Zavier menatap ke arah perempuan mungil miliknya, memperhatikan istrinya yang sedang menjelaskan seputar tentang trik memancing dan rencana kedepannya. Zavier menghela napas pelan lalu memijit pangkalan hidung, dia mencari istrinya dan ternyata Nara ada di sini–sedang berkumpul dengan club pancingnya. Meskipun sudah terbiasa dengan tingkah random istrinya, tetapi tetap saja Zavier heran dengan hal satu ini. Bagaimana bisa Nara punya club pancing yang anggotanya terdiri dari bapak-bapak? Atau inikah yang dikatakan dengan extrovert sejati? Berteman tanpa pandang kalangan? "Itu teman satu club pancing Nara," jawab Zavier datar, melirik ke arah Daddy dan juga papa mertuanya. "Mereka semua teman-teman Nara," tambahnya. "Apa?" Bukan hanya Alarich, bahkan Bian pun ikut syok. Tak menyangka jika putri kesayangannya berteman dengan kumpulan bapak-bapak. Bagaimana bisa? "Bu Tati, tambah dong kopinya satu," sahut suara perempuan yang sedang Zavier dan ayahnya bicarakan. "Siap, Neng Nara. Mau
"Humm?" Zavier mengerutkan kening, menatap Nara sejenak lalu mengerjap beberapa kali–saking tidak mengertinya dia dengan apa yang istrinya sebutkan. Ada yang suka? Siapa? Lalu suka pada siapa? Nara ingin menjawab kebingungan Zavier, akan tetapi pria itu tiba-tiba menggendongnya lalu membawanya cepat-cepat dalam kamar. Setelah di sana, Zavier langsung membaringkan Nara–langsung menindih perempuan tersebut supaya Nara tidak bisa kemana-mana. Sebenarnya tidak sepenuhnya menindih Nara, hanya sebagian tubuh perempuan itu. "Maksud perkataanmu tadi apa, Mi Nara? Siapa yang suka dan pada siapa?" Zavier menatap dengan nada berat. Sedikitnya Zavier khawatir ada yang menaruh perasaan pada istrinya. Jika bisa jangan! "Ada yang suka pada Mama Aeera." Nara berkata berbisik, pelan karena dia takut ada yang mendengar. Meskipun sudah dalam kamar tetapi Nara tetap memilih waspada. Ada banyak orang di rumah ini, siapa tahu ada yang memata-matai mereka hingga dalam kamar. Walau jika Nara pikir lagi i
"Daddy, Mommy, Za izin menghasilkan anak dengan Nara."Uhuk uhuk'Aeera terbatuk-batuk, seketika melototkan mata ke arah putranya. Alarich langsung melayangkan tatapan tajam. Sedangkan Nara, perempuan tersebut menganga lebar dengan raut muka pucat pias. Zavier yang mengatakan hal tersebut, Nara yang merasa malu luar biasa. 'Mending Mas Za nggak ngomong sama sekali, Tuhan. Udah bagus dia tadi cosplay jadi batu!' batin Nara, sudah merah pipinya dengan tampang cengang luar biasa. "Anak sekecil ini-- kau berniat menghamilinya?!" geram Alarich, masih menatap dingin ke arah putranya. Luar biasa! Dia sama sekali tidak paham dengan jalan pikiran Zavier. Mentang-mentang Alarich mengizinkan Zavier menikahi Nara, bukan berarti anaknya ini bisa semena-mena pada Nara. Ayolah! Menantunya masih sekolah, masih fokus pada pendidikan. Itu yang memberatkan Alarich. Zavier menatap ke arah istrinya. Melihat istrinya masih menganga, Zavier menyentuh dagu Nara lalu mendorong pelan–untuk menutup mulut N
