"Pegangan, oi!" teriak Kamila saat mendapati Detektif Nizar hendak terjungkal, karena motor yang dikendari dengan ugal-ugalan melewati jalan setapak yang hanya muat untuk satu kendaraan roda dua. Wajah lelaki manis berumur akhir dua puluhan itu terlihat begitu tertekan setelah dibawa berputar-putar melewati kompleks, lalu masuk dari satu gang ke gang lainnya sampai Kamila benar-benar berhasil menyusul laju motor Feri yang berjalan cepat menuju daerah pesawahan yang baru saja dibajak manual menggunakan Kerbau. Meskipun sempat ragu, dan merasa kikuk. Terpaksa Detektif Nizar melingkarkan tangan di pinggang ramping Kamila, daripada menerima risiko terjungkal, tepelanting, dan terguling-guling dipematang sawah. "Udah punya istri atau anak?" teriak Kamila lagi saat motornya semakin mendekati kendaraan Feri. "Hah?" Detektif Nizar memastikan lagi. "Anak sama bini!" ulang Kamila dengan suara yang lebih keras. "Oh, belum.""Bagos. Berarti nggak akan ada yang khawatir meskipun lecet dan te
"Awalnya kita tiba-tiba diteror anak buahnya Pak Dahlan dan Yayang. Mereka ngirimin video saat ibu dan Nenek disekap di rumah sendiri. Kita juga nggak ngerti gimana bisa mereka dapat alamat rumah itu, padahal ibu ngasih alamat palsu saat dia diberhentikan sembilan tahun lalu. Jujur, gue emang sempet ragu saat tahu ternyata ibu yang terlibat dalam pelecehan saudara lo saat itu, tapi akhirnya gue mampu meyakinkan diri kalau apa yang udah diperbuat tetep harus dipertanggungjawabkan. Walaupun hubungan kita memang udah renggang sejak ibu memutuskan untuk menikah lagi dengan brondong mata duitan, setelah bapak meninggal, tapi mau bagaimana juga dia tetep ibu yang udah ngelahirin gue dan Cici. Apalagi saat itu posisinya ada nenek juga. Akhirnya di hari yang sama gue kasih semua bukti yang udah dikumpulin selama ini, berikut copy-an yang Kalina punya. Belum cukup dengan semua itu, di hari yang sama. Saat ibu sudah bersedia menjadi saksi dan mengakui semua kesalahannya, dia malah jadi korban
Empat bulan kemudian ...."Masih belum ada kabar dari Kamila, Van?" Kalina menatap lurus ke depan sembari mengelus perutnya yang sudah membesar. Tak terasa waktu begitu cepat berlalu, hari demi hari, pekan berganti bulan dinanti, tetapi saudara kembarnya tak kunjung pulang seperti janji tempo hari. Mereka kehilangan koneksi, komunikasi keduanya terputus sejak sebulan terakhir. Siang malam Kalina menunggu, menguatkan diri di antara ketakutan yang menggerogoti. Sebenarnya dia bisa saja memulai pencarian besar-besaran, tapi Kalina ingat pesan Kamila terakhir kali. Bahwa perempuan itu benar-benar akan kembali sendiri. Membawa serta bukti dan saksi, bersama tim yang sudah dibentuknya beberapa bulan ini. "Masih belum, Kal." Suara Revan terdengar rendah. Lelaki itu duduk di samping Kalina dan merangkul bahunya. Kalina menyandarkan kepalanya di bahu Revan. Perempuan itu meremas kedua tangan dan bergumam pelan. "Kalau tahu akan begini, mungkin saat itu aku tak akan mengizinkannya pergi. Ba
