Malam semakin larut, tetapi pikiran Nyonya Mey Yan tak kunjung tenang. Setelah pertemuan dengan Li Shen, semuanya terasa semakin berat. Konspirasi yang mereka ketahui bukan hanya mengkhawatirkan, tetapi juga membuktikan bahwa bahaya bisa datang dari berbagai arah.Pagi itu, Tuan Zhao bersiap kembali ke markas militer. Ia ingin memastikan semua persiapan matang jika sewaktu-waktu mereka harus bergerak cepat. Nyonya Mey Yan, meskipun khawatir, tidak berusaha menghalanginya. Ia tahu tanggung jawab Tuan Zhao jauh lebih besar dari sekadar berada di sisinya."Berhati-hatilah," ucap Nyonya Mey Yan lirih saat membantu membetulkan kerah jubah suaminya. Jemarinya sedikit gemetar, seolah takut ini adalah pertemuan terakhir mereka.Tuan Zhao menatapnya dalam, lalu menggenggam tangannya. “Aku akan baik-baik saja. Kau juga, jangan bertindak gegabah. Jika ada sesuatu yang mencurigakan, segera beri tahu aku.”Nyonya Mey Yan mengangguk. Namun, hatinya dipenuhi kecemasan. Saat melihat sosok suaminya pe
Malam semakin larut, tetapi Nyonya Mey Yan masih terjaga di ruang kerjanya. Surat yang baru saja ia baca masih tergenggam erat di tangannya. Jika ia benar-benar pergi ke kuil tua di luar kota, ia harus memastikan segalanya dipersiapkan dengan matang.Ia tidak bisa membawa banyak orang, apalagi membuat pergerakannya terlalu mencolok. Jika ini jebakan, maka ia harus bisa keluar dari sana dengan selamat. Namun, jika ini adalah kesempatan untuk mengetahui siapa pengkhianat di dalam istana, maka ia tidak boleh menyia-nyiakannya.Mey Yan menatap ke luar jendela, menimbang berbagai kemungkinan.Liang Hui masuk ke dalam ruangan setelah mengetuk pintu dengan sopan. “Nyonya, apa yang ingin Anda lakukan?”Mey Yan menyerahkan surat itu kepadanya. Liang Hui membacanya dengan seksama, lalu mengerutkan kening.“Ini terlalu berisiko,” katanya tegas. “Tidak ada jaminan bahwa ini bukan jebakan.”“Aku tahu,” Mey Yan mengakui. “Tapi jika kita tidak bergerak sekarang, kita bisa kehilangan jejak pengkhiana
Malam itu, Mey Yan duduk di beranda dengan segelas teh yang sudah mulai dingin di tangannya. Angin berembus pelan, membawa aroma bunga dari taman belakang. Biasanya, suasana seperti ini akan membuatnya tenang, tapi kali ini pikirannya terlalu penuh.Sejak mendengar tentang kedatangan Lady Lin yang semakin sering ke kamp militer, ia tidak bisa berhenti berpikir. Apakah benar semua ini hanya kebetulan? Atau ada sesuatu yang lebih dalam yang belum ia pahami?Liang Hui sudah kembali ke kamarnya setelah melaporkan hasil penyelidikan awalnya. Masih banyak yang belum jelas, tapi satu hal yang pasti—Lady Lin bukan sekadar wanita bangsawan yang gemar memberikan hadiah kepada para prajurit. Ia memiliki tujuan lain.Mey Yan menghela napas panjang. Ia mengangkat pandangannya ke langit yang gelap. Di kejauhan, bintang-bintang bertaburan, berkelap-kelip seperti harapan yang masih menggantung.“Tuan… apa kau baik-baik saja di sana?” gumamnya pelan.Ia merindukan Zhao. Sudah berbulan-bulan mereka ber
