pil itu ke pangkal tenggorokanku dan mengguyurnya dengan air mineral sebanyak mungkin. Aku pun tersedak bersamaan dengan pil dan air mineral yang menelusup masuk dalam tenggorokanku."Bagus!" itula