"Jadi, ini alasanmu menghubungi pers dan polisi?" pekik Revan dengan suara nyaris tertahan.Untuk pertama kalinya Kalina tersenyum lebar. "Ya. Aku bangga sekali pada Kamila."Ting! Bersamaan dengan itu pintu lift terbuka. Mereka telah sampai di lantai yang dituju. Kalina menggandeng tangan Revan. Ada debar dan perasaan antusias yang tak tertahan. Akhirnya. Hari ini semua yang dia perjuangkan akan benar-benar terbayar. Langkah keduanya tiba-tiba terhenti tepat di depan pintu masuk ruangan."Mereka sudah tiba," ucap Kalina begitu saja. Revan yang langsung peka dengan maksud Kalina langsung berlari menuju tilas kaca yang melapisi beberapa ruangan di setiap lantai. Dari ketinggian dua puluh tiga gedung, mata awasnya masih bisa melihat sebuah mobil Van berhenti di pelataran perusahaan. Enam orang turun berurutan dari dalamnya. Mereka diketahui. Kamila, Detektif Nizar, Feri, Cici, dan dua tersangka utama yaitu Pak Dahlan dan Yayang. ***Bruk! Tubuh Pak Dahlan yang sudah babak belur d
Empat bulan sebelumnya ...."Papa minta maaf, Wisnu. Sebenarnya bukan niat kami untuk menumbalkanmu, ini hanya tentang kesalahanpahaman."Pak Dahlan menghampiri Wisnu yang sedang berkemas di apartemennya yang rencananya akan dijual. Lelaki itu terlihat sudah menurunkan beberapa foto pernikahannya bersama Kalina, dan sedang membersihkan debu pada sebuah bingkai foto yang menunjukkan seorang lelaki berseragam dan gadis penjual kue. Foto tersebut bisa diperkirakan diambil antara tujuh belas sampai delapan belas tahun lalu. Gambaran masa lampau yang amat berkesan baginya bahwa sampai sekarang. "Tak usah basa-basi, langsung bilang saja apa yang Papa mau?" cetus Wisnu tanpa mengalihkan pandangan dari bingkai berukuran sedang di pangkuan."Jadi, begini." Pak Dahlan langsung mengambil tempat di samping Wisnu. "Papa mau kamu tetep stay di sini! Walau bagaimana pun perusahaan, hanya satu-satunya aset kita yang tersisa. Papa yakin dengan kemampuan kamu, kamu bisa mengembalikan kejayaan PT. Wij
Kamila menatap punggung lebar lelaki yang duduk di teras depan. Nampaknya dia tengah bersiap untuk pulang. Akan tetapi, sesuatu seolah menahannya untuk tetap tinggal. Seandainya waktu bisa diputar, satu-satunya yang dia harapkan hanya kembali ke masa di mana dia dan Kamila masih begitu dekat di masa lampau, seandainya selepas menyelesaikan study dia mengikuti apa yang diinginkan dan menolak perjodohan yang ditetapkan orangtuanya, mungkin tak akan pernah ada korban, dan dia tak akan mungkin ada di titik sekarang. Gerakan seseorang yang duduk di sampingnya, menarik Wisnu dari lamunan. Dia menoleh pada perempuan yang kini memotong rambutnya lebih pendek daripada yang terlihat terakhir kali. Dadanya berdegup kencang, ada semacam perasaan sesak yang sulit digambarkan, ketika mengetahui takdir yang begitu kejam mengatur jalan bertentangan untuk dua insan yang mengharapkan sebuah penyatuan. "Aku nggak akan mengucapkan terima kasih atas apa yang sudah kamu lakukan, aku juga nggak akan mengu
"Sebelum sidang diputuskan, Pak Dahlan akan ditempatkan bersama dengan para narapidana yang diduga mantan para preman. RT-nya (Rukun Tahanan) menyebutkan bahwa pelecehan seksual adalah kejahatan yang paling menjijikkan, dan pelaku harus diberi pelajaran sebelum hukumannya diputuskan pengadilan."Kalina tertegun mendengar penuturan Kamila terkait hukuman untuk Pak Dahlan. Sudut matanya menatap ke dalam sel di mana para narapidana mulai mengerumuni Pak Dahlan yang baru saja tiba, dan langsung dilucuti celananya. "Karma itu nyata, Kal. Segala tindakan pasti ada pertanggungjawabannya. Kalau bukan kita nggak mampu melakukannya, pasti ada saja orang lain yang mewakilkan." Kalina tersenyum kecil, lalu bangkit dan merangkul bahu saudaranya. "Aku tahu." Keduanya beriringan keluar dari lapas penjara, bersamaan dengan suara teriakan lirih yang terdengar di sel tempat Pak Dahlan ditahan. ***Sementara itu di tempat lain. Yayang yang ditempatkan di sel perempuan menunjukkan gelagat yang mengkh