"Za, Mommy ikut yah dengan kamu dan Nara. Mommy ingin berbelanja," pinta Aeera yang sudah siap-siap untuk berangkat dengan putra dan menantunya, "Daddy sedang demam, jadi Daddy nggak bisa mengantar Mommy," lanjutnya. Semalam Alarich tiba-tiba meriang lalu berakhir demam. Suaminya tersebut bekerja begitu keras akhir-akhir ini. Ditambah dengan kematian sang Nenek, memberikan efek luar biasa bagi Alarich. Dulu, Alarich sangat anti berlama-lama di rumah ini. Namun sekarang, suaminya tersebut sulit meninggalkan rumah ini. Bahkan melarang Zavier dan Nara pulang. Alarich adalah kesayangan Ruqayah, jelas Alarich sangat kehilangan. Zavier menganggukkan kepala, langsung membuka pintu mobil untuk Mommynya–mempersilahkan cinta pertamanya tersebut untuk masuk ke dalam. Aeera tersenyum lembut ke arah Zavier, lalu masuk ke dalam mobil. Namun, langkanya tertahan sebab seseorang memanggilnya. "Tante," panggil seorang perempuan, berlari cepat ke arah Aeera, Zavier dan Nara. Aeera menoleh ke arah s
"Minum ini."Nara menerima gelas tersebut kemudian minum secara perlahan. Setelah itu, dia menghela napas perlahan kemudian membaringkan dirinya lesu di atas sofa. Perlahan, Nara merasa membaik, pandangannya tidak mengabur lagi dan kakinya perlahan menghangat. 'Hah, astaga. Malu-maluin saja.' batin Nara, menatap seorang pria yang saat tengah menghubungi seseorang. 'Kocak banget dah aku! Dulu ajah upacara plus gladi dua kali, aku sanggup tanpa pingsan meskipun nggak sarapan sama sekali. Sekarang? Aku nggak ngapa-ngapain padahal. Ya, emang sih, aku takut mau rapat.' "Sarapanmu belum kau sentuh." Suara bariton yang mengalun dingin, terdengar. Nara menatap kembali menatap ke arah sosok tersebut. "Siang juga tidak makan.""A--aku belajar," cicit Nara, menekuk kaki ketika pria tersebut duduk di sudut sofa–di sebelah kaki Nara terentang. Namun, pria tersebut menarik kaki Nara lalu meletakkannya di atas pangkuannya. Dengan lembut, tangan besar dan kekarnya memijit telapak kaki Nara. Itu men
"Bukan, Mas," jawab Nara sembari menggelengkan kepala kuat dan cepat. Dia panik serta gugup secara bersamaan. Bagaimana bisa benda seperti itu ada dalam tasnya? "Kutanya padamu dan jawab dengan jujur." Wajah Zavier terlihat sangat serius. Akan tetapi matanya sayu, memancarkan sedikit kekecewaan di sana, "apa kau ingin memiliki anak denganku?"Dengan kaku Nara mengganggukkan kepala. "Pengen tapi tidak sekarang. Aku pe-pernah bertemu dengan kakak seniorku. Dia sedang skripsian dan dalam kondisi hamil. Ti-tidak ada yang menemaninya ke kampus, dia berjalan susah payah. Benar-benar sendiri! Habis itu, beberapa minggu kemudian, aku jumpa lagi dengannya dan perutnya sudah rata. Aku kira sudah melahirkan ternyata keguguran, Mas. Ja--jadi aku takut seperti dia. Tapi pil itu bukan punyaku. La--lagian sejak kapan Nara meletakkan tas di atas nakas? Aku selalu langsung menyimpannya ke meja belajar," jawab Nara sembari menjelaskan jika pil tersebut benar-benar bukan miliknya. Zavier menatap tas i
"Ekhm." Zavier berdehem, cukup kaget mendengar perkataan istrinya. Ah, kenapa juga Zavier harus kaget? Sudah tabiat istrinya mahir dalam berkata buruk. Zavier seharusnya kaget ketika Nara berkata sopan, lemah lembut dan manis. Itu baru mencurigakan. Jika seperti ini, artinya masih normal. Zavier berdecis geli, mengetuk pelan bagian belakang kepala istrinya kemudian menyeret Nara untuk masuk dalam mobil. Jika pikir lagi, lucu juga ucapan Nara pada Sabila. "Kau tidak perlu meladeninya. Masuk dalam mobil," ucap Zavier pelan, tersenyum tipis ke arah Nara. Nara menganggukkan kepala, menuruti perkataan sang suami. Namun, sebelum dia masuk dalam mobil, Nara menyempatkan diri untuk melayangkan tatapan tidak suka pada Sabila.Sedangkan Sabila, mimiknya menahan marah. Dia menghentakkan kaki dengan kesal saat mobil Zavier meninggalkan kediaman Azam. "Awas saja kau, Nara. Aku akan menyingkirkanmu. Segera!"***Tuk'Nara yang saat itu tengah menyiapkan laporan akhir magang, sontak menoleh ke a
