"Masuk dalam kamar dan langsung tidur," titah Zavier setelah dia dan Nara tiba di rumah. Nara menganggukkan kepala secara senang, segera beranjak dari sana dengan cepat. Akan tetapi tiba-tiba saja Zavier mencekal tangannya, menarik Nara dan membuatnya berakhir menabrak dada bidang sang suami. "Kenapa terburu-buru sekali, Humm," ucap Zavier, menatap dingin ke arah Nara. Zavier mengalungkan tangan di pinggang Nara secara erat dan possesive, kemudian mencium kening Nara hangat lalu beralih meraup bibir mungil istrinya. Ini kebiasaan mereka–Zavier memberikan ciuman saat Nara akan beranjak, akan tetapi Nara selalu lupa. Entah itu trik untuk menghindar, Zavier tidak suka. "Sorry …," jawab Nara bernada. Setelah itu buru-buru beranjak dari sana, melangkah riang menuju lift rumah. Nara sudah mengantuk jadi dia tidak sabar untuk tidur. Zavier mendengus pelan, masih diam di tempat sembari memperhatikan istrinya yang melangkah riang menuju lift. Setelah di dalam lift dan pintu akan terbuka,
Nara duduk di sebelah Mamanya dan Sereya, menatap ke depan dengan wajah kantuk bercampur sedih. Nara sedih sebab kehilangan nenek buyut sang suami, nenek buyut suaminya adalah sosok yang baik serta lucu. Nara jadi ingat pertemuan pertamanya dengan Ruqayah, wanita tua baik hati tersebut memberikannya gelang yang sangat indah dan penuh makna. Nara berjanji akan menjaga gelang tersebut, dia akan melindunginya serta merawatnya sebab gelang tersebut adalah bukti cinta dari suami nenek buyut. Nara cukup mengantuk sebab ini sudah lebih dari jam tidurnya. Dia sedih tetapi matanya berat, begitulah yang Nara rasakan saat ini. Suaminya duduk di sebelah sang Papa mertua, lalu di sebelahnya ada mama mertuanya. Sejak tadi, Nara diam-diam mengamati satu per satu anggota keluarga besar Adam, dan Nara baru ngeh jika mama mertuanya menangis begitu pilu. Cara ibu mertuanya menangis, membuat hati Nara ngilu dan perih. 'Mama Aeera terlihat sangat kehilangan. Sosok Nenek Ruqayah memang sangat baik, tap
Zavier menatap ke arah perempuan mungil miliknya, memperhatikan istrinya yang sedang menjelaskan seputar tentang trik memancing dan rencana kedepannya. Zavier menghela napas pelan lalu memijit pangkalan hidung, dia mencari istrinya dan ternyata Nara ada di sini–sedang berkumpul dengan club pancingnya. Meskipun sudah terbiasa dengan tingkah random istrinya, tetapi tetap saja Zavier heran dengan hal satu ini. Bagaimana bisa Nara punya club pancing yang anggotanya terdiri dari bapak-bapak? Atau inikah yang dikatakan dengan extrovert sejati? Berteman tanpa pandang kalangan? "Itu teman satu club pancing Nara," jawab Zavier datar, melirik ke arah Daddy dan juga papa mertuanya. "Mereka semua teman-teman Nara," tambahnya. "Apa?" Bukan hanya Alarich, bahkan Bian pun ikut syok. Tak menyangka jika putri kesayangannya berteman dengan kumpulan bapak-bapak. Bagaimana bisa? "Bu Tati, tambah dong kopinya satu," sahut suara perempuan yang sedang Zavier dan ayahnya bicarakan. "Siap, Neng Nara. Mau
"Humm?" Zavier mengerutkan kening, menatap Nara sejenak lalu mengerjap beberapa kali–saking tidak mengertinya dia dengan apa yang istrinya sebutkan. Ada yang suka? Siapa? Lalu suka pada siapa? Nara ingin menjawab kebingungan Zavier, akan tetapi pria itu tiba-tiba menggendongnya lalu membawanya cepat-cepat dalam kamar. Setelah di sana, Zavier langsung membaringkan Nara–langsung menindih perempuan tersebut supaya Nara tidak bisa kemana-mana. Sebenarnya tidak sepenuhnya menindih Nara, hanya sebagian tubuh perempuan itu. "Maksud perkataanmu tadi apa, Mi Nara? Siapa yang suka dan pada siapa?" Zavier menatap dengan nada berat. Sedikitnya Zavier khawatir ada yang menaruh perasaan pada istrinya. Jika bisa jangan! "Ada yang suka pada Mama Aeera." Nara berkata berbisik, pelan karena dia takut ada yang mendengar. Meskipun sudah dalam kamar tetapi Nara tetap memilih waspada. Ada banyak orang di rumah ini, siapa tahu ada yang memata-matai mereka hingga dalam kamar. Walau jika Nara pikir lagi i