Sidang putusan kasus Pak Dahlan dan Yayang disatukan dalam satu ruangan karena menyangkut kasus yang bisa dibilang berkaitan. Persidangan ini melibatkan terdakwa, penuntut umum, kerabat dan sanak saudara, saksi, dua orang jaksa, serta empat orang kuasa hukum dari kedua pihak terdakwa dan penuntut umum. Proses yang dilalui bisa dibilang cepat karena bukti yang dikumpulkan sudah cukup untuk membawa kasus ini ke meja persidangan, apalagi pihak penuntut menolak diadakannya proses mediasi, sebab tak ada alasan untuk menyelesaikan semua permasalahan ini secara kekeluargaan, mengingat Kalina sudah menunggu lebih dari sembilan tahun untuk mendapatkan keadilan. Sidang dimulai dengan pembacaan dakwaan sampai pengajuan eksepsi yang jelas langsung ditolak pihak penggugat, kemudian langsung dilanjutkan dengan pemeriksaan pokok perkara hingga sampai ke pemeriksaan saksi-saksi. Sepanjang acara dengan tatapan nyalang menusuknya Kalina hanya bisa menatap orang-orang jahat itu duduk pasrah di atas ku
"Loh, Papa." "Papa?""Uncle?""Wisnu, sejak kapan kamu berdiri di sana?"Barra yang lebih dulu sadar, berjalan mengampiri, diikuti Thea, Terra, dan terakhir Bu Dahlia. Kamila yang mendengar itu semua sontak langsung menendang Revan, lalu bangkit dan membenahi penampilan yang sejujurnya sudah tak bisa lagi terselamatkan."Wi-Wisnu.""Ma-maaf aku datang tanpa kabar. Soalnya sejak tadi ponselmu tak bisa dihubungi dan aku dengar dari Mama sedang ada acara di sini.""Ng, anu, nggak apa-apa, kok. Silakan duduk, ngobrol-ngobrol sama yang lain dulu. Aku ke atas sebentar, ya." Tanpa menunggu persetujuan dengan gerakan seribu bayangan, Kamila langsung berlari menuju kamar. Dan mengurung diri di sana.***Tok! Tok! Tok!"Mil, boleh aku masuk?" Di depan pintu kamar Kamila, Kalina berdiri. Sudah satu jam sejak pamit ke atas, dia masih belum kembali, hingga Kalina inisiatif menghampiri."Masuk aja, Kal. Nggak dikunci." Teriakan Kamila terdengar dari dalam, perlahan Kalina membuka pintu, lalu meng
"Hatchiiim."Dari arah kamar terdengar suara bersin keras, hingga membuat orang-orang yang akhir pekan ini sedang berkumpul di rumah besar itu terlonjak kaget."Kak, are you, okay?" Kepala Cici menyembul dari arah pintu."Ya, aku nggak apa-apa. Biasanya kalau tiba-tiba bersin kayak gini, pasti ada yang ngomongin," tuturnya sembari melempar selembar tisu yang sudah digunakan ke tempat sampah.Cici manggut-manggut, lalu berjalan menghampiri ke kamar. "Btw tumben rapi banget hari ini, nggak mungkin kalau cuma sekedar reuni keluarga Kak Mila sampai dandan cantik begini. Rambut digerai, pake dress tanpa lengan, heels lima senti.""Sshhh ... hari ini aku ada janji, jadi tolong wakilin jamu aja semua tamu, ya.""Ta--""Mil-- oh my God. Setan apa yang merasukimu hari ini, Mila?" Feri yang baru saja muncul terlihat membekap mulut melihat penampilan Kamila."Diem, lu, Fer. Komen sekali lagi gue gebok.""Nggak, nggak mungkin. Ini pasti bukan Kamila, ini pasti Kamile--hmmpt." Buru-buru Kamila mem
