"Tersangka 205, ada tamu untuk Anda!" Seorang polisi penjaga menghampiri ruang tahanan Wisnu. Setelah ditetapkan sebagai tersangka, karena kesaksian Kalina yang memberatkan tuduhannya. Untuk sementara Wisnu ditempatkan di kepolisian sektor Jakarta Selatan, sebelum sidang pertama diadakan saat Kamila sadar nanti. Terlihat lelaki yang nyaris kehilangan semangat hidup itu bangkit, dan mengekori seorang penjaga yang membawanya langsung ke ruang kunjungan. Dalam benak Wisnu, dia hanya berpikir bahwa papanya atau Yayang yang akan datang untuk melampiaskan kekesalan. Namun, asumsinya terpatahkan saat melihat seorang perempuan dengan dress bunga-bunga tanpa lengan dengan potongan rambut sebahu dan ekspresi datar itu. Dia merasa sesuatu yang lebih buruk akan segera terjadi. Dua hari sudah berlalu sejak rapat umum pemegang saham dilakukan. Kalina kembali ke ibukota untuk menyelesaikan apa yang sudah dia mulai. Kehancuran Keluarga Wijaya sudah terpampang di hadapan, dan dia semakin tak sabar
Tiga orang itu berkumpul di ruang keluarga dalam sebuah vila yang merupakan aset milik Keluarga Hartono. Berbagai berkas, memori card, audio record, juga USB tersebar di atas meja. Semua itu adalah bukti-bukti kejahatan Keluarga Wijaya yang sudah Kalina kumpulkan dibantu dua orang kepercayaannya selama ini. "Sekarang yang kita butuhkan hanya kesaksian Bu Nani. Pembantu rumah tangga yang dipecat Keluarga Wijaya, setelah peristiwa keji sembilan tahun lalu itu." Kalina menatap wajah Feri dan Cici bergantian. Perempuan itu duduk di antara mereka dengan bertumpang kaki dan tubuh tegak menghadap meja. "Saya sudah menemukan alamat beliau, Bu. Sekarang Bu Nani menetap di Bandung, tinggal di daerah pelosok Kabupaten Bandung Barat," sahut Feri.Kalina mengangguk. "Kerja bagus. Setidaknya kita sudah memastikan kalau salah satu saksi kunci masih hidup sampai saat ini. Tugasmu sekarang adalah memastikan wanita tua itu tidak kabur lagi."Feri mengangguk pelan. "Ci!""Iya, Nya." Cici menegakkan
Klik! Kalina mematikan tabletnya saat melihat Yayang sudah sampai di puncak emosi. Dia meletakkan gadget itu di atas nakas samping brankar, berikut pop corn dan bobanya. Perempuan itu bertopang dagu sembari menatap lekat wajah kembarannya itu. "Ngidamku sedikit aneh, Mil. Akhir-akhir ini aku bahkan tak bisa tidur memikirkan apa yang akan terjadi esok hari. Tak tenang rasanya sebelum melihat mereka benar-benar menderita. Sembilan tahun aku menahan semuanya sendiri, sembilan tahun aku berkutat dengan segala rencana yang selalu berputar-putar di kepala." Kalina menegakkan tubuhnya, lalu menggenggam tangan Kamila. "Semoga apa pun keputusanku nanti. Kamu tak akan pernah menghalangi. Sebab tidak ada hal yang paling kuharapkan selain dukunganmu, Saudaraku."Kebeningan panjang menyelimuti ruangan. Tak ada lagi kata yang keluar dari mulut perempuan itu. Dia hanya duduk geming menatap tubuh Kamila yang terbaring. Sampai suara pintu yang terbuka menginterupsinya. Dua orang wanita yang baru d