Mey Yan berdiri di balik pepohonan, tangannya mengepal erat di sisi tubuhnya. Jantungnya berdebar kencang, tapi bukan karena perjalanan panjang yang baru saja ia tempuh. Apa yang dilihatnya kini—Zhao dan Lady Lin berdiri berdekatan, berbincang dalam suasana yang tampak akrab—membuat dadanya terasa sesak.Lady Lin tersenyum lembut, tatapannya tertuju pada Zhao dengan cara yang membuat hati Mey Yan bergejolak. Ia tidak bisa mendengar apa yang mereka bicarakan, tetapi cukup melihat gerak-gerik keduanya untuk merasakan sesuatu yang asing di dalam hatinya.Ragu, Mey Yan menggigit bibir bawahnya. Apakah ia harus maju dan memanggil Zhao? Atau haruskah ia tetap di tempatnya dan menunggu hingga mereka berpisah?Liang Hui yang berdiri di sampingnya tampak gelisah. “Nyonya…” bisiknya pelan, seolah ikut merasakan kebimbangan yang sama.Mey Yan menghela napas panjang. Ia tidak ingin berpikiran buruk, tetapi bagaimana mungkin ia bisa mengabaikan apa yang ada di depan matanya?Namun, sebelum ia semp
Zhao berdiri di depan Mey Yan, memandangnya dengan tatapan penuh makna. Meski ia mencoba mengendalikan diri, ada perasaan cemas yang terpendam dalam hatinya. Ia tahu betapa berat perasaan Mey Yan saat ini, betapa banyak yang harus ia hadapi dan jelaskan. Namun, kata-kata tak selalu cukup untuk menyembuhkan luka yang ada.Mey Yan menunduk, matanya menyentuh tanah seakan mencoba menghindari tatapan Zhao. Beberapa saat yang lalu, saat pertama kali datang ke kamp, semuanya terasa jauh lebih sederhana. Perasaan yang ia miliki untuk Zhao begitu kuat, bahkan sebelum mereka menikah, tapi kenyataan ini terasa berbeda. Begitu banyak yang mengganggu pikirannya, termasuk kehadiran Lady Lin yang sering datang membawa hadiah dan makanan untuk para prajurit. Hatinya terasa tercabik-cabik, tak tahu apa yang harus ia percayai lagi.Zhao menghela napas panjang, mendekat sedikit, dan meraih tangan Mey Yan yang terkulai di sampingnya. “Aku tahu kau terluka, Mey Yan. Aku juga merasakannya. Tapi kita harus
Zhao masih memeluk Mey Yan dengan erat, seolah ingin menyatukan dua jiwa yang terpisah oleh jarak dan waktu. Mey Yan bisa merasakan detak jantungnya yang semakin cepat, begitu jelas di telinganya. Ada sesuatu dalam pelukan itu yang membuat hatinya sedikit lebih tenang, namun keraguan yang masih mengendap tak bisa diabaikan begitu saja.“Mey Yan…” suara Zhao terdengar lagi, lebih lembut, namun ada penekanan dalam kata-katanya. “Aku tahu, ini tidak mudah. Aku tahu aku telah membuatmu merasa sepi dan terabaikan, dan itu adalah salahku. Tapi percayalah, tidak ada satu pun hal yang lebih penting bagiku selain dirimu.”Mey Yan menatap ke lantai, matanya mulai buram oleh air mata yang menunggu untuk jatuh. Ia ingin percaya, ia ingin sekali mempercayai kata-kata itu. Tapi hatinya terlalu rapuh untuk itu. Rasa takut yang tiba-tiba datang, keraguan yang begitu dalam, semua itu seakan-akan meruntuhkan segala usaha yang telah dilakukan Zhao untuk meyakinkannya.“Dan Lady Lin, Tuan?” Suaranya hamp
Setelah beberapa hari di ibu kota, Mey Yan mulai merasakan betapa beratnya beban yang harus ia pikul. Setiap langkah yang diambilnya terasa lebih berat dari sebelumnya, seperti ada banyak mata yang mengawasi, menilai, dan mungkin saja menunggunya untuk gagal. Istana yang dulu terasa begitu nyaman kini menjadi penjara bagi hatinya. Rasa cemas yang menggerogoti dirinya terus mengganggu, terutama setelah ia mendapatkan kabar bahwa ada kelompok yang berusaha menggulingkan kekuasaan kerajaan. Hal itu membuat situasi semakin tidak menentu, dan Mey Yan merasa seperti berada di tengah badai yang tak bisa ia hindari.Malam itu, setelah berhari-hari sibuk dengan berbagai urusan kerajaan, Mey Yan memutuskan untuk berjalan di sekitar taman istana. Angin malam yang sejuk berhembus, membawa aroma bunga-bunga yang masih mekar, namun tidak mampu mengusir kegelisahan yang menggelayuti pikirannya. Setiap bayangan di sekitar taman seolah menjadi sesuatu yang asing dan menakutkan. Tiba-tiba, langkahnya t