"Bagaimana kabarmu?"Pertanyaan itu Wisnu ajukan sesaat setelah Kamila dan Barra duduk di hadapannya, di ruang Head Teachers."Ba-baik." Entah kenapa afmosfer yang tercipta di antara keduanya terasa kikuk dan canggung. Sementara Barra yang duduk di tengah-tengah mereka malah sibuk memindai ekspresi dari tante dan ayah kandungnya itu."Jantung berdebar dua kali lebih cepat dari biasanya, telapak tangan dingin, wajah pucat, bicara terbata-bata, terdeteksi salting. Reaksi ini biasa juga disebut dengan gugup." Barra meletakkan tangan di dada Kamila."Astaga Barra." Kamila memelotot sembari menepis tangan bocah tujuh tahun itu.Wisnu terkekeh pelan. "Maaf kalau aku membuat kalian tak nyaman." Lelaki itu sesekali menyentuh hidung dan menggaruk dahi."Gelagat itu menunjukkan kalau Papa yang justru nggak nyaman.""Hei, berhenti sembarangan baca emosi orang!" sentak Kamila kembali mengingatkan."Tapi kakek bilang mengenali ekspresi wajah merupakan cara penting untuk meraba apa yang dirasakan
Tujuh tahun kemudian ...."Bangun, Barra. Ini hari pertama kamu masuk sekolah! Seragam sama semua perlengkapan udah Mimi siapin. Jangan lupa sarapan juga. Ada nasi goreng di atas meja!"Kamila mengguncang tubuh bocah yang menggeliat panjang dalam selimut tebal, di atas ranjang berbentuk mobil-mobilan."Bentar lagi, Mi. Biasa juga sekolah internasional masuknya agak siang. Ini baru jam enam pagi, ya Tuhan.""Buset nih bocah. Siapa juga yang bilang kamu bakal masuk ke sekolah international? Yang ada kamu masuk swasta!"Mendengar kata sekolah swasta bocah berumur tujuh tahun itu langsung terlonjak dari tempatnya."Swasta? Seriously? Kita jauh-jauh pindah ke Jakarta cuma buat daftar di sekolah swasta!""Ya ampun, nih bocah nggak ada bersyukurnya. Udah untung kamu masuk sekolah swasta yang elite. Coba Mimi dulu, udah mah masuk negeri yang ikut program pemerintah, masih kudu bikin surat keterangan tidak mampu, biar nggak perlu bayar SPP lagi. Dah, ah. Buruan mandi! Atau mau langsung Mimi lu
Orang bilang, level tertinggi dari mencintai adalah mengikhlaskan. Entah itu mengikhlaskan dengan yang lain, atau yang lebih menyakitkan mengikhlaskannya pergi ke pangkuan Tuhan. Entah itu cinta antar pasangan, cinta antara anak dan orangtua, maupun cinta antar saudara.Tak ada rencana yang lebih sempurna selain takdir yang telah Tuhan gariskan. Bagaimana dua orang saudara kembar yang sudah berpisah selama lebih dari tiga puluh tahun kembali dipersatukan untuk membalas satu keluarga zalim yang merasa kekuasaan yang dimiliki mampu menutupi seberapa busuknya tingkah laku mereka, sampai lupa bahwa roda kehidupan itu berputar, dan dalam beberapa keyakinan karma itu nyata adanya.Kurang dari setahun, tepatnya delapan bulan, saudara kembar Kamila dan Kalina mampu mengantar kehancuran untuk Keluarga Wijaya. Keluarga konglomerat yang dikenal publik dengan berbagai prestasi, keluarga yang dikenal memiliki toleransi tinggi, serta kerukunan yang patut diacungi. Namun, siapa yang tahu di balik im
Welcome Kalina Fathira Hartono dan Kamila Anindira Hartono.Tulisan besar dari karangan bunga yang khusus dipesan tergantung di lantai dua kediaman keluarga yang bisa dibilang terkaya di Kota Surabaya.Kamila membekap mulut sembari memeluk Dahiyang di pangkuan tangan.Tak pernah terpikir dalam benak Kamila sekalipun bahwa akhirnya dia sampai di posisi ini. Posisi yang selalu ibunya katakan suatu saat akan bisa dia daki. Roda yang selama ini berhenti berputar akhirnya menempatkan dia di sini. Ternyata masa depan yang selalu dia harapkan ekspekstasinya lebih dari yang mampu dia impikan.Orang-orang dengan setelan serba-hitam yang diketahui staf dan beberapa karyawan PT. Poltaris Jaya menyambut mereka. Berjejer di antara kolam pancuran yang membentang sepanjang pelataran. Bu Hilma terlihat berjalan mendorong kursi roda Pak Hari untuk menghampiri mereka. Dua buket bunga terlihat di pangkuannya.Kamila langsung berlari dan berhambur dalam pelukan ayahnya. Di belakang Kalina menyusul dengan