Semua anggota keluarga Kamila termasuk Revan sudah berkumpul di ruangan Kamila bersama seorang detektif polisi yang hendak meminta keterangan terkait peristiwa yang terjadi. Kurang lebih satu setengah jam menunggu, tiba waktunya bagi Kamila untuk diajak berkomunikasi."Mil, masih ingat semuanya, kan?" Kalina mulai bertanya dengan hati-hati. Kamila mengedarkan pandangan, menatap satu per satu orang yang ada di ruangan. Kemudian mengangguk pelan. "Aku, Revan, Ayah, Bu Hilma, dan anggota keluarga Wijaya?" Kalina kembali memastikan. Kamila terdiam sejenak, sebelum mengangguk lagi. "Sekarang kamu tahu apa yang harus dikatakan, kan?" Revan menyahuti. Kembali, anggukan kepala mereka dapati. "Jadi, apa yang kamu--""Lapar."Deg! Semua orang berpandangan. Kebingungan, kenapa kata itu yang pertama kali keluar?"Masih ada efek anestesinya kali," terka Revan spontan."Tapi operasinya udah dua hari lalu, Van," sahut Kalina. "Pengen Nasi Padang, pake extra Rendang," celetuk Kamila dengan pand
Dua minggu kemudian .... "Kamu yakin tak perlu bertemu dengan Wisnu lebih dulu sebelum sidang?" Revan menghampiri Kamila yang tengah mematut diri di depan cermin. Setelah dua pekan masa pemulihan, dokter menyatakan bahwa kondisi Kamila sudah stabil dan dia bisa beraktivitas dengan normal. Mengingat profesi sebelumnya, ketahanan fisik dan imun perempuan itu jelas lebih kuat daripada perempuan biasa sebayanya. Kamila menggeleng pelan. Pandangannya masih belum beralih dari cermin di hadapan yang menunjukkan bayangan dirinya dengan gaya rambut baru Classic Bob Hairstyle yang sangat cocok dengan kepribadiannya."Aku udah janji pada Kalina nggak akan menemui Wisnu sampai waktu sidang," ucapnya santai. "Sebenarnya apa yang tengah kalian rencanakan? Di mana Kalina sekarang?" tanya Revan yang penasaran karena selama dua pekan saudara kembar ini tak melibatkannya dalam rencana yang tengah dijalankan. "Jangan tersinggung, Van. Kita sengaja nggak libatin kamu karena ngerasa ini problem woman,
Kamila berhenti sejenak saat melihat mobil yang dia kenali milik Yuna sudah terparkir di pelataran kediaman Keluarga Wijaya, sedangkan mobil milik Wisnu belum dia dapati berada di lokasi. Dahinya mengernyit heran, dia mulai bertanya-tanya tentang tujuan Yuna datang? Padahal dua pekan lalu dia mengatakan sudah memutus segala hubungan dengan keluarga Wisnu saat datang bersama dengan kedua orangtuanya hari itu. Mencoba mengesampingkan segala teori tentang Yuna, Kamila memilih bergegas memasuki rumah. Namun, dia dibuat heran saat mendapati ruang utama justru dalam keadaan hening dan sepi. Ke mana perginya orang-orang? Padahal dia sudah tak sabar ingin menghajar wajah Pak Dahlan. Tanpa pikir panjang, serta pikiran yang masih dipenuhi dengan kekalutan, Kamila langsung berlarian menelusuri tiap ruang yang ada, dari satu lantai ke lantai lainnya, dari satu ruang ke ruang berikutnya. Sampai sebuah keributan yang berasal dari ruang kerja milik Pak Dahlan di lantai tiga, mengakhiri pencarianny
"Seminggu lalu saya menemukan wanita ini di salah satu rumah sakit di Singapura. Rupanya dia keguguran, karena stres dan tertekan." Semua orang menatap Kalina, ketika perempuan itu mengambil alih kesaksian yang seharusnya dilakukan Yuna."Keguguran?" Wisnu menoleh ke arah perut Yuna yang sudah kembali ramping. Sedangkan Kamila hanya bisa bungkam mendengarnya. "Janin dalam kandungan wanita itu, kan yang membuat Anda bungkam Tuan Adiwijaya?" Kalina menghampiri Wisnu, dan bergumam di telinganya. Kedua tangan Wisnu langsung terkepal. "Sayang sekali, padahal kalau janinnya tidak gugur, mereka bisa menjadi saudara yang akur," cibirnya sembari mengusap perut. Kalina kembali beranjak, dia beralih dari Wisnu menuju berlakang kursi Yuna. "Akh." Tanpa diduga Kalina menjambak rambut perempuan itu hingga wajahnya yang semula tertunduk, jadi mendongak lurus ke arah meja hakim. "Lawan bicaramu di depan, Nyonya! Bukan di bawah."Gemelatuk gigi Yuna terdengar sampai beberapa orang di belakang."Sek