"Nara memang seperti itu, Kak Zavier?" tanya Sabila, memperlihatkan raut meringis dan simpati–isyarat memberitahu Zavier jika Nara sangat aneh dengan sikap seperti itu. Bukannya menjawab perkataan Sabila, Zavier memilih memanggil Kenan. "Kenan.""Ah, ya, Tuan?" Segera Kenan menghampiri Zavier. Dia kebetulan baru tiba. Saat di kantor dan di depan orang asing, Kenan akan memanggil Za dengan sebutan tuan. Itu bentuk rasa hormat dan profesionalnya pada Zavier. "Katakan pada pihak agensi StarMoon, tidak ada kontrak kerja sama jika modelnya dia," dingin Zavier, melayangkan tatapan tidak suka pada Sabila. Mata Sabila melebar, begitu juga dengan manager serta perwakilan lain dari agensi tersebut. Mereka sangat terkejut dan langsung panik luar biasa. Bagaimana mereka akan menghadapi bos mereka jika setelah pulang dari sini? "Baik, Tuan," jawab Kenan santai. Dia membungkuk untuk memperlihatkan Zavier berjalan lebih dulu. Zavier melangkah tenang, akan tetapi Sabila langsung menghadang. "Ka
"Sungguh kau tak ingin ku antar, Tuan?" tanya Bian. Alarich menganggukkan kepala kemudian segera masuk dalam mobil. Bian hanya menghela napas, mengacungkan pundak karena sudah tahu apa yang akan Alarich lakukan. Tentu saja mengikuti Aeera pulang. Ini sudah menjadi rutinitas Alarich semenjak Aeera bekerja di sini. Dan benar! Sekarang Alarich sedang memantau Aeera. Mobilnya tak jauh dari tempat Aeera menunggu taksi. "Sangat cantik," gumam Alarich, terus memandang gasdinya. Saat taksi datang dan Aeera masuk, Alarich langsung bersiap-siap untuk mengikuti. Tibanya di sebuah gang, Aeera turun. Begitu juga dengan Alarich. Biasanya Alarich hanya mengantar hingga gang ini karena mobilnya tak bisa masuk ke dalam. Bisa saja, tetapi gangnya cukup sempit dan Alarich tak suka ribet. Kali ini Alarich memutuskan turun, mengikuti Aeera dengan berjalan tak jauh dari belakang perempuan itu. Alarich perlu tahu seperti apa lingkungan pujaan hatinya tinggal dan seperti apa rumah yang Aeera tempati.
Semenjak hari pertama dia bertemu dengan Aeera, Alarich selalu mengawasi perempuan itu. Dia rasa dia telah jatuh cinta pada perempuan itu dan tergila-gila pada sosok gadis cantik itu. Tahun berganti dan Alarich semakin terjebak oleh perasaan yang dia miliki. Bukan hanya memiliki tingkah lucu, humoris dan menyenangkan, faktanya perempuan yang telah berhasil membuatnya jatuh cinta tersebut seorang yang bertanggung jawab pada pekerjaannya. Dia perempuan cerdas, kompeten dan kreatif. Alarich semakin tenggelam! Sialnya sudah jalan dua tahun lebih dia memantau Aeera, akan tetapi dia tak kunjung punya keberanian untuk mengutarakan perasaan. Hell! Mendekati Aeera secara terang-terangan saja dia tak berani. Pecundang! Alarich memang pecundang! Dulu dia pernah ditolak dan itu menghantui Alarich. Ditolak perempuan yang tak dia sukai saja rasanya sangat menjengkelkan. Apalagi jika Alarich ditolak oleh pujaan hatinya. Lebih sialnya, tiga bulan ini dia diluar negeri. Selain untuk mengurus