Mey Yan menghela napas panjang. Malam yang seharusnya memberi ketenangan justru menjadi saksi atas perasaannya yang bergejolak. Kata-kata Zhao terdengar tulus, tapi bayangan Lady Lin masih terukir jelas dalam benaknya. Apakah benar tidak ada yang terjadi di antara mereka? Ataukah ia hanya terlalu takut menerima kenyataan?Zhao menggenggam tangannya lebih erat, seolah tak ingin kehilangan kesempatan untuk meyakinkannya. “Aku tahu sulit bagimu untuk mempercayaiku sekarang, tapi aku ingin kamu melihat hatiku, Nyonya. Aku tidak akan pernah melukai perasaanmu dengan sengaja.”Mey Yan menatapnya, mencari sesuatu dalam sorot mata Zhao—kejujuran, ketulusan, atau mungkin hanya jawaban yang bisa menenangkan pikirannya. Namun, pikirannya tetap dipenuhi pertanyaan yang tak kunjung menemukan kepastian.“Aku ingin percaya, Tuan,” katanya lirih, suaranya nyaris tenggelam oleh hembusan angin malam. “Tapi hatiku masih takut.”Zhao terdiam, lalu mengangguk pelan. “Aku tidak akan memaksamu untuk memperc
Mey Yan menghela napas panjang. Malam yang seharusnya memberi ketenangan justru menjadi saksi atas perasaannya yang bergejolak. Kata-kata Zhao terdengar tulus, tapi bayangan Lady Lin masih terukir jelas dalam benaknya. Apakah benar tidak ada yang terjadi di antara mereka? Ataukah ia hanya terlalu takut menerima kenyataan?Zhao menggenggam tangannya lebih erat, seolah tak ingin kehilangan kesempatan untuk meyakinkannya. “Aku tahu sulit bagimu untuk mempercayaiku sekarang, tapi aku ingin kamu melihat hatiku, Nyonya. Aku tidak akan pernah melukai perasaanmu dengan sengaja.”Mey Yan menatapnya, mencari sesuatu dalam sorot mata Zhao—kejujuran, ketulusan, atau mungkin hanya jawaban yang bisa menenangkan pikirannya. Namun, pikirannya tetap dipenuhi pertanyaan yang tak kunjung menemukan kepastian.“Aku ingin percaya, Tuan,” katanya lirih, suaranya nyaris tenggelam oleh hembusan angin malam. “Tapi hatiku masih takut.”Zhao terdiam, lalu mengangguk pelan. “Aku tidak akan memaksamu untuk memperc
Setelah beberapa hari di ibu kota, Mey Yan mulai merasakan betapa beratnya beban yang harus ia pikul. Setiap langkah yang diambilnya terasa lebih berat dari sebelumnya, seperti ada banyak mata yang mengawasi, menilai, dan mungkin saja menunggunya untuk gagal. Istana yang dulu terasa begitu nyaman kini menjadi penjara bagi hatinya. Rasa cemas yang menggerogoti dirinya terus mengganggu, terutama setelah ia mendapatkan kabar bahwa ada kelompok yang berusaha menggulingkan kekuasaan kerajaan. Hal itu membuat situasi semakin tidak menentu, dan Mey Yan merasa seperti berada di tengah badai yang tak bisa ia hindari.Malam itu, setelah berhari-hari sibuk dengan berbagai urusan kerajaan, Mey Yan memutuskan untuk berjalan di sekitar taman istana. Angin malam yang sejuk berhembus, membawa aroma bunga-bunga yang masih mekar, namun tidak mampu mengusir kegelisahan yang menggelayuti pikirannya. Setiap bayangan di sekitar taman seolah menjadi sesuatu yang asing dan menakutkan. Tiba-tiba, langkahnya t