'W.A anak pertama salah satu pebisnis terkemuka yang juga pemimpin perusahaan elektronik ternama baru saja dibebaskan dari segala tuduhan percobaan pembunuhan pada sang istri K.F. Sementara itu, aktris berinisial Y.J ikut terseret dalam kasus yang melibatkan para konglomerat tersebut.'Sraaak!Braaak!"Tamat, kita sudah benar-benar tamat sekarang." Pak Dahlan melempar semua barang yang ada di atas meja kantornya, kemudian mengempaskan diri ke kursi. "Yuna yang sebelumnya bersedia menjamin keselamatan kita malah lebih dulu masuk perangkap si wanita sundal. Sejak awal kita memang terlalu meragukan Kalina, Yang. Wanita itu benar-benar tak bisa diremehkan." Lelaki paruh baya itu menunduk dalam, sembari memijit pelipis pelan. "Semua aset kita ludes, banyak investor yang menarik investasi mereka setelah skandal Hendri pertama kali mencuat ke permukaan. Bahkan para pemegang saham sudah melakukan protes dengan terang-terangan agar Wisnu turun dari jabatannya. Sekarang tak ada lagi pilihan, s
"Loh, Papa." "Papa?""Uncle?""Wisnu, sejak kapan kamu berdiri di sana?"Barra yang lebih dulu sadar, berjalan mengampiri, diikuti Thea, Terra, dan terakhir Bu Dahlia. Kamila yang mendengar itu semua sontak langsung menendang Revan, lalu bangkit dan membenahi penampilan yang sejujurnya sudah tak bisa lagi terselamatkan."Wi-Wisnu.""Ma-maaf aku datang tanpa kabar. Soalnya sejak tadi ponselmu tak bisa dihubungi dan aku dengar dari Mama sedang ada acara di sini.""Ng, anu, nggak apa-apa, kok. Silakan duduk, ngobrol-ngobrol sama yang lain dulu. Aku ke atas sebentar, ya." Tanpa menunggu persetujuan dengan gerakan seribu bayangan, Kamila langsung berlari menuju kamar. Dan mengurung diri di sana.***Tok! Tok! Tok!"Mil, boleh aku masuk?" Di depan pintu kamar Kamila, Kalina berdiri. Sudah satu jam sejak pamit ke atas, dia masih belum kembali, hingga Kalina inisiatif menghampiri."Masuk aja, Kal. Nggak dikunci." Teriakan Kamila terdengar dari dalam, perlahan Kalina membuka pintu, lalu meng
"Hatchiiim."Dari arah kamar terdengar suara bersin keras, hingga membuat orang-orang yang akhir pekan ini sedang berkumpul di rumah besar itu terlonjak kaget."Kak, are you, okay?" Kepala Cici menyembul dari arah pintu."Ya, aku nggak apa-apa. Biasanya kalau tiba-tiba bersin kayak gini, pasti ada yang ngomongin," tuturnya sembari melempar selembar tisu yang sudah digunakan ke tempat sampah.Cici manggut-manggut, lalu berjalan menghampiri ke kamar. "Btw tumben rapi banget hari ini, nggak mungkin kalau cuma sekedar reuni keluarga Kak Mila sampai dandan cantik begini. Rambut digerai, pake dress tanpa lengan, heels lima senti.""Sshhh ... hari ini aku ada janji, jadi tolong wakilin jamu aja semua tamu, ya.""Ta--""Mil-- oh my God. Setan apa yang merasukimu hari ini, Mila?" Feri yang baru saja muncul terlihat membekap mulut melihat penampilan Kamila."Diem, lu, Fer. Komen sekali lagi gue gebok.""Nggak, nggak mungkin. Ini pasti bukan Kamila, ini pasti Kamile--hmmpt." Buru-buru Kamila mem