--Karl Alarich Adam & Aeera Grizella-- "Ck." Suara decakan kesal terdengar di bibir seorang pria yang sedang duduk di balik setir, sedang mengemudi. Pria tersebut begitu mempesona, sangat tampan dan berkarisma. Dia pria setuju pesona dan love dreams bagi banyak kaum hawa. Bukan hanya dianugerahi ketampanan, dia juga seorang yang sangat sukses–pengusaha yang ditakuti serta berasal dari keluarga terpandang. Hidupnya mendekati kata sempurna! Sayangnya, pria tampan ini digosibkan telah menyimpang. Karena diusia yang ke tiga puluh dua tahun, tak ada issue tentang dirinya yang berkencan dengan perempuan. Dia bersih dari gosip apapun mengenai lawan jenis sehingga banyak orang berspekulasi jika dia seorang homo. Sejujurnya dia bukan pria seperti yang digosibkan. Dia hanya tidak punya waktu untuk meladeni kaum hawa, serta-- fakta jika dia pernah ditolak seseorang. Itulah yang membuat pria tampan ini memilih hidup sendiri–tanpa pasangan. Dertttt' Suara handphone berdering, dia menoleh lal
Hari yang ditunggu pun tiba, Nathan dan Zendaya melangsungkan pernikahan dengan meriah. Sekarang, keduanya telah sah menjadi sepasang suami istri. Keluarga besar Nathan–dari sang Mama, terlihat begitu bahagia. Begitu juga dengan keluarga Zendaya yang penuh suka cita serta keharuan. Tristan dan istri keduanya, maupun Angel tak diundang. Sekalipun mereka ingin mengacau, mereka tidak bisa karena pernikahan Nathan dilakukan di sebuah hotel mewah, dijaga ketat oleh banyak penjaga. Mereka diblacklist dari daftar tamu undangan, sesuai permintaan Preya–yang masih memiliki dendam pada suaminya. Preya juga tidak mau hari bahagia putranya rusak oleh kehadiran Erika dan putrinya. Lagipula makhluk gatal seperti mereka, tak pantas menghadiri acara putranya. Sejak tadi, Danzel terus memandang ke arah adiknya–memperhatikannya dengan lekat. Tatapannya begitu sendu, manik berkaca-kaca sebab merasa sedih tanpa sebab. Sewaktu kecil hingga dia besar, adiknya selalu menyusahkannya. Anak itu cerewet dan p
Sedangkan Victoria yang sudah buntu, menatap penuh harap pada Liora. "Liora, apa kamu bersedia menikah dengan adikku? Apapun akan kuberi padamu asal kamu bersedia membantuku untuk menikah dengan Devson." Liora termenung, menundukkan kepala dengan raut muka sedih. Sedangkan Lachi yang memahami perasaan perempuan itu memilih diam, dia takut salah bicara. Namun, mengejutkannya tiba-tiba saja Liora menganggukkan kepala. "Aku bersedia. Tapi … bawa aku pergi dari sini," ucap Liora, menatap Victoria dengan sendu. "Se-sebenarnya aku sedang bersembunyi dari Angel. Kemarin dia menjebak Tuan Danzel dengan sebuah obat terlarang. Aku tidak tahu apa yang terjadi secara lengkap, tetapi Angel sendiri yang berakhir meminum minuman itu. Dia menghubungiku untuk menyelamatkannya dan aku …-Liora terdiam sejenak. Lachi menggaruk pipi tak enak karena sejujurnya dia tahu kenapa Angel lah yang berakhir meminum jebakannya sendiri. Dia bahkan mendengar percakapan Liora dengan Angel, dan dari sana Lachi bisa
"Karena kebaikan hatinya, Tristan membawa Erika dan putrinya ke rumah. Awal, dia menjadikan Erika sebagai pelayan di rumah kami," cerita Preya pada Nara, mengenai kedatangan Erika dan Angel di keluarga Luis. Nara yang lebih dulu mengungkit Erika, yang ternyata pernah berniat merusak keluarga Nara dan Zavier. Lalu Erika dipecat, diblacklist dari perusahaan manapun serta dari tempat kerja yang berada dinaungan perusahaan Adam. Mendengar itu, Erika tak menyangka. Dia kira Erika yang Nara katakan berbeda dari Erika yang ada di keluarga Luis. Namun, itu Erika yang sama. "Dari awal aku tidak pernah suka pada Erika, sejak Tristan membawanya ke rumah. Katakanlah aku perempuan yang cemburuan. Namun, aku hanya mengikuti feeling sebagai seorang istri dan perempuan yang mencintai suaminya. Benar saja, perempuan itu tidak baik dan dia berhasil menghancurkan rumah tanggaku. Aku tidak menyalahkan dia sepenuhnya, perpisahanku dengan Tristan juga terjadi karena Tristan sendiri. Coba saja dia tegas,