"Daddy, Mommy, Za izin menghasilkan anak dengan Nara."Uhuk uhuk'Aeera terbatuk-batuk, seketika melototkan mata ke arah putranya. Alarich langsung melayangkan tatapan tajam. Sedangkan Nara, perempuan tersebut menganga lebar dengan raut muka pucat pias. Zavier yang mengatakan hal tersebut, Nara yang merasa malu luar biasa. 'Mending Mas Za nggak ngomong sama sekali, Tuhan. Udah bagus dia tadi cosplay jadi batu!' batin Nara, sudah merah pipinya dengan tampang cengang luar biasa. "Anak sekecil ini-- kau berniat menghamilinya?!" geram Alarich, masih menatap dingin ke arah putranya. Luar biasa! Dia sama sekali tidak paham dengan jalan pikiran Zavier. Mentang-mentang Alarich mengizinkan Zavier menikahi Nara, bukan berarti anaknya ini bisa semena-mena pada Nara. Ayolah! Menantunya masih sekolah, masih fokus pada pendidikan. Itu yang memberatkan Alarich. Zavier menatap ke arah istrinya. Melihat istrinya masih menganga, Zavier menyentuh dagu Nara lalu mendorong pelan–untuk menutup mulut N
"Za, Mommy ikut yah dengan kamu dan Nara. Mommy ingin berbelanja," pinta Aeera yang sudah siap-siap untuk berangkat dengan putra dan menantunya, "Daddy sedang demam, jadi Daddy nggak bisa mengantar Mommy," lanjutnya. Semalam Alarich tiba-tiba meriang lalu berakhir demam. Suaminya tersebut bekerja begitu keras akhir-akhir ini. Ditambah dengan kematian sang Nenek, memberikan efek luar biasa bagi Alarich. Dulu, Alarich sangat anti berlama-lama di rumah ini. Namun sekarang, suaminya tersebut sulit meninggalkan rumah ini. Bahkan melarang Zavier dan Nara pulang. Alarich adalah kesayangan Ruqayah, jelas Alarich sangat kehilangan. Zavier menganggukkan kepala, langsung membuka pintu mobil untuk Mommynya–mempersilahkan cinta pertamanya tersebut untuk masuk ke dalam. Aeera tersenyum lembut ke arah Zavier, lalu masuk ke dalam mobil. Namun, langkanya tertahan sebab seseorang memanggilnya. "Tante," panggil seorang perempuan, berlari cepat ke arah Aeera, Zavier dan Nara. Aeera menoleh ke arah s
"Minum ini."Nara menerima gelas tersebut kemudian minum secara perlahan. Setelah itu, dia menghela napas perlahan kemudian membaringkan dirinya lesu di atas sofa. Perlahan, Nara merasa membaik, pandangannya tidak mengabur lagi dan kakinya perlahan menghangat. 'Hah, astaga. Malu-maluin saja.' batin Nara, menatap seorang pria yang saat tengah menghubungi seseorang. 'Kocak banget dah aku! Dulu ajah upacara plus gladi dua kali, aku sanggup tanpa pingsan meskipun nggak sarapan sama sekali. Sekarang? Aku nggak ngapa-ngapain padahal. Ya, emang sih, aku takut mau rapat.' "Sarapanmu belum kau sentuh." Suara bariton yang mengalun dingin, terdengar. Nara menatap kembali menatap ke arah sosok tersebut. "Siang juga tidak makan.""A--aku belajar," cicit Nara, menekuk kaki ketika pria tersebut duduk di sudut sofa–di sebelah kaki Nara terentang. Namun, pria tersebut menarik kaki Nara lalu meletakkannya di atas pangkuannya. Dengan lembut, tangan besar dan kekarnya memijit telapak kaki Nara. Itu men
"Bukan, Mas," jawab Nara sembari menggelengkan kepala kuat dan cepat. Dia panik serta gugup secara bersamaan. Bagaimana bisa benda seperti itu ada dalam tasnya? "Kutanya padamu dan jawab dengan jujur." Wajah Zavier terlihat sangat serius. Akan tetapi matanya sayu, memancarkan sedikit kekecewaan di sana, "apa kau ingin memiliki anak denganku?"Dengan kaku Nara mengganggukkan kepala. "Pengen tapi tidak sekarang. Aku pe-pernah bertemu dengan kakak seniorku. Dia sedang skripsian dan dalam kondisi hamil. Ti-tidak ada yang menemaninya ke kampus, dia berjalan susah payah. Benar-benar sendiri! Habis itu, beberapa minggu kemudian, aku jumpa lagi dengannya dan perutnya sudah rata. Aku kira sudah melahirkan ternyata keguguran, Mas. Ja--jadi aku takut seperti dia. Tapi pil itu bukan punyaku. La--lagian sejak kapan Nara meletakkan tas di atas nakas? Aku selalu langsung menyimpannya ke meja belajar," jawab Nara sembari menjelaskan jika pil tersebut benar-benar bukan miliknya. Zavier menatap tas i