"Bagaimana kabarmu?"Pertanyaan itu Wisnu ajukan sesaat setelah Kamila dan Barra duduk di hadapannya, di ruang Head Teachers."Ba-baik." Entah kenapa afmosfer yang tercipta di antara keduanya terasa kikuk dan canggung. Sementara Barra yang duduk di tengah-tengah mereka malah sibuk memindai ekspresi dari tante dan ayah kandungnya itu."Jantung berdebar dua kali lebih cepat dari biasanya, telapak tangan dingin, wajah pucat, bicara terbata-bata, terdeteksi salting. Reaksi ini biasa juga disebut dengan gugup." Barra meletakkan tangan di dada Kamila."Astaga Barra." Kamila memelotot sembari menepis tangan bocah tujuh tahun itu.Wisnu terkekeh pelan. "Maaf kalau aku membuat kalian tak nyaman." Lelaki itu sesekali menyentuh hidung dan menggaruk dahi."Gelagat itu menunjukkan kalau Papa yang justru nggak nyaman.""Hei, berhenti sembarangan baca emosi orang!" sentak Kamila kembali mengingatkan."Tapi kakek bilang mengenali ekspresi wajah merupakan cara penting untuk meraba apa yang dirasakan
Tujuh tahun kemudian ...."Bangun, Barra. Ini hari pertama kamu masuk sekolah! Seragam sama semua perlengkapan udah Mimi siapin. Jangan lupa sarapan juga. Ada nasi goreng di atas meja!"Kamila mengguncang tubuh bocah yang menggeliat panjang dalam selimut tebal, di atas ranjang berbentuk mobil-mobilan."Bentar lagi, Mi. Biasa juga sekolah internasional masuknya agak siang. Ini baru jam enam pagi, ya Tuhan.""Buset nih bocah. Siapa juga yang bilang kamu bakal masuk ke sekolah international? Yang ada kamu masuk swasta!"Mendengar kata sekolah swasta bocah berumur tujuh tahun itu langsung terlonjak dari tempatnya."Swasta? Seriously? Kita jauh-jauh pindah ke Jakarta cuma buat daftar di sekolah swasta!""Ya ampun, nih bocah nggak ada bersyukurnya. Udah untung kamu masuk sekolah swasta yang elite. Coba Mimi dulu, udah mah masuk negeri yang ikut program pemerintah, masih kudu bikin surat keterangan tidak mampu, biar nggak perlu bayar SPP lagi. Dah, ah. Buruan mandi! Atau mau langsung Mimi lu
Orang bilang, level tertinggi dari mencintai adalah mengikhlaskan. Entah itu mengikhlaskan dengan yang lain, atau yang lebih menyakitkan mengikhlaskannya pergi ke pangkuan Tuhan. Entah itu cinta antar pasangan, cinta antara anak dan orangtua, maupun cinta antar saudara.Tak ada rencana yang lebih sempurna selain takdir yang telah Tuhan gariskan. Bagaimana dua orang saudara kembar yang sudah berpisah selama lebih dari tiga puluh tahun kembali dipersatukan untuk membalas satu keluarga zalim yang merasa kekuasaan yang dimiliki mampu menutupi seberapa busuknya tingkah laku mereka, sampai lupa bahwa roda kehidupan itu berputar, dan dalam beberapa keyakinan karma itu nyata adanya.Kurang dari setahun, tepatnya delapan bulan, saudara kembar Kamila dan Kalina mampu mengantar kehancuran untuk Keluarga Wijaya. Keluarga konglomerat yang dikenal publik dengan berbagai prestasi, keluarga yang dikenal memiliki toleransi tinggi, serta kerukunan yang patut diacungi. Namun, siapa yang tahu di balik im
Welcome Kalina Fathira Hartono dan Kamila Anindira Hartono.Tulisan besar dari karangan bunga yang khusus dipesan tergantung di lantai dua kediaman keluarga yang bisa dibilang terkaya di Kota Surabaya.Kamila membekap mulut sembari memeluk Dahiyang di pangkuan tangan.Tak pernah terpikir dalam benak Kamila sekalipun bahwa akhirnya dia sampai di posisi ini. Posisi yang selalu ibunya katakan suatu saat akan bisa dia daki. Roda yang selama ini berhenti berputar akhirnya menempatkan dia di sini. Ternyata masa depan yang selalu dia harapkan ekspekstasinya lebih dari yang mampu dia impikan.Orang-orang dengan setelan serba-hitam yang diketahui staf dan beberapa karyawan PT. Poltaris Jaya menyambut mereka. Berjejer di antara kolam pancuran yang membentang sepanjang pelataran. Bu Hilma terlihat berjalan mendorong kursi roda Pak Hari untuk menghampiri mereka. Dua buket bunga terlihat di pangkuannya.Kamila langsung berlari dan berhambur dalam pelukan ayahnya. Di belakang Kalina menyusul dengan