"Dalam rangka apa kau memberiku bunga, Mochi?" tanya Danzel, mengecup kening Lachi. Setelah sebelumnya sang istri menyalam tangannya. "Dalam rangka mencintai Habibi," jawab Lachi dengan nada jelas, nyengir setelahnya karena dia malu-malu. Sial. Padahal dia sudah berlatih berjam-jam di depan cermin. Hanya agar terkesan anggun, tak malu-malu serta tak gugup sedikitpun ketika memberikan hadiah berupa buket bunga primrose ini pada sang suami. Namun nyatanya dia tetap gugup dan malu. "Hum?" Danzel menaikkan sebelah alis, langsung menggendong istrinya secara bridal style–membawa istrinya ke kamar. Ah, masa bodo jika Lachi bermaksud menciptakan adegan romantis. Sungguh, persetan! Toh, di mata Danzel, istrinya tetap terlihat tengah menggodanya. Yah, ini godaan yang manis! Danzel meletakkan bunga pemberian Lachi di atas nakas kemudian membaringkan istrinya di ranjang. "Habibi, tunggu! A-adegan ini tidak ada dalam skenario hayalanku. Harusnya bukan begini. Menjauh dulu," pekik Lachi, meng
"A--aku hanya iseng, tidak ada artinya kok." 'Cinta terpendam.' batin Nathan, terkekeh pelan sembari mengacak pucuk kepala Zendaya secara gemas. Nathan tahu artinya karena salah satu kalung yang dia berikan pada Zendaya–setiap ulang tahunnya, punya bandul bunga mawar putih. Hampir saja dia lupa akan hal itu, dan untuknya dia mengingat. Namun, benarkah Zendaya memberikan kalung ini atas dasar ungkapan cinta terpendam yang perempuan ini rasakan padanya? Atau memang hanya iseng? ***"Nyonya Xavier."Mendengar namanya di panggil, Lachi yang sedang memilih bunga langsung menoleh ke arah seseorang yang memanggilnya. Lachi mengerutkan kening, bingung dan cukup aneh melihat Liora bersama Victoria mendatanginya. "Oh, iya?" ucap Lachi, meletakkan bunga primrose ke tempat semula. Dia menghadap kepada Victoria dan Liora yang telah berada di sebelahnya. "Nyonya sedang membeli bunga untuk Tuan yah?" tanya Liora sembari tersenyum canggung. Lachi membalas dengan senyum tipis, menganggukkan kep
Tangan Donita terangkat ke arah Zendaya, melayang untuk menampar pipi Zendaya. Namun, pergelangan tangannya tertahan. Bahkan dihempas kasar lalu berakhir dirinya yang terkena tamparan. Plak'"Ahck." Donita menoleh kasar ke sebelah, segera memengang pipi yang terkena tamparan. Donita mendongak, menatap seseorang yang telah menampar pipinya dengan sangat kuat–tak punya hati. "Nathan?" pekik Donita tak percaya, menatap sosok pria tinggi yang berada di sebelah Zendaya. Zendaya menoleh ke arah sebelahnya, mendongak untuk melihat Nathan. Pria tersenyum memasang mimik dingin, melayangkan tatapan tajam yang menghunus tepat ke arah Donita. "Kau akan mendapat yang lebih buruk dari ini jika seandainya tanganmu menyentuh kulit wanitaku," ucap Nathan dingin, mengatupkan rahang–menahan gejolak marah karena perempuan ini berniat menyakiti Zendaya.Zendaya yang masih syok karena Donita berniat menamparnya kemudian tiba-tiba ada Nathan di sini yang mengambil peran melindunginya. Kini semakin syok