Zhao masih memeluk Mey Yan dengan erat, seolah ingin menyatukan dua jiwa yang terpisah oleh jarak dan waktu. Mey Yan bisa merasakan detak jantungnya yang semakin cepat, begitu jelas di telinganya. Ada sesuatu dalam pelukan itu yang membuat hatinya sedikit lebih tenang, namun keraguan yang masih mengendap tak bisa diabaikan begitu saja.“Mey Yan…” suara Zhao terdengar lagi, lebih lembut, namun ada penekanan dalam kata-katanya. “Aku tahu, ini tidak mudah. Aku tahu aku telah membuatmu merasa sepi dan terabaikan, dan itu adalah salahku. Tapi percayalah, tidak ada satu pun hal yang lebih penting bagiku selain dirimu.”Mey Yan menatap ke lantai, matanya mulai buram oleh air mata yang menunggu untuk jatuh. Ia ingin percaya, ia ingin sekali mempercayai kata-kata itu. Tapi hatinya terlalu rapuh untuk itu. Rasa takut yang tiba-tiba datang, keraguan yang begitu dalam, semua itu seakan-akan meruntuhkan segala usaha yang telah dilakukan Zhao untuk meyakinkannya.“Dan Lady Lin, Tuan?” Suaranya hamp
Zhao berdiri di depan Mey Yan, memandangnya dengan tatapan penuh makna. Meski ia mencoba mengendalikan diri, ada perasaan cemas yang terpendam dalam hatinya. Ia tahu betapa berat perasaan Mey Yan saat ini, betapa banyak yang harus ia hadapi dan jelaskan. Namun, kata-kata tak selalu cukup untuk menyembuhkan luka yang ada.Mey Yan menunduk, matanya menyentuh tanah seakan mencoba menghindari tatapan Zhao. Beberapa saat yang lalu, saat pertama kali datang ke kamp, semuanya terasa jauh lebih sederhana. Perasaan yang ia miliki untuk Zhao begitu kuat, bahkan sebelum mereka menikah, tapi kenyataan ini terasa berbeda. Begitu banyak yang mengganggu pikirannya, termasuk kehadiran Lady Lin yang sering datang membawa hadiah dan makanan untuk para prajurit. Hatinya terasa tercabik-cabik, tak tahu apa yang harus ia percayai lagi.Zhao menghela napas panjang, mendekat sedikit, dan meraih tangan Mey Yan yang terkulai di sampingnya. “Aku tahu kau terluka, Mey Yan. Aku juga merasakannya. Tapi kita harus
Mey Yan berdiri di balik pepohonan, tangannya mengepal erat di sisi tubuhnya. Jantungnya berdebar kencang, tapi bukan karena perjalanan panjang yang baru saja ia tempuh. Apa yang dilihatnya kini—Zhao dan Lady Lin berdiri berdekatan, berbincang dalam suasana yang tampak akrab—membuat dadanya terasa sesak.Lady Lin tersenyum lembut, tatapannya tertuju pada Zhao dengan cara yang membuat hati Mey Yan bergejolak. Ia tidak bisa mendengar apa yang mereka bicarakan, tetapi cukup melihat gerak-gerik keduanya untuk merasakan sesuatu yang asing di dalam hatinya.Ragu, Mey Yan menggigit bibir bawahnya. Apakah ia harus maju dan memanggil Zhao? Atau haruskah ia tetap di tempatnya dan menunggu hingga mereka berpisah?Liang Hui yang berdiri di sampingnya tampak gelisah. “Nyonya…” bisiknya pelan, seolah ikut merasakan kebimbangan yang sama.Mey Yan menghela napas panjang. Ia tidak ingin berpikiran buruk, tetapi bagaimana mungkin ia bisa mengabaikan apa yang ada di depan matanya?Namun, sebelum ia semp
Malam itu, Mey Yan duduk di beranda dengan segelas teh yang sudah mulai dingin di tangannya. Angin berembus pelan, membawa aroma bunga dari taman belakang. Biasanya, suasana seperti ini akan membuatnya tenang, tapi kali ini pikirannya terlalu penuh.Sejak mendengar tentang kedatangan Lady Lin yang semakin sering ke kamp militer, ia tidak bisa berhenti berpikir. Apakah benar semua ini hanya kebetulan? Atau ada sesuatu yang lebih dalam yang belum ia pahami?Liang Hui sudah kembali ke kamarnya setelah melaporkan hasil penyelidikan awalnya. Masih banyak yang belum jelas, tapi satu hal yang pasti—Lady Lin bukan sekadar wanita bangsawan yang gemar memberikan hadiah kepada para prajurit. Ia memiliki tujuan lain.Mey Yan menghela napas panjang. Ia mengangkat pandangannya ke langit yang gelap. Di kejauhan, bintang-bintang bertaburan, berkelap-kelip seperti harapan yang masih menggantung.“Tuan… apa kau baik-baik saja di sana?” gumamnya pelan.Ia merindukan Zhao. Sudah berbulan-bulan mereka ber