Kalina terkekeh sesekali saat melihat Kamila yang terlihat begitu bersemangat pagi ini. Di dalam kamar tadi bahkan dia membongkar seisi lemari hanya untuk mencari pakaian terbaik yang bisa digunakan untuk acara hari ini. Menjadi bisnis women atau mengelola bisnis mungkin memang bukan passion Kamila. Namun, penegak hukum, aparat, serta badan inteligen adalah pekerjaan dan kecintaannya.alina tahu, meski tak mengatakannya Kamila pasti sangat ingin kembali. Walapun mustahil untuk kembali menjadi bagian dari BIN, setidaknya dia berharap bisa menjadi salah satu anggota kepolisian tak peduli apa pun tingkatnya."Mil?" Kalina meletakkan tangan di bahu Kamila yang nampak duduk tenang di kursinya menunggu panggilan."Ya?" Kamila menoleh antara gugup dan senang yang membuat Kalina agak tak tega untuk mengungkap kebenarannya. "Sebenarnya ...." Kalina sengaja mengulur-ulur waktu yang membuat dada saudaranya semakin berdegup kencang."Sebenarnya apa, sih, Kal? Buruan deg-degan el--""Kompol Warma
Di atas pusara dengan nisan bertuliskan Zahira P. Putri itu, Kamila dan Kalina duduk bersimpuh. Meletakkan buket bunga di atas gundukan tanah yang sudah lama mengering dan dilindungi tembok marmer berpondasi kokoh.Kamila terlihat menuntun tangan saudara kembarnya untuk menyiram nisan dan sebagian tanah yang terlihat."Halo, Bu. Apa kabar? Sekarang Kamila nggak datang lagi sendiri, ada Kalina juga. Akhirnya, Bu. Kita bisa tumbuh jadi anak kebanggaan ibu. Baik-baik di Surga sana, ya. Salam sayang dan peluk cium dari kami." Kamila tersenyum dengan mata berkaca-kaca. Merengkuh tubuh Kalina yang sudah lebih dulu terisak di sampingnya."Nggak apa, Kal. Yang penting ibu udah liat semuanya dari atas sana." Kamila meyakinkan saudaranya sembari menyeka air mata Kalina."Bagaimana rasanya pelukan ibu, Mil?" tanya Kalina lirih."Tentu saja lebih hangat dari pelukan ayah dan lebih berkesan daripada pelukan mantan.""Kamila." Kalina mengerucutkan bibir sembari mencubit pelan perut saudaranya."Dah
"Apa-apaan ini? Masa merayakan kemenangan di Rumah Makan Padang?" Kamila menggerutu, sembari berkacak pinggang di depan sebuah rumah makan yang cukup besar di daerah setempat."Dah, terima kenyataan, Nya! Nyonya Kalina sama Pak Revan dah keseringan makan di resto bintang lima." Cici menepuk pundak Kamila, kemudian berlalu ke dalam."Tap-tapi aku juga dah keseringan makan di rumah Makan Padang. Bahkan sampe kolesterol dan mencret-mencret!" Kamila mengerucutkan bibir, menoleh menatap saudara kembarnya dan Revan yang baru saja turun dari dalam mobil."Aku janji, makan malam nanti kamu yang tentukan," sahut Kalina sembari tersenyum simpul."Seriously?" Bola mata bulat itu berbinar penuh harap."Iya. Harus berapa kali kubilang milikku, milikmu juga," tukas Kalina sembari merangkul bahu saudaranya."Resto Lavender, boleh? Ruang VIP yang view-nya macam di pelem-pelem bucin? Aku pernah ke sana, tapi cuma buat denger umpatan sampah para Wijaya Family." Kamila kembali mengerucutkan bibir."Iya