Kalina terkekeh sesekali saat melihat Kamila yang terlihat begitu bersemangat pagi ini. Di dalam kamar tadi bahkan dia membongkar seisi lemari hanya untuk mencari pakaian terbaik yang bisa digunakan untuk acara hari ini. Menjadi bisnis women atau mengelola bisnis mungkin memang bukan passion Kamila. Namun, penegak hukum, aparat, serta badan inteligen adalah pekerjaan dan kecintaannya.alina tahu, meski tak mengatakannya Kamila pasti sangat ingin kembali. Walapun mustahil untuk kembali menjadi bagian dari BIN, setidaknya dia berharap bisa menjadi salah satu anggota kepolisian tak peduli apa pun tingkatnya."Mil?" Kalina meletakkan tangan di bahu Kamila yang nampak duduk tenang di kursinya menunggu panggilan."Ya?" Kamila menoleh antara gugup dan senang yang membuat Kalina agak tak tega untuk mengungkap kebenarannya. "Sebenarnya ...." Kalina sengaja mengulur-ulur waktu yang membuat dada saudaranya semakin berdegup kencang."Sebenarnya apa, sih, Kal? Buruan deg-degan el--""Kompol Warma
Di atas pusara dengan nisan bertuliskan Zahira P. Putri itu, Kamila dan Kalina duduk bersimpuh. Meletakkan buket bunga di atas gundukan tanah yang sudah lama mengering dan dilindungi tembok marmer berpondasi kokoh.Kamila terlihat menuntun tangan saudara kembarnya untuk menyiram nisan dan sebagian tanah yang terlihat."Halo, Bu. Apa kabar? Sekarang Kamila nggak datang lagi sendiri, ada Kalina juga. Akhirnya, Bu. Kita bisa tumbuh jadi anak kebanggaan ibu. Baik-baik di Surga sana, ya. Salam sayang dan peluk cium dari kami." Kamila tersenyum dengan mata berkaca-kaca. Merengkuh tubuh Kalina yang sudah lebih dulu terisak di sampingnya."Nggak apa, Kal. Yang penting ibu udah liat semuanya dari atas sana." Kamila meyakinkan saudaranya sembari menyeka air mata Kalina."Bagaimana rasanya pelukan ibu, Mil?" tanya Kalina lirih."Tentu saja lebih hangat dari pelukan ayah dan lebih berkesan daripada pelukan mantan.""Kamila." Kalina mengerucutkan bibir sembari mencubit pelan perut saudaranya."Dah
"Apa-apaan ini? Masa merayakan kemenangan di Rumah Makan Padang?" Kamila menggerutu, sembari berkacak pinggang di depan sebuah rumah makan yang cukup besar di daerah setempat."Dah, terima kenyataan, Nya! Nyonya Kalina sama Pak Revan dah keseringan makan di resto bintang lima." Cici menepuk pundak Kamila, kemudian berlalu ke dalam."Tap-tapi aku juga dah keseringan makan di rumah Makan Padang. Bahkan sampe kolesterol dan mencret-mencret!" Kamila mengerucutkan bibir, menoleh menatap saudara kembarnya dan Revan yang baru saja turun dari dalam mobil."Aku janji, makan malam nanti kamu yang tentukan," sahut Kalina sembari tersenyum simpul."Seriously?" Bola mata bulat itu berbinar penuh harap."Iya. Harus berapa kali kubilang milikku, milikmu juga," tukas Kalina sembari merangkul bahu saudaranya."Resto Lavender, boleh? Ruang VIP yang view-nya macam di pelem-pelem bucin? Aku pernah ke sana, tapi cuma buat denger umpatan sampah para Wijaya Family." Kamila kembali mengerucutkan bibir."Iya