Malam semakin larut, tetapi Nyonya Mey Yan masih terjaga di ruang kerjanya. Surat yang baru saja ia baca masih tergenggam erat di tangannya. Jika ia benar-benar pergi ke kuil tua di luar kota, ia harus memastikan segalanya dipersiapkan dengan matang.Ia tidak bisa membawa banyak orang, apalagi membuat pergerakannya terlalu mencolok. Jika ini jebakan, maka ia harus bisa keluar dari sana dengan selamat. Namun, jika ini adalah kesempatan untuk mengetahui siapa pengkhianat di dalam istana, maka ia tidak boleh menyia-nyiakannya.Mey Yan menatap ke luar jendela, menimbang berbagai kemungkinan.Liang Hui masuk ke dalam ruangan setelah mengetuk pintu dengan sopan. “Nyonya, apa yang ingin Anda lakukan?”Mey Yan menyerahkan surat itu kepadanya. Liang Hui membacanya dengan seksama, lalu mengerutkan kening.“Ini terlalu berisiko,” katanya tegas. “Tidak ada jaminan bahwa ini bukan jebakan.”“Aku tahu,” Mey Yan mengakui. “Tapi jika kita tidak bergerak sekarang, kita bisa kehilangan jejak pengkhiana
Malam semakin larut, tetapi pikiran Nyonya Mey Yan tak kunjung tenang. Setelah pertemuan dengan Li Shen, semuanya terasa semakin berat. Konspirasi yang mereka ketahui bukan hanya mengkhawatirkan, tetapi juga membuktikan bahwa bahaya bisa datang dari berbagai arah.Pagi itu, Tuan Zhao bersiap kembali ke markas militer. Ia ingin memastikan semua persiapan matang jika sewaktu-waktu mereka harus bergerak cepat. Nyonya Mey Yan, meskipun khawatir, tidak berusaha menghalanginya. Ia tahu tanggung jawab Tuan Zhao jauh lebih besar dari sekadar berada di sisinya."Berhati-hatilah," ucap Nyonya Mey Yan lirih saat membantu membetulkan kerah jubah suaminya. Jemarinya sedikit gemetar, seolah takut ini adalah pertemuan terakhir mereka.Tuan Zhao menatapnya dalam, lalu menggenggam tangannya. “Aku akan baik-baik saja. Kau juga, jangan bertindak gegabah. Jika ada sesuatu yang mencurigakan, segera beri tahu aku.”Nyonya Mey Yan mengangguk. Namun, hatinya dipenuhi kecemasan. Saat melihat sosok suaminya pe
Malam semakin larut, tetapi pikiran Mey Yan terus berkecamuk. Setelah pertemuan mereka dengan Li Shen, semua yang terjadi terasa semakin berat. Informasi tentang konspirasi besar itu tidak hanya mengkhawatirkan, tetapi juga membuka mata mereka akan bahaya yang mengintai dari segala arah.Pagi itu, Zhao memutuskan untuk berangkat lebih dulu ke markas militer. Ia ingin memastikan semua persiapan sudah matang jika mereka harus bergerak cepat. Mey Yan tidak bisa menyembunyikan kekhawatirannya, tetapi ia tahu bahwa tanggung jawab Zhao jauh lebih besar daripada sekadar menjaga dirinya.“Berhati-hatilah,” ujar Mey Yan saat Zhao mengenakan jubahnya. Tangannya sedikit gemetar ketika membetulkan kerah Zhao, seolah takut ini adalah pertemuan terakhir mereka.Zhao tersenyum tipis, menggenggam tangan istrinya. “Aku akan baik-baik saja. Kau juga, jangan mengambil risiko terlalu besar. Jika ada sesuatu yang mencurigakan, beri tahu aku.”Mey Yan mengangguk, tetapi hatinya dipenuhi rasa cemas